Faktor Lingkungan Fisik Rumah

23 2. Ventilasi Buatan Ventilasi buatan yaitu sebuah alat yang digunakan didalam rumah untuk membersihkan udara yang bersifat portable seperti AC, exhauster, kipas angin, air purifing. c. Pencahayaan Pencahayaan matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteri patogen dalam rumah misalnya bakteri penyebab penyakit ISPA dan TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya jendela luasnya sekurang-kurangnya 15 sampai 20 dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Menurut WHO kebutuhan standar minimun cahaya alami yang memenuhi syarat kesehatan untuk kamar keluarga dan kamar tidur yaitu 60-120 lux. d. Kelembapan Kelembapan merupakan presentase kandungan uap air pada atmosfir. Jumlah uap yang terkandung di udara bervariasi tergantung cuaca dan suhu Gertrudis, 2010. Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di lingkungan industri adalah berkisar antara 65 - 95. Bila kelembaban udara ruang kerja 95 perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja 65 perlu menggunakan humidifier, misalnya mesin pembentuk aerosol Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405MENKESSKXI2002. Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di 24 rumah adalah berkisar antara 40 - 60 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : No.1077MENKESPERV2011. Menurut Mudehir 2002 terdapat hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita. kelembaban dalam rumah dapat dipengaruhi oleh konstruksi rumah yang tidak baik, ventilasi yang kurang, serta pencahayaan yang minim. Pada penelitian Lindawaty 2010 resiko antara kelembapan rumah balita terhadap kejadian ISPA didapatkan bahwa rumah yang dengan kelembaban tidak memenuhi syarat beresiko 2,98 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA dibanding dengan rumah balita yang memenuhi syarat. Kelembaban dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat atau oleh cuaca. Pada musim hujan kelembaban akan meningkat namun bila kondisi rumah baik seperti cahaya matahari dapat masuk, tidak terdapat genangan air, ventilasi udara yang cukup dapat mempertahankan kelembaban dalam rumah Lindawaty, 2010 e. Suhu Suhu sangat berhubungan dengan kenyamanan dalam ruangan. Suhu rumah yang tinggi menyebabkan tubuh akan kehilangan garam sehingga akan terjadi kejang atau kram dan terjadinya perubahan metabolisme dan sirkulasi darah. Suhu dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar udara tergantung pada keadaan cuaca tertentu. Suhu udara dalam rumah dapat berubah jika terjadi beberapa faktor seperti penggunaan bahan bakar, ventilasi tidak bagus, kepadatan hunian, kondisi topografigeografis Aprinda, 2007. Hasil Penelitian Fanji 2006 yang mengatakan 25 bahwa rumah dengan suhu tidak memenuhi syarat beresiko 36,49 kali menderita ISPA dibanding dengan rumah yang suhu udaranya memenuhi syarat. f. Letak dapur Dapur berfungsi sebagai tempat terjadinya pembakaran bahan bakar untuk memasak dan timbul panas, asap, atau debu sehingga dapur mempengaruhi kualitas udara dalam rumah. Penataan ruangan dalam rumah harus memperhatikan letak posisi dapur karena jika letak dapur berdekatan dengan ruang istirahat anak kamar anak akan mempengaruhi kesehatan anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Citra 2012 yang menyatakaan bahwa balita yang tinggal didalam rumah dengan letak dapur menyatuberada didalam rumah mempunyai resiko menderita pneumonia 5,2 kali dibandingkan dengan balita dengan letak dapur terpisah. dan diperburuk dengan ventilasi yang tidak baik akan menyebabkan terjadinya gangguan saluran pernafasan dan gangguan penglihatan Lindawaty, 2003. g. Jenis Lantai Lantai merupakan media yang sangat baik bagi perkembang biakan bakteri. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam kondisi kering dan tidak lembab dan harus kedap air sehingga mudah dibersihkan. Jadi lantai seharusnya sudah diplester bahkan lebih baik lagi jika sudah di beri ubinkeramik. Menurut Ditjen PPM dan PL, 2002 rumah yang mempunyai lantai yang terbuat dari tanah cenderung menimbulkan lembab, dan pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan 26 debu yang berbahaya bagi penghuni rumah. Rumah sehat memiliki lantai yang terbuat dari marmer, ubin, keramik, sudah diplester semen Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077MENKESPERV2011. Sehingga indikator lantai rumah yang tidak sehat mempunyai lantai yang berjenis lainya. Hasil uji statistik pada penelitian Lindawaty, 2010 menunjukkan bahwa jenis lantai yang tidak memenuhi syarat beresiko 2,15 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA dibanding dengan balita yang jenis lantainya memenuhi syarat. h. Jenis Dinding Dinding berfungsi sebagai pelindung rumah yang terbuat dari berbagai bahan seperti bambu, triplek, batu bata, dan dari berbagai bahan tersebut yang paling baik yaitu yang terbuat dari batu bata atau tembok. Dinding yang terbuat dari tembok bersifat permanen, tidak mudah terbakar dan kedap air. Rumah yang menggunakan dinding berlapis kayu, bambu akan menyebabkan udara masuk lebih mudah yang membawa debu-debu ke dalam rumah sehingga dapat membahayakan penghuni rumah bila terhirup terus-menerus terutama balita. Balita yang jenis dindingnya masih terbuat dari bahan yang tidak permanen seperti triplek, bambu, batu bata beresiko 1,51 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA Lindawaty, 2010.

2.3.2 Faktor Sosial-Ekonomi

a. Pendidikan orang tua Pendidikan ibu berpengaruh terhadap informasi yang diterima mengenai kesehatan anak. Ibu dengan pendidikan tinggi akan menerima segala informasi 27 dengan mudah mengenai cara memelihara dan menjaga kesehatan anak serta gizi yang baik untuk anak. Berdasarkan pengaruh terhadap kesehatan dan prilaku seseorang peran pendidikan juga berpengaruh terhadap lingkungan, pelayanan kesehatan dan juga heriditas Achmadi, 2008. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Citra 2011 dan Suptiaptini 2007 menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan ibu terhadap ISPA pada balita. Ibu yang berpendidikan rendah SMA cenderung tidak mengetahui gejala-gejala ISPA yang dialami oleh balita dan menganggap hal tersebut tidak terlalu berbahaya. Namun, menurut Fitri 2004 tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita. Baik pendidikan tinggi maupun rendah hampir sama dalam menanggapi dan merespons serta mengambil tindakan ketika salah satu keluarga mengalami ISPA atau penyakit lain. b. Penghasilan orang tua Penghasilan orang tua mempengaruhi asupan makanan yang diterima dan pemerikasaan balita ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan. Orang tua yang berpenghasilan rendah cenderung jarang memikirkan mengenai kesehatan karena biaya yang mahal. Selain itu asupan gizi yang diberikan pada balita tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang seharusnya didapatkan oleh balita. Hal ini akan berpengaruh terhadap gizi balita yang cenderung menurun dan imnitas yang tidakk 28 terbentuk menyebabkan balita mudah terkena penyakit salah satunya penyakit saluran pernafasan atau ISPA.

2.3.3 Faktor IndividuBalita

a. Umur Balita Umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak mudah sakit. Umur bayi kurang dari 1 tahun lebih cenderung mudah terkena ISPA dibanding dengan balita umur lebih dari 1 tahun DepKes, 2000. Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian umur menurut tingkat kedewasaan, interval lima tahun dan untuk mempelajari penyakit anak Notoatmodjo, 2003. b. Status Gizi Balita Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Penilaian status gizi dilakukan menggunakan antropometri yakni : berat badan menurut umur weight-for-age, panjang badan menurut umur height-for-age, berat badan menurut tinggi badan weight-for-height, lingkar lengan atas kiri left mid- upper arm circumference. Masing-masing indikator itu memberikan penjelasan 29 tentang status gizi bayi dan anak-anak. Indikator protein-Energy Malnutrition PEM yang paling sering dipakai adalah berat badan menurut umur. Nilai rendah angka indikator berat badan menurut umur mencerminkan terjadinya adaptasi anak terhadap gangguann gizi jangka panjang dan jangka pendek. Defisit pertumbuhan linier yang diindikasikan ukuran antropometri tinggi badan menurut umur baru akan terjelma manakala defisiensi telah berlangsung lama sehingga tidak termanifestasi semasa bayi DepKes, 2002. Balita yang mengalami kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respons imunologis terhadap penyakit dan keracunan Soemirat, 2000. Pada hasil penelitian yang dilakukan Gertrudis, 2010 diperoleh bahwa balita beresiko 2,5 kali lebih besar mengalami ISPA dengan status gizi kurang karena daya tahan tubuh akan berbagai virus lemah. Pada keadaan balita mengalami gizi kurang, balita cenderung mengalami ISPA berat dan seranganya lebih lama DepKes RI, 2006. Sebaliknya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhedir 2002, dan Irianto 2004 mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA. Menurut Almatsler 2003, timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga mudah terserang penyakit.