Struktur Pengeluaran Rumahtangga Petani Padi

juga ditemukan oleh Sugiarto 2008 dengan kontribusi 74 persen dari total pendapatan rumahtangga petani di lahan irigasi. Pendapatan dengan sumbangan terbesar pada petani lahan sawah tadah hujan 40.19 persen berasal dari kegiatan di luar pertanian non farm. Hal ini disebabkan oleh luasan lahan yang lebih sempit dan tingkat kesuburan lahan relatif lebih rendah serta keterbatasan sumber air. Untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga maka petani mengalokasikan tenaga kerja keluarga di luar sektor pertanian.

5.4.3. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Petani Padi

Pengeluaran rumahtangga adalah sejumlah pengeluaran berbentuk uang yang dilakukan oleh rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga dalam kurun waktu tertentu. Petani mengalokasikan pendapatan untuk dua kategori, yaitu untuk konsumsi dan usahatani. Konsumsi pangan rumahtangga terbagi atas konsumsi pangan dan non pangan. Dengan tingkat pendapatan yang dimiliki maka konsumsi pangan mendapat prioritas pertama, sedangkan konsumsi non pangan dan biaya usahatani merupakan prioritas selanjutnya. Konsumsi pangan rumahtangga petani berasal dari produksi sendiri dan pangan yang dibeli di pasar. Jenis pangan yang dibeli meliputi pangan sumber karbohidrat yang lain terigu, sagu, lauk, buah, bumbu, makanan jadi dan perlengkapan bahan minuman. Pangan yang berasal dari produksi sendiri bagi petani responden adalah beras dan sayur. Khusus untuk buah rumahtangga petani mengkonsumsinya secara musiman, artinya hanya sedikit rumahtangga yang mengalokasikan pendapatan untuk konsumsi buah. Adapun struktur pengeluaran rumahtangga petani disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 Rptahun Jenis Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Pengeluaran Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Pangan Produksi RT 3 214 906.10 a 18.02 a 5 695 992.49 a 20.33 a 5 728 296.57 a 27.09 a 6 797 902.92 a 27.20 a 2. Pangan dibeli 4 346 095.00 a 24.36 a 7 326 085.00 b 26.15 a 5 746 975.00 a 27.18 c 6 644 267.50 a 26.59 c 3. Non pangan 6 054 055.25 a 33.93 a 7 620 438.75 a 27.20 a 6 233 744.44 a 29.49 c 6 858 898.13 a 27.45 c 4. Usahatani 4 228 477.57 a 23.70 a 7 378 349.41 b 26.33 a 3 435 643.85 a 16.25 c 4 688 553.55 b a 18.76 c Jumlah 17 843 533.92 a 28 020 865.65 a 21 144 659.86 c 24 989 622.10 c Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap jenis lahan menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf α = 10 persen uji-t. Tabel 27 memperlihatkan bahwa secara statistik konsumsi pangan yang dibeli berbeda pada kelompok petani lahan irigasi. Proporsi pengeluaran antar jenis pangan hampir sama pada petani lahan tadah hujan dan tidak berbeda nyata pada tingkat uji-t 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan rumahtangga petani masih berimbang antara konsumsi pangan pokok yang diproduksi sendiri dengan pangan yang dibeli, sedangkan konsumsi pangan rumahtangga petani lahan irigasi lebih banyak dari pangan yang dibeli. Proporsi pengeluaran rumahtangga petani untuk konsumsi pangan lebih besar dari pengeluaran untuk konsumsi non pangan, bahkan pada rumahtangga petani lahan tadah hujan proporsi pengelauran pangan lebih besar dari 50 persen. Proporsi pengeluaran pangan dapat dijadikan indikator tingkat kesejahteraan rumahtangga, semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan berarti semakin kurang sejahtera rumahtangga tersebut atau ketahanan pangan rumahtangga semakin rendah Ariani dan Purwantini, 2009. Dilihat dari sosial ekonomi dan geografis wilayah, maka petani lahan tadah hujan memiliki kondisi yang lebih tertinggal dibandingkan petani lahan irigasi salah satunya adalah akses ke jalan raya, infrastruktur dan komunikasi. Dengan kondisi tersebut maka pengeluaran rumahtangga lebih dialokasikan untuk pangan dibandingkan kebutuhan non pangan. Mengikuti pola pangan empat sehat lima sempurna, yaitu nasi, lauk, sayur, buah dan susu maka hanya sebagian kecil 20.00 persen konsumsi rumahtangga mengikuti pola tersebut. Dari lima kelompok pangan tersebut maka kelompok lauk, susu dan bahan minuman lainnya murni dibeli oleh petani karena rumahtangga tidak memproduksinya. Pengeluaran rumahtangga untuk pangan dengan mengikuti pola empat sehat lima sempurna disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Rata-rata Pengeluaran Pangan Berdasarkan Pola Empat Sehat Lima Sempurna Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 Rptahun Jenis Lahan Sawah Irigasi Lahan Sawah Tadah Hujan Pengeluaran Peserta Bukan Peserta Peserta Bukan Peserta 1. Pangan pokok beras 2 674 197.50 a 44.19 c 2 967 185.00 a 33.76 c 2 944 536.11 a 43.15 c 2 771 665.00 a 37.79 c 2. Lauk 1 620 775.00 a 26.79 c 3 599 960.00 b 40.96 c 2 211 083.33 a 32.40 c 2 705 625.00 b 36.89 c 3. Sayur 836 432.61 a 13.82 c 891 239.98 a 10.14 c 307 756.95 a 4.51 c 316 876.25 a 4.32 c 4. Buah 78 325.00 a 1.29 c 174 850.00 a 44.19 c 285 277.78 a 4.18 c 395 525.00 a 5.39 c 5. Susu dan bahan minuman 841 262.50 a 13.91 c 1 156 675.00 b 13.16 c 1 075 605.56 a 15.76 c 1 144 195.00 a 15.60 c Total 6 050 992.61 c 100.00 c 8 789 909.98 c 100.00 a 6 824 259.72 c 100.00 a 7 333 886.25 c 100.00 a Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap pengeluara total RT Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap jenis lahan menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf α = 5 persen uji-t. Konsumsi beras petani berasal dari produksi sendiri dan sebagian rumahtangga membeli beras apabila gabah hasil produksi sendiri tidak mencukupi untuk konsumsi selama satu tahun, tambahan beras diperoleh dari raskin dan atau membeli di pasar. Disamping beras, pangan pokok yang dibeli oleh petani adalah sagu dimana sagu bagi responden yang penduduk asli masih mengkonsumsinya walaupun dalam jumlah yang kecil dan pada saat musim paceklik. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi pangan penduduk asli telah bergeser ke beras dengan meninggalkan jenis pangan lokal sagu. Juga dikatakan oleh Purwantini dan Ariani 2008 bahwa jenis pangan sumber karbohirat yang lain perannya telah tergantikan oleh beras sehingga partisipasi konsumsi pangan selain beras semakin menurun. Konsumsi lauk terdiri dari ikan segar, ikan asin, tempe, tahu dan telur, dengan dominasi pada tempe dan tahu, konsumsi daging sapi dan daging ayam hanya sekali-sekali dalam waktu satu tahun apabila ada hajatan atau pada waktu hari raya. Walaupun petani menanam beberapa jenis sayuran, namun untuk konsumsi sayur, rumahtangga masih membeli dari luar pada saat belum panen. Selanjutnya dari konsumsi buah-buahan rumahtangga lebih sering mengkonsumsi pada saat musim buah dengan jenis buah lokal seperti rambutan, langsat dan pisang, sedangkan pengeluaran konsumsi bahan minuman lebih banyak didominasi gula, teh dan kopi. Secara umum dapat dikatakan bahwa di lokasi penelitian akses ke pasar desa hanya terjadi satu kali dalam satu minggu, namun petani dapat mengakses pasar ke desa tetangga pada hari yang lain sehingga dapat dikatakan bahwa akses ke pasar desa bagi petani agak terkendala karena tidak setiap hari ada pasar.

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

Penelitian ini membagi responden berdasarkan jenis lahan, yaitu lahan sawah irigasi dan tadah hujan, serta keikutsertaan petani dalam kegiatan Prima Tani sebagai pendekatan dari teknologi. Pembedaan tersebut dilakukan untuk mengetahui kondisi produksi diantara kelompok petani dengan teknologi produksi dan jenis lahan yang memiliki karakteristik berbeda.

6.1. Estimasi Parameter Fungsi Keuntungan Stokastik Frontir

Untuk mengetahui pengaruh harga output dan harga input terhadap efisiensi produksi usahatani maka dilakukan dengan mengestimasi fungsi keuntungan stokastik frontir. Prosedur estimasi fungsi keuntungan tersebut dengan menggunakan program Frontir 4.1 terdapat pada Lampiran 4. Hasil analisis fungsi keuntungan stokastik frontir pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa variabel harga output, yaitu harga padi pada semua agroekosistem lahan sawah berbeda nyata pada taraf 95 dan 99 persen dengan tanda positif, sedangkan harga sayur berbeda nyata 99 persen hanya pada lahan sawah tadah hujan. Pengaruh harga input, terutama harga pupuk dan upah tenaga kerja berbeda nyata pada taraf 99 persen pada semua agroekosistem lahan sawah kecuali pada kelompok petani peserta Prima Tani lahan irigasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harga padi dan harga input merupakan variabel penting dalam menentukan tingkat keuntungan usahatani pada lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan. Dari hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa harga padi di daerah penelitian masih menjadi faktor pendorong insentif ekonomi bagi petani dan