Pertanian Organik Preferensi risiko petani pada usahatani padi organic di Kabupaten Sragen

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Organik

Produksi pangan dunia meningkat secara drastis karena ditunjang dengan adanya revolusi hijau, sehingga mampu mengatasi masalah rawan pangan di negara- negara berbagai belahan dunia termasuk Asia. Peningkatan produksi pangan tersebut sangat erat kaitannya dari penggunaan benih unggul, pupuk kimia atau pupuk anorganik, pestisida kimia, herbisida dan zat pengatur tumbuh. Akan tetapi program revolusi hijau tersebut hanya dapat berhasil pada wilayah dengan sumberdaya tanah dan air yang baik, serta infrastruktur yang mendukung Sutanto, 2002 Menurut pengamat dan ahli dalam bidang ekologi, teknologi pertanian modern pada saat ini yaitu pertanian yang bergantung dengan bahan kimia berdasarkan fisik dan ekonomi dianggap telah berhasil mengatasi bahaya rawan pangan, tetapi ternyata harus ditukar dengan biaya yang mahal karena semakin meningkatnya kerusakan atau degradasi yang terjadi di lingkungan pertanian, seperti desertifikasi, kerusakan hutan, penurunan keragaman hayati, penurunan kesuburan tanah, akumulasi senyawa kimia dalam tanah maupun perairan, erosi tanah. Sampai saat ini masih menjadikan dilema berkepanjangan antara usaha meningkatkan produksi pangan dengan menggunakan pupuk kimia dan usaha pelestarian lingkungan yang berusaha mengendalikan ataupun membatasi penggunaan bahan-bahan tersebut dengan menggantikannya dengan bahan-bahan organik Sutanto, 2002. Di Indonesia, produksi pangan terutama beras meningkat sejak revolusi hijau green revolution, ini terbukti pada tahun 1985 Indonesia telah berhasil mencapai swasembada beras. Namun di sisi lain, dosis penggunaan pupuk dan pestisida sintetik yang bertujuan untuk memacu peningkatan produksi cenderung semakin tinggi. Menurut Martodirekso dan Suriyatna 2001, bahwa dosis rekomendasi pupuk untuk padi adalah Urea 100 - 200 kg per hektar, TSP 50-75 kg per hektar. Pada saat ini dosis rekomendasi pupuk mencapai 200-250 kg per hektar Urea, 100-150 kg per hektar TSP, 50 kg per hektar ZA dan KCL 50-100 kg per hektar. Bahkan dilaporkan bahwa di Jawa, Lampung, dan Sulawesi Selatan tingkat penggunaan pupuk oleh petani telah melampaui dosis yaitu untuk Urea secara berturut-turut 112 dan 128 dan 189, TSP 116, 130, 370 dan KCL 150, 106 dan 116 dari dosis rekomendasi Rukka et al. 2006. Penerapan sistem pertanian intensif dan penggunaan input bahan kimia yang terus menerus menyebabkan kerusakan sifat fisik tanah, meningkatkan daya ketahanan imunitas hama dan patogen terhadap bahan kimia tertentu, serta berbagai masalah pencemaran lingkungan. Untuk itu, sistem pertanian dengan menggunakan bahan-bahan kimia dengan dosis tinggi seharusnya disesuaikan secara bertahap menjadi sistem pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hingga akhirnya sampai pada tahap pertanian organik, yang mengacu pada kelestarian sumberdaya alam pertanian dan kesehatan yang menggunakan bioteknologi pupuk hayati, pupuk organik dan pestisida organik. Menurut Sutanto 2002 tujuan utama pertanian organik berdasar atas ide yang berkembang pada kalangan masyarakat organik, diantaranya pada kalangan produsen, konsumen, peneliti, pecinta lingkungan dan pemerintah. Tujuan tersebut adalah : 1. Menghasilkan pangan dengan kualitas gizi yang baik dan dalam jumlah yang cukup. 2. Melaksanakan interaksi secara konstruktif dan meningkatkan taraf hidup dengan memperhatikan kondisi lingkungan. 3. Mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah. 4. Membantu dan melaksanakan usaha konservasi tanah dan air. 5. Sedapat mungkin bekerja dengan bahan dan senyawa yang dapat didaur ulang atau digunakan kembali. 6. Menekan semua bentuk polusi yang diakibatkan oleh kegiatan pertanian. 7. Mempertahankan keanekaragaman genetika siste pertanian dan sekelilingnya termasuk perlindungan pada habitat tanaman dan hewan. Pertania organik akan banyak memberikan keuntungan jika ditinjau dari aspek peningkatan produksi tanaman maupun ternak, peningkatan kesuburan tanah serta dari aspek pelestarian lingkungan, pertanian organik mampu mempertahankan ekosistem. Dari segi ekonomi pertanian organik akan menghemat devisa negara untuk mengimpor pupuk, bahan kimia pertanian dan memberikan kesempatan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan petani. Pada prinsipnya pertanian organik sejalan dengan prinsip pengembangan pertanian dengan penggunaan input luar yang rendah low external input sustainable agriculture atau LEISA. Secara umum prinsip LEISA adalah mengupayakan keanekaragaman hayati, memperbaiki kualitas hayati, memperbaiki kualitas tanah dan air serta pola aliran siklik dalam pengelolaan nutrien. Hong 1994 pada pertemuan FFTC Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region menyatakan ada dua definisi mengenai pertanian organik, yaitu pertanian organik dalam definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian yang sempit, pertanian organik adalah pertanian tidak menggunakan pupuk kimia ataupun pestisida kimia, yang digunakan yang adalah pupuk organik, mineral dan material alami. Sedangkan pertanian organik dalam arti luas adalah usaha pertanian yang menggunakan pupuk kimia dan obat-obatan kimia pada tingkat minimum yang dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik dan bahan-bahan alami. Definisi sempit diperlukan sebagai alat legalitas terhadap pemasaran hasil pertanian yang diproduksi secara organik, diharapkan mampu melindungi konsumen produk pertanian organik. Hal ini terkait dengan label sertifikasi organik yang memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang mereka beli adalah benar-benar merupakan hasil dari proses produksi secara organik. Definisi luas dari pertanian organik mencerminkan sebuah pendekatan praktis terhadap isu pertanian yang berkelanjutan sustainability agriculture.

2.2. Risiko Produksi dan Preferensi Risiko Petani