PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) MELALUI USAHA KEGIATAN EKONOMI PRODUKTIF (UEP) DI LEMBAGA SOSIAL HAFARA, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

(1)

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) MELALUI USAHA EKONOMI PRODUKTIF (UEP)

DI LEMBAGA SOSIAL HAFARA BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Rina Rohmaniyati

11102241027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

ii

PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta” yang disusun oleh Rina Rohmaniyati, NIM 11102241027 ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, 26 November 2015 Pembimbing,

Prof. Dr. Yoyon Suryono, MS. NIP. 19510122 197903 1 001


(3)

(4)

(5)

v MOTTO

1. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan hidup menjadi lebih baik dengan niat, usaha, dan keyakinan (Penulis)

2. Rahasia kesuksesan adalah selalu bersyukur atas segala yang Anda miliki, sekecil apapun itu, dan tidak membenci hidup atas hasil yang belum pernah diberikanNya kepada Anda (J. Donald Walters)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Kedua orang tua, Ayah dan Ibu tercinta yang telah senantiasa memberikan kasih sayang, doa restu, dukungan, dan pengorbanan dalam penyusunan karya ini.

2. Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta yag telah memberikan ilmu pengetahuan, wawasan, dan pengalaman.

3. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah yang telah memberikan kesempatan untuk belajar tentang arti pendidikan di masyarakat yang sesungguhnya.


(7)

vii

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) MELALUI USAHA KEGIATAN EKONOMI PRODUKTIF (UEP) DI LEMBAGA SOSIAL HAFARA, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA Oleh Rina Rohmaniyati NIM 11102241027

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan: (1) Gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang menjadi warga binaan Lembaga Sosial Hafara; (2) Pelaksanaan kegiatan dalam program Usaha Ekonomi Produktif (UEP); (3) Hasil pelaksanaan program Usaha Ekonomi Produktif; (4) Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program Usaha Ekonomi Produktif; dan (5) Dampak pelaksanaan program Usaha Ekonomi Produktif bagi warga binaan Gepeng dan Lembaga Sosial Hafara, Bantul, DaerahIstimewa Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subyek dalam penelitian ini adalah pimpinan lembaga, pengurus lembaga, dan warga binaan Gepeng dewasa yang tinggal dan bertugas mengelola dan mengolah kegiatan dalam program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah display data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan. Triangulasi menggunakan triangulasi sumber untuk menjelaskan keabsahan data dari berbagai narasumber dalam mencari informasi yang dibutuhkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Warga binaan Gepeng di Lembaga Sosial Hafara berasal dari jalanan yang diperoleh melalui razia dan terdiri dari gelandangan, eks psikotik, pengamen, dan pengemis; (2) Usaha Ekonomi Produktif (UEP) merupakan program pemberdayaan bagi Gepeng yang bertujuan untuk melatih kemandirian, kegiatan program ini adalah pertanian, perikanan, dan usaha warung; (3) Hasil kegiatan program UEP adalah hasil warung, perikanan berupa ikan lele, dan pertanian berupa buah-buahan, sayuran, dan tanaman obat yang diperjualbelikan dan dikonsumsi. Pada kegiatan ini Gepeng mendapatkan bagi hasil dari keuntungan penjualan; (4) Faktor pendukung pelaksanaan program yaitu: ketersediaan lahan yang subur, sarana prasarana, memiliki sumber daya manusia, memiliki jaringan kerjasama yang luas dalam bidang pelatihan hingga pengelolaan. Faktor penghambatnya yaitu: kondisi alam, kurangnya modal untuk mengembangkan usaha, kondisi psikologis Gepeng, dan kurangnya pendidikan Gepeng; (5) Dampak secara sosial dan ekonomi pelaksanaan Usaha Ekonomi Produktif bagi lembaga yaitu mampu menggerakan organisasi dan mencukupi kebutuhan pokok seluruh warga binaan. Bagi warga binaan Gepeng selain mendapat ketrampilan, hasil keuntungan dapat mereka tabung dan memiliki rasa sosial untuk membantu mengentaskan orang jalanan lainnya.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul “Pemerdayaan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara, Bantul,Daerah istimewa Yogyakarta” guna memperoleh gelar sarjana pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini dapat terseesaikan berkat kerjasama, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang terlah memberikan fasilitas dan sarana prasarana yang memudahkan penulis untuk studi di kampus tercinta ini. 2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah

memberikan fasilitas dan kemudahan sehingga studi saya berjalan lancar. 3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah yang telah memberikan kelancaran

dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Yoyon Suryono, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi.

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya.

6. Keluarga besar Lembaga Sosial Hafara atas izin dan kerjasama dalam kegiatan penelitian ini.


(9)

ix

7. Ibu Fatonah tercinta yang telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan segala jerih payah demi penyusunan skripsi ini.

8. Kakak-kakakku dan saudara-saudaraku antara lain; Ella Syafputri P, Ika Widyati, Afifudin Zuhri, M. Ridlwan, Haniroh, Muniroh, dan semuanya yang selalu memberikan dukungan baik secara materil maupun non materil.

9. Keluarga besar PKBM Ingin Wasis yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman langsung di luar sekolah.

10.Sahabat-sahabatku yang terbaik yaitu Septi, Nuansa, Irma, Intan, Ferry, Dewi, Afifah dan Mbak Ummi yang telah memberikan masukan, motivasi, dan persahabatannya.

11.Teman-teman Jurusan Pendidikan Luar Sekolah angkatan 2011, terimakasih telah berbagi pengalaman dan cerita semasa kuliah.

12.Semua Pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tugas akhir skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat sebagaimana mestinya.

Yogyakarta, 26 November 2015


(10)

x DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Pembatasan Masalah ... 11

D. Rumusan Masalah... 11

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II KAJIAN TEORI ... 15

A. Kajian Teori ... 15

1. Kajian tentang Pemberdayaan ... 15

a. Pengertian Pemberdayaan ... 15

b. Proses Pemberdayaan ... 19

c. Strategi dan Tahap-tahap Pemberdayaan ... 21

2. Pengertian Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) ... 24


(11)

xi

b. Usaha Penanggulangan Gepeng ... 28

3. Kajian tentang Pendidikan Luar Sekolah dan Pemberdayaan Gepeng ... 29 4. Kajian tentang Usaha Ekonomi Produktif ... 32

a. Pengertian Usaha Ekonomi Produktif (UEP) ... 32

b. Faktor-Faktor Produksi dalam UEP ... 37

5. Kajian tentang Lembaga Sosial ... 39

a. Pengertian Lembaga Sosial ... 39

b. Ciri-ciri Lembaga Sosial ... 41

c. Fungsi dan Komponen Lembaga Sosial ... 44

B. Penelitian yang Relevan ... 46

C. Kerangka Berpikir ... 47

D. Pertanyaan Penelitian ... 50

BAB III METODE PENELITIAN ... 52

A. Pendekatan Penelitian ... 52

B. Setting Penelitian (Waktu dan Tempat Penelitian) ... 53

C. Subyek Penelitian ... 53

D. Teknik Pengumpulan Data ... 54

E. Instrumen Penelitian ... 58

F. Teknik Analisis Data ... 59

G. Keabsahan Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Diskripsi Lembaga Penelitian ... 62

1. Lembaga Sosial Hafara ... 62

2. Tujuan, Visi, dan Misi Lembaga ... 63

3. Sasaran dan Program-Program Lembaga ... 63

4. Sumber Dana Lembaga ... 64

B. Data Hasil Penelitian ... 65

1. Warga Binaan di Lembaga Sosial Hafara ... 65

2. Pelaksanaaan Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara ... 71


(12)

xii

a. Kegiatan Budi Daya Ikan dalam Usaha Ekonomi Produktif ... 74

b. Kegiatan Pertanian dalam Usaha Ekonomi Produktif ... 79

c. Kegiatan Usaha Warung dalam Usaha Ekonomi Produktif ... 85

3. Keberhasilan Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara ... 86

4. Dampak Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara ... 90

5. Faktor Pendukung dan Penghambat Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara ... 93 C. Pembahasan ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus Pemberdayaan Hogan ... 21 Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir ... 49 Gambar 3. Siklus Analisa Pemberdayaan Lembaga Sosial Hafara... 103


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Teknik pengumpulan data ... 57

Tabel 2. Daftar peralatan dan perlengkapan perikanan ... 77

Tabel 3. Daftar peralatan dan perlengkapan pertanian ... 82


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 122

Lampiran 2. Pedoman Dokumentasi ... 123

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 124

Lampiran 4. Catatan Lapangan ... 129

Lampiran 5. Analisis Data... 138

Lampiran 6. Hasil Dokumentasi Foto ... 150

Lampiran 7. Profil Lembaga ... 157

Lampiran 8. Stuktur Kepengurusan ... 168

Lampiran 9. Sarana Prasarana Lembaga ... 169

Lampiran 10. Hasil Pembudidayaan Ikan Lele ... 171

Lampiran 11. Data Warga Binaan ... 172


(16)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara berkembang yang mengalami permasalahan sosial di lingkungan masyarakatnya. Permasalahan sosial tersebut ditimbulkan karena ledakan penduduk di Indonesia yang mengakibatkan jumlah penduduk sangat tinggi. Menurut data sensus penduduk yang diperoleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 237.641.326 jiwa atau sekitar 237,6 juta jiwa. Jumlah penduduk di Indonesia yang banyak ini memunculkan berbagai permasalahan sosial diantaranya adalah kemiskinan.

“Kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang dialami seseorang baik akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan hidup, maupun akibat ketidakmampuan negara atau masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya” (Suharto, 2009: 16).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,59 juta jiwa atau sekitar 11,22% dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia. Penduduk miskin di Indonesia dapat digolongkan menjadi rakyat miskin karena sesuai dengan sembilan kriteria kemiskinan berdasarkan studi SMERU, Suharto (2009:16) yaitu: 1) ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (sandang, papan, pangan); 2) ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik dan mental; 3) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar,


(17)

2

gelandangan, pengemis); 4) rendahnya kualitas sumber daya manusia (buta huruf, rendahnyapendidikan dan ketrampilan) dan terbatasnya sumber daya alam; 5) rentan terhadap goncangan individual dan massal; 6) kurangnya lapangan kerja dan matapencahariaan yang memadai dan berkesinambungan; 7) ketiadaan akses kebutuhan hidup dasar (pendidikan, kesehatan); 8) ketiadaan jaminan masa depan; 9) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Faktor penyebab kemiskinan tersebut antara lain memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun mental, pendidikan yang rendah, tidak mempunyai ketrampilan untuk berusaha, dan kurang tersedianya lapangan kerja. Berdasarkan faktor tersebut, dapat dikatakan bahwa permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia erat kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan, yaitu pengangguran.

Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia pada bulan Februari 2014 mencapai 7,2 juta orang. Data ini menunjukkan bahwa masih banyak penduduk di Indonesia yang tidak bekerja/menganggur. Salah satu penyebab pengangguran adalah kemiskinan, karena penduduk miskin tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan ketrampilan secara maksimal sebagai modal mendapatkan pekerjaan, serta sebaliknya, kemiskinan terjadi karena penduduknya tidak bekerja (menganggur). Masalah pengangguran ini kemudian mengakibatkan


(18)

3

masalah sosial lainnya, yaitu munculnya gelandangan dan pengemis atau biasa disebut Gepeng.

Fenomena pengemis dan gelandangan merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan oleh keadaan kemiskinan penduduk di Indonesia. Masyarakat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya pada akhirnya memilih jalan pintas dengan cara mencari belas kasihan dari orang lain. Gelandangan sendiri menurut Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Negara Republik Indonesia No 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandang dan Pengemis pada Pasal 1 ayat (1) merupakan orang yang tidak mempunyai tempat tinggal layak, pekerjaan tetap, dan hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak sepantasnya menurut aturan dan norma kehidupan masyarakat, sedangkan pengemis dijelaskan pada ayat (2) sebagai orang yang mencari penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapat belas kasihan orang lain. Selain itu, menurut Dimas D. Irawan (2013: 5) pengemis dapat dikelompokkan menjadi dua macam tipe yaitu pengemis miskin materi dan pengemis miskin mental. Pengemis miskin materi adalah pengemis yang tidak memiliki uang atau harta, sedangkan pengemis miskin mental yaitu pengemis yang masih memiliki harta namun mental yang lemah mendorongnya untuk mengemis. Ada beberapa fakor yang menyebabkan kegiatan mengemis dilakukan yaitu karena malas berusaha, cacat fisik, pengangguran, masalah ekonomi, bahkan karena sudah menjadi tradisi turun temurun.


(19)

4

Gelandangan dan pengemis atau yang biasa disebut Gepeng ini mudah dijumpai di Indonesia salah satunya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pertumbuhan Gepeng di DIY sangatlah pesat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di DIY. Gelandangan dan pengemis (Gepeng) dapat dijumpai di setiap sudut kota di DIY. Mereka identik dengan pakaian compang-camping, kotor, dekil, dan tidak terurus. Gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang ada di DIY mayoritas berasal dari luar daerah. Gelandangan dan pengemis memilih provinsi DIY sebagai tempat mengadu nasib karena biaya hidup di DIY lebih murah, selain itu para Gepeng menghindari peraturan tentang pelanggaran terhadap gelandangan dan pengemis di daerah lain yang kala itu belum ditetapkan pemerintah DIY. Berdasarkan data dari Dinas Sosial DIY yang dilansir

oleh

orang yang terdiri atas 161 gelandangan, 191 pengemis, dan 296 gelandangan psikotik. Pertumbuhan gelandangan dan pengemis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang begitu pesat ini mendorong pemerintah untuk melakukan penanggulangan terhadap masalah ini yaitu dengan mengeluarkan dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Peraturan daerah ini merupakan langkah awal upaya pemerintah menyukseskan target DIY bebas dari gelandangan dan pengemis pada tahun 2015.


(20)

5

Selama ini keberadaan gelandangan dan pengemis (Gepeng) merugikan masyarakat dan negara. Negara dirugikan karena sumber daya manusia yang semula diharapkan dapat mandiri, produktif, dan mampu membangun negara menjadi gelandagan dan pengemis yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain, tidak mempunyai kehidupan yang layak, dan tidak dapat mencukupi kebutuhan secara mandiri, serta kehidupannya bebas yang tidak mematuhi norma-norma. Hal ini tidak sejalan dengan cita-cita nasional karena mereka menjadi beban Negara. Gepeng termasuk dalam golongan fakir miskin yang mana sesuai dengan UUD 1945 pasal 34 ayat 1 berhak mendapakan perlindungan negara. Pemerintah mempunyai kewajiban dan bertanggungjawab untuk menyelesaikan permasalahan gelandangan dan pengemis supaya mereka dapat hidup dengan layak bersama masyarakat lainnya.

Gelandangan dan pengemis mayoritas tidak mempunyai identitas yang jelas, tidak memiliki kartu pengenal dan bahkan mereka memiliki banyak “topeng” ketika berada di jalanan. Hal ini menyebabkan susahnya melakukan pendataan kependudukan. Gelandangan dan pengemis juga mempunyai pola hidup yang bebas, mereka tidak terikat oleh aturan yang ada di mayarakat, mereka membuat aturan mereka sendiri bahkan cenderung menghiraukan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat. Kehidupan gelandangan dan pengemis yang bebas membuat mereka betah berada di jalanan, mereka dapat melakukan hal-hal yang mereka inginkan meskipun itu melanggar nilai


(21)

6

dan norma, contohnya melakukan hubungan seks bebas dan suka memungut barang milik orang lain.

Keberadaan mereka diperburuk dengan terbentuknya keluarga gepeng, dimana gepeng ini dapat menjadi sebuah komunitas yang semua anggota keluarganya berprofesi sebagai gelandangan maupun pengemis. Selain itu, praktik penggelandangan dan pengemisan seperti gelandangan dengan pakaian compang-camping, kotor mengais-ais sampah untuk mencari makan, tidur sembarangan di emperan toko, jalan bahkan teras rumah orang, adapula pengemis yang meminta-minta padahal sebenarnya dia merupakan golongan orang mampu dan ada juga pengemis yang meminta belas kasihan dengan cara memaksa dapat mengganggu kenyamanan, ketertiban dan keamanan di lingkungan masyarakat, dan apabila tidak ditangani akan mengganggu stabilitas nasional.

Keberadaan gelandangan dan pengemis bukanlah tanpa alasan, keberadaan mereka disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi, psikologis, pendidikan, sosial budaya, bahkan agama. Gelandangan dan pengemis merupakan bagian dari masyarakatyang tersaing. Gelandangan dan pengemis merupakan masyarakat yang tidak berdaya, mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok, kurang memiliki kepedulian terhadap kesehatan, ketidakpedulian terhadap nilai-nilai dan norma, serta mereka masih memiliki mindset ‘tangan dibawah lebih baik’ yaitu senang meminta belas kasih orang lain tanpa mau bekerja keras. Oleh sebab itu, gelandangan dan pengemis (Gepeng) tidak seharusnya dijauhi, perlunya kepedulian dari


(22)

7

masyarakat untuk mengentaskan permasalahan gelandangan dan pengemis ini. Gelandangan dan pengemis membutuhkan bantuan, bukan bantuan uang atau barang yang langsung dikonsumsi tetapi lebih kepada bantuan perbaikan mental, pendidikan, dan pelatihan supaya mereka dapat hidup dengan layak dan mampu mengangkat derajat harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Gepeng memerlukan perbaikan mental khususnya jenis gelandangan psikotik yang mana kejiwaannya terganggu. Perbaikan bagi gelandangan dan pengemis yang sehat secara fisik dan kejiwaannya dapat dilakukan dengan cara brainwashing untuk membuka pemikiran dan merubah pola pikir Gepeng yang semula “tangan di bawah” menjadi “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, sehingga mereka dapat menghentikan pencarian nafkah melalui kegiatan menggelandang dan mengemis lalu berganti dengan cara bekerja sesuai nilai-nilai dan norma.Perbaikan mental saja tidaklah cukup untuk membantu gelandangan agar dapat hidup dengan baik dan layak. Perbaikan mental harus disertai dengan pemberian pendidikan dan pelatihan. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia dan bersifat sepanjang hayat. Pendidikan dapat dilaksanakan oleh siapa saja, dimana saja, dankapan saja. Pendidikan merupakan hak asasi seluruh umat manusia tak terkecuali bagi gelandangan dan pengemis. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan bagi gelandangan dapat ditempuh melalui pendidikan jalur non formal atau biasa disebut pendidikan non formal/pendidikan luar sekolah melalui lembaga pemerintahan maupun non


(23)

8

pemerintahan. Pendidikan dan pelatihan bagi gelandangan dan pengemis (Gepeng) sangatlah diperlukan karena dengan memperoleh pendidikan dan pelatihan, mereka dapat memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan yang dapat dijadikan modal untuk bekerja secara layak sehingga mereka mampu meningkatkan kualitas hidupnya.

Penanganan gelandangan dan pengemis tersebut sejalan dengan upaya preventif, represif, dan rehabilitatif yang tercantum dalam Peraturan Daerah provinsi DIY pasal 8 ayat (1-3) mengenai penanggulangan gelandangan dan pengemis. Upaya-upaya tersebut ditempuh melalui pelatihan ketrampilan, magang dan perluasan kesempatan kerja; peningkatan derajat kesehatan; fasilitasi tempat tinggal; peningkatan pendidikan; penyuluhan dan edukasi masyarakat; pemberian informasi melalui baliho di tempat umum; bimbingan sosial; dan bantuan sosial. Pemerintah, dalam hal ini Dinas Sosial DIY bekerjasama dengan Lembaga Sosial yang ada berusaha untuk melaksanakan upaya-upaya tersebut dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis.

Salah satu Lembaga Sosial di DIY yang bergerak dalam upaya menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah Lembaga Sosial Hafara. Lembaga Sosial Hafara pada awalnya terletak di Dusun Gonjen, Rt. 05 Rw. 17, kini lembaga tersebut berlokasi di Brajan, Tamantirto, Kasihan Bantul. Lembaga Sosial yang mempunyai kepanjangan Hadza Min Fadli Rabbi (Kemurahan Hati Tuhan) bergerak pada pelayanan terpadu dengan ranah kerja pada pengentasan, pemberdayaan, dan pembinaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Warga binaan lembaga


(24)

9

ini seluruhnya berasal dari jalanan, antara lain; pengamen, pengemis, gelandanga, eks psikotik, dan eks pecandu obat-obatan, serta anak jalanan. Lembaga Sosial Hafara saat ini memiliki 39 warga binaan, yang terdiri atas; 6 orang gelandangan dewasa, 9 orang anak jalanan, dan 24 orang eks psikotik dan eks narkoba. Sebagai upaya menanggulangi permasalahan gelandagan dan pengemis, Lembaga Sosial Hafara mempunyai berbagai pelayanan yang sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Pelayanan tersebut antara lain rumah singgah, bimbingan sosial, bimbingan belajar dan ketrampilan.

Lembaga Sosial Hafara mempunyai permasalahan dalam upaya menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis. Permasalahan yang dihadapi lembaga antara lain; gelandangan dan pengemis (gelandangan dan pengemis) baru sulit untuk beradaptasi, kurangnya kesadaran dan motivasi untuk belajar, serta gelandangan dan pengemis masih beranggapan bahwa kehidupan di jalan lebih menguntungkan dari pada di lembaga. Salah satu upaya menyelesaikan permasalahan tersebut, Lembaga Sosial Hafara melibatkan mereka dalam kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP).

Usaha Ekonomi Produktif (UEP) merupakan program pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui kegiatan usaha yang produktif. Program ini dimaksudkan untuk mengkikis asumsi gelandangan dan pengemis yang beranggapan bahwa hidup di lembaga tidak dapat memperoleh penghasilan seperti ketika hidup di jalanan. Kegiatan dalam program ini memanfaatkan


(25)

10

lahan atau pekarangan disekitar lembaga sekitar ±1000 m2 sebagai lahan produktif untuk kegiatan dibidang perikanan dan perikanan. Selain pertanian dan pertanian, ada pula usaha warung yang dikelola sendiri oleh warga binaan. Gelandangan dan pengemis berpartisipasi aktif mengelola kegiatan tersebut dengan dibekali pengetahuan dan ketrampilan cara bercocok tanam dan berternak ikan. Tanaman unggulan di Lembaga Sosial Hafara adalah papaya, sedangkan untuk perikannanya adalah Ikan Lele. Hasil pertanian dan perikanan tersebut kemudian diperjualbelikan warga binaan di pasar, kepada pengepul bahkan pada lembaga sendiri serta adapula yang di konsumsi oleh seluruh warga binaan. Hasil penjualan tersebut kemudian dibagi dua, bagi hasil untuk warga binaan Gepeng yang mengelola dan untuk kas lembaga.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti mengambil judul penelitian “Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Penanggulangan gelandangan dan pengemis (Gepeng) di DIY masih belum optimal, hal ini terbukti dengan jumlah gepeng di DIY yang mencapai 648 orang yang terdiri atas 161 gelandangan, 191 pengemis, dan 296 gelandangan psikotik.


(26)

11

2. Keberadaan gelandangan dan pengemis mengganggu ketertiban, kenyamanan, dan keamanan masyarakat karena kehidupan mereka yang bebas dan tidak mengindahkan norma-norma di dalam masyarakat.

3. Gelandangan dan pengemis tidak mandiri, tidak produktif, dan selalu meminta belas kasihan orang lain.

4. Masih terdapat kesulitan dalam menyadarkan dan mengajak gelandangan maupun pengemis untuk belajar, mendapatkan bimbingan dan pelatihan di Lembaga Sosial Hafara karena sulitnya beradaptasi.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi di atas, penelitian ini dibatasi pada pemberdayaan gelandangan dan pengemis (Gepeng) melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pembatasan masalah yang telah disampaikan, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi gelandangan dan pengemis (Gepeng) di Lembaga Sosial Hafara?

2. Bagaimana pelaksanaan kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara?

3. Apa hasil Usaha Ekonomi Produktif (UEP) bagi gelandangan dan pengemis (Gepeng) di Lembaga Sosial Hafara?


(27)

12

4. Apa dampak pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara?

5. Apa faktor penghambat dan pendukung pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui tentang kondisi gelandangan dan pengemis yang ada di Lembaga Sosial Hafara.

2. Mendiskripsikan proses pelaksanaan pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara.

3. Mengetahui keberhasilan program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara.

4. Mengetahui dampak pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara

5. Mengetahui faktor penghambat dan pendukung pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif di Lembaga Sosial Hafara.


(28)

13 F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan atau informasi mengenai pemberdayaan masyarakat. Selain itu juga dapat membantu dalam kajian-kajian penelitian mengenai gelandangan dan pengemis, serta untuk menambah kepustakan penelitian agar dapat menjadi sumber penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Peneliti dapat memahami dan membantu menambah ilmu pengetahuan, wawasan menegenai pemberdayaan gelandangan dan pengemis yang dilaksanakan di Lembaga Sosial Hafara. Selain itu juga peneliti dapat mengimplementasikan ilmu dan mendapat pengalaman melalui kegiatan selama penelitian.

b. Bagi Lembaga Sosial Hafara

Penelitian ini dapat berkonstribusi dalam mengembangkan program pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif yang telah berjalan. Penelitian ini juga dapat membantu mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan sehingga dapat memberi masukan yang membangun bagi kegiatan Usaha Ekonomi Produktif di Lembaga Sosial Hafara.


(29)

14 c. Bagi Praktisi Pendidikan

1) Penelitian ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai pemberdayaan bagi gelandangan dan pengemis melalui kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

2) Penelitian ini dapat memberikan konstribusi dalam pengembangan ilmu pendidikan luar sekolah terkait dengan pemberdayaan masyarakat.

3) Penelitian ini dapat menjadi referensi atau bahan kajian bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP)


(30)

15 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Kajian tentang Pemberdayaan a. Pengertian Pemberdayaan

Pemberdayaan identik dengan ketidakpunyaan apa-apa, tidak bisa apapun, atau tidak berdaya. Pemberdayaan menurut Sulistiyani (2004: 77) secara estimologis berasal dari kata “daya” yang berarti kekuatan, kekuasaan dan kemampuan, yaitu sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh kekuasaan/kekuatan/kemampuan. Pemberdayaan juga dapat berarti sebuah proses pemberian daya atau kekuatan kepada pihak yang tidak bisa apa-apa (Marzuki, 2010: 88). Sedangkan dalam bahasa Inggris, pemberdayaan disebut empowerment dan memberdayakan disebut empower. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary dalam Guntur (2009: 3), ada dua pengertian empower yaitu:

1) to give power or authority, artinya memberikan kekuatan atau otoritas kepada pihak yang belum atau kurang berdaya

2) to give ability to or enable , artinya memberikan kemampuan atau keberdayaan sebagai wujud kekuatan/daya untuk hidup mandiri.

Korten dalam Soetomo (2010: 404) juga mengartikan kekuatan/kekuasaan atau power yang diberikan dalam proses pemberdayaan sebagai suatu kemampuan untuk mengubah kondisi masa depan dengan menggunakan


(31)

16

tindakan dan pengambilan keputusan dimana dalam proses pembangunan dapat diartikan sebagai penguasaan atau kontrol terhadap sumber daya, pengelolaannya, hasil, dan manfaat yang diperoleh.

Selain pengertian di atas, beberapa ahli juga memberikan pengertian pemberdayaan sebagai berikut.

1) A.M.W. Pranarka dan Vidhyadika Moelyarto

Konsep pemberdayaan merupakan bagian dari upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia dalam suatu kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab (Guntur, 2009: 169).

2) Hulme dan Turner

Pemberdayaan merupakan pendorong terjadinya proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal dan nasional (Guntur, 2009: 169).

3) Sumodiningrat

Pemberdayaan adalah suatu pemberian energi bagi yang belum atau kurang berdaya agar yang bersangkutan mampu bergerak secara mandiri (Sulistiyani, 2004: 78).

4) Winarni

Inti dari pemberdayaan adalah meliputi tiga hal yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian (Sulistiyani, 2004: 79).

5) Payne

Pemberdayaan membantu klien (orang yang tak berdaya) mendapatkan kekuatan/daya dalam mengambil keputusan dan tindakan mengenai hidup mereka sendiri termasuk mengurangi hambatan sosial maupun personal, untuk itu mereka melakukan peningkatan daya dan kepercayaan diri untuk menggunakan daya yang telah mereka miliki (Adi, 2008:78).

6) Sharlow

Pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas, berusaha untuk mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan membentuk masa depan sesuai yang mereka inginkan (Adi, 2008:78).


(32)

17 7) Biestek

Pemberdayaan sama halnya dengan prinsip “Self-Determination” yang dalam bidang pendidikan ilmu kesejahteraan sosial diartikan sebagai prinsip yang mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan dalam usaha untuk mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk masa depannya (Adi, 2008:78).

Pemberian daya dilakukan oleh pihak yang berdaya atau yang memiliki kemampuan/kekuasaan kepada pihak yang lemah. Menurut Edi Suharto (2010: 58-60) pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Pemberdayaan sebagai tujuan lebih merujuk pada hasil yang dicapai oleh sebuah perubahan sosial. Pemberdayaan mengarah pada pemberian kekuatan atau kemampuan kepada kelompok lemah agar mampu;

a) Memenuhi kebutuhan dasar. Kelompok lemah memiliki kebebasan, yaitu bebas mengemukakan pendapat, bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan.

b) Menjangkau sumber-sumber produktif yang dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang-barang atau jasa yang diperlukannya.

c) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempegaruhi.

Ife (Suharto, 2010: 59) juga menambahkan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci yaitu kelompok lemah dan kekuasaan atas hal-hal sebagai berikut.

1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup, yaitu kemampuan membuat keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, dan pekerjaan

2) Pendefinisian kebutuhan, yaitu kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan keinginannya.

3) Ide dan gagasan, yaitu kemampuan mengekspresikan gagasan secara bebas tanpa tekanan dalam suatu forum/diskusi.


(33)

18

4) Lembaga-lembaga, yaitu kemampuan menjangkau, menggunakan, mempengaruhi, pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga sosial, pendidikan, kesehatan.

5) Sumber-sumber, yaitu kemampuan memobilisasi smber-sumber formal, informal, dan kemasyarakatan.

6) Aktivitas ekonomi, yaitu kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa. 7) Repoduksi, yaitu kemampuan yang berkaitan dengan proses

kelahiran,perawatan anak, pendidikan, dan sosialisasi.

Pemberdayaan mempunyai banyak pandangan (multiple interpretation) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Isbandi R. Adi (2008:79) menuturkan bahwa intrepertasi satu dengan yang lainnya belum tentu sama karena pemberdayaan itu bervariasi seperti pemberdayaan yaitu pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan sosial budaya, pemberdayaan lingkungan, pemberdayaan kesehatan, dan sebagainya. Varian pemberdayaan terbentuk berdasarkan tujuan pembangunan masing-masing tempat. Meskipun demikian, berbagai macam bentuk pemberdayaan yang bervariasi tersebut dapat dipadukan dan saling melengkapi untuk menciptakan suatu kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dengan menyinergikan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga yang ada baik lembaga pemerintah (GOs) maupun non pemerintah (NGOs) selain itu juga dapat menyinergikan pemberdayaan berdasarkan bidang yang berbeda.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka pemberdayaan dapat diartikan suatu pemberian daya atau kekuatan melalui proses secara bertahap bagi individu maupun masyarakat yang belum atau kurang berdaya berdasarkan atas kesadaran sendiri maupun melalui


(34)

19

pemberian bantuan pihak lain (lembaga GO maupun NGOs) agar mendapatkan pengetahuan, mampu memperbaiki sikap, dan menambah ketrampilan yang dapat digunakan dalam membantu mengambil keputusan dan tindakan terkait hidupnya sehingga mereka mampu hidup secara mandiri dan mampu meraih masa depan sesuai yang mereka inginkan.

b. Proses Pemberdayaan

Pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai proses. Menurut Edi Suharto (2010: 59) Pemberdayaan sebagai proses adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk pihak yang mengalami permasalahan kemiskinan. Pemberdayaan merupakan bagian dari pendidikan yang di dalamnya terdapat proses satau tahapan yang sisitematis. Tujuan proses pengembangan dan pemberdayaan manusia menurut Suyono dalam Marzuki (2010: 88) adalah:

“Proses pengembangan manusia agar memiliki kapasitas penuh, memiliki pilihan-pilihan yang lebih luas dan kesempatan yang lebih besar sehingga mereka dapat mencapai kehidupan yang lebih bermartabat dan lebih makmur”.

Menurut Sulistiyani (2004: 77) proses pemberdayaan dilakukan dengan pemberian knowledge, attitude, practice (KAP). Knowledge berarti menguasai ilmu pengetahuan, attitude yaitu mewujudkan sikap-perilaku sadar, dan practice adalah pemberian pelatihan kecakapan-ketrampilan kepada pihak-pihak yang belum atau kurang memiliki kemampuan atau daya.


(35)

20

Keberadaan pemberdayaan sendiri dibagi menjadi dua yaitu pemberdayaan masyarakat sebagai program dan sebagai suatu proses. Menurut Isbandi (2008: 84), pemberdayaan sebagai program lebih mengarah seperti proyek karena dilihat dari tahapan-tahapannya, kegiatan yang dilakukan hanya untuk mencapai tujuan berdasarkan jangka waktu tertentu. Pemberdayaan sebagai program seringkali berhenti setelah waktu yang ditentukan telah terpenuhi. Sedangkan pemberdayaan sebagai proses merupakan suatu kegiatan pemberdayaan yang berkesinambungan dan berkelanjutan sepanjang hidup (on going process) individu maupun masyarakat baik yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah (GO) maupun lembaga non pemerintah (NGOs). Proses pemberdayaan ini tidak hanya terpaku pada suatu program tetapi kegiatan terus berlanjut sejalan dengan kemauan untuk mengubah dan memberdayakan diri. Hogan dalam Isbandi R. Adi (2008: 85) mengungkapkan bahwa proses pemberdayaan yang berkesinambungan merupakan suatu siklus yang bertahap seperti gambar berikut.


(36)

21

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pemberdayaan dibagi menjadi dua yaitu pemberdayaan sebagai program dan sebagai proses. Pemberdayaan dilakukan secara sistematis sesuai tahapan-tahapan yang telah ditentukan untuk memberikan pengetahuan, perbaikan sikap, dan ketrampilan bagi individu maupun kelompok masyarakat tuna daya agar menjadi berdaya.

c. Strategi dan Tahap-tahap Pemberdayaan

Pemberdayaan bertujuan untuk mewujudkan suatu individu dan atau masyarakat yang mandiri, menurut Parsons et.al (Suharto, 2010: 66) dalam prosesnya pemberdayaan memiliki tiga araz atau matra pemberdayaan (empowerment setting) yang dapat digunakan yaitu sebagai berikut.

Menghadirkan pengalaman yang memberdayakan dan tidak memberdayakan

Mendiskusikan alasan terjadi pemberdayakan dan

ketidakberdayakan Mengembangkan

rencana aksi dan implementasi

Mengidentifikasi masalah atau proyek Mengidentifikasi

kekuatan yang dapat digunakan untuk melakukan perubahan


(37)

22

1) Araz Mikro atau pendekatan berpusat pada tugas (task centered approach), yakni pemberdayaan yang dilakukan melalui bimbingan, konseling yang tujuan utamanya membimbing dan melatih pihak lemah dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.

2) Araz Mezzo, yakni pemberdayaan menggunakan kelompok sebagai media intervensi seperti pendidikan, pelatihan, dinamika kelompok yang bertujuan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan serta sikap agar mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi

3) Araz Makro atau Strategi Sistem Besar (large-system strategy), yakni pemberdayaan yang sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas.

Selain strategi, dalam mencapai tujuan pemberdayaan ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut (Sulistiyani, 2004: 77).

a) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku sadar dan peduli.

Tahap ini ditujukan untuk menumbuhkan perasaan membutuhkan peningkatan kapasitas diri. Tahap ini pula merupakan tahap persiapan di mana pihak/aktor pemberdayan berusaha menciptakan pra kondisi agar dapat menfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Penyadaran ini akan lebih membuka keinginan dan kesadaran individu maupun masyarakat tentang kondisinya dan akan merangsang mereka untuk sadar akan pentingnya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang


(38)

23

lebih baik (adanya kesadaran untuk belajar dan terbuka merasa membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan untuk memperbaiki kondisi)

b) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan dan kecakapan – ketrampilan.

Tahap ini mengupayakan agar tuna daya mendapatkan wawasan dan ketrampilan dasar agar mereka dapat berperan dalam pembangunan. Jika tahap pertama terkondisi dengan baik, tahap kedua ini juga akan berjalan dengan baik. Pada tahap ini masyarakat menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan/ketrampilan yang relevan atau sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Tahap ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan ketrampilan dasar yang mereka butuhkan. Masyarakat pada tahap ini hanya dapat memberikan peran partisipatif pada tingkat yang lebih rendah yaitu sekedar menjadi pengikut atau objek pembangunan saja, belum mampu menjadi subyek pembangunan.

c) Tahap pengembangan kemampuan intelektual, kecakapan – ketrampilan yang membentuk inisiatif dan kemampuan inovatif.

Tahap ini adalah tahap pengayaan atau peningkatan intelektual dan kecakapan ketrampilan yang diperlukan agar dapat membentuk kemampuan mandiri. Kemandirian tersebut akan ditandai oleh kemampuan masyarakat dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan, dan sesuai dengan konsep pembangunan masyarakat dalam kondisi ini dapat


(39)

24

didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam proses pemberdayaan memerlukan strategi yang dibagi menjadi tiga yaitu araz mikro, mezzo, dan makro. Selain itu, juga harus melalui tahap-tahap pemberdayaan yang dibagi menjadi tiga tahapan yang saling mempengaruhi dan berkesinambungan. Tiga tahap tersebut dimulai dari penyadaran, kemudian dilanjutkan tahap transformasi kemampuan, dan diakhiri oleh peningkatan kemampuan intelektual. Ketiga tahap pemberdayaan tersebut pada akhirnya dilaksanakan untuk satu tujuan yaitu memberdayakan masyarakat agar mampu menjalani dan mencukupi kebutuhan hidupnya secara mandiri.

2. Pengertian Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)

Gepeng merupakan singkatan dari pengemis dan gelandangan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1980 tentang penanganan gelandangan dan pengemis pada pasal 1 ayat (2) maupun menurut Perda DIY Nomor 1 tahun 2014 tentang penanganan gelandangan dan pengemis pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan cara meminta-minta di depan umum dengan berbagi cara dan mengharapkan belas kasihan orang lain. Menurut Dimas D. Irawan (2013: 5) dalam bukunya Pengemis Undercover membagi pengemis menjadi dua tipe yaitu pengemis miskin materi dan pengemis miskin mental.


(40)

25

Pengemis yang miskin materi melakukan kegiatan mengemis karena memiliki keterbatasan seperti cacat dan tidak mempunyai harta benda untuk mencukupi kebutuhannya. Sedangkan pengemis miskin mental adalah pengemis yang dimungkinkan masih memiliki harta benda tetapi mereka malas untuk bekerja dan memilih jalan pintas yang instan untuk mendapatkan uang.

Gelandangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1980 pasal 1 ayat (2) dan Perda DIY Nomor 1 tahun 2014 pasal 1 ayat (2 dan 3) menyatakan bahwa gelandangan adalah orang-orang yang hidupnya dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak di dalam masyarakat setempat, serta mereka tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tidak tetap di wilayah tertentu, serta mengembara di tempat yag umum. Gelandangan juga terbagi menjadi dua jenis yaitu gelandangan dan gelandangan psikotik. Gelandangan biasa seperti yang telah disebutkan pengertiannya di atas yaitu orang yang hidupnya mengembara, tidak mempunyai tempat tinggal (tunawisma) dan tidak mempunyai pekerjaan tetap. Mereka cenderung hidup tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat tempat mereka berada. Gelandangan psikotik tidak jauh berbeda dengan gelandang pada umumnya, perbedaannya terletak pada kondisi kejiwaan yang dimiliki. Menurut Tursilarini (2008) gelandangan psikotik adalah seseorang yang mengalami gangguan yang berat dan komplit baik secara fisik, mental, sosial dan psikologis. Gelandangan psikotik juga kehilangan perasaan sosial, rasa kemanusian, dan ketuhanan.


(41)

26

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Gepeng merupakan singkatan dari gelandagan dan pengemis, keduanya merupakan orang-orang yang hidup tidak layak yaitu tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Gelandangan memiliki hidup berpindah-pindah, tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap. Berbeda dengan gelandangan, pengemis masih memiliki tempat tinggal tetapi pendapatan yang mereka dapat dengan cara meminta-minta belas kasihan orang lain di tempat umum. Gelandangan dan pengemis sama-sama terbagi menjadi dua jenis atau tipe. Gelandangan dibagi menjadi gelandangan biasa dan gelandangan psikotik, sedangkan pengemis dibagi menjadi pengemis miskin materi dan pengemis miskin mental.

a. Faktor Penyebab Timbulnya Gepeng

Keberadaan Gepeng (gelandangan dan pengemis) ditimbulkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Dimas (2013: 7-22), faktor yang mempengaruhi munculnya kegiatan mengemis antara lain; korban perantauan dengan modal nekad, malas berusaha, memiliki cacat fisik (disabilitas fisik), mahalnya biaya pendidikan, kurangnya lapang kerja, tradisi turun menurun, paham lebih memilih mengemis daripada menganggur, ketidakberdayaan, terlilit masalah ekonomi, dan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan pokok yang mahal harganya.

Menurut Twikromo (1999: 2) kehidupan gelandangan dipandang sebagai kehidupan yang tidak sebenarnya diinginkan, tetapi lebih sebagai korban keadaan dimana kurangnya “ruang” di daerah perkotaan yang


(42)

27

memaksa mereka menjadi gelandangan untuk bertahan hidup. Ada beberapa faktor eksternal dan internal yang menyebabkan semakin bertambahnya gelandangan. Menurut Widiyanto (1986: 121) Faktor internal (dalam) meliputi; sifat malas atau tidak mau bekerja, lemahnya mental, cacat secara fisik dan atau secara mental, sedangkan faktor eksternal (luar) terdiri dari beberapa faktor sebagai berikut;

1) Faktor ekonomi, meliputi; kurangnya lapangan kerja, kemiskinan, pendapatan rendah sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup. 2) Faktor sosial karena adanya arus urbanisasi, ketidakmampuan bersaing di

daerah perantauan serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial.

3) Faktor pendidikan yaitu rendahnya pedidikan yang mengakibatkan kurangnya ilmu pengetahuan dan ketrampilan.

4) Faktor psikologis yaitu mengalami gangguan psikologis karena kejadian masa lalu dan keadaan disekitarnya.

5) Faktor kultural; pasrah terhadap nasib dan adat istiadat yang menghambat mental

6) Faktor agama; kurangnya bimbingan keagamaan yang mengakibatkan hilangnya rasa kemanusiaan dan ketuhanan sehingga mereka tidak mau berusaha, cepat putus asa dalam menghadapi cobaan.

7) Faktor lingkungan; kehidupan bebas tanpa aturan di lingkungan gelandangan mengakibatkan pembibitan gelandangan bagi mereka yang telah berkeluarga/mempunyai anak.


(43)

28

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan gelandangan dan pengemis (Gepeng) disebabkan karena berbagai faktor yang mempengaruhi mulai dari faktor dari dalam(internal) dan dari luar (eksternal) dalam bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, psikologis.

b. Usaha Penanggulangan Gepeng

Guinnes (Twikromo, 1999: 3) menyebutkan bahwa gelandangan dianggap sebagai seseorang licik, tidak dapat dipercaya, menggangu ketertiban, sampah masyarakat, dan tidak mempunyai rasa kesusilaan hanya karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal dan sarana hidup yang tetap. Pandangan negatif ini memunculkan usaha penanggulangan baik gelandangan maupun pengemis. Usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis (Gepeng) sudah diatur dalam peraturan perundangan, baik melalui peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Penanggulangan ini bertujuan agar tidak terjadi lagi kegiatan pengegelandangan dan pengemisan, mencegah semakin maraknya gelandangan dan pengemis, dan memasyarakatkan kembali mereka menjadi anggota masyarakat serta memberdayakan mereka supaya dapat hidup dengan layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Penanggulangan gelandangan dan pengemis diatur dalam peraturan pemerintah nomor 31 tahun 1980. Sedangkan dalam peraturan daerah seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dalam Perda Nomor 1 tahun 2014. Penanggulangan gelandangan dan pengemis pada intinya dibagi menjadi tiga bentuk usaha yang dilakukan secara terorganisir sebagai berikut.


(44)

29 1) Usaha preventif

Usaha ini meliputi; penyuluhan, bimbingan, latihan, pemberian bantuan, pengawasan, dan pembinaan lanjutan.

2) Usaha represif

Usaha ini dilakukan untuk menghilangkan pergelandangan dan pengemisan serta mencegah perluasannya di masyarakat. Usaha ini meliputi; razia, penampungan sementara untuk diseleksi dan pelimpahan. 3) Usaha rehabilitatif

Usaha ini bertujuan agar gelandangan dan pengemis memiliki kembali kemampuan untuk hidup secara layak sesuai harkat dan martabat manusia. Usaha ini meliputi; penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke masyarakat, pengawasan, dan pembinaan lanjutan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penanggulangan gelandangan dan pengemis pada intinya dapat dilakukan dengan tiga bentuk usaha yang dilakukan secara terorganisir yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yaitu melalui usaha preventif, represif, dan rehabilitasi, termasuk di dalamnya adalah kegiatan pemberdayaan.

3. Kajian tentang Pendidikan Luar Sekolah dan Pemberdayaan Gepeng Gelandangan dan pengemis (Gepeng) merupakan salah satu golongan atau kelompok lemah yang tidak berdaya. Ketidakberdayaan Gepeng ini dikarenakan faktor internal seperti malas berusaha, pendidikan yang rendah, mempunyai mental yang lemah, dan cacat fisik maupun mental, sedangkan


(45)

30

faktor eksternal seperti kurangnya lapangan kerja, dan adanya pandangan negatif dari masyarakat mengenai kehidupan Gepeng, sehingga Gepeng tidak dapat dipercaya dan dipandang sebelah mata kehadirannya.

Menurut Edi Suharto (2010: 60) kelompok lemah dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok sebagai berikut.

a. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.

b. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak, remaja, penyandang cacat, dan masyarakat terasing.

c. Kelompok lemah secara personal yaitu mereka yang mengalami masalah pribadi atau keluarga.

Berdasarkan pengkategorian tersebut, Gepeng jelas sekali merupakan kelompok lemah karena secara struktural berada di kelas paling rendah, secara khusus Gepeng adalah kelompok yang diasingkan oleh masyarakat, mereka mengalami diskriminasi karena perilaku mereka yang tidak umum sesuai nilai dan norma yang berlaku. Masyarakat menganggap tingkah laku mereka meyimpang karena tidak bekerja semestinya, meminta-minta, berpenampilan compang-camping, dan tidak mempunyai tempat tinggal, serta ada pula yang cacat secara mental dan/atau fisik. Oleh sebab itu, Gepeng sebagai kelompok lemah perlu untuk diberdayakan melalui usaha-usaha baik preventif, represif, dan rehabilitatif.

Usaha-usaha pemberdayaan Gepeng di atas dapat dilaksanakan melalui program-program pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah atau biasa disebut pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang kegiatannya dilakukan secara terorganisir, sistematis dan mandiri di luar sistem persekolahan yang sengaja diselenggarakan untuk melayani warga belajar


(46)

31

atau peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya (Sudjana, 2001: 22). Program pendidikan luar sekolah dapat membantu pemberdayaan Gepeng karena program-program pemberdayaannya bersifat nonformal, memiliki tujuan, terorganisir, diselengarakan di lingkungan lembaga, dan untuk melayani kebutuhan belajar khusus para Gepeng tersebut.

Menurut Djuju Sudjana (2001: 220-222) Pendidikan Luar Sekolah memiliki komponen, proses, dan tujuan. Komponen yaitu input (masukan) yaitu lingkungan, sarana, dan warga belajar atau peserta didik. Warga belajar atau peserta didik dalam program pendidikan luar sekolah dimulai dari anak usia dini hingga dewasa. Proses pembelajaran dalam kegiatannya menggunakan pendekatan yang bervariasi seperti pendagogi (anak) dan andragogi (dewasa), dilaksanakan secara fleksibel yaitu waktu dan tempat sesuai dengan keinginan warga belajar. Sedangkan tujuan pendidikan dibagi dua yaitu output (keluaran) dan impact (dampak). Tujuan kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan individu atau komunitas. Hal ini juga menunjukkan bahwa pendidikan luar sekolah berasaskan pendidikan sepanjang hayat (life long education) yang mampu mencakup semua kalangan tidak terkecuali Gepeng itu sendiri. Penerapan asas pendidikan sepanjang hayat dalam mengembangkan pendidikan luar sekolah memiliki tujuan sebagai berikut.

1) Memanfaatkan hasil program kegiatan untuk meningkatkan taraf hidup warga belajar atau peserta didik seperti pendapatan, kesehatan, pekerjaan, pembelajaran orang lain, dan keikutsertaan dalam pembangunan.

2) Meningkatkan kemampuan diri yang telah dimiliki sesuai dengan tuntutan perubahan yang lebih maju.


(47)

32

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Gepeng termasuk dalam kelompok lemah yang tidak berdaya sehingga perlu untuk diberdayakan. Pemberdayaan Gepeng ini dapat diselenggarakan dengan pendidikan luar sekolah yaitu melalui program-program yang bersifat nonformal. Pelaksanaan kegiatan dalam program tersebut disesuaikan dengan komponen, proses, dan tujuan pemberdayaan Gepeng yang ingin dicapai.

4. Kajian tentang Usaha Ekonomi Produktif a. Pengertian Usaha Ekonomi Produktif

Usaha ekonomi produktif terdiri dari merupakan suatu kegiatan yang melibatkan dua unsur utama yaitu ekonomi dan produktivitas. Berikut pengertian masing – masing unsur.

1) Pengertian Ekonomi

Istilah “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani oikonomia yang terdiri dari dua suku kata yaitu oikos dan nomos. Oikos berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pengelolaan ladang, sedangkan nomos berarti peraturan atau undang-undang (Haryanto, 2011:15). Berdasarkan istilah tersebut dapat diartikan bahwa ekonomi adalah suatu kegiatan pengelolaan ladang yang diatur oleh aturan perundang-udangan.

Menurut Michael Parkin (2008: 02), inti dari pengertian ekonomi adalah suatu ilmu sosial yang mempelajari tentang pilihan-pilihan yang individu, perusahaan, pemerintahan dan seluruh masyarakat buat untuk


(48)

33

menangani kelangkaan dan sebagai perangsang yang mempengaruhi dan menerima pilihan-pilihan tersebut.

“Economics is the social sciene that studies the choices that individuals, business, government, and entire societies make as they cope with scarcity and the intentives that influence and reconcile those choices”.

Michael Parkin juga membagi subyek ekonomi menjadi dua bagian utama yaitu; mikro ekonomi (microeconomic) dan makro ekonomi (macro economic). Mikro ekonomi adalah studi tentang pilihan-pilihan yang dibuat oleh individu maupun perusahaan, sebagai cara agar pilihan yang diambil dapat berinteraksi di pasar dan mempengaruhi pemerintahan/politik. Makro ekonomi adalah studi tentang performa atau kinerja ekonomi nasional dan ekonomi global. Aktivitas ekonomi meliputi kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Aktivitas atau kegiatan ekonomi akan menghasilkan barang dan jasa yang mampu mencukupi kebutuhan dan untuk memuaskan keinginan manusia.

Ekonomi mempengaruhi pembangunan. Menurut, Budiman Arief (1995: 8-11) pembangunan yang berhasil ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan, yakni tidak adanya kerusakan sosial dan kerusakan alam yang diakibatkan oleh produktivitas kegiatan ekonomi tersebut. Ilmu ekonomi sendiri dibagi menjadi beberapa cabang yaitu sebagai berikut.

a) Ekonomi Tradisional, adalah ilmu ekonomi yang membahas pembangunan dalam pengertian material, yaitu membahas pengelolaan


(49)

34

berbagai sumber daya baik material maupun manusia supaya dapat menyejahterakan masyarakat.

b) Ekonomi politik, adalah ilmu ekonomi yang membahas hubungan politik dan ekonomi, dengan tekanan pada peran kekuasaan dalam pengambilan keputusan ekonomi.

c) Ekonomi pembangunan, merupakan ilmu ekonomi yang membahas mengenai perubahan struktural dan institusional yang cepat, baik disektor pemerintahan maupun swasta dan meliputi seluruh masyarakat supaya hasil-hasil pembangunan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien (Todaro dalam Arief Budiman, 1995).

Pembangunan memiliki pembagian kerja atau tahapan-tahapan dalam pencapaiannya. Arief Budiman (1995: 25-36) menyebutkan beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut.

1. W.W. Rostow

Menurut Rostow, pembangunan merupakan proses yang bergerak seperti garis lurus, dari masyarakat keterbelakang menjadi masyarakat maju. Ada 5 (lima) tahap dalam proses pembangunan sebagai berikut. a. Masyarakat tradisional, ciri-cirinya: masih percaya kekuatan di luar

kekuasaan manusia,tunduk pada alam, produksi terbatas, masyarakat bersifat statis (kemajuan lambat), produksi dipakai konsumsi, dan tidak ada investasi.

b. Prakondisi untuk lepas landas, biasanya terjadi akibat campur tangan dari luar yakni dari masyarakat yang lebih maju. Pada tahap ini


(50)

35

masyarakat tradisional mulai mengembangkan ide pembaharuan yang dianggap baik, adanya usaha meningkatkan tabungan yang kemudian digunakan untuk melakukan investasi pada sektor produktif yang menguntungkan.

c. Lepas landas, ciri-cirinya: tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional atau lebih, berkembangnya industri baru, muncul teknik baru dalam pertanian, dan pertanian menjadi usaha komersial bukan sekedar untuk dikonsumsi.

d. Bergerak ke kedewasaan, ciri-cirinya: industri berkembang dengan pesat, produksi yang hasilkan bukan hanya barang konsumsi tetapi juga barang modal.

e. Jaman konsumsi masal yang tinggi,ciri-cirinya: investasi untuk meningkatkan produksi bukan tujuan utama, surplus ekonomi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan dana sosial, pembangunan sudah menjadi proses berkesinambungan yang menopang kemajuan secara terus menerus.

2. Alex Inkeles dan David H. Smith.

Menurut Alex Inkeles dan David H. Smith, pembangunan bukan sekedar pemasok modal dan teknologi tetapi juga membutuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material menjadi produktif, oleh sebab itu membutuhkan ‘manusia modern’. Ciri-ciri manusia modern:


(51)

36

keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi pada masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia bisa menguasai alam. Manusia modern dapat dicapai oleh manusia melalui; pemberian lingkungan yang tepat, pemberian pendidikan, dan pengalaman kerja di tempat modern, serta pengenalan terhadap media massa.

Berdasarkan dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi adalah suatu kegiatan yang meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi yang dilakukan oleh individu, perusahaan, pemerintah maupun masyarakat melalui pengambilan keputusan atas pilihan-pilihan yang mampu menyelesaikan masalah kelangkaan dan memberikan rangsangan yang mempengaruhi tindakan lainnya. Ekonomi merupakan suatu ilmu sosial yang dibagi menjadi dua yaitu mikro ekonomi dan makro ekonomi, serta merupakan bagian pokok yang mempengaruhi pembangunan suatu masyarakat dan negara.

2) Pengertian Produktivitas

Menurut ensiklopedi Amerika dalam Alma (2013: 85) Produktivitas dalam ekonomi dapat diartikan sebagai suatu term untuk mendiskripsikan sebaik mana atau se-efisiensi mana sebuah sumber daya ekonomi digunakan dalam proses produksi. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Malayu S.P Hasibuan ( 2007: 128) bahwa:

“Produktivitas merupakan perbandingan antara keluaran dan masukan serta mengutarakan cara pemanfaatan baik terhadap sumber-sumber dalam memproduksi suatu barang dan jasa”.


(52)

37

Sedangkan menurut Ravianto (1986: 35) produktivitas selain sebagai campuran produksi dan aktivitas pemanfaatan faktor-faktor produksi dan sebagai ukuran efisiensi dan nilai daya produksi, produktivitas juga diartikan sebagai sikap mental dan keyakinan untuk memperbaiki diri dengan cara berusaha menyesuaikan aktivitas ekonomi secara terus menerus terhadap kondisi yang berubah.

Produktivitas mempengaruhi pola pikir individu maupun masyarakat. Individu atau masyarakat yang mampu meningkatkan produktivitasnya akan membentuk pola pikir positif dan karater produktif. Menurut Rhenald Khasali, dkk (2010: 25) karakter produktif ini ditunjukkan dengan melakukan usaha mencari cara baru untuk meningkatkan kegunaan sumber daya produktif atau faktor-faktor produksi yang terbatas atau langka secara efektif dan efisien.

Berdasarkan pengertian unsur-unsur tersebut, maka usaha ekonomi produktif dapat diartikan sebagai suatu aktivitas ekonomi yang dilakukan dengan penuh keyakinan dan secara terus menerus melalui berbagai cara untuk meningkatkan pemanfaatan nilai-nilai dari faktor-faktor produksi (sumber daya produktif) secara efektif dan efisien sehingga dapat menghasilkan barang dan/atau jasa yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup.

b. Faktor-faktor Produksi dalam Usaha Ekonomi Produktif

Kegiatan ekonomi menghasilkan barang dan/atau jasa. Barang maupun jasa tersebut diproduksi dengan menggunakan sumber daya produktif yang


(53)

38

disebut faktor-faktor produksi. Michael Parkin (2008: 3-4) membagi faktor produksi menjadi 4 katagori yaitu sebagai berikut.

1) Land atau tanah

Tanah menggambarkan sumber daya alam (SDA). Sumber daya alam dibagi menjadi beberapa tipe seperti sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui, sumber daya alam yang cepat habis maupun yang dapat daur ulang.

2) Labor atau tenaga kerja

Faktor produksi ini disebut juga dengan sumber daya manusia (SDM). Kualitas sumber daya ini tergantung pada modal yang manusia miliki baik secara psikologis dan mental maupun dilihat dari kepemilikan pengetahuan dan ketrampilan yang didapatkan melalui pendidikan, magang, dan pengalaman bekerja.

3) Capital atau modal

Modal disini bukanlah uang tetapi merupakan peralatam, perlengkapan, sarana prasarana (gedung, bangunan) yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa.

4) Entrepreneurship atau kewirausahaan

Kewirausahaan merupakan hasil dari pengorganisasian tiga faktor produksi lainnya yaitu SDA, SDM, dan modal. Wirausaha ini memunculkan ide-ide atau gagasan baru tentang apa yang diproduksi dan bagaimana cara memproduksi, serta gagasan tersebut digunakan untuk membantu


(54)

39

membuat keputusan, dimana resiko keputusan yang diambil mampu dipikulnya.

Berdasarkaan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa usaha ekonomi produktif memerlukan atau tidak lepas dari sumber daya produktif yang disebut juga faktor-faktor produksi dalam menjalankan kegiatannya. Adapun faktor produksi tersebut antara lain sumber daya alam (land), manusia (labor), modal (capital), dan kewirausahaan (entrepreneurship).

5. Kajian tentang Lembaga Sosial a. Pengertian Lembaga Sosial

Secara umum, lembaga dilahirkan dari suatu perbuatan (usage) yang menjadi kebiasaan (folkways), kebiasaan tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah tata kelakuan (mores), dan bila dalam perkembangannya tata kelakuan ini tumbuh sempurna dengan disertai norma-norma dan saksi akan menjadi suatu adat istiadat (customs). Secara sosiologis, lembaga diartikan sebagai suatu format yang mantab, stabil, terstruktur dan mapan. Lembaga juga merupakan suatu jaringan sarana hidup yang berisi peranan yang menjalankan fungsi masyarakat secara terus menerus dan berulang-ulang. Selain itu, lembaga adalah wujud kristalisasi dari aksi-aksi dan kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman hidup yang menunjuk pada pola perilaku yang mapan, sebagian kalangan mengartikan sebagai kumpulan cara berbuat untuk mengatur stabilitas hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Lembaga berbeda dengan organisasi. Lembaga dapat diartikan sebagai aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, sedangkan


(55)

40

organisasi adalah kesatuan sosial yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan keluarga, perusahaan, kantor-kantor yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumber daya. Meskipun demikian, lembaga mencakup segala aturan perilaku manusia dalam hubungan sosial dengan tidak meninggalkan unsur-unsur dalam organisasi (Anwar dan Adang, 2013:198).

Anwar dan Adang (2013:198) memaparkan pengertian lembaga sosial menurut para ahli sebagai berikut.

1) Alvin L. Bertarand

Lembaga atau institusi sosial pada hakikatnya adalah kumpulan dari norma-norma sosial yang telah diciptakan untuk dapat melaksanakan fungsi masyarakat.

2) P.J. Bouman

Lembaga adalah bentuk –bentuk perbuatan dalam kelompok yang dilestarikan oleh kultur dan transfer-kultur.

3) Soedjito Sosrodiharjo

a) Lembaga sosial adalah pranata yang mengatur hubungan antar manusia di dalam bermasyarakat dan menangani kepentingan-kepentingan tertentu.

b) Lembaga sosial adalah wadah atau organisasi untuk memberikan kekuatan kepada pranata-pranata tersebut.

4) Koentjoroningrat

Pranata sosial berisi sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-komplek kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Jadi lembaga sosial adalah suatu sistem tata kelakuan yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas bersama untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.

5) Soerjono Soekanto

Lembaga kemasyarakatan (institusi sosial/pranata sosial) adalah himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.


(56)

41

6) Robert Mac Iver dan Charles H. Page

Lembaga sosial sebagai lembaga kemasyarakatan yang mempunyai tatacara atau prosedur yang diciptakan untuk mengatur hubungan antara manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan yang dinamakan asosiasi.

7) Leopold van Weisel dan Howard Becker

Lembaga kemasyarakatan sebagai suatu jaringan dari proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut, serta pola-polanya sesuai dengan kepentingan manusia dan kelompoknya. Berdasarkan pengertian menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga sosial disebut juga sebagai institusi sosial atau lembaga kemasyarakatan yang terbentuk melalui proses interaksi antara manusia dengan manusia lain maupun kelompok yang berkembang menjadi suatu hubungan yang memiliki pola-pola, tata cara, dan sistem tata kelakuan yang tetap, terstruktur, dan mapan dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama yang digunakan untuk menjalankan peranan dan fungsi lembaga yaitu mencukupi kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.

b. Ciri-Ciri Lembaga Sosial

Ciri-ciri umum lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan dipaparkan secara rinci oleh beberapa ahli. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (dalam Anwar dan Adang, 2013) ciri-ciri lembaga kemasyarakatan adalah sebagai berikut.

1) Unit fungsional, yaitu organisasi pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.


(57)

42

2) Mempunyai tingkat kekekalan tertentu, yaitu telah teruji dan berupa himpunan norma-norma pencapaian kebutuhan pokok yang harus dipertahankan.

3) Mempunyai tujuan tertentu.

4) Mempunyai peralatan untuk mencapai tujuan, misalnya gedung, peralatan dan perlengkapan kegiatan.

5) Mempunyai alat untuk memotivasi atau memacu semangat, seperti slogan, lambang, dan semboyan.

6) Mempunyai tradisi atau tata tertib sendiri yang spesifik.

Sedangkan menurut Gilin dan Gilin (Soerjono Soekanto dalam Anwar, 2013) ciri-ciri umum lembaga sosial adalah sebagai berikut.

a) Lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi yang berasal dari pola-pola pemikiran dan perikelakuan yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari unsur-unsur keudayaan lain yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam suatu unit yang fungsional.

b) Semua lembaga kemasyarakatan mempunyai tingkat kekekalan tertntu. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan tertentu baru menjadi bagian lembaga setelah melewati waktu yang relatif lama. Lembaga kemasyarakatan juga biasanya berumur lama karena pada umumnya orang menganggapnya sebagai himpunan norma-norma terkait kebutuhan pokok masyarakat yang sewajarnya untuk dipelihara.


(58)

43

c) Lembaga sosial mempunyai tujuan atau beberapa tujuan tertentu. Tujuan suatu lembaga adalah suatu tujuan yang harus dicapai oleh golongan masyaakat tertentu dan golongan masyarakat yang bersangkutan akan berpegang teguh padanya.

d) Lembaga mayarakat mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan bentuk serta penggunaan alat-alat ini biasanya berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.

e) Lembaga sosial memiliki lambang-lambang khas yang mencirikan lembaga tersebut serta secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.

f) Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai suatu tradisi yang tertulis maupun tidak tertulis yang merumuskan tujuannya, dan tata tertib yang berlaku. Tradisi tersebut merupakan dasar pekerjaan bagi lembaga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri lembaga sosial adalah mempunyai aktivitas atau hasil sebagai wujud pola pemikiran organisasi, mempunyai tujuan yang ingin dicapai, mempunyai tingkat kekekalan tertentu, memiliki alat atau sarana prasarana untuk mencapai tujuan, dan mempunyai lambang serta mempunyai adat atau tata tertib.


(59)

44 c. Fungsi dan Komponen Lembaga Sosial

Lembaga sosial dibentuk untuk mengendalikan manusia agar tidak melanggar nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Ada beberapa macam fungsi lembaga sosial Menurut Anwar dan Adang (2013: 204) sebagai berikut.

1) Fungsi lembaga sosial bagi individu (secara individual)

a) Mengatur diri manusia agar bersih dari sifat atau perasaan iri, dengki, benci, dan hal-hal yang menyangkut kesucian hati nurani.

b) Mengatur perilaku masyarakat agar tercipta keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, manusia diharapkan dapat berbuat sopan dan santun terhapap orang lain agar tercipta suatu kedamaian dan kerukunan.

Berdasarkan fungsi individual di atas dapat dikatakan bahwa lembaga sosial tidak saja bertujuan untuk menciptakan suatu ketertiban sosial tetapi juga menciptakan suatu keselarasan antara ketertiban dan jaminan keamanan bagi masyarakat.

2) Fungsi pokok dalam kehidupan masyarakat

a) Sebagai pedoman untuk masyarakat tentang cara bersikap dan berperilaku dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

b) Sebagai pertahanan dan penangkal dalam melestarikan keutuhan masyarakat.


(60)

45

c) Sebagai pedoman untuk masyarakat dalam usaha memelihara ketertiban dan untuk memberantas segala perilaku anggota masyarakat yang menyimpang (self control).

3) Fungsi lembaga sosial sebagai pedoman

a) Pedoman untuk mengatur kebutuhan kehidupan yang bersifat kekerabatan.

b) Pedoman untuk mengatur setiap mata pencahariaan.

c) Pedoman untuk mengatur kebutuhan akan kesehatan atau keselamatan.

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (dalam Anwar dan Andang) lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut. 1. Memberi pedoman kepada masyarakat terkait tentang tingkah laku, cara

bersikap dalam menghadapi masalah dalam masyarakat terutama mengenai pemenuhan kebutuhan.

2. Menjaga keutuhan dari masyarakat.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial yaitu sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Dilihat dari beberapa ciri-ciri lembaga sosial yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga sosial mempunyai fungsi sebagai pedoman, baik pedoman untuk masyarakat dalam usaha menjaga kehidupan bermasyarakat maupun untuk individu dalam bersikap dan berperilaku.


(61)

46 B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan terkait dengan pemberdayaan masyarakat, usaha ekonomi produktif, dan Gepeng (gelandangan dan pengemis) adalah sebagai berikut.

1. Solekhah Subekti (2008), tesis yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kelompok Usaha Ekonomi Produktif di Desa Tepusen, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pemberdayaan masyarakat melalui KUEP di Desa Tepusen, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung merupakan program pengembangan kecamatan yang pelaksanaannya terdiri atas 2 jenis usaha yaitu perdagangan dan ketrampilan. Program ini melibatkan warga miskin yang rata-rata memiliki pendidikan rendah. Selain itu berdasarkan hasil penelitian pelaksanaan program ini masih terfokus pada kegiatan perguliran dana yang menyebabkan kegiatan lainnya tidak dapat terlaksana secara optimal. Dampak dari program ini secara positif yaitu anggota terbantu dengan adaya permodalan usaha akan tetapi dampak negatif yang dirasakan adalah anggota kelompok menjadi ketergantungan terhadap pinjaman pemerintah sehingga mereka tidak mandiri dan sulit untuk mengembangkan usahanya.

2. Ratnasari Purba (2013), skripsi yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat melalui pelatihan untuk meningkatkan partisipasi orangtua di PAUD Handayani Kelurahan Mranti Kabupaten Purworejo”. Hasil penelitian ini adalah bahwa pemberdayaan masyarakat dalam capital building melalui


(62)

47

pemberian ketrampilan dan pengetahuan dapt meningkatkan tingkat partisipasi orangtua dari tigkat partisipasi placation ke tingkat partisipasi partnership. Hal ini dibutikan melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang tua, yaitu melakukan kegiatan diskusi, mencetuskan, dan melaksakan ide-ide kegiatan untuk mengisi kegiatan keorangtuaan di PAUD Handayani.

C. Kerangka Berfikir

Kehidupan bermasyarakat tidak bisa lepas dari berbagai masalah sosial. Masalah sosial satu dengan yang lain dapat saling berpengaruh. Masalah sosial yang masih terjadi di Indonesia khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah permasalahan kemiskinan. Kemiskinan muncul karena berbagai latarbelakang masalah seperti rendahnya pendidikan, rendahnya ketrampilan, dan kurangnya lapangan kerja. Masalah kemiskinan ini kemudian memunculkan berbagai permasalahan sosial lainnya yaitu munculnya gelandangan dan pengemis (Gepeng). Penggelandangan dan pengemisan dipandang sebagai kegiatan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat. Pengemis yang mencari nafkah dengan cara meminta belas kasihan dari orang lain dan gelandangan yang tidak mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal, memiliki kehidupan yang bebas dimana mereka tidak mematuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat, hal ini dianggap mengganggu ketertiban, kenyaman dan keamanan di lingkungan masyarakat. Gelandangan dan pengemis ada bukan tanpa alasan, banyak faktor yang melatarbelakangi seperti kemiskinan, kurangnya


(63)

48

pendidikan, kurangnya ketrampilan, tidak adanya lapangan perkerjaan, gangguan kejiwaan, bahkan karena malas bekerja.

Penggelandangan dan pengemisan merupakan masalah sosial serius yang harus segera ditanggulangi. Gepeng merupakan kelompok lemah yang tidak berdaya dan perlu untuk diberdayakan. Penanggulangan gelandangan dan pengemis dapat dilakukan melalui bantuan dari berbagai pihak baik pemerintah, swasta, dan atau masyarakat. Salah satu lembaga sosial yang berupaya menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah Lembaga Sosial Hafara. Lembaga sosial ini berusaha menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis melalui berbagai program seperti rumah singgah bagi anak jalanan, panti sosial bagi gelandangan psikotik, program pelatihan dan bimbingan sosial, serta program pemberdayaan bagi semua warga binaannya.

Program pemberdayaan yang dilakukan di Lembaga Sosial Hafara dilaksanakan melalui kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Program yang bersifat nonformal tersebut bertujuan untuk memberikan pelatihan dan ketrampilan dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi yang ada di lingkungan lembaga. Hal ini dilakukan supaya warga binaan, terutama gelandangan dan pengemis dapat berusaha bekerja secara mandiri dan tidak kembali ke jalanan lagi. Pelaksanaan kegiatan program ini dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Kedua faktor tersebut nantinya akan mempengaruhi ketercapaian keluaran (output) dan dampak (impact) bagi lembaga dan warga binaan Gepang apakah sesuai dengan tujuan atau tidak.


(64)

49

Kerangka berpikir ini akan diperjelas dengan penggambaran melalui skema berikut ini.

Warga binaan (gelandangan dan pengemis)

Lembaga Sosial Hafara

Program pemberdayaan melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

SDM, SDA, Modal, Kewirausahaan

Faktor pendukung dan penghambat

Tujuan Input

(masukan) Proses

Output (Keluaran)

Impact (dampak)


(65)

50 D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pada fokus penelitian dan rumusan masalah, maka perlu mengembangkan beberapa pertanyaan penelitian agar penelitian ini memperoleh hasil yang optimal sebagai berikut.

1. Kondisi Gelandangan dan pengemis (Gepeng)

a. Bagaimana karakteristik gelandangan dan pengemis yang berada di Lembaga Sosial Hafara?

2. Program Usaha Ekonomi Produktif

a. Mengapa Lembaga Sosial Hafara menyelenggarakan program Usaha Ekonomi Produktif ?

b. Apa saja kegiatan yang ada dalam Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di lembaga Sosial Hafara?

c. Siapa saja pihak yang terlibat dan berperan dalam kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara?

d. Bagaimana proses pelaksanaan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara?

e. Apa saja barang yang dihasilkan dalam kegiataan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara?

3. Keberhasilan program Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

a. Apa keuntungan yang diperoleh gelandangan, pengemis, dan lembaga dari program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) ini?


(66)

51

b. Apa perubahan yang terjadi pada gelandangan dan pengemis ketika mengikuti program Usaha Ekonomi Produktif ini?

4. Dampak pemberdayaan Gepeng melalui Usaha Ekonomi Produktif

a. Apa manfaat yang diperoleh gelandangan, pengemis, dan lembaga dari program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) ini?

b. Apa dampak yang diperoleh dari kegiatan Usaha Ekonomi Produktif di Lembaga Sosial hafara?

5. Faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif di lembaga Sosial Hafara. a. Apa faktor pendukung pemberdayaan gelandangan dan pengemis

melalui Usaha Ekonomi Produktif di Lembaga Sosial Hafara.

b. Faktor penghambat pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif di lembaga Sosial Hafara.


(67)

52 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan seluruh kegiatan penelitiannya. Pada penelitin ini, peneliti mengunakan penelitian kualitatif studi kasus. Menurut Moleong (2012: 6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik, dengan cara didiskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan menggunakan berbagai metode alamiah.

Menurut Yin Robert (2012: 1-4) studi kasus merupakan strategi dalam penelitian yang cocok apabila pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan bagaimana dan mengapa, selain itu juga apabila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa yang diselidiki, dan fokus penelitiannya terletak pada fenomena masa kini di dalam kehidupan nyata. Yin Robert menjelaskan bahwa studi kasus member nilai tambah pada pengetahuan secara unik mengenaifenomena individual, organisasi, social, dan politik. Moedzakir (2010: 169) menambahkan bahwa studi kasus adalah eksplorasi tentang sebuah atau beberapa kasus dalam suatu sistem yang terbatas yang dilakukan dengan melakukan pengumpulan data secara rinci dan mendalam sesuai dengan konteks penelitian atau kasus tersebut. Sistem yang


(68)

53

terbatas tersebut dibatasi oleh waktu dan tempat dan substansi kasus itu sendiri dapat berupa program, peristiwa, proses, dan/atau kelompok dan individu.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai kasus permasalahan Gepeng yang tinggal di Lembaga Sosial Hafara dan upaya penanggulangan yang diberikan melalui program pemberdayaan yaitu Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang dilaksanakan di Lembaga Sosial Hafara. Pemahaman tersebut akan didiskripsikan dan dijelaskan secara rinci menggunakan kata-kata maupun gambar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

B. Setting Penelitian (Waktu dan Tempat Penelitian)

Penelitian mengenai pemberdayaan masyarakat melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) ini dilaksanakan di Lembaga Sosial Hafara yang beramatkan di Brajan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55183. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2015.

C. Subyek Penelitian

Penentuan subyek dalam penelitian ini dilakukan secara purposive, yaitu dipilih sesuai dengan pertimbangan dan tujuan tertentu (Sugiyono, 2012: 299). Subyek penelitian ini merupakan pihak yang mengetahui secara mendalam mengenai fokus penelitian yang akan diteliti yaitu orang-orang yang terlibat langsung dalam proses kegiatan program dan orang-orang yang mengetahui tentang jalannya kegiatan yang akan diteliti tersebut. Subyek atau


(69)

54

informan penelitian ini adalah ketua lembaga, pengelola atau pengurus, dan warga binaan Gepeng dewasa yang tinggal dan mengetahui, serta berkecimpung dalam kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara.

D. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif memerlukan instrumen penelitian dan teknik pengumpulan data karena kedua hal ini mempengaruhi kualitas hasil data yang diperoleh. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang dapat mengumpulkan data secara sahih (valid) dan sesuai dengan kondisi lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian pemberdayaan Gepeng melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara menggunakan pedoman observasi, wawancara, dan dokumentasi. Berikut penjelasan masing-masing teknik pengumpulan datanya.

1. Observasi

Observasi atau biasa disebut dengan pengamatan merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang biasanya dilakukan. Menurut Nasution dalam Sugiyono (2013: 310) menyatakan bahwa observasi adalah dasar dari semua ilmu pengetahuan. Observasi atau pengamatan dilakukan untuk menggali secara mendalam data yang diperlukan karena mempunyai manfaat berikut ini.

a. Peneliti lebih mampu memahami konteks data berdasarkan situasi di lapangan secara menyeluruh atau holistik.

b. Observasi atau pengamatan memberikan pengalaman secara langsung sehingga membantu peneliti untuk tidak terpegaruh oleh


(1)

172

Lampiran 10. Data Warga Binaan

Dewasa ( Eks. Gepeng)

No Nama Jenis

Kelamin Tempat Lahir Tanggal Lahir Alamat Asal Pendidikan Ket

1 Yanto L Klaten 11 Oktober 1981 Panti Sosial HAFARA - -

2 Wisnuwati P Bantul 27 Agustus 1995 Panti Sosial HAFARA - -

3 Jumadi L - - Panti Sosial HAFARA - -

4 Rokhayatun P - - Panti Sosial HAFARA - -

5 Gandhi Samiaji L Majalengka 01 Juni 1978 Panti Sosial HAFARA - - 6 Yamto Wiyono L Bantul 12 Agustus 1966 Panti Sosial HAFARA - -

Anak-Anak

No Nama Jenis

Kelamin

Tempat

Lahir Tanggal Lahir Alamat Pendidikan Ket 1 Dimas Riyanto L Yogyakarta 14 April 2009 Panti Sosial HAFARA TK - 2 Edi Setiawan L Bantul 02 Januari 2005 Panti Sosial HAFARA SD - 3 Eva Listyaningsih P Bantul 22 September 2012 Panti Sosial HAFARA - Balita 4 Ferdi Setiawan L Yogyakarta 12 Februari 2011 Panti Sosial HAFARA - Balita


(2)

173

5 Muh. Andri

Yanto L Sleman 15 Oktober 2003 Panti Sosial HAFARA SD -

6 Muh. Farid

Setiawan L Yogyakarta 25 Februari 2013 Panti Sosial HAFARA - Balita 7 Nur Qosim L Jakarta 21 Mei 1999 Panti Sosial HAFARA SMP - 8 Prasetyo L Yogyakarta 06 Februari 2006 Panti Sosial HAFARA SD - 9 Yoga Setiawan L Yogyakarta 12 September 2010 Panti Sosial HAFARA - Balita

Eks. Psikotik dan Eks. Narkoba

No Nama Jenis

Kelamin

Tempat

Lahir Tanggal Lahir Alamat Asal Pend. Keterangan 1 Sri Murniasih P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

2 Inung P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

3 Sabari P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

4 Karso Inangun P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

5 Sugeng L - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

6 Badingah P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

7 Salimun L - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

8 Siti P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan


(3)

174

10 Slamet Sabarno L - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan 11 Sri Lestari P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

12 Bambang L - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

13 Cicilia Sumarni P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

14 Supiyem P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

15 Lasiyem P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

16 Nanang L - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

17 Sri Sukati P - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

18 Wahono L - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

19 Teguh L - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

20 Bambang

Sugiarto L Jakarta

19 September

1966 Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

21 Dasino L Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

22 Sri Ayu P Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan

23 Diki L - - Panti Sosial HAFARA - Eks. Psikotik Jalanan


(4)

(5)

(6)