Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara berkembang yang mengalami permasalahan sosial di lingkungan masyarakatnya. Permasalahan sosial tersebut ditimbulkan karena ledakan penduduk di Indonesia yang mengakibatkan jumlah penduduk sangat tinggi. Menurut data sensus penduduk yang diperoleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 237.641.326 jiwa atau sekitar 237,6 juta jiwa. Jumlah penduduk di Indonesia yang banyak ini memunculkan berbagai permasalahan sosial diantaranya adalah kemiskinan. “Kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang dialami seseorang baik akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan hidup, maupun akibat ketidakmampuan negara atau masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya” Suharto, 2009: 16. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,59 juta jiwa atau sekitar 11,22 dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia. Penduduk miskin di Indonesia dapat digolongkan menjadi rakyat miskin karena sesuai dengan sembilan kriteria kemiskinan berdasarkan studi SMERU, Suharto 2009:16 yaitu: 1 ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok sandang, papan, pangan; 2 ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik dan mental; 3 ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial anak terlantar, 2 gelandangan, pengemis; 4 rendahnya kualitas sumber daya manusia buta huruf, rendahnyapendidikan dan ketrampilan dan terbatasnya sumber daya alam; 5 rentan terhadap goncangan individual dan massal; 6 kurangnya lapangan kerja dan matapencahariaan yang memadai dan berkesinambungan; 7 ketiadaan akses kebutuhan hidup dasar pendidikan, kesehatan; 8 ketiadaan jaminan masa depan; 9 ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Faktor penyebab kemiskinan tersebut antara lain memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun mental, pendidikan yang rendah, tidak mempunyai ketrampilan untuk berusaha, dan kurang tersedianya lapangan kerja. Berdasarkan faktor tersebut, dapat dikatakan bahwa permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia erat kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan, yaitu pengangguran. Badan Pusat Statistik BPS, menyebutkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia pada bulan Februari 2014 mencapai 7,2 juta orang. Data ini menunjukkan bahwa masih banyak penduduk di Indonesia yang tidak bekerjamenganggur. Salah satu penyebab pengangguran adalah kemiskinan, karena penduduk miskin tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan ketrampilan secara maksimal sebagai modal mendapatkan pekerjaan, serta sebaliknya, kemiskinan terjadi karena penduduknya tidak bekerja menganggur. Masalah pengangguran ini kemudian mengakibatkan 3 masalah sosial lainnya, yaitu munculnya gelandangan dan pengemis atau biasa disebut Gepeng. Fenomena pengemis dan gelandangan merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan oleh keadaan kemiskinan penduduk di Indonesia. Masyarakat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya pada akhirnya memilih jalan pintas dengan cara mencari belas kasihan dari orang lain. Gelandangan sendiri menurut Peraturan Kepala Kepolisian Perkap Negara Republik Indonesia No 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandang dan Pengemis pada Pasal 1 ayat 1 merupakan orang yang tidak mempunyai tempat tinggal layak, pekerjaan tetap, dan hidup berpindah- pindah dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak sepantasnya menurut aturan dan norma kehidupan masyarakat, sedangkan pengemis dijelaskan pada ayat 2 sebagai orang yang mencari penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapat belas kasihan orang lain. Selain itu, menurut Dimas D. Irawan 2013: 5 pengemis dapat dikelompokkan menjadi dua macam tipe yaitu pengemis miskin materi dan pengemis miskin mental. Pengemis miskin materi adalah pengemis yang tidak memiliki uang atau harta, sedangkan pengemis miskin mental yaitu pengemis yang masih memiliki harta namun mental yang lemah mendorongnya untuk mengemis. Ada beberapa fakor yang menyebabkan kegiatan mengemis dilakukan yaitu karena malas berusaha, cacat fisik, pengangguran, masalah ekonomi, bahkan karena sudah menjadi tradisi turun temurun. 4 Gelandangan dan pengemis atau yang biasa disebut Gepeng ini mudah dijumpai di Indonesia salah satunya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY. Pertumbuhan Gepeng di DIY sangatlah pesat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di DIY. Gelandangan dan pengemis Gepeng dapat dijumpai di setiap sudut kota di DIY. Mereka identik dengan pakaian compang-camping, kotor, dekil, dan tidak terurus. Gelandangan dan pengemis Gepeng yang ada di DIY mayoritas berasal dari luar daerah. Gelandangan dan pengemis memilih provinsi DIY sebagai tempat mengadu nasib karena biaya hidup di DIY lebih murah, selain itu para Gepeng menghindari peraturan tentang pelanggaran terhadap gelandangan dan pengemis di daerah lain yang kala itu belum ditetapkan pemerintah DIY. Berdasarkan data dari Dinas Sosial DIY yang dilansir oleh www.jogjadaily.com , jumlah Gepeng di DIY tahun 2015 mencapai 648 orang yang terdiri atas 161 gelandangan, 191 pengemis, dan 296 gelandangan psikotik. Pertumbuhan gelandangan dan pengemis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang begitu pesat ini mendorong pemerintah untuk melakukan penanggulangan terhadap masalah ini yaitu dengan mengeluarkan dan mengesahkan Peraturan Daerah Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Peraturan daerah ini merupakan langkah awal upaya pemerintah menyukseskan target DIY bebas dari gelandangan dan pengemis pada tahun 2015. 5 Selama ini keberadaan gelandangan dan pengemis Gepeng merugikan masyarakat dan negara. Negara dirugikan karena sumber daya manusia yang semula diharapkan dapat mandiri, produktif, dan mampu membangun negara menjadi gelandagan dan pengemis yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain, tidak mempunyai kehidupan yang layak, dan tidak dapat mencukupi kebutuhan secara mandiri, serta kehidupannya bebas yang tidak mematuhi norma-norma. Hal ini tidak sejalan dengan cita-cita nasional karena mereka menjadi beban Negara. Gepeng termasuk dalam golongan fakir miskin yang mana sesuai dengan UUD 1945 pasal 34 ayat 1 berhak mendapakan perlindungan negara. Pemerintah mempunyai kewajiban dan bertanggungjawab untuk menyelesaikan permasalahan gelandangan dan pengemis supaya mereka dapat hidup dengan layak bersama masyarakat lainnya. Gelandangan dan pengemis mayoritas tidak mempunyai identitas yang jelas, tidak memiliki kartu pengenal dan bahkan mereka memiliki banyak “topeng” ketika berada di jalanan. Hal ini menyebabkan susahnya melakukan pendataan kependudukan. Gelandangan dan pengemis juga mempunyai pola hidup yang bebas, mereka tidak terikat oleh aturan yang ada di mayarakat, mereka membuat aturan mereka sendiri bahkan cenderung menghiraukan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat. Kehidupan gelandangan dan pengemis yang bebas membuat mereka betah berada di jalanan, mereka dapat melakukan hal-hal yang mereka inginkan meskipun itu melanggar nilai 6 dan norma, contohnya melakukan hubungan seks bebas dan suka memungut barang milik orang lain. Keberadaan mereka diperburuk dengan terbentuknya keluarga gepeng, dimana gepeng ini dapat menjadi sebuah komunitas yang semua anggota keluarganya berprofesi sebagai gelandangan maupun pengemis. Selain itu, praktik penggelandangan dan pengemisan seperti gelandangan dengan pakaian compang-camping, kotor mengais-ais sampah untuk mencari makan, tidur sembarangan di emperan toko, jalan bahkan teras rumah orang, adapula pengemis yang meminta-minta padahal sebenarnya dia merupakan golongan orang mampu dan ada juga pengemis yang meminta belas kasihan dengan cara memaksa dapat mengganggu kenyamanan, ketertiban dan keamanan di lingkungan masyarakat, dan apabila tidak ditangani akan mengganggu stabilitas nasional. Keberadaan gelandangan dan pengemis bukanlah tanpa alasan, keberadaan mereka disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi, psikologis, pendidikan, sosial budaya, bahkan agama. Gelandangan dan pengemis merupakan bagian dari masyarakatyang tersaing. Gelandangan dan pengemis merupakan masyarakat yang tidak berdaya, mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok, kurang memiliki kepedulian terhadap kesehatan, ketidakpedulian terhadap nilai-nilai dan norma, serta mereka masih memiliki mindset ‘tangan dibawah lebih baik’ yaitu senang meminta belas kasih orang lain tanpa mau bekerja keras. Oleh sebab itu, gelandangan dan pengemis Gepeng tidak seharusnya dijauhi, perlunya kepedulian dari 7 masyarakat untuk mengentaskan permasalahan gelandangan dan pengemis ini. Gelandangan dan pengemis membutuhkan bantuan, bukan bantuan uang atau barang yang langsung dikonsumsi tetapi lebih kepada bantuan perbaikan mental, pendidikan, dan pelatihan supaya mereka dapat hidup dengan layak dan mampu mengangkat derajat harkat dan martabatnya sebagai manusia. Gepeng memerlukan perbaikan mental khususnya jenis gelandangan psikotik yang mana kejiwaannya terganggu. Perbaikan bagi gelandangan dan pengemis yang sehat secara fisik dan kejiwaannya dapat dilakukan dengan cara brainwashing untuk membuka pemikiran dan merubah pola pikir Gepeng yang semula “tangan di bawah” menjadi “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, sehingga mereka dapat menghentikan pencarian nafkah melalui kegiatan menggelandang dan mengemis lalu berganti dengan cara bekerja sesuai nilai-nilai dan norma.Perbaikan mental saja tidaklah cukup untuk membantu gelandangan agar dapat hidup dengan baik dan layak. Perbaikan mental harus disertai dengan pemberian pendidikan dan pelatihan. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia dan bersifat sepanjang hayat. Pendidikan dapat dilaksanakan oleh siapa saja, dimana saja, dankapan saja. Pendidikan merupakan hak asasi seluruh umat manusia tak terkecuali bagi gelandangan dan pengemis. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan bagi gelandangan dapat ditempuh melalui pendidikan jalur non formal atau biasa disebut pendidikan non formalpendidikan luar sekolah melalui lembaga pemerintahan maupun non 8 pemerintahan. Pendidikan dan pelatihan bagi gelandangan dan pengemis Gepeng sangatlah diperlukan karena dengan memperoleh pendidikan dan pelatihan, mereka dapat memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan yang dapat dijadikan modal untuk bekerja secara layak sehingga mereka mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Penanganan gelandangan dan pengemis tersebut sejalan dengan upaya preventif, represif, dan rehabilitatif yang tercantum dalam Peraturan Daerah provinsi DIY pasal 8 ayat 1-3 mengenai penanggulangan gelandangan dan pengemis. Upaya-upaya tersebut ditempuh melalui pelatihan ketrampilan, magang dan perluasan kesempatan kerja; peningkatan derajat kesehatan; fasilitasi tempat tinggal; peningkatan pendidikan; penyuluhan dan edukasi masyarakat; pemberian informasi melalui baliho di tempat umum; bimbingan sosial; dan bantuan sosial. Pemerintah, dalam hal ini Dinas Sosial DIY bekerjasama dengan Lembaga Sosial yang ada berusaha untuk melaksanakan upaya-upaya tersebut dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis. Salah satu Lembaga Sosial di DIY yang bergerak dalam upaya menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah Lembaga Sosial Hafara. Lembaga Sosial Hafara pada awalnya terletak di Dusun Gonjen, Rt. 05 Rw. 17, kini lembaga tersebut berlokasi di Brajan, Tamantirto, Kasihan Bantul. Lembaga Sosial yang mempunyai kepanjangan Hadza Min Fadli Rabbi Kemurahan Hati Tuhan bergerak pada pelayanan terpadu dengan ranah kerja pada pengentasan, pemberdayaan, dan pembinaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS. Warga binaan lembaga 9 ini seluruhnya berasal dari jalanan, antara lain; pengamen, pengemis, gelandanga, eks psikotik, dan eks pecandu obat-obatan, serta anak jalanan. Lembaga Sosial Hafara saat ini memiliki 39 warga binaan, yang terdiri atas; 6 orang gelandangan dewasa, 9 orang anak jalanan, dan 24 orang eks psikotik dan eks narkoba. Sebagai upaya menanggulangi permasalahan gelandagan dan pengemis, Lembaga Sosial Hafara mempunyai berbagai pelayanan yang sesuai dengan Peraturan Daerah Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Pelayanan tersebut antara lain rumah singgah, bimbingan sosial, bimbingan belajar dan ketrampilan. Lembaga Sosial Hafara mempunyai permasalahan dalam upaya menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis. Permasalahan yang dihadapi lembaga antara lain; gelandangan dan pengemis gelandangan dan pengemis baru sulit untuk beradaptasi, kurangnya kesadaran dan motivasi untuk belajar, serta gelandangan dan pengemis masih beranggapan bahwa kehidupan di jalan lebih menguntungkan dari pada di lembaga. Salah satu upaya menyelesaikan permasalahan tersebut, Lembaga Sosial Hafara melibatkan mereka dalam kegiatan Usaha Ekonomi Produktif UEP. Usaha Ekonomi Produktif UEP merupakan program pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui kegiatan usaha yang produktif. Program ini dimaksudkan untuk mengkikis asumsi gelandangan dan pengemis yang beranggapan bahwa hidup di lembaga tidak dapat memperoleh penghasilan seperti ketika hidup di jalanan. Kegiatan dalam program ini memanfaatkan 10 lahan atau pekarangan disekitar lembaga sekitar ±1000 m 2 sebagai lahan produktif untuk kegiatan dibidang perikanan dan perikanan. Selain pertanian dan pertanian, ada pula usaha warung yang dikelola sendiri oleh warga binaan. Gelandangan dan pengemis berpartisipasi aktif mengelola kegiatan tersebut dengan dibekali pengetahuan dan ketrampilan cara bercocok tanam dan berternak ikan. Tanaman unggulan di Lembaga Sosial Hafara adalah papaya, sedangkan untuk perikannanya adalah Ikan Lele. Hasil pertanian dan perikanan tersebut kemudian diperjualbelikan warga binaan di pasar, kepada pengepul bahkan pada lembaga sendiri serta adapula yang di konsumsi oleh seluruh warga binaan. Hasil penjualan tersebut kemudian dibagi dua, bagi hasil untuk warga binaan Gepeng yang mengelola dan untuk kas lembaga. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti mengambil judul penelitian “Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis Gepeng Melalui Usaha Ekonomi Produktif UEP di Lembaga Sosial Hafara, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah