Analisis Depresiasi Dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang Di Perairan Kota Ambon.

(1)

i

ANALISIS DEPRESIASI DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN

SUMBERDAYA IKAN LAYANG

DI PERAIRAN KOTA AMBON

JANER SANGADJI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(2)

(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Depresiasi dan

Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang di Perairan Kota Ambon” adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Janer Sangadji NRP H351114041


(4)

(5)

v

SUMMARY

JANER SANGADJI. Analysis of Depreciation and Policy Resources Management on

Scad Fish in the City of Ambon Waters. Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and SAHAT MH SIMANJUNTAK.

Utilization of scad fish resources in the City of Ambon Waters continues to increase and has an impact on the decline in the catch per effort (CPUE). This study aims to determine the conditions of utilization of scad fish resources, to assess the rate of depreciation, to analysis fisherman walfare and determine resource management policies of scad fish resource. Method of analyses include bioeconomic analysis, analysis of the rate of degradation and depreciation coefficient, dynamic analysis, analysis of producer welfare, and fisheries resource management policy determination using the Analytic Hierarchy Process (AHP). The results showed that utilization of scad fish resources in the City of Ambon Waters has experienced biological and economic overfishing. Maximum economic rent is achieved by reducing the effort of 192,318 trips per year to 24,563 trips per year. In order to obtain maximum economic rent for Rp.10.789 million. Scad fish resources in the City of Ambon Waters indicated experiencing degradation and depreciation with an average degradation rate coefficient of 0,57 and a coefficient value of 0,85. Simulation of dynamic models based on degradation and depreciation indicates that the degradation of the scad fish resources in the City of Ambon Waters triggered by effort, and profit, which leaded to overfishing. The average value indicates a decrease in producer surplus each year, the welfare of total scad fish fishermen tends to decrease ranged Rp.1.360 million to Rp.3.669 million per year, or an average of Rp.1.791 million per year. Analysis of resource management policies in the City of Ambon Waters showed that aspect of fish biology has the highest score (0.419), the actor who has the highest score is the government (0.503), the next highest priority that has the highest influence is sustainable fisheries resource utilization of (0.729) and utilization of alternative noting biological aspects of fish resources with a score of (0.538). The results of this analysis can be used as main priority in policy for planning sustainable management of scad fish resources in the City of Ambon Waters.

Keywords: Scads Fish Resources, Bioeconomic, Depreciation, Dynamic Models, Producers Surplus, Resource Policy.


(6)

(7)

vii

RINGKASAN

JANER SANGADJI. Analisis Depresiasi dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang di Perairan Kota Ambon. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan

SAHAT MH SIMANJUNTAK.

Pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon terus mangalami peningkatan berdampak penurunan hasil tangkapan per upaya (CPUE) terlihat pada kondisi lokasi penelitian, tingkat eksploitasi terhadap sumberdaya ikan layang yang meningkat di Perairan Kota Ambon berakibat produksi sumberdaya tersebut menjadi menurun dan berdampak terhadap degradasi, depresiasi dan kesejahteraan nelayan di Perairan Kota Ambon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan layang, mengkaji laju degradasi dan depresiasi dengan menggunakan model dinamik, menganalisis kesejahteraan nelayan dan menentukan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layang. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis bioekonomi, analisis laju koefisien degradasi dan depresiasi, analisis dinamik, analisis kesejahteraan produsen, dan penentuan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon terindikasi telah mengalami tangkap lebih secara biologi (biological overfishing) dan secara ekonomi (economic overfishing). Rente ekonomi maksimal tercapai dengan menurunkan effort dari 192.318 trip per tahun menjadi 24.563 trip per tahun sehingga dapat memperoleh rente ekonomi maksimal sebesar Rp.10.789 juta. Sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon terindikasi mengalami degradasi dan depresiasi dengan rata-rata nilai nilai koefisien degradasi sebesar 0,57 dan nilai koefisien depresiasi sebesar 0,85 yang diakibatkan peningkatan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon.

Simulasi model dinamis dengan basis degradasi dan depresiasi, mengindikasikan telah terjadi degradasi dan depresiasi terhadap sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon. Degradasi dan depresiasi dipicu oleh rente ekonomi yang dihasilkan dari pemanfaatan effort. Dalam jangka panjang akan berdampak pada menurunnya biomass ikan layang di Perairan Kota Ambon dan Sekitarnya. Rata-rata nilai surplus produsen menunjukkan penurunan setiap tahunnya berarti kesejahteraan seluruh nelayan ikan layang cenderung mengalami penurunan berkisar antara Rp.1.360 juta hingga Rp.3.669 juta per tahun atau rata-rata sebesar Rp.1.791 juta per tahun. Analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon menunjukkan bahwa aspek biologi ikan memiliki skor tertinggi (0,419), aktor yang memiliki skor tertinggi adalah pemerintah (0,503), selanjutnya prioritas pengelolaan yang memiliki skor tertinggi adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan sebesar (0,729) dan alternatif pemanfaatan memperhatikan aspek biologi dari sumberdaya ikan dengan skor (0,538). Hasil analisis tersebut dapat digunakan sebagai prioritas dalam perencanaan kebijakan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya ikan di Perairan Kota Ambon.

Kata kunci : Sumberdaya Ikan Layang, Bioekonomi, Depresiasi, Model Dinamik, Surplus Produsen, Kebijakan Sumberdaya.


(8)

(9)

ix

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2015

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.


(10)

(11)

xi

ANALISIS DEPRESIASI DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN

SUMBERDAYA IKAN LAYANG

DI PERAIRAN KOTA AMBON

JANER SANGADJI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(12)

xii


(13)

xiii Judul Tesis : Analisis Depresiasi dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya

Ikan Layang di Perairan Kota Ambon Nama : Janer Sangadji

NIM : H351114041

Program Studi : Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S Ir. Sahat. M.H. Simanjuntak, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr


(14)

(15)

xv

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul: Analisis Depresiasi dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang di Perairan Kota Ambon. Karya ilmiah ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan atas bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S. dan Ir. Sahat. M.H. Simanjuntak, M.Sc atas kesediaan meluangkan waktu membimbing penulis dalam penyelesaian studi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku Dosen Penguji ujian tesis. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga Penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., selaku Ketua Program Studi ESL dan para Dosen yang telah banyak memberikan pembelajaran ilmu bagi penulis yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.

Penulis sampaikan rasa hormat yang mendalam kepada keluarga penulis: Marthen Sangadji, SE, M.Si., (Ayah), Frederika Sangadji/Wattimena (Ibu) dan Maryo Sangadji (Adik) tercinta atas segala doa, kasih sayang, dukungan, semangat, perlindungan, dan nasehat yang diberikan untuk penulis sepanjang masa dan juga penulis sampaikan kepada keluarga besar Program Studi ESL dan ESK, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaikan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi berbagai pihak dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan layang secara berkelanjutan.

Bogor, Februari 2015


(16)

(17)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Ambon di Desa Rumahtiga pada tanggal 14 Januari 1990 dari orangtua bernama Marthen Sangadji, SE, M.Si dan Frederika Sangadji/Wattimena. Penulis merupakan putra pertama dari satu bersaudara. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Ambon dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk UNPATTI melalui jalur PSSB. Penulis memilih Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus tahun 2011. Setelah menamatkan program Sarjana, Penulis melanjutkan studi pada program Magister Sains Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Unggulan Pendidikan Pascasarjana DIKTI tahun 2012-2014.


(18)

(19)

xix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Sumberdaya Ikan Layang ... 11

2.2.1. Deskripsi Ikan Layang ... 12

2.2.2. Habitat dan Distribusi Ikan Layang ... 13

2.2.3. Pola Ruaya dan Musim Tangkapan Ikan Layang ... 14

2.2.4. Musim Pemijahan Ikan Layang ... 15

2.2. Alat Penangkapan Ikan ... 16

2.3.1. Purse seine (Pukat Cincin) ... 16

2.3.2. Lift Net (Bagan Perahu) ... 18

2.3. Konsep Bioekonomi Perikanan ... 19

2.4.1. Aspek Biologi ... 19

2.4.2. Aspek Ekonomi ... 25

2.4. Depresiasi Sumberdaya Perikanan ... 28

2.5. Sistem Dinamik ... 31

2.6. Kesejahteraan Produsen ... 36

2.7. Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan ... 38

2.8. Studi Terdahulu ... 39

III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN ... 41

3.1. Kerangka Operasional ... 41


(20)

xx

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 45

4.1. Metode Penelitian ... 45

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 45

4.3. Metode Pengambilan Contoh ... 48

4.4. Metode Analisis Data ... 49

4.4.1. Analisis Bioekonomi ... 50

4.4.2. Analisis Degradasi dan Depresiasi ... 53

4.4.3. Analisis Sistem Dinamik ... 55

4.4.4. Analisis Aspek Kesejahteraan ... 57

4.4.5. Analisis Kebijakan ... 58

4.5. Batasan Penelitian ... 60

4.5.1 Batasan dan Pengukuran ... 60

4.5.2 Asumsi-asumsi ... 63

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 65

5.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 65

5.2. Kondisi Geografis ... 66

5.2.1 Kota Ambon ... 66

5.2.2 Demografi Kota Ambon ... 68

5.2.3 Perkembangan Perekonomian Kota Ambon ... 68

5.2.4 Rumahtangga Perikanan (RTP) Kota Ambon ... 69

5.2.5 Armada Perikanan Kota Ambon ... 70

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 73

6.1. Kondisi Pemanfaatan Ikan Layang di Perairan Kota Ambon ... 73

6.1.1 Alat Penangkapan Ikan Kota Ambon ... 74

6.1.2 Produksi Ikan Layang ... 74

6.1.3 Upaya Penangkapan (effort) ... 76

6.1.4 Catch Per Unit Effort ... 78

6.1.5 Hubungan CPUE dan Effort ... 79

6.2 Analisis Bioekonomi ... 80

6.2.1 Estimasi Parameter Biologi ... 80

6.2.2 Estimasi Parameter Ekonomi ... 82

6.2.3 Estimasi Tingkat Discount Rate ... 84


(21)

xxi

6.3 Analisis Laju Degradasi dan Depresiasi ... 88

6.4 Nilai Depresiasi Sumberdaya Ikan Layang ... 87

6.5 Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan Layang ... 88

6.5.1 Optimasi Statik Pemanfaatan Ikan Layang ... 90

6.5.2 Optimasi Dinamik Pemanfaatan sumberdaya Ikan Layang ... 92

6.6 Analisis Dinamis Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang ... 93

6.6.1 Cousal Loop ... 93

6.6.2 Model Total ... 93

6.6.3 Running Model ... 96

6.7 Analisis Kesejahteraan Produsen ... 97

6.8 Proses Hierarki Analitik ... 99

6.8.1 Persepsi Terhadap Beberapa Aspek Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang di Perairan Kota Ambon ... 100

6.8.2 Persepsi Pihak-Pihak dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang di Perairan Kota Ambon ... 101

6.8.3 Persepsi Terhadap Komponen Aspek Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang di Perairan Kota Ambon ... 102

6.8.4 Pilihan Terhadap Beberapa Komponen Terpilih dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang di Perairan Kota Ambon ... 103

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 105

7.1 Simpulan ... 105

7.2 Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 107

LAMPIRAN ... 113


(22)

(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

1 Sumberdaya Perikanan Dominan Berdasarkan Volume Produksi (ton)

Tahun 2005 4

2 Simbul-Simbul Diagram Alir 33

3 Studi Terdahulu 39

4 Jenis dan Sumber Data 46

5 Formula Solusi Bioekonomi Statis 52 6 Matriks Bentuk Perbandingan Berpasangan 59 7 Luas Daratan Kota Ambon Menurut Kecamatan 67 8 Data Kepadatan Penduduk Kota Ambon Tahun 1995-2009 68 9 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Ambon 69 10 Rumahtangga Nelayan (RTP) Kota Ambon 69 11 Perkembangan Armada Perikanan di Kota Ambon 70 12 Produksi Ikan Layang di Kota Ambon 75

13 Effort Penangkapan Ikan Layang di Kota Ambon 76

14 Hasil Estimasi Parameter Biologi dan Parameter Ekonomi dengan model CYP 81 15 Biaya Per Unit Effort Unit Alat Tangkap Standar 82 16 Harga Riil Ikan Layang di Kota Ambon 83 17 Perbandingan Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Layang 85 18 Koefisien Laju Degradasi dan Depresiasi Ikan Layang 87

19 Nilai Depresiasi Ikan Layang 89

20 Optimasi Statik Ikan Layang 91

21 Optimasi Dinamik Pemanfaatan Ikan Layang 93 22 Nilai Surplus Produsen Ikan Layang 98

23 Total Benefit Ikan Layang 99

24 Penilaian Komponen Kebijakan Terkait Pengelolaan Ikan Layang 102 25 Penilaian Komponen Kebijakan Pengelolaan Ikan Layang 103 26 Penilaian Komponen Aspek Pengelolaan Ikan Layang 103 27 Penilaian Komponen Terpilih Kebijakan Pengelolaan Ikan Layang 104


(24)

(25)

xxv

DAFTAR GAMBAR

1 Ruang Lingkup Penelitian 8

2 Ikan Layang (Decapterus ruselli) 13 3 Ikan Layang (Decapterus mascrosoma) 13 4 Unit Alat Tangkap Purse Seine (pukat cincin) 17 5 Unit alat tangkap Lift Net (bagan perahu) 19 6 Pengaruh Kegiatan Penangkapan Terhadap Stok 24 7 Kurva Keseimbangan Bioekonomi Sumberdaya Ikan 26

8 Tahapan Analisis Sistem 36

9 Kerangka Analisis Penelitian 42

10 Diagram Alir Kerangka Penelitian 44

11 Lokasi Penelitian 65

12 Perkembangan Alat Penangkapan Ikan Layang di Perairan Kota Ambon 74 13 Perkembangan Effort Ikan Layang 77 14 Perkembangan Catch per unit effort periode 1995-2009 78 15 Hubungan CPUE dan Effort 1995 hingga 2009 79 16 Perkembangan Produksi Aktual dan Produksi Lestari Model CYP 86 17 Nilai Koefisien Degradasi dan Depresiasi Ikan Layang 88 18 PVR Lestari dan Depresiasi Ikan Layang (5,65%) 90 19 PVR Lestari dan Depresiasi Ikan Layang (18%) 90 20 Kurva Keseimbangan Bioekonomi Perikanan di Perairan Kota Ambon 92

21 Causal Loop diagram Pengelolaan Ikan Layang 93

22 Sub Model Biomassa Ikan Layang 95

23 Sub Model Effort Ikan Layang 95

24 Model Dinamis Degradasi Ikan Layang 96 25 Simulasi Model Dinamis Degradasi dan Depresiasi 97 26 Pekembangan Rente Aktual dan Surplus Produsen 100 27 Hierarki Pengelolaan Ikan Layang di Perairan Kota Ambon 101 28 Hasil AHP Pengelolaan Ikan Layang di Perairan Kota Ambon 105


(26)

(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner Identifikasi Responden 115

2 Kuesioner Para Pakar 119

3 Kondisi Perikanan di Lokasi Penelitian 129 4 Data Produksi effort dan Standarisasi Alat Tangkap 131 5 Perhitungan Parameter Biologi Ikan Layang dengan Model Fox, Scheafer,

CYP, W-H, dan Schnute 133

6 Standarisasi Biaya dan Effort 145

7 Standarisasi Harga Ikan Layang Per Unit Alat Tangkap 146 8 Perhitungan discout rate dengan Model Kulla 147

9 Solusi Bioekonomi Model CYP 149

10 Pengukuran Aspek Kesejahteraan Produsen 155 11 Output Simulasi Model Dinamis dengan Software Stellarium dan Powersim 157 12 Output Analisis Hierarki Proses 161


(28)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan perikanan diuraikan oleh FAO (1997), merupakan proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan dibidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumberdaya, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Berdasarkan pengertian ini, pengelolaan perikanan membutuhkan bukti ilmiah terbaik (best scientific evidence) untuk analisis dan perencanaan perikanan yang memadai, proses diskusi melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan penetapan berbagai tujuan dan strategi pengelolaan melalui pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi aturan. Berdasarkan data Food Outlook (Food and Agriculture Organization/FAO, 2007) produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami penurunan sebesar 4,55 persen. Penurunan tersebut lebih besar dari rata-rata penurunan produksi perikanan dari sepuluh negara produsen perikanan dunia, yaitu sebesar 2,37 persen. Pada tahun yang sama FAO juga mempublikasikan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar Perairan Indonesia, terutama di sekitar Perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menujukkan kondisi pemanfaatan penuh (full exploited). Kondisi pemanfaatan perikanan di Perairan Samudra Hindia cenderung mengarah pada kondisi eksploitasi berlebihan (overexploited), artinya pada Perairan tersebut tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan eksploitasi penangkapan ikan. Sesuai dugaan para ahli bahwa kondisi sumberdaya ikan pada perairan Indonesia sudah mengalami degradasi (Suhana, 2009), sehingga wilayah pesisir dan lautan umumnya yang memiliki keragaman ekosistem yang khas memerlukan pendekatan kebijakan (policy) pengelolaan yang khas pula (Kusumastanto, 2007).

Sebagai Negara Kepulauan Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, serta garis pantai terpanjang ke-empat di dunia yaitu 95.181 km (World Resources Institute, 2001). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia memiliki wilayah perairan pedalaman dan kepulauan seluas 2,3 juta km2, laut teritorial seluas 0,8 km2 dan Zona Ekonomi Ekslusif seluas 2,7 juta km2. Sebagai bagian dari potensi bidang kelautan, sektor perikanan memberikan kontribusi yang penting bagi perekonomian Indonesia, yaitu penghasil protein,


(29)

2

tenaga kerja dan pendapatan (Kusumastanto and Jolly, 1997) dalam Ramadona (2013). Perikanan tergolong dalam sumberdaya pulih (renewable resources), namun bila tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya tersebut, sebagaimana yang dinyatakan Kusumastanto (2003), perikanan sebagai salah satu sumberdaya pulih menjadi faktor kunci sustainability, maka investasi dalam penyediaan teknologi ramah lingkungan yang mengedepankan optimasi dan keberlanjutan perlu dilakukan. Pemanfaatan dan pengelolaan perikanan selain memberikan keuntungan, juga meninggalkan berbagai permasalahan, seperti tangkap lebih (overfishing) dan kerusakan habitat (habitat destruction), sehingga tangkap lebih dan kerusakan habitat berdampak terhadap penurunan produksi perikanan dunia.

Data sumberdaya ikan pelagis kecil khususnya ikan layang di Perairan Kota Ambon menunjukkan bahwa jenis sumberdaya tersebut masih memiliki peluang pemanfaatan bahkan cenderung dapat ditingkatkan (DKP Provinsi Maluku, 2008). Namun dari data lain menunjukkan bahwa jumlah hasil tangkapan per upaya (Catch Per Unit Effort) terlihat adanya kecenderungan menurun, sehingga berdasarkan data tersebut diperlukan perencanaan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan di Kota Ambon. Kecenderungan turunnya hasil tangkapan per upaya (Catch Per Unit Effort) mengindikasikan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon produksinya dalam waktu tertentu telah berkurang.

Produksi sumberdaya ikan pelagis kecil termasuk sumberdaya ikan layang dari tahun ke tahun mengalami penurunan, dan akibat pemanfaatan yang tinggi oleh para nelayan yang bertempat tinggal di Perairan Kota Ambon. Alat tangkap yang dominan yang digunakan untuk menangkap ikan layang di Perairan Kota Ambon terdiri dari purse seine dan bagan. Dalam kurun waktu tahun 2004 hingga 2009 effort alat tangkap di Perairan Kota Ambon untuk alat tangkap purse seine dan bagan cenderung menurun dengan konsekuensi menurunnya produksi sumberdaya tersebut.

Data potensi produksi perikanan tangkap di Perairan Laut Banda termasuk daerah tangkapan Perairan Kota Ambon yang dikeluarkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap tahun 2002, tercatat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil dan ikan


(30)

3

demersal telah mangalami tangkap lebih (DKP Kota Ambon, 2005). Hal sama terlihat dari data Statistik Ditjen Perikanan Tangkap (2010) menunjukkan bahwa produksi ikan pelagis kecil (termasuk sumberdaya ikan layang) pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP RI-714) Laut Banda mencapai 146,47 ton per tahun dengan potensi sebesar 132,00 ton per tahun (tingkat pemanfaatan lebih dari 100%) atau sudah melebihi potensi sumberdaya.

Sebagai salah satu kota yang wilayahnya terdiri dari perairan, Kota Ambon memiliki potensi besar dalam bidang perikanan khususnya potensi sumberdaya ikan layang menunjukkan pemanfaatan yang tinggi, namun demikian pemanfaatan tersebut harus dikelola agar tidak membahayakan kelestarian sumberdaya tersebut. Produksi sumberdaya perikanan di Perairan Kota Ambon yang terdiri dari pelagis dan demersal, termasuk didalamnya sumberdaya ikan layang. Data Statistik Perikanan Kota Ambon mencatat dari beberapa jenis ikan pelagis yang ditangkap, ikan layang menunjukkan penurunan produksi tahun 2010 sebesar 36,71 ton dan pada tahun 2011 sebesar 27,79 ton (BPS Kota Ambon, 2011), hal ini akibat meningkatnya eksploitasi di Perairan Kota Ambon menyebabkan stok sumberdaya ikan layang menurun dan juga tingginya pemanfaatan akan sumberdaya tersebut. Ikan layang selain di konsumsi oleh masyarakat, juga digunakan sebagai umpan hidup pada alat tangkap tuna longline di Samudera Indonesia oleh beberapa kapal penangkap tuna (DKP Kota Ambon, 2002) yang berdampak terhadap penurunan produksi sumberdaya tersebut. Berdasarkan jenis sumberdaya perikanan yang dominan Tabel 1 menyajikan jumlah produksi perikanan perairan Kota Ambon dan sekitarnya sebagai berikut:


(31)

4

Tabel 1. Sumberdaya Perikanan Berdasarkan Volume Produksi Tahun 2005 (ton) No Sumberdaya Perikanan Dominan Volume Keterangan

A Ikan

1 Layang 203,20*

volume diatas 200 ton

2 Tembang 11,38

3 Cakalang 11,77

4 Kembung 11,48

B Udang-udangan

1 Udang Putih 262,50

volume diatas 250 ton

2 Udang Windu 328,20

C Binatang Berkulit Keras

1 Kepiting 238,40

volume diatas 200 ton

2 Rajungan 207,00

D Binatang Berkulit Lunak

1 Teripang 667,80

volume diatas 500 ton

2 Cumi-Cumi 15,38

3 Gurita 131,70

4 Rumput Laut 600,80

Sumber: BPS Kota Ambon, 2005 dan DKP Kota Ambon, 2011*

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok ikan pelagis terdapat empat jenis ikan yang dominan dari aspek volume produksi, masing-masing ikan layang, tembang, cakalang dan kembung (DKP Kota Ambon, 2005 dan DKP Kota Ambon, 2011). Kelestarian sumberdaya di Perairan Kota Ambon perlu mendapat perhatian khusus, dalam hal ini Perairan Laut Banda karena Perairan laut Banda merupakan pusat berlangsungnya aktivitas perikanan mencakup hampir sebagian Peraian Laut Maluku Tengah.

Dengan adanya peningkatan eksploitasi sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon berdampak terhadap degradasi sumberdaya tersebut sehingga akan memicu terjadinya depresiasi dan konsekuensinya menyebabkan penurunan nilai surplus dari kesejahteraan nelayan di Perairan Kota Ambon. Ekploitasi sumberdaya tersebut dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara input penangkapan dan potensi sumberdaya ikan sehingga dapat mengarah pada kondisi tangkap lebih (overfishing), kelebihan kapasitas, penurunan produksi, inefisiensi penangkapan, penurunan rente ekonomi, serta terjadinya degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan. Akibat dari degradasi sumberdaya perikanan di Perairan Kota Ambon bukan hanya masalah ekologi, namun juga merupakan masalah ekonomi dan kesejahteraan nelayan sebagai produsen, disebabkan kurangnya kontrol dari pemerintah sebagai policy maker, dan kurangnnya


(32)

5

pemahaman nelayan lokal tentang sifat dari sumberdaya ikan yang open acces (Ralahalu, 2007).

Menurut Nikijuluw (2002), apapun cara atau pendekatan yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, jika pemanfaatannya dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya sumberdaya akan mengalami tekanan secara ekologi dan selanjutnya menurun kualitasnya. Pengelolaan, penataan, atau manajemen sumberdaya ikan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan dapat tercapai.

Kusumastanto (2003), menjelaskan agar bidang kelautan menjadi bidang unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Dalam rangka mengarahkan pembangunan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik.

Berdasarkan hal tersebut perencanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan di Perairan Kota Ambon perlu mengkaji kondisi degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan. Degradasi dapat terjadi akibat dari aktivitas manusia yang berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan sehingga dapat menyebabkan terjadinya deplesi terhadap sumberdaya pesisir dan laut. Oleh karena itu keadaan degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon perlu dikaji sehingga dapat menghasilkan perencanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon yang efisien, efektif dan berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah

Secara teoritis pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi prioritas pada saat ini, mengingat dalam situasi krisis pangan sumberdaya perikanan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik dan penghasil devisa negara. Usaha penangkapan sumberdaya ikan layang merupakan bentuk kegiatan ekonomi dengan tujuan akhir keuntungan. Keuntungan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dilakukan dengan meningkatkan produksi


(33)

6

sumberdaya tersebut. Peningkatan intensitas penangkapan sumberdaya ikan layang akan memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif adalah adanya kenaikan produksi pada tingkat tertentu, sedangkan dampak negatif adalah apabila intensitas penangkapan yang dilakukan tidak seimbang dengan potensi sumberdaya ikan akan mengakibatkan pengurangan stok dan pada akhirnya akan terjadi penurunan produksi hasil tangkapan yang mengarah pada degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan tersebut.

Pemanfaatan sumberdaya ikan layang yang dilakukan oleh nelayan di Perairan kota Ambon selama ini lebih ditekankan pada kepentingan jangka pendek dengan rente ekonomi yang tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan kepentingan jangka panjang. Umumnya nelayan di Perairan Kota Ambon saling bersaing untuk dapat menangkap ikan lebih banyak agar dapat memperoleh manfaat yang lebih besar sehingga menstimulasi adanya teknologi penangkapan. Di lain sisi nelayan yang menangkap ikan semakin bertambah jumlahnya sehingga menstimulasi munculnya persaingan dalam mendapatkan hasil tangkapan. Dampak tekanan terhadap sumberdaya ikan semakin tinggi sehingga menimbulkan degradasi sumberdaya ikan secara besar-besaran dan fenomena ini terjadi di (WPP RI-714) Laut Banda termasuk Perairan Kota Ambon dan diduga telah terjadi tangkap lebih (overfishing) yang disebabkan oleh peningkatan upaya penangkapan dan penurunan produksi tangkapan sumberdaya ikan dengan tingkat eksplotasi yang tinggi pada Perairan Kota Ambon. Dugaan tersebut harus dikaji lebih jauh agar pengelolaan sumberdaya ikan pada Perairan Kota Ambon tidak bias dan salah sasaran karena banyak pihak yang berkepetingan memanfaatkan perairan ini, hal ini membutuhkan pembuktiaan ilmiah dan aktual dari sumberdaya ikan pada perairan tersebut.

Berdasarkan uraian latar belakang, beberapa permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon ditinjau dari sisi biologi dan ekonomi ?

2. Apakah telah terjadi degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon yang diakibatkan oleh eksploitasi?


(34)

7

3. Bagaimana dampak pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan layang terhadap kesejahteraan nelayan di Perairan Kota Ambon?

4. Bagaimana arah kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan dari penelitian ini dibagi atas dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut:

1. Tujuan Umum:

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu mengetahui kondisi pemanfaatan, depresiasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon.

2. Tujuan Khusus:

1. Mengkaji pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon. 2. Menganalisis degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan layang yang terjadi di

Perairan Kota Ambon.

3. Menganalisis aspek pengelolaan dan aspek kesejahteraan nelayan ikan layang di Perairan Kota Ambon.

4.

Menganalisis dan merumuskan langkah-langkah kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Data Statistik Perikanan Kota Ambon tahun 2005, 2010 dan 2011 memperlihatkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon mengalami peningkatan namun nampak adanya kecenderungan turunnya CPUE, hal tersebut menggambarkan sumberdaya ikan layang mengalami tangkap lebih. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mengkaji tentang pemanfaatan, degradasi dan depresiasi, model dinamik, aspek kesejahteraan nelayan dan kebijakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan kajian utama pada degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan layang yang ditangkap dengan alat tangkap purse seine dan bagan di Perairan Kota Ambon. Secara rinci ruang lingkup penelitian disajikan pada Gambar 1. Data yang digunakan dalam


(35)

8

penelitian ini berupa data time series selama 15 tahun dari tahun 1995 hingga tahun 2009. Data sekunder yang digunakan adalah data yang berasal dari publikasi, literatur, maupun buku-buku teks yang mendukung penelitian ini. Data primer diperoleh dari wawancara dengan nelayan dan stakeholder perikanan di Kota Ambon.

Gambar 1. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan Gambar 1 tersebut kajian pengelolaan terhadap sumberdaya ikan layang dilakukan melalui beberapa metode analisis yang dijelaskan antara lain analisis ekonomi guna mengetahui tingkat pemanfaatan baik secara biologi dan ekonomi. Nilai degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan layang dapat diketahui dengan menggunakan analisis bioekonomi, kemudian analisis sistem dinamik dilakukan guna mengetahui keberlajutan dari produksi sumberdaya ikan layang dan kesejahteraan nelayan, analisis kesejahteraan dilakukan guna mengetahui berapa besar surplus yang terjadi akibat dari perubahan produksi sumberdaya ikan layang terhadap rente ekonomi nelayan, dan analisis kebijakan dengan

Survei

Informasi dan data Potensi Sumberdaya Ikan Layang

Tekanan Eksploitasi

Bioekonomi : 1 . Parameter Biologi 2. Parameter Ekonomi 3. Standarisasi Alat tangkap

Degradasi dan Depresiasi : 1. Produksi Aktual

2. Produksi Lestrai 3. Rente Aktual 4. Rente Lestrari

Aktual > Lestari

Sistem Dinamik : 1. Sub Sitem Sumberdaya Ikan 2. Sub Sistem Upaya Tangkap Model

Pengelolaan

Causal loop (+) ( -)

Aspek Kesejahteraan : -Pendekatan Surplus Produsen

1.Identifikasi status perikanan 2. Identifikasi Stakeholder 3. Penyusunan Pola Pengelolaan 4. Alternatif Pengelolaan

Analitik Hierarki Proses

Kebijakan Pengelolaan Perikanan


(36)

9

menggunakan metode (AHP) dilakukan guna perencanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang di peroleh dari penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis sebagai bahan pembelajaran dan pengetahuan dalam studi di Program Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.

2. Bagi para nelayan sebagai bahan informasi di Kota Ambon terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon.

3. Bagi pemerintah dan pihak terkait sebagai bahan acuan serta masukan dalam perencanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layang di Perairan Kota Ambon.


(37)

(38)

11

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Layang

Ikan layang (scad fish) termasuk ikan yang mampu bergerak sangat cepat di air laut, karena bentuknya seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Ikan ini banyak terdapat di Perairan yang mempunyai jarak 37-56 km dari pantai, dan mempunyai salinitas optimum berkisar antara 32-33‰, dan dalam kehidupannya dipengaruhi oleh musim. Pada siang hari gerombolan-gerombolan ikan bergerak ke lapisan atas, yang disebabkan oleh adanya perpindahan masal dari plankton nabati, yang diikuti oleh plankton hewani dan binatang-binatang yang lebih besar termasuk ikan (Asikin, 1971).

Usaha perikanan ikan layang (Decapterus spp), menggunakan alat tangkap purse seine dengan ukuran mata jaring 15 mm, panjang jaring sekitar 300 – 400 meter pada kedalaman 50–70 meter, merupakan usaha perikanan utama di Laut Jawa. Kelimpahan sumberdaya ikan layang ini tergantung dari 2 (dua) jenis spesies ikan layang yaitu (1) ikan layang atau “Indian Scad” (Decapterus russselli) atau menurut Gushiken dalam Widodo (1991) sering salah dalam mengidentifikasi sebagai Decapterus maruadsi, yang hanya dijumpai di perairan pantai Jepang dan China yang mendominasi spesies yang ditangkap (2) ikan layang deles atau “Short fin scad” Decapterus macrosoma. Stok kedua spesies terkonsentrasi di bagian timur paparan Laut Jawa yaitu dari Kepulauan Karimunjawa, ke arah barat sampai bagian timur Pulau Lari-larian. Sejak pertama kapal purse seine dioperasikan di Perairan Laut Jawa pada tahun 1971, daerah penangkapan utamanya yaitu di perairan pantai yang landai sebelah Timur Laut Jawa, yaitu mulai dari Kepulauan Karimunjawa yang berbatasan dengan perairan bagian barat Pulau Bawean dan Massalembo bagian timur. Sejak purse seine dioperasikan hasil tangkapannya meningkat terus menerus dari tahun ketahun. Sejak tahun 1982 daerah penangkapan telah meluas kearah timur sampai Matasiri dan akhirnya sampai Pulau Lari-larian di Selat Makassar.


(39)

12

2.1.2Deskripsi Ikan Layang (Decapterus spp)

Ikan layang merupakan salah satu komunitas perikanan pelagis kecil yang penting di Indonesia. Ikan yang tergolong suku carangidae dan hidupnya bergerombol. Ukurannya sekitar 15cm dan ada pula yang bisa mencapai 25cm. Ciri khas ikan layang ialah terdapatnya sirip kecil (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik tebal (lateral scute) pada bagian garis sisi (lateral line) (Nontji, 2002).

Ikan layang jenis Decapterus russelli, memiliki ciri badan memanjang, agak gepeng dan memiliki dua sirip punggung. Ikan layang memakan plankton, diatomae, chaetognatha, copepoda, udang-udangan, larva-larva ikan, juga telur-telur ikan teri Stolephorus sp, hidup di perairan lepas pantai, kadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar juga ukurannya dapat mencapai panjang 30cm, umumnya 20–25cm. Ikan layang memiliki ciri warna: biru kehijauan, hijau pupus bagian atas, putih perak bagian bawah. Sirip-siripnya abu-abu kekuningan atau kuning pucat (Ditjen Perikanan, 1998).

Sedangkan deskripsi Ikan layang jenis Decapterus macrosoma cirinya memanjang seperti cerutu. Bentuk badan seperti tongkol, sirip punggung pertama berjari keras 8, sirip punggung kedua berjari-jari keras 1 dan 32–35 lemah. Sirip dubur teridiri 2 jari-jari keras (lepas), 1 jari-jari keras bergandeng dengan 26–30 jari lemah. Dibelakang sirip punggung kedua dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan. Terdapat 25–30 sisik duri pada garis sisinya dan mencapai panjang 40cm, umumnya 25cm. Ikan layang memiliki ciri warna: biru kehijauan bagian atas, putih perak bagianbawah. Siripnya kuning pucat atau kuning kotor. Suatu totol hitam terdapat pada bagian atas penutup insang dan pangkal sirip dada (Ditjen Perikanan, 1998). Gambar kedua jenis ikan layang disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3 sebagai berikut:


(40)

13

Klasifikasi ikan layang menurut Bleker dalam Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes Sub Ordo : Percoidei

Famili : Carangidae Genus : Decapterus

Spesies :Decaptersus russelli (Rupell,1982), Decapterus macrosoma (Bleker,1851)

Gambar 2. Ikan layang(Decapterus ruselli) Sumber: BPPL (1992)

Gambar 3. Ikan layang (Decapterus mascrosoma) Sumber: BPPL (1992)

2.1.3Habitat dan Distribusi Ikan Layang

Di Perairan Indonesia terdapat lima jenis ikan layang yakni Decapterus kurroides, Decapterus russelli, Decapterus macrosoma, Decapterus layang, dan Decapterus maruadsi (FAO, 1974). Dari kelima jenis ini hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah sebaran yang luas di Indonesia (Widodo, 1988).

Decapterus ruselli senang hidup di perairan dangkal seperti Laut Jawa, sedangkan Decapterus macrosoma tersebar di perairan laut seperti di Selat Bali, Perairan Indonesia Timur Laut Banda, Selat Makassar dan Sangihe, Laut Cina Selatan. Decapterus kurroides tergolong ikan yang agak langka antara lain terdapat di Selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu (Jawa Barat). Decapterus


(41)

14

maruadsi termasuk ikan layang yang berukuran besar, hidup di laut dalam seperti di Laut Banda tertangkap pada kedalaman 100 meter lebih (Nontji, 2002). Ikan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagis, tidak menetap dan suka bergerombol. Jenis ikan ini tergolong “stenohaline”, hidup di perairan yang berkadar garam tinggi (32–34‰) dan menyenangi perairan jernih. Ikan layang banyak tertangkap di perairan yang berjarak 37-56 km dari pantai. Dilaporkan bahwa ikan ini banyak dijumpai pada kedalaman 45–100 meter (Hardenberg dalam Sunarjo, 1990). Ikan layang meskipun aktif berenang, namun terkadang tidak aktif pada saat membentuk gerombolan di suatu daerah yang sempit atau disekitar benda-benda terapung. Oleh karena itu nelayan purse seine memasang rumpon dalam aktivitas penangkapan mereka. Menurut Sumarto dalam Sunarjo (1990) sifat bergerombol ikan ini pada umumnya membelakangi rumpon, dan selalu menghadap/menentang arus.

Menurut Shaw dalam Gunarso (1984) pengelompokan atau school merupakan gejala biososial yang elemen–elemen penyebabnya merupakan suatu pendekatan yang bersifat timbal balik. Bagi ikan hidup bergerombol dapat memberikan kesempatan yang lebih besar untuk menyelamatkan diri dari predator dan bagi beberapa jenis ikan bergerombol dapat memberikan stres yang lebih kecil dari pada yang hidup sendiri (Royce, 1972).

2.1.4Pola Ruaya dan Musim Penangkapan Ikan Layang

Dinamika Perairan Laut Jawa sering terjadi perubahan pola arus dan pola sebaran salinitas yang bergantung pada musim, sehingga ikan layang beruaya sesuai pola arus. Hardenberg dalam Nontji (2002) telah menyusun hipotesis mengenai ruaya ikan layang di Laut Jawa dan sekitarnya dengan arah gerakan ruayanya yang sejalan dengan gerakan arus utama yang berlangsung pola ruaya ikan layang di Laut Jawa pada musim tersebut sebagai berikut :

1. Pada musim timur: bulan Juni–September banyak ikan layang di Laut Jawa. Ikan layang ini adalah ikan layang timur yang terdiri dari 2 (dua) populasi, yakni yang datang dari Selat Makassar dan yang datang dari Laut Flores. Pada saat itu, dengan salinitas tinggi menyebar dari laut Flores masuk ke Laut Jawa dan keluar melalui Selat Karimata dan Selat Sunda.


(42)

15

2. Pada musim Barat: bulan Januari sampai dengan Maret. Pada musim ini terdapat dua populasi yang masuk ke Laut Jawa yaitu ikan layang barat dan ikan layang utara. Populasi layang barat memijah di Samudera Hindia sampai ke Selatan Selat Sunda dan sekitarnya selanjutnya bermigrasi atau terbawa arus masuk ke Laut Jawa. Sementara itu populasi layang utara memijah di Laut Cina Selatan, pada musim barat sebagian bermigrasi ke Selatan melalui Selat Sunda masuk ke laut Jawa dan sebagian lagi ke timur sampai ke Pulau Bawean, Pulau Masalembo dan sebagian lagi membelok kearah selatan Selat Bali. Pola ruaya ini sejalan dengan pola arus yang berkembang saat itu.

Puncak produksi ikan layang di Laut Jawa terjadi dua kali dalam setahun masing-masing pada bulan Januari–Maret (akhir musim barat) dan pada bulan Juli–September (musim Timur). Puncak-puncak musim ini dapat maju atau mundur waktunya sesuai dengan perubahan musim (Widodo, 1988). Musim penangkapan ikan, terutama ikan-ikan pelagis kecil dapat ditelusuri dari berlangsungnya musim ikan yaitu berdasarkan produksi ikan yang melimpah antara bulan Juli-Desember dengan puncaknya sekitar bulan November, karena bulan tersebut terjadi kenaikan produksi bila dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.

2.1.5 Musim Pemijahan Ikan Layang

Musim pemijahan ikan pelagis kecil di Perairan Laut Jawa relatif panjang tetapi masing-masing individu lama memijah dalam periode singkat. Keberadaan juvenil ikan layang (ukuran kurang dari 12cm) hanya terjadi pada bulan Maret sampai Juli (Atmaja dkk, 2003). Tingkat kematangan gonad ikan layang biasa (Decapterus ruselli) pada tingkat matang (ripe) dijumpai pada bulan April sampai Juni, sedangkan pada tingkat lepas telur (masa istirahat dan menyerupai kantong kosong) terjadi pada bulan sampai Desember. Juvenil kecil telah dijumpai antara bulan Maret sampai Mei antara ukuran 6cm, (Widodo, 1988). Menurut Delsman dalam Atmaja dkk, (2003) telur dan larva Decapterus russelli telah ditemukan di Perairan Bawean pada bulan April–Mei dan di sekitar Perairan Madura pada bulan Oktober-November, ikan siap memijah dan tumbuh menjadi ikan kecil (kurang dari 12cm) terjadi dari bulan Maret sampai Juni.


