I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertanian merupakan sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian yang didalamnya terdapat sub sektor tanaman pangan, perkebunan,
perikanan, kehutanan dan peternakan mempunyai kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional, diantaranya adalah kontribusi produk product contribution,
kontribusi pasar market contribution, kontribusi pangan food contribution, kontribusi tenaga kerja employment contribution dan kontribusi devisa export
earning contribution. Ditinjau dari kontribusi sektor pertanian dalam penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat Indonesia, maka pertanian berperan penting dalam
kelangsungan ketahanan pangan nasional. Sektor pertanian juga menghadapi tantangan yang semakin besar di masa yang
akan datang. Kebutuhan pangan yang semakin meningkat dengan kendala konversi lahan subur yang terus berjalan, perubahan iklim global yang sedang terjadi, teknologi
pertanian yang mengalami stagnasi sampai dengan kendala kebijakan pemerintah pada saat ini yang kurang berpihak pada sektor pertanian.
Kontribusi mendasar dari sektor pertanian adalah peran pertanian dalam pemenuhan pangan. Konsumsi pangan yang memerlukan pemenuhan dalam jumlah
besar dan merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat adalah kebutuhan beras. Hampir semua penduduk Indonesia pada saat ini menjadikan beras sebagai sumber
karbohidrat sehari-hari, walaupun ada sebagian penduduk Indonesia yang memanfaatkan umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat, sebagaimana digambarkan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-Rata Konsumsi Kalori per Kapita Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Makanan Tahun 2003 – 2009
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Tabel 1 dapat diketahui bahwa kebutuhan bahan makanan berasal dari padi-
padian beras menempati urutan teratas dari kebutuhan pangan sehari-hari. Hal ini yang mengakibatkan kebutuhan beras terus meningkat mengikuti peningkatan jumlah
penduduk. Dengan jumlah penduduk sebesar 230 juta jiwa dan tingkat pertumbuhan sebesar 1.4 per tahun berarti kebutuhan penyediaan pangan nasional terus
meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk. Dari data Badan Pusat Statistik diketahui bahwa rata-rata konsumsi beras per tahun untuk penduduk Indonesia adalah
125.8 kg per kapita. Sedangkan FAO menyebutkan bahwa kebutuhan beras rata-rata yang digunakan untuk kelangsungan peningkatan kualitas hidup sebesar 133 kg per
kapita per tahun. Ini berarti kebutuhan beras untuk memenuhi konsumsi bagi penduduk di Indonesia sebesar 30.59 juta ton per tahun. Data laju produktivitas padi
rata-rata yang dicapai oleh petani di Indonesia selama sepuluh tahun terahir, dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa selama kurun waktu sepuluh tahun yaitu tahun 2000-2009 laju kenaikan produktivitas rata-rata 1.2 berada dibawah laju
pertumbuhan penduduk rata-rata 1.4 per tahun. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah jika Indonesia tidak ingin menjadi negara yang bergantung pada impor beras,
No Komoditi
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 1
Padi-Padian 1035.07
1024.08 1009.13
992.93 953.16
968.48 939.99
2 Umbi-Umbian
55.62 66.91
56.01 51.08
52.49 52.75
39.97 3
Ikan 46.91
45.05 47.59
44.56 46.71
47.64 43.52
4 Daging
41.71 39.73
41.45 31.27
41.89 38.60
35.72 5
Telur dan Susu 37.83
40.47 47.17
43.35 56.96
53.60 51.59
6 Sayur-Sayuran
40.95 38.80
38.72 40.20
46.39 45.46
38.95 7
Buah-Buahan 42.75
41.61 39.85
36.95 49.08
48.01 39.04
8 MinyakLemak
241.70 236.67
241.87 234.50
246.34 239.30
228.35 T a h u n
maka produksi padi Indonesia harus terus dingkatkan untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk yang ada. Dari The World Food Summit FAO di Roma pada
tahun 1997 juga memprediksikan bahwa produksi pangan di negara berkembang harus meningkat 3 kali lipat pada tahun 2050 untuk memenuhi tuntutan pangan dalam
mencapai standar hidup yang lebih tinggi bagi populasi manusia yang diperkirakan meningkat 2 kali lipat.
