Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sejarah Pulau Matakus.

57 bivalvia jenis-jenis kerang seperti Anadara antiquata, Anadara granosa, Tridacna sp, Gafrarium tumidum, Pinctada maxima, Barbatia decussate; dan Chepalophoda cumi-cumi, sotong dan gurita sedangkan filum Echinodermata terdiri dari beberapa jenis teripang ekonomis penting yaitu Holothuria scabra, Holothuria edulis dan Holothuria nobilis. Selain sumberdaya bentik, potensi lainnya adalah jenis crusracea seperti udang karang Panulirus sp, rajungan Portunus spp dan kepiting bakau Scylla serrata. Jenis-jenis sumberdaya ini merupakan jenis yang selalu ditangkap oleh masyarakat desa Matakus untuk konsumsi sehari-hari maupun untuk dipasarkan ke kota Saumlaki DKP MTB, 2007.

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sejarah Pulau Matakus.

Menurut sejarah, dulunya Pulau Matakus adalah sebuah pulau kosong tanpa penghuni. Pulau ini kemudian menjadi rebutan antara desa Olilit di Pulau Yamdena dan desa Namtabung di Pulau Selaru dan sering sekali terjadi sengketa antar kedua desa. Untuk menghindari konflik berkepanjangan antar kedua desa tersebut, pemerintah Hindia Belanda kemudian menjadikan Pulau Matakus sebagai lahan perkebunan kelapa dan mengirim beberapa orang kepercayaan dari Pulau Selaru untuk menjaga perkebunan tersebut. Para penjaga kebun inilah yang berkembang biak dan memiliki keturunan di pulau ini hingga sekarang, sehingga bahasa Selaru merupakan bahasa daerah penduduk setempat. Nama Matakus itu sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yaitu “Matkuse” yang artinya “Mata Morea”. Morea merupakan bahasa lokal untuk belut, sehingga secara harafiah Pulau Matakus dapat diartikan sebagai Pulau Morea Pulau Belut. Masyarakat setempat meyakini bahwa Pulau Matakus dulunya merupakan sebuah belut raksasa yang terdampar dan berubah menjadi batu. Hal ini tidak tanpa bukti karena secara de facto, Pulau Matakus berbentuk seperti belut dimana bagian kepalanya merupakan batu besar yang terletak persis di depan desa bagian utara sedangkan bagian ekor terletak di bagian selatan. Batu yang berbentuk kepala belut dapat dilihat pada Gambar 9. 58 Gambar 10 Batu berbentuk kepala belut Kependudukan. Berdasarkan data jemaat tahun 2008, di pulau Matakus bermukim 97 kepala keluarga dengan total penduduk 410 jiwa yang terbagi atas 210 jiwa perempuan dan 200 jiwa laki-laki. Tingkat pendidikan penduduk memegang peranan yang cukup penting didalam pembangunan karena akan mempengaruhi peranan masyarakat dalam pembangunan atau cepat lambatnya penduduk menerima ide – ide pembangunan. Adapun tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Matakus dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan. No Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa Persentase 1 Tidakbelum bersekolah 91 22.20 2 SD 203 49.51 3 SMP 77 18.78 4 SMASMK 29 7.17 5 Pendidikan Tinggi 10 2.44 Total 410 100 Sumber : Statistik Jemaat GPM Desa Matakus 2008 Dari tabel 14, terlihat bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk di Pulau Matakus adalah SD dengan persentase sebesar 49.51 sedangkan hanya sekitar 2.44 10 jiwa yang mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kemampuan ekonomi masyarakat setempat yang sebagian besar adalah petani dan nelayan. 