112 ekstra bagi upaya pelestsrian lingkungan, juga pengeluaran yang lebih besar
untuk produk – produk lokal dan pemanfaatan jasa lokal. 2. Menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat Matakus. Hal ini karena
dengan adanya kegiatan ekowisata di kawasan ini dapat membuka peluang berusaha dan peluang kerja bagi masyarakat setempat, misalnya menjadi
pengusaha penginapan, homestay, warung, pedagang asongan, pemandu wisata atau penyedia fasilitas wisata lainnya. Peluang usaha tersebut dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat lainnya untuk bekerja sehingga dapat menambah pendapatan guna mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
3. Meningkatkan ketrampilan
dan pengetahuan
masyarakat melalui
pengembangan program – program pelatihan usaha produktif yang bermanfaat serta pendidikan yang relevan seperti pelatihan membuat
kerajinan tangan cindera mata, misalnya tenunan atau makanan khas Matakus, kegiatan kursus bagi pemandu wisata atau sejenisnya, pelatihan
kesenian lokal seperti tnabar yang dapat dijual sebagai salah satu atraksi ekowisata di kawasan ini.
4. Pemberian bantuan pinjaman lunak untuk membantu keterbatasan modal masyarakat. Hal ini dapat difasilitasi oleh pemerintah daerah MTB dengan
mempermudah akses pada bank – bank pemerintah atau lembaga keuangan resmi yang ada. Masyarakat Matakus perlu membentuk kelompok –
kelompok usaha sehingga pemberian pinjaman lebih efektif sekaligus mempermudah pertanggung jawaban penggunaanya kelak, juga agar lebih
mempermudah pemantauan pihak pemberi bantuan.
5.6.3 Aspek Sosial
Pada aspek sosial pengelolaan ekowisata diarahkan untuk menjamin tetap terjaganya integritas sosial dan budaya masyarakat desa Matakus serta hubungan
yang harmonis dengan pelaku wisata lainnya. Berlangsungnya kegiatan ekowisata di kawasan Pulau Matakus selain
berdampak positif bagi pengembangan ekonomi dan peningkatan kesadaran likungan, juga diyakini akan membawa dampak negatif bagi masyarakat setempat
karena kemungkinan adanya pengaruh budaya dari wisatawan yang tidak sesuai
113 dengan tata nilai agama dan budaya masyarakat Matakus. Untuk mengatasi
masalah dimaksud dibutuhkan peran dari pemerintah daerah serta pelaku wisata lainnya dalam menjaga eksistensi tata nilai sosial dan budaya masyarakat lokal.
Menurut Nugroho 2004, sektor wisata mempertemukan dua atau lebih kultur yang berbeda antara wisatan dan masyarakat setempat. Wisatawan
memperoleh pengalaman berharga dari kultur lokal sementara penduduk lokal disamping mendapatkan penghasilan namun juga akan terjadi transfer budaya dari
luar yang dapat bersifat positif maupun negatif. Beberapa strategi penglolaan ekowisata secara konkrit di Pulau Matakus
yang dapat dilakukan terkait dengan aspek sosial antara lain: 1. Memperkuat posisi masyarakat desa Matakus terhadap masyarakat luar
melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengelola jasa – jasa dan potensi wisata yang ada kawasannya.
2. Menonjolkan ciri atau produk budaya lokal dalam penyediaan atraksi wisata dan pembangunan sarana dan prasarana ekowisata di Pulau Matakus.
3. Melindungi warisan budaya, adat – istiadat dan kearifan lokal seperti sasi yang telah berlaku secara turun – temurun. Nilai – nilai agama dan moral
yang telah melekat dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat harus berfungsi sebagai filter terhadap pengaruh negatif akibat transfer budaya
dengan wisatawan yang datang ke Pulau Matakus. 4. Perlu ditetapkannya aturan formal yang adil dalam pengelolaan sumberdaya
ekowisata dan pengelolaan jasa wisata di kawasan Pulau Matakus dengan mempertimbangkan model penglolaan lokal. Hal ini untuk menjamin hak –
hak dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ekowisata. 5. Melibatkan lembaga – lembaga lokal yang ada di masyarakat seperti Tuan
Tanah, Angkatan Muda dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan ekowisata.
6. Melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan dalam proses perencanaan, implementasi dan monitoring kegiatan ekowisata di kawasan
Pulau Matakus. 7. Peningkatan kapasitas sumberdaya masyarakat Matakus dan pemahamannya
tentang konsep ekowisata.
114
5.6.4 Aspek Manajemen