Tabel 2. Rata-Rata Laju Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 2000 – 2009
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Revolusi hijau telah berhasil mencukupi kebutuhan pangan pada era tahun
60-an sampai dengan 80-an. Tetapi dampak negatif terhadap lingkungan yang tidak dipertimbangkan pada saat revolusi hijau digulirkan baru dapat dirasakan dalam
dasawarsa terahir. Revolusi hijau yang telah terjadi, dengan menggunakan benih varietas unggul yang memerlukan pemupukan yang lebih intensif serta menggunakan
pestisida yang berlebihan telah menyebabkan lahan-lahan padi berada pada kondisi levelling off, yaitu kondisi dimana tanah tidak mampu ditingkatkan lagi
produktivitasnya meskipun diberi banyak pupuk. Selain itu tanah kehilangan sifat porusnya sehingga kurang mampu menahan pupuk dan pengairan yang diberikan
Sulaeman, 2009. Tahun
Luas Panen Produksi
Produktivitas Hektar
Ribu Ton TonHektar
2000 11 793
51 899 44.01
2001 11 499
50 461 43.88
2002 11 521
51 490 44.69
2003 11 488
52 138 45.38
2004 11 923
54 088 45.36
2005 11 839
54 151 45.74
2006 11 787
54 455 46.2
2007 12 148
57 157 47.05
2008 12 327
60 326 48.94
2009 12 843
63 840 49.71
Pada saat ini semua potensi dari empat komponen dasar teknologi produksi padi yang dikembangkan mulai tahun 1960-an sudah dimanfaatkan. Keempat
komponen tersebut adalah 1 introduksi varietas unggul menggantikan padi tradisional yang telah ada, dimana varietas unggul mempunyai daya hasil yang tinggi
dan responsif terhadap pupuk Nitrogen, 2 peningkatan penggunaan pupuk mineral terutama pupuk Nitrogen, 3 penggunaan bahan kimia untuk perlindungan hama
tanaman, dan 4 pembangunan dan rehabilitasi sarana irigasi, karena varietas unggul dapat beradaptasi dengan baik pada lahan sawah irigasi atau sawah tadah hujan
dengan drainase yang baik. Namun para petani, terutama di Jawa masih berusaha terus meningkatkan produktivitas tanaman padi dengan jalan peningkatan penggunaan
pupuk Nitrogen dengan takaran yang tidak sesuai lagi dosis yang dianjurkan oleh pemerintah. Penggunaan pupuk Nitrogen dengan takaran 2 sampai 5 kali takaran
wajar dengan maksud agar mampu meningkatkan produktivitas per luas lahan tetap tidak mampu menaikkan produktivitas sesuai dengan yang diharapkan Sulaeman,
2009. Sustainabilitas atau keberkelanjutan yang terabaikan selama ini menjadi isu
dalam pembangunan pertanian seluruh dunia. Bahkan FAO mendorong agar diterapkan suatu sistem pertanian berkelanjutan sustainable agriculture. Di
Indonesia pembangunan pertanian berwawasan lingkungan merupakan suatu konsep pembangunan pertanian berkelanjutan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat petani secara luas. Hal tersebut bisa dicapai melalui peningkatan produksi pertanian baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dengan tetap
memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan Salikin dalam Sulaeman, 2009. Menurut Hong 1994, komponen utama dari pertanian
berkelanjutan meliputi budaya dan perilaku, pengelolaan tanah dan air, pemakaian
obat-obatan non-kimia, produksi tanaman dan ternak yang terintegrasi dan melakukan daur ulang terhadap limbah pertanian.
Pertanian berkelanjutan diwujudkan dalam bentuk pertanian dengan penggunaan input dari luar lingkup usahatani yang rendah low external input
sustainable agriculture atau LEISA dan salah satu bentuk penerapannya di Indonesia yaitu dengan pertanian organik. Petani dalam mengelola usahataninya menurunkan
penggunaan input yang tidak bisa diperbaharui pupuk dan pestisida kimia digantikan dengan input yang telah tersedia di lingkungan usahatani, misalnya penggunaan
pupuk yang berasal dari limbah pertanian pupuk organik kompos atau pupuk kandang. Hal ini perlu mendapatkan perhatian sebagai alternatif lain dari pola pikir
yang telah terbentuk atas keberhasilan swasembada beras yang tercapai pada masa lalu. Keberhasilan petani-petani Sragen dan Padang dalam memproduksi padi dengan
menggunakan pupuk kimia yang dikurangi dan digantikan dengan pupuk organik membuktikan bahwa LEISA maupun pertanian organik mampu mempertahankan
bahkan meningkatkan swasembada pangan Sulaeman, 2009. Kabupaten Sragen merupakan salah satu daerah yang mengembangkan
usahatani padi organik maupun semi organik. Selama 10 tahun mencanangkan program pertanian organik, data menunjukkan bahwa dari 39 759 hektar lahan sawah
yang ada, 4 508 hektar menerapkan usahatani padi semi organik Data Profil Kabupaten Sragen, 2008 dan Data Badan Pelaksana PenyuluhanBappeluh Kabupaten
Sragen, 2008. Dari jumlah total lahan sawah yang terdapat di Kabupaten Sragen tersebut, sekitar 180 hektar kurang dari 1 dari total lahan sawah yang menerapkan
usahatani padi organik secara murni atau telah memiliki sertifikasi organik
1
. Dilihat dari data tersebut maka dapat dikatakan bahwa petani padi di Kabupaten Sragen
1
Berdasar data di lapangan.
memberikan respon yang sangat lambat terhadap upaya pengembangan usahatani padi organik yang digalakkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen. Padahal
beberapa penelitian yang dilakukan Rubinos et al. 2007, Pazek dan Rozman 2007, Medina dan Iglesias 2008 menyatakan bahwa pertanian organik merupakan
usahatani yang mampu memberikan keuntungan secara ekonomi bagi petani dan layak untuk diusahakan, karena mempunyai harga produksi premium dan memiliki
viabilitas tinggi secara ekonomi dibanding dengan usahatani konvensional. Berbagai usaha dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen untuk
mengembangkan usahatani padi organik, diantaranya melakukan gerakan peningkatan pembinaan, sosialisasipenyuluhan mengenai
usahatani padi organik, mengembangkan pemasaran hasil usahatani padi organik, dan peningkatan
pengawasan terhadap petani. Juga diadakan pelatihan dan studi banding mengenai pertanian padi organik ke daerah lain yang diikuti oleh beberapa anggota dan ketua
kelompok tani. Dinas Pertanian Kabupaten Sragen juga menjalin kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Organik Inofice dalam rangka mengembangkan pertanian padi
organik. Disamping itu juga diadakan pertemuansarasehan kelompok tani dengan pakar pertanian organik pada Sragen Expo 2010 dan diselenggarakan beberapa
seminar mengenai sistem pertanian organik. Data perbandingan produktivitas usahatani padi organik dan non oranik di
tingkat nasional tidak tersedia, maka untuk mengetahui perbandingan variasi prodktivitas usahatani organik dan non organik digunakan data usahatani padi organik
di Kabupaten Sragen tahun 2007 dengan produktivitas usahatani padi non organik pada tahun yang sama di Kabupaten Klaten. Dari kedua kelompok data tersebut
menunjukkan bahwa usahatani padi organik mempunyai variasi produktivitas yang lebih besar bila dibandingkan dengan usahatani padi non organik. Hal ini
menunjukkan bahwa risiko produksi yang dihadapi oleh petani padi organik lebih tinggi dibandingkan dengan risiko produksi yang dihadapi oleh petani non organik.
Data statistik perbandingan tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan Rata-Rata Produktivitas Usahatani Padi Organik di Kabupaten
Sragen Tahun 2007 dan Rata-Rata Produktivitas Usahatani Padi Non Organik di Kabupaten Klaten Tahun 2007
Sumber : Data Bappeluh Kabupaten Sragen Tahun 2007 dan Dinas Pertanian Kabupaten Klaten Tahun 2007 Diolah
Data Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil paling rendah yang dicapai oleh petani padi organik adalah 44.07 kuintal per hektar dan hasil tertinggi 76.81 kuintal
per hektar, sedang produktivitas maksimum yang dapat dicapai oleh usahatani padi non organik adalah 59.6 kuintal per hektar dan produktvitas minimumnya adalah 46.1
kuintal per hektar. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa variasi produktivitas usahatani padi organik lebih tinggi dibandingkan dengan variasi produktivitas usahatani non
organik, dari data tersebut dapat dikatakan bahwa risiko produksi pada usahatani padi organik lebih besar dari pada risiko produksi usahatani padi non organik.
Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa sikap petani sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan suatu teknologi dalam bidang
pertanian. Seperti penelitian yang dilakukan Lawal dan Oluyole 2008, Ogada et al. 2010, Sauer dan Zilberman 2009 dan Villano et al. 2005. juga menyebutkan
bahwa pada penerapan teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, tidak semua petani menerapkan teknologi tersebut. Bahkan sedikit demi
KuintalHektar Produktivitas
Non Organik Organik
Maksimum 59.61
76.81 Minimum
46.14 44.07
Rata-rata 55.64
59.21 Varians
10.90 93.84
Std. Deviasi 3.30
9.69 Usahatani Padi
sedikit petani meninggalkan teknologi yang dianjurkan, dan kembali menggunakan teknologi yang telah mereka gunakan sebelumnya. Sauer dan Zilberman 2009 yang
mengadakan penelitian perilaku persepsi risiko petani terhadap penerapan teknologi baru menyatakan bahwa persepsi risiko petani terhadap rendahnya hasil yang dicapai
menyebabkan menurunnya penggunaan teknologi tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sikap petani sangat berpengaruh pada penerapan suatu teknologi
baru. Villano et al. 2005 juga menyatakan bahwa preferensi risiko petani mempunyai pengaruh penting pada keputusan petani dalam mengalokasikan input
usahataninya. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa preferensi risiko petani dalam
menghadapi perubahan teknologi input yang berbeda, akan sangat menentukan keberhasilan penerapan teknologi tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian
tentang bagaimana pengaruh preferensi risiko petani terhadap penerapan suatu teknologi baru.
1.2. Rumusan Masalah