(43)

16

Musim pemijahan terjadi pada bulan Mei sampai Desember dengan aktifitas maksimum mulai bulan September–Desember. Ikan layang Decapterus macrosoma memiliki tingkat kematangan gonad (telur transparan) dijumpai antara bulan Mei–Juni, sebagian telah melepas telur antara bulan Juli-Oktober dan ikan-ikan kecil dengan panjang total sekitar 8cm dijumpai pada bulan Mei, Juli, Agustus dan November (Widodo, 1988). Telur-telur dan larva ikan layang deles (Decapterus macrosoma) dijumpai di sekitar perairan Madura di bulan Oktober dan November. Dari uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa musim pemijahan ikan layang di Perairan Laut Jawa terjadi pada bulan Mei–Oktober atau November dan waktu musim pemijahannya relatip panjang, tetapi masing-masing individu memijah dalam periode singkat. Keberadaan juvenil ikan layang (ukuran kurang dari 12cm) hanya terjadi pada bulan Maret sampai Juli (Atmaja dkk, 2003).

2.2 Alat Penangkapan Ikan Layang

2.2.1 Purse seine (Pukat Cincin)

Alat tangkap purse seine atau pukat cincin adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga dengan menarik tali kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan berbentuk seperti mangkok (Baskoro, 2002). Disebut pukat cincin karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin. Fungsi cincin dan tali kerut/tali kolor ini penting terutama pada waktu pengoperasian jaring disajikan pada Gambar 4. Adanya tali kerut tersebut jaring yang semula tidak berkantong bandingkan dengan jaring payang (seine net) akan terbentuk kantong pada tiap akhir penangkapan ikan (Subani dan Barus, 1989).

Menurut Brandt (1984) purse seine dibentuk dari dinding jaring yang sangat panjang, biasanya tali ris bawah (leadline) sama atau lebih panjang dari pada tali ris atas (floatline). Floatline memuat rangkaian pelampung (float) yang menjaga posisi jaring agar tetap berada di permukaan air. Leadline adalah tali ris bawah yang merangkai kumpulan pemberat (sinker) yang terbuat dari timah sehingga memungkinkan jaring untuk melebar secara vertikal dengan maksimal. Pada pukat


(44)

17

cincin mata, jaring hanya berfungsi sebagai penghadang gerak ikan, bukan penjerat seperti pada gillnet (Ayodhyoa, 1981).

Pukat cincin sudah sejak lama dikenal di Indonesia walaupun dengan nama dan konstruksi yang sedikit berbeda, seperti pukat langgar, pukat senangin, gae dan giob. Pukat cincin pertama kali diperkenalkan di Pantai Utara Jawa oleh BPPL pada tahun 1970, kemudian diaplikasikan 1973/1974 di Muncar dan berkembang pesat sampai sekarang (Subani dan Barus, 1989).

Gambar 4. Unit Alat Tangkap Purse Seine (pukat cincin) Sumber: Brandt (1984)

Baskoro (2002) menyatakan bahwa purse seine dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan satu kapal ataupun dua unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian bagian bawah jaring dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin.

Alat penangkapan ini digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish). Tingkah laku ikan layang membentuk gerombolan dekat dasar perairan pada siang hari dan mencari makan pada malam hari di permukaan perairan (Jaiswar et al. 2001). Hasil tangkapan yang mendominasi hasil tangkapan pukat cincin biasanya adalah jenis ikan layang yaitu antara Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma (Atmajaya dan Nugroho, 2005).

Menurut Subani dan Barus (1989) umumnya perikanan purse seine di dunia menggunakan satu kapal yang terdiri dari dua tipe kapal purse seine, yaitu tipe Amerika dan tipe Skandinavia (Eropa). Kapal purse seine tipe Amerika


(45)

18

mempunyai bridge (anjungan) dan ruang akomodasi pada bagian haluan. Kapal purse seine tipe Skandinavia (Eropa) mempunyai bridge (anjungan), dan ruang akomodasi di buritan. Kegiatan penurunan jaring dilakukan pada sisi kanan kapal (starboart), sedangkan sisi kiri kapal (portside) ditempati untuk ruang kemudi.

Alat penangkapan purse seine disimpan pada bagian buritan dan power block, biasanya terletak di sisi anjungan kapal (Fyson, 1985). Menurut Fridman (1986) jenis purse seine yang dioperasikan dengan satu unit kapal memiliki kantong (bunt) yang terletak pada salah satu ujung jaring, sedangkan kantong (bunt) pada purse seine yang manggunakan dua unit kapal terletak pada bagian tengah jaring.

2.2.2 Lift Net (Bagan Perahu)

Bagan merupakan alat tangkap yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan mulai diperkenalkan pertama kalinya oleh nelayan-nelayan Makassar dan Bugis sekitar tahun 1950. Kemudian dalam tempo relatif singkat sudah dikenal hampir di seluruh daerah perikanan laut di Indonesia dan dalam perkembangannya telah mengalami perubahan-perubahan bentuk (Subani dan Barus, 1989).

Menurut Brandt (1984), bagan merupakan alat tangkap yang diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring angkat (lift net). Dalam pengoperasiannya, jaring diturunkan ke dalam perairan, kemudian diangkat secara vertikal. Penangkapan dengan bagan hanya dilakukan pada waktu malam hari, terutama pada saat gelap bulan dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan (Subani dan Barus, 1989). Pengoperasian alat tangkap bagan menggunakan atraktor cahaya (light fishing) sehingga tidak efisien apabila digunakan pada saat terang bulan (purnama). Hal ini dikarenakan pada waktu terang bulan ikan-ikan cenderung menyebar di dalam kolom Perairan (Gunarso, 1984), sehingga fungsi cahaya sebagai atraktor tidak efisien bila dibandingkan saat gelap bulan.Oleh karena itu, umumnya nelayan-nelayan bagan tidak melakukan operasi penangkapan pada saat terang bulan.


(46)

19

Gambar 5. Unit alat tangkap Lift Net (bagan perahu) Sumber: Sudirman dan Mallawa (2003)

Menurut Subani (1989), lampu yang umum digunakan sebagai atraktor cahaya adalah lampu petromaks yang berkekuatan 250–400 lilin yang digantung diatas permukaan perairan dengan jarak lebih kurang 1 meter. Bagan perahu (boat lift net) menggunakan dua buah perahu yang pada bagian depan dan belakang dihubungkan dengan dua batang bambu sehingga berbentuk bujur sangkar sebagai tempat untuk menggantungkan jaringnya. Seperti juga rakit, bagan perahu ini dapat berpindah tempat penangkapannya.

2.3 Konsep Bioekonomi Perikanan

Pengetahuan tentang kondisi bioekonomi perikanan suatu perairan adalah sangat penting. Dalam menetapkan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dengan mempertimbangkan parameter biologi maupun parameter ekonomi demi keberlanjutan dari sumberdaya perikanan tersebut. Fauzi (2010) menjelaskan analisis biologi secara umum menyangkut aspek produksi alamiah (natural production), dan juga aspek kondisi lingkungan perairan. Aspek ekonomi dalam analisis bioekonomi meliputi aspek pasar serta non pasar, aspek preferensi, dan aspek aktivitas ekonomi.