59 Perekonomian Masyarakat. Mata pencaharian penduduk di Pulau Matakus sebagian besar 90 adalah bertaniberkebun sekaligus juga sebagai nelayan sedangkan sisanya adalah pegawai negeri sipil PNS. Hal ini menunjukan bahwa perekonomian masyarakat di Pulau Matakus didominasi oleh sektor pertanian, perkebunan dan perikanan. Meskipun penduduk mempunyai mata pencaharian pokok, tetapi setiap rumah tangga juga mempunyai mata pencaharian tambahan dari sumber mata pencaharian lainnya sehingga setiap rumah tangga mempunyai mata pencaharian lebih dari satu dan beragam. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian tambahan seperti beternak. Hasil pertanian dan perikanan ikan masyarakat biasanya langsung di jual ke Saumlaki. Stok ikan di pasar Saumlaki sebagian besar dipasok oleh nelayan – nelayan dari Pulau Matakus. Berdasarkan data base kelautan dan perikanan Kabupaten MTB tahun 2007, estimasi produksi rata – rata dari beberapa alat tangkap yang beroperasi di perairan kecamatan Tanimbar Selatan termasuk perairan Matakus adalah 6 537.65 tontahun. Laju tangkap dan estimasi produksi dari beberapa jenis alat tangkap yang beroperasi di perairan kecamatan Tanimbar Selatan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa jenis alat tangkap yang beroperasi di kecamatan Tanimbar Selatan. No Alat Tangkap Jumlah Unit Tripthn Laju Tangkap rata- rata KgTrip Est. Prod. Rata – rata tonthn 1 Pukat Pantai 1 72 50.00 3.60 2 Jaring Insang 818 120 50.00 4 896.00 3 Bagan Perahu 40 96 100.00 384.00 4 Sero 12 32 40.00 15.36 5 Bubu 162 48 3.00 23.33 6 Pancing 844 96 15.00 1 215.36 Sumber: DKP MTB 2007 Budaya dan Kearifan Lokal. Penduduk asli yang mendiami Pulau Matakus berasal dari Pulau Selaru sehingga bahasa yang dugunakan untuk komunikasi sehari-hari adalah bahasa Selaru dan Bahasa Indonesia. Komunikasi dengan bahasa Selaru bisanya digunakan antar esame penduduk asli, sedangkan untuk kegiatan – kegiatan umum seperti kebaktian di gereja, proses belajar mengajar di sekolah, pertemuan – pertemuan resmi digunakan bahasa Indonesia. 60 Upacara adat yang kini masih dipertahankan adalah upacara perkawinan, upacara penyambutan tamu yang menujungi desa dengan tari-tarian dan proses mendirikan rumah baru. Upacara adat yang dilakukan tersebut biasanya dilanjutkan dengan kebaktian oleh pemimpin umat maupun majelis jemaat yang bertugas. Bentuk kearifan lokal yang masih diterapkan di Pulau Matakus hingga saat ini adalah Sasi. Sasi merupakan suatu larangan untuk mengambil sumberdaya alam tumbuhan dan hewan dalam daerah tertentu untuk suatu jangka waktu tertentu untuk menjamin hasil panen yang lebih baik. Pemberlakuan sasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap eksploitasi sumberdaya sehingga ketersediaannya tetap berkelanjutan dan menghindari terjadinya kelangkaan sumberdaya scarcity. Di Pulau Matakus, sasi dilakukan terhadap sumberdaya di laut maupun di darat. Sasi laut dilakukan untuk sumberdaya teripang dan lola sedangkan sasi darat untuk pohon kelapa dan mangga. Yang menarik adalah karena sebagai kawasan wisata, sasi juga dilakukan terhadap vegetasi pantai seperti kasuari pantai yang dianggap dapat memberikan perlindungan terhadap wisatawan yang melakukan aktifitas di pantai maupun terhadap abrasi. Ada tiga institusi yang berperan dalam proses pemberlakuan sasi yaitu pemerintah desa, pemangku adat secara adat dan pemimpin umat secara gerejani. Bentuk sasi ada 2 yaitu sasi umum biasanya untuk sumberdaya laut dan kelapa dan sasi pribadi diminta oleh masyarakat untuk melindungi tanaman milik pribadi.

4.4 Kodisi Sarana Sosial