Warga Binaan di Lembaga Sosial Hafara

65 mendapatkan dana dari pemerintah, donatur, dan zakat atau sedekah dari masyarakat. Selain itu, hasil dari Usaha Ekonomi Produktif UEP yang diselenggarakan lembaga juga membantu pembiayaan operasional lembaga. Hal ini sesuai dengan pernyataan ”Ds” selaku sekertaris lembaga yaitu: “Kalau pertama kali berdiri itu dari uang pribadi pimpinan kita sama istri dan kakaknya. Tetapi kan lama-kelamaan kita audiensi-audiensi ke pemerintah kita dapat legalitas surat izin juga terus dari situlah kita bikin blogspot, ada facebook, dan macam-macam itu. Akhirnya, banyak orang yang tahu dan akhirnya mendonasikan. Hasil dari UEP juga membantu menambah uang operasional, kan dari itu uangnya dapat disilangkan untuk membeli kebutuhan pokok, buat bayar SPP anak sekolah juga.” Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sumber dana lembaga diperoleh dari beberapa sumber antara lain; dana pribadi pengelola, pemerintah, masyarakat, dan usaha warga binaan itu sendiri.

B. Data Hasil Penelitian

1. Warga Binaan di Lembaga Sosial Hafara

Warga binaan di Lembaga Sosial Hafara terdiri dari Gepeng, eks gangguan jiwa psikotik, dan anak jalanan. Warga binaan tersebut merupakan Warga Negara Indonesia WNI yang hidup di jalanan. Hal ini diungkapkan oleh ”Yn” selaku mantan Gepeng yang mengatakan,“Saya dulu bareng-bareng sama Pak Chabib, kita dulu di Malioboro mbak”. Warga binaan di Lembaga Sosial Hafara merupakan hasil penjaringan yang dilakukan baik oleh tim dari lembaga itu sendiri, razia dari pemerintah, maupun masyarakat yang menemukan orang terlantar. Usia warga binaan di 66 Lembaga Sosial Hafara bervarisasi mulai dari lansia, remaja, dewasa, hingga anak-anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan ”Ch” yang menyatakan bahwa: “Kalau penghuni di sini WNI yang jelas, kalau basic mereka itu basic- nya jalan. Jadi ada yang proses penjangkauan. Itu tim kita melakukan ee muter-muter melihat titik-titik mana yang rawan tentang orang jalanan. Ada yang dari pemerintah yang melakukan kegiatan razia, trus ada juga dari masyarakat yang menemukan anak terlantar. Warga binaan ada yang lansia, remaja, anak-anak. Ada anak jalanan, gelandangan, pengemis, eks gangguan jiwa.” Pernyataan tersebut diperkuat oleh ”Ds” sebagai berikut. ”Warga binaan didapat dari hasil penjaringan tim di jalanan sih mbak, dan ada yang dititipkan sama pemerintah juga seperti dari dinas sosial. Ya mbak, ada anak-anak jalanan, eks psikotik, Gepeng, dan eks pecandu narkoba” Selain melalui hasil wawancara, keadaan gelandangan, pengamen, dan pengemis Gepeng sebelum menjadi warga binaan lembaga juga digambarkan melalui hasil pengumpulan dokumentasi. Hal ini dicantumkan dalam profil sejarah berdirinya Lembaga Sosial Hafara sebagai berikut. ”Asumsi pertama yang muncul dalam benak masyarakat ketika disodorkan istilah jalanan biasanya adalah jorok, nakal, semrawut, kumuh dan asumsi-asumsi negative lainnya. Bisa jadi salah, bisa jadi benar. Asumsi yang terbangun dalam benak masyarakat memang terkadang terbangun atas dasar realita yang ada. Namun, se”liar- liar”nya komunitas jalanan, kami meyakini bahwa mereka juga manusia, binatang liar saja masih bisa dijinakkan, apalagi manusia yang masih memiliki hati nurani Profil Lembaga Sosial Hafara, 2015. Hasil dokumentasi juga menunjukkan bahwa Lembaga Sosial Hafara menampung 39 warga binaan yang terdiri atas 6 orang mantan eks Gepeng 67 dewasa, 9 orang anak-anak, dan 24 eks gangguan jiwa atau psikotik Data warga binaan, Profil Lembaga Sosial Hafara, 2015 . Hasil observasi juga menggambarkan bahwa warga binaan ada yang memiliki tempat tinggal, ada pula yang tidak memilikinya. Bagi eks gangguan jiwa mereka tinggal di lembaga, sedangkan warga binaan yaitu anak-anak dan eks Gepeng dewasa yang masih memiliki tempat tinggal ada yang menetap dan ada pula yang tinggal di luar lembaga. Tempat tinggal warga binaan di lembaga ini dibuktikan dengan adanya bilik-bilik kamar yang dibangun menjadi sebuah panti bagi eks Gepeng dan rumah singgah bagi eks anak jalanan. Lembaga Sosial Hafara menyediakan fasilitas tempat tinggal tersebut mulai dari kamar tidur, kamar mandi, dan dapur umum. Hal ini sesuai dengan pernyataan ”Ds” sebagai berikut. “Kalau fasilitas dan sarana prasarana yang pasti kan kalau untuk warga binaan dewasa kan ada kamar, terus tempat masak juga ada, yang pasti tuh kaya fasilitas yang didapat itu ada kasur, lemari, meja, pokoknya perabotan rumah tangga kita kasih. Kalau untuk perabotan dapur untuk bersama-sama tapi di tiap kamar ada dispenser itu mbak.” Eks gelandangan psikotik gangguan jiwa yang menjadi binaan di Lembaga Sosial Hafara terdiri atas segala usia, mulai dari remaja hingga lansia. Kondisi fisik mereka juga beragam, ada yang sehat secara fisik, ada pula yang memiliki disabilitas fisik yaitu tidak mampu berjalan. Berdasarkan hasil observasi, penyebab gangguan jiwa yang dialami oleh eks psikotik tersebut berbeda-beda, ada yang disebabkan karena faktor bawaan genetik, depresi, dan ada pula yang disebabkan karena penelantaran yang dilakukan 68 oleh anggota keluarga sendiri. Selama tinggal dan dibina di lembaga, eks psikotik menjalani kegiatan rutin dalam bidang keagamaan dan pemberian motivasi, selainitu mereka mendapatkan terapi-terapi tertentu sesuai dengan kelasnya masing-masing. Eks psikotik dibagi menjadi kelas 0, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Hal ini berdasarkan pernyataan “Yn” sebagai berikut. “Sekarang itu kan temen-temen psikotik ada kelas-kelasnya. Kelas 0,1, 2, 3. Kalau kelas 3 itusudah aktivitas, terapinya terapi kerja, kelas 2 juga terapinya bikin batako, kalau kelas 0 masih pendampingan khusus, mereka perlu terapi individu.” Setelah dapat disembuhkan, selanjutnya eks psikotik tersebut dikembalikan kepada pihak keluarga, sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki keluarga, mereka tetap tinggal di lembaga. Gepeng dewasa yang menjadi warga binaan di Lembaga Sosial Hafara kini menjadi mantan eks Gepeng. Mayoritas dari eks Gepeng dewasa merupakan anggota komunitas yang telah bergabung sejak Lembaga Sosial Hafara didirikan, bahkan diantara mereka juga ada yang telah menjalin kehidupan berkeluarga. Eks Gepeng ini dahulu berada di jalanan karena faktor ekonomi yang lemah, dan karena putus sekolah. Hal ini dinyatakan oleh “Wn” bahwa: “Saya di sini, pokmen umur saya 12 tahun, sekarang 22 tahun. Dulu aku kelas 4 SD sudah keluar, aku ga sekolah to, trus tetanggaku ada di sini dulu kan di Gonjen sana, terus aku diajak ikut pelatihan gitu, ya lama- lama di sini. Karena udah ga sekolah, yuk orang tua juga ga mampu juga to.” 69 Selama di lembaga, mereka mendapat pembinaan dan pelatihan, kemudian mereka menjadi bagian dari operasional lembaga. Eks Gepeng tersebut membantu penyelenggaraan program-program lembaga seperti mengasuh dan mendampingi eks psikotik dan anak jalanan. Hal ini dikemukan oleh “Yn” yang mengatakan, “Saya ya ngurus semua, mengatur pendamping, job-job nya apa, kegiatan hari ini apa semua”. Pernyataan ini juga serupa dengan yang diungkapkan oleh “Wn” bahwa,“Kadang mandiin psikotik, kadang sok lihat kondisinya anak-anak, nanti bantuin yang masak, sembarang lah, mbak”. Selain “Yn” dan “Wn”, “At” juga menyatakan hal yang serupa yaitu, “Selain masak, ngurusin anak-anak, dan UEP”. Eks Gepeng dewasa masih memiliki tempat tinggal asal seperti di Klaten dan Bantul, akan tetapi mereka memilih untuk tetap tinggal di lembaga. Meskipun demikian dalam jangka waktu tertentu mereka pulang ke kampong halaman kemudian kembali lagi ke lembaga. Ada dari mereka yang memutuskan tinggal dan menetap di Lembaga Sosial Hafara karena panggilan jiwa ingin membantu teman-teman orang jalanan yang dibina lembaga agar dapat kembali ke masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh “Yn”, selaku eks Gepeng dewasa yang kini mengabdikan diri di lembaga tersebut. “Saya ngurusin 24 jam di sini, dulunya saya di jalan di Malioboro. Saya ada rumah, di Klaten. Saya aslinya Klaten. Satu 1 bulan sekali saya pulang bersama istri dan anak.Ya terus di sini, memperjuangkan teman- teman kita. Teman-teman yang di jalanan, ngurusin jenazah terlantar. Kalau jadi pekerja sosial itu panggilan, pilihan kita. Pengabdian-lah, yang dulunya kita tidak berguna sekarang berguna bagi orang lain.” 70 Sedangkan anak-anak tinggal di rumah singgah Hafara, mereka mayoritas berasal dari keluarga kurang mampu. Anak-anak tersebut mendapatkan pendidikan formal, ada yang bersekolah di jenjang TK, SD, dan SMP. Selain bersekolah di sekolah formal, mereka juga mendapatkan bimbingan belajar secara nonformal di dalam lembaga. Anak-anak yang tinggal di rumah singgah mayoritas masih memiliki orang tua, beberapa dari mereka pada waktu tertentu ada yang pulang bersama orang tuanya kemudian di kembalikan kembali ke rumah singgah. Berdasarkan hasil pengumpulan data tersebut dapat disimpulkan bahwa warga binaan di Lembaga Sosial Hafara umumnya berasal dari jalanan dan terdiri atas eks gangguan jiwa, gelandangan, pengamen, dan pengemis. Warga binaan tersebut terdiri dari anak-anak hingga lansia. Warga binaan tersebut diperoleh dari hasil penjangkauan dan razia yang dilakukan oleh tim dari lembaga, pemerintah, maupun masyarakat. Ketika masih berada di jalanan mereka mendapat kesan negatif dari masyarakat seperti dianggap jorok, nakal, semrawut, dan kumuh. Keadaan warga binaan beragam ada yang sehat secara fisik, ada yang memiliki disabilitas, dan ada pula yang lemah secara mental. Warga binaan seperti eks psikotik dan anak-anak mengikuti rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga, sedangkan bagi eks Gepeng selain mengikuti kegiatan juga ikut serta dalam membantu penyelenggaraan kegiatan bagi anak-anak dan eks psikotik. 71

2. Pelaksanaan Program Usaha Ekonomi Produktif UEP di Lembaga