2.3.1 Aspek Biologi

Fauzi (2010) menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan pada awalnya didasarkan pada aspek biologi, yaitu tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY). Pendekatan ini diasumsikan bahwa semua spesies ikan memiliki kempampuan untuk bereproduksi melebihi kapasitas


(47)

20

produksi (surplus), apabila surplus tersebut yang dipanen maka stok akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Pendekataan biologi yang didekati dengan model surplus produksi ini merupakan dinamika dari biomass yang digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami seperti pada persamaan berikut:

Biomas pada t+1 = biomass pada t + produksi – mortalistas alami (2.1) Persamaan tersebut menjelaskan bahwa apabila produksi melebihi mortalitas alami maka biomass akan meningkat, dan sebaliknya apabila mortalitas alami meningkat melebihi produksi maka biomass akan menurun. Walters dan Hilborn (1992) menyatakan bahwa surplus produksi dapat dapat menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan atau jumlah yang bisa ditangkap jika biomass dipertahankan dalam tingkat tetap. Model surplus produksi yang sering digunakan yaitu model yang dikembangkan oleh Schaefer (1935) dalam pendekatan yang digunakan ini, Schaefer 1954 menjelaskan beberapa faktor biologi yang berpengaruh dalam fungsi produksi penangkapan ikan yang meliputi biomass dari stok yang diukur dalam berat , laju pertumbuhan alami dari populasi , dan faktor daya dukung maksimum lingkungan atau keseimbangan alamiah dari ukuran biomas atau titik kejenuhan, dari faktor-faktor yang dijelaskan tersebut, maka dalam kondisi tidak ada penangkapan ikan laju perubahan biomas sepajang waktu digambarkan dalam persamaan berikut:

(2.2)

(2.3)

adalah fungsi pertumbuhan dalam model surplus produksi yang terdiri dari model pertumbuhan logistik dan ekponensial atau Gompertz. Fungsi pertumbuhan merupakan suatu basis fungsi yang digunakan oleh Schaefer (1995), Walters dan Hilborn (1976).

Sedangkan fungsi Gompertz sendiri merupakan fungsi yang digunakan oleh Fox (1970), Schnute (1977), dan Clark, Yoshimito, dan Pooley (1992) fungsi Gompertz tersebut dapat dituliskan sebagai persamaan berikut:


(48)

21

Sedangkan fungsi produksi yang sering digunakan dalam menghitung sumberdaya ikan ditulis dalam persamaan berikut:

(2.5)

Pada persamaan diatas adalah jumlah tangkapan dalam satuan berat sebagai koefisien penangkapan atau kemampuan daya tangkap dalam satuan per sandartized affort, adalah biomass dalam satuan berat, dan adalah upaya penangkapan ikan dalam satuan effort (trip). Dengan asumsi bahwa adanya penangkapan ikan maka persamaan diatas menjadi persamaan sebagai berikut:

(2.6)

Seperti pada persamaan (2.6), jika menggunakan persamaan Gompertz maka persamaan (4) menjadi persamaan:

(2.7)

Fauzi (2010) menyatakan bahwa bentuk yang paling sederhana, dalam pertumbuhan suatu populasi digambarkan dalam bentuk persent growth rate atau laju pertumbuhan presentase. Apabila stok ikan pada periode t dinotasikan dan stok ikan pada periode berikutnya ditulis sebagai +1, maka present growth rate dapat ditulis sebagai berikut:

(2.8)

Sehingga presentasi pertumbuhan ini diasumsikan konstan sebesar , maka persamaan diatas menjadi persamaan berikut:

(2.9)

(2.10)

Jika terjadi perbedaan waktu diatas ditulis dalam bentuk bukan sebagai suatu interval periode waktu, maka persamaan tersebut menjadi:

(2.11)

Dengan menyederhanakan persamaan aljabar diatas maka akan menjadi persamaan:


(49)

22

Jika perubahan waktu yang terjadi sangat kecil, maka persamaan diatas menjadi persamaan diferensial yaitu persamaan yang menggambarkan perubahan waktu yang kontinyu.

(2.13)

Solusi dari persamaan (2.13)akan besaran stok ikan pada periode t atau dimana adalah stok pada periode awal. Aspek biologi stok ikan didekati dengan pendekatan pertumbuhan yang bersifat density dependent, yaitu pertumbuhan populasi dalam setiap periode yang bervariasi terhadap ukuran populasi pada periode awal. Dengan demikian periode ikan pada saat diasumsikan ditentukan oleh pertumbuhan pada periode t atau dan stok ikan pada periode t yakni , secara matematis dapat ditulis menjadi persamaan:

(2.14)

Dengan demikian laju pertumbuhan ikan pada periode dan t dapat di tulis dengan persamaan:

(2.15)

Atau juga dapat ditulis dalam bentuk persamaan kontinyu, persamaan menjadi:

(2.16)

Dengan menghitung laju pertumbuhan proporsial alamiah maka persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut:

(2.17)

Solusi dari persamaan diatas akan menghasilkan besaran stok ikan pada periode t atau dimana adalah stok pada periode awal. Pada kondisi maka stok pada periode akan tumbuh secara ekponensial, dan akan turun secara eksponensial . kondisi ini sangat ditentukan oleh daya dukung lingkungan, meliputi, ruang, makanan, penyakit, dan predator. Dengan pertimbangan faktor daya dukung lingkungan tersebut, maka persamaan diatas menjadi:

(2.18)


(50)

23

(2.19)

adalah kapasitas daya dukung lingkungan atau titik kejenuhan. Dengan mensubtitusikan persamaan diatas maka persamaan tersebut menjadi:

(2.20)

Pada aspek ini perhitungan sumberdaya ikan ikan didasarkan pada parameter biologi, yang meliputi pertumbuhan , biomass dan daya dukung lingkungan . Adanya asumsi keseimbangan jangka panjang menyebabkan sisi kiri persamaan kemudian menjadi 0 sehingga diperoleh persamaan untuk menghitung stok ikan , yaitu:

(2.21)

Persamaan (2.17) menggambarkan variabel stok sebagai fungsi dari faktor biofisik dan variabel input E. Sehingga apabila disubtitusiakan variabel ke dalam persamaan (2.19) akan menjadi:

(2.22)

Persamaan diatas menggambarkan hubungan antara input E dan output h dalam bentuk persamaan kuadrat yang selanjutnya sering dikenal sebagai persamaan yield effort lestari, dalam perspektif Schaefer, pengelolaan sumberdaya ikan yang terbaik adalah pada saat produksi lestari berada pada titik tertinggi kurva yield effort yang sering dikenal sebagai maximum sustainable yield (MSY). Pada kondisi ini, persamaan effort menjadi:

(2.23)

Persamaan tersebut selanjutnya disubtitusikan pada persamaan output menjadi persamaan:

(2.24)

Dari persamaan diatas maka persamaan biomass dapat dihitung dengan persamaan berikut:

(2.25)

Pengaruh penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan di ilustrasikan pada Gambar 6 berikut:


(51)

24

Gambar 6. Pengaruh Kegiatan Penangkapan Terhadap Stok (Fauzi, 2010)

Gambar 6 diatas manunjukkan dampak yang terjadi terhadap stok akibat adanya kegiatan penangkapan ikan. Pertama yaitu ketika tingkat upaya sebesar diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar (garis vertikal), kemudian jika upaya tersebut dinaikan sebesar dimana hasil tangkapan akan meningkat sebesar . Jika upaya terus ditingkatkan misalnya sebesar , akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya dimana ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar dalam hal ini . Berdasarkan kondisi ini maka dapat dikatakan bahwa eksploitasi dalam kondisi tersