mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap permintaan input daripada penawaran output.
2.3.2. Penelitian tentang Konsumsi Pangan Rumahtangga
Penelitian konsumsi pangan juga telah banyak dilakukan oleh peneliti- peneliti sebelumnya. Pada umumnya penelitian masalah konsumsi pangan
menggunakan sasaran rumahtangga sebagai unit konsumen murni. Penelitian tersebut diantaranya telah dilakukan oleh Harianto 1994 yang menganalisis
permintaan pangan di Indonesia dengan menggunakan data Susenas 1984, 1987 dan 1990, bertujuan untuk mempelajari pengaruh perubahan harga relatif dan
tingkat pendapatan konsumen terhadap permintaan berbagai komoditi yang dikonsumsi oleh rumahtangga. Model yang digunakan pada persamaan tunggal
adalah model semi log sedangkan untuk sistem persamaan terpilih model AIDS. Hasil penelitian yang diperoleh adalah : 1 permintaan pangan responsif
terhadap perubahan harga, tingkat pengeluaran total dan jumlah anggota rumahtangga, 2 model AIDS secara teoritis lebih superior dibanding model
persamaan tunggal, tetapi persamaan tunggal secara statistik tidak inferior dibanding model AIDS, dan 3 beberapa isu konseptual dan praktikal yang
berkaitan dengan konsumsi pangan adalah aspek mutu pangan yang dibuktikan melalui persamaan tunggal yang bernilai positif. Hal ini mengindikasikan bahwa
dengan meningkatnya pendapatan maka rumahtangga cenderung membeli berbagai pangan yang lebih mahal, namun dari elastisitas harga berkaitan dengan
tingkat substitusi kuantitatif – kualitatif dimana rumahtangga mengkonsumsi barang yang lebih mahal dengan kuantitas yang lebih sedikit daripada
mengkonsumsi barang yang tidak mahal. Perubahan konsumsi barang yang lebih
mahal terkait dengan preferensi rumahtangga, kenyamanan berbelanja, kemasan, penyimpanan dan sebagainya.
Kemalawaty 1999 menggunakan data Susenas untuk permintaan pangan sumber protein hewani di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa : 1 penggunaan model AIDS dengan metode OLS dan SUR menghasilkan koefisien dugaan yang sama kecuali untuk penerapan restriksi
simetri dengan menggunakan metode SUR, 2 ikan memiliki proporsi pengeluaran pangan hewani terbesar, dan 3 konsumsi protein asal ikan terbesar
dibanding kelompok pangan sumber protein hewani lainnya. Penelitian pola konsumsi dan permintaan pangan di Kawasan Timur
Indonesia KTI dilakukan oleh Rachman 2001 menggunakan data Susenas tahun 1996. Model konsumsi pangan yang dibangun menggunakan model AIDS
dan untuk keperluan analisis distribusi rumahtangga contoh dikelompokkan menurut daerah dan pendapatan. Analisis dengan metode SUR dan hasil estimasi
menyimpulkan bahwa : 1 pola konsumsi dan pengeluaran rata-rata rumahtangga di KTI mempunyai struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional,
yaitu pangsa pengeluaran pangan masih lebih besar dari pangsa pengeluaran non pangan, demikian pula pangsa pengeluaran beras masih dominan terhadap pangsa
pengeluaran pangan, 2 tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat lebih besar di perdesaan daripada di perkotaan, 3 pola konsumsi pangan pokok non beras
mulai tergeser dengan beras, 4 terdapat kecenderungan hubungan yang positip antara potensi wilayah dengan pola konsumsi penduduk, 5 permintaan pangan di
perdesaan lebih responsif terhadap perubahan harga, 6 terjadi substitusi antara
beras dengan serealia lain, dan 7 semua komoditas pangan yang dianalisis bersifat barang normal.
Akbay et al. 2007 juga melakukan penelitian pola konsumsi pangan rumahtangga dengan menggunakan data survey pengeluaran rumahtangga yang
dikategorikan menjadi 11 kelompok, yaitu roti, sereal, daging dan produk daging, minyak dan lemak, sayuran, buah-buahan, produk susu, coklat dan gula, kopi dan
teh, minuman non alkohol, dan lainnya dengan asumsi weak separability. Pola konsumsi pangan rumahtangga tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan dan
harga produk tetapi juga dipengaruhi oleh selera preferensi dan karakteristik sosial demografi. Dari studi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1
perbedaan pola konsumsi rumahtangga disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan demografi, 2 alokasi pengeluaran pangan ditentukan oleh beberapa faktor
diantaranya jumlah dan komposisi anggota keluarga, pendidikan, umur dan gender kepala keluarga, perbedaan musim dan daerah, 3 semua kelompok pangan
mempunyai nilai elastisitas harga negatif antara 0.7 – 1.0 mengimplikasikan bahwa kelompok pangan mempunyai respon yang tinggi terhadap perubahan
harga, dan 4 elastisitas pengeluaran lebih besar dari elastisitas harga sendiri mengisyaratkan kebijakan pendapatan lebih mempengaruhi pola konsumsi
dibandingkan dengan kebijakan harga. Penelitian masalah konsumsi pangan dengan menggunakan rumahtangga
sebagai konsumen dan produsen telah dilakukan oleh Strauss 1986 yang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang menentukan konsumsi pangan di
Sierra Leone dengan menggunakan model rumahtangga pertanian yang diestimasi
dengan metode Quadratic Expenditure System. Analisis dibedakan antara kelompok rumahtangga dengan pengeluaran rendah, sedang dan tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran semakin menurun dengan meningkatnya total pengeluaran kecuali untuk kelompok
permintaan minyak dan lemak, ikan dan produk hewani. Pangsa pengeluaran terbesar untuk semua kelompok pengeluaran adalah pangsa pengeluaran non
pangan, yaitu 0.39. Respon rumahtangga terhadap perubahan harga dilihat dari elastisitas harga sendiri dengan membandingkan antara keuntungan tetap model
secara umum dan keuntungan berubah model rumahtangga pertanian secara absolut lebih kecil pada model rumahtangga pertanian, seperti elastisitas harga
sendiri beras dari -0.74 menjadi -0.66, elastisitas harga sendiri minyak dan lemak dari -0.97 menjadi -0.73. Perubahan nilai elastisitas juga terjadi pada elastisitas
harga padi terhadap permintaan minyak dan lemak dari -0.29 menjadi 0.17. Hal ini mengindikasikan bahwa efek keuntungan mempengaruhi respon rumahtangga
terhadap permintaan pangan dan efek keuntungan menurun pada tingkat pengeluaran yang meningkat karena konsumsi meningkat.
Sawit 1993 membangun model rumahtangga pertanian dengan menganalisis multi output dan multi input pada rumahtangga pertanian di Jawa
Barat. Penelitian Sawit lebih menyoroti bukti empiris teori rumahtangga pertanian terhadap penawaran output dan permintaan input, serta permintaan
komoditi rumahtangga. Dengan membedakan multi output antara tanaman padi dan palawija analisis penawaran output dan permintaan input dilakukan dengan
menggunakan fungsi keuntungan translog dan fungsi permintaan komoditas rumahtangga didekati dengan model AIDS. Model analisis yang digunakan
dengan model rumahtangga pertanian sehingga dapat menangkap efek keuntungan. Efek keuntungan diperoleh dengan membedakan analisis permintaan
komoditas antara model permintaan konvensional dan model permintaan rumahtangga. Hasil analisis menunjukkan bahwa : 1 peningkatan keuntungan
diperoleh melalui peningkatan harga padi, 2 peningkatan harga palawija mempunyai dampak yang kecil terhadap peningkatan pendapatan dan penyerapan
tenaga kerja, 3 di tingkat mikroekonomi peningkatan keuntungan padi meningkatkan permintaan barang pasar sehingga akan mendorong peningkatan
aktivitas kegiatan non pertanian di daerah perdesaan, dan 4 peningkatan harga pupuk mempunyai dampak yang sangat kecil terhadap produksi padi dan palawija
serta konsumsi pangan rumahtangga.
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS