Alat Penangkapan Ikan Layang

cincin mata, jaring hanya berfungsi sebagai penghadang gerak ikan, bukan penjerat seperti pada gillnet Ayodhyoa, 1981. Pukat cincin sudah sejak lama dikenal di Indonesia walaupun dengan nama dan konstruksi yang sedikit berbeda, seperti pukat langgar, pukat senangin, gae dan giob. Pukat cincin pertama kali diperkenalkan di Pantai Utara Jawa oleh BPPL pada tahun 1970, kemudian diaplikasikan 19731974 di Muncar dan berkembang pesat sampai sekarang Subani dan Barus, 1989. Gambar 4. Unit Alat Tangkap Purse Seine pukat cincin Sumber: Brandt 1984 Baskoro 2002 menyatakan bahwa purse seine dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan satu kapal ataupun dua unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian bagian bawah jaring dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan pelagic fish. Tingkah laku ikan layang membentuk gerombolan dekat dasar perairan pada siang hari dan mencari makan pada malam hari di permukaan perairan Jaiswar et al. 2001. Hasil tangkapan yang mendominasi hasil tangkapan pukat cincin biasanya adalah jenis ikan layang yaitu antara Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma Atmajaya dan Nugroho, 2005. Menurut Subani dan Barus 1989 umumnya perikanan purse seine di dunia menggunakan satu kapal yang terdiri dari dua tipe kapal purse seine, yaitu tipe Amerika dan tipe Skandinavia Eropa. Kapal purse seine tipe Amerika mempunyai bridge anjungan dan ruang akomodasi pada bagian haluan. Kapal purse seine tipe Skandinavia Eropa mempunyai bridge anjungan, dan ruang akomodasi di buritan. Kegiatan penurunan jaring dilakukan pada sisi kanan kapal starboart, sedangkan sisi kiri kapal portside ditempati untuk ruang kemudi. Alat penangkapan purse seine disimpan pada bagian buritan dan power block, biasanya terletak di sisi anjungan kapal Fyson, 1985. Menurut Fridman 1986 jenis purse seine yang dioperasikan dengan satu unit kapal memiliki kantong bunt yang terletak pada salah satu ujung jaring, sedangkan kantong bunt pada purse seine yang manggunakan dua unit kapal terletak pada bagian tengah jaring.

2.2.2 Lift Net Bagan Perahu

Bagan merupakan alat tangkap yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan mulai diperkenalkan pertama kalinya oleh nelayan-nelayan Makassar dan Bugis sekitar tahun 1950. Kemudian dalam tempo relatif singkat sudah dikenal hampir di seluruh daerah perikanan laut di Indonesia dan dalam perkembangannya telah mengalami perubahan-perubahan bentuk Subani dan Barus, 1989. Menurut Brandt 1984, bagan merupakan alat tangkap yang diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring angkat lift net. Dalam pengoperasiannya, jaring diturunkan ke dalam perairan, kemudian diangkat secara vertikal. Penangkapan dengan bagan hanya dilakukan pada waktu malam hari, terutama pada saat gelap bulan dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan Subani dan Barus, 1989. Pengoperasian alat tangkap bagan menggunakan atraktor cahaya light fishing sehingga tidak efisien apabila digunakan pada saat terang bulan purnama. Hal ini dikarenakan pada waktu terang bulan ikan-ikan cenderung menyebar di dalam kolom Perairan Gunarso, 1984, sehingga fungsi cahaya sebagai atraktor tidak efisien bila dibandingkan saat gelap bulan.Oleh karena itu, umumnya nelayan-nelayan bagan tidak melakukan operasi penangkapan pada saat terang bulan. Gambar 5. Unit alat tangkap Lift Net bagan perahu Sumber: Sudirman dan Mallawa 2003 Menurut Subani 1989, lampu yang umum digunakan sebagai atraktor cahaya adalah lampu petromaks yang berkekuatan 250 –400 lilin yang digantung diatas permukaan perairan dengan jarak lebih kurang 1 meter. Bagan perahu boat lift net menggunakan dua buah perahu yang pada bagian depan dan belakang dihubungkan dengan dua batang bambu sehingga berbentuk bujur sangkar sebagai tempat untuk menggantungkan jaringnya. Seperti juga rakit, bagan perahu ini dapat berpindah tempat penangkapannya.

2.3 Konsep Bioekonomi Perikanan

Pengetahuan tentang kondisi bioekonomi perikanan suatu perairan adalah sangat penting. Dalam menetapkan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dengan mempertimbangkan parameter biologi maupun parameter ekonomi demi keberlanjutan dari sumberdaya perikanan tersebut. Fauzi 2010 menjelaskan analisis biologi secara umum menyangkut aspek produksi alamiah natural production , dan juga aspek kondisi lingkungan perairan. Aspek ekonomi dalam analisis bioekonomi meliputi aspek pasar serta non pasar, aspek preferensi, dan aspek aktivitas ekonomi.

2.3.1 Aspek Biologi

Fauzi 2010 menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan pada awalnya didasarkan pada aspek biologi, yaitu tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield MSY. Pendekatan ini diasumsikan bahwa semua spesies ikan memiliki kempampuan untuk bereproduksi melebihi kapasitas produksi surplus, apabila surplus tersebut yang dipanen maka stok akan mampu bertahan secara berkesinambungan sustainable. Pendekataan biologi yang didekati dengan model surplus produksi ini merupakan dinamika dari biomass yang digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami seperti pada persamaan berikut: Biomas pada t+1 = biomass pada t + produksi – mortalistas alami 2.1 Persamaan tersebut menjelaskan bahwa apabila produksi melebihi mortalitas alami maka biomass akan meningkat, dan sebaliknya apabila mortalitas alami meningkat melebihi produksi maka biomass akan menurun. Walters dan Hilborn 1992 menyatakan bahwa surplus produksi dapat dapat menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan atau jumlah yang bisa ditangkap jika biomass dipertahankan dalam tingkat tetap. Model surplus produksi yang sering digunakan yaitu model yang dikembangkan oleh Schaefer 1935 dalam pendekatan yang digunakan ini, Schaefer 1954 menjelaskan beberapa faktor biologi yang berpengaruh dalam fungsi produksi penangkapan ikan yang meliputi biomass dari stok yang diukur dalam berat , laju pertumbuhan alami dari populasi , dan faktor daya dukung maksimum lingkungan atau keseimbangan alamiah dari ukuran biomas atau titik kejenuhan, dari faktor-faktor yang dijelaskan tersebut, maka dalam kondisi tidak ada penangkapan ikan laju perubahan biomas sepajang waktu digambarkan dalam persamaan berikut: 2.2 2.3 adalah fungsi pertumbuhan dalam model surplus produksi yang terdiri dari model pertumbuhan logistik dan ekponensial atau Gompertz. Fungsi pertumbuhan merupakan suatu basis fungsi yang digunakan oleh Schaefer 1995, Walters dan Hilborn 1976. Sedangkan fungsi Gompertz sendiri merupakan fungsi yang digunakan oleh Fox 1970, Schnute 1977, dan Clark, Yoshimito, dan Pooley 1992 fungsi Gompertz tersebut dapat dituliskan sebagai persamaan berikut: 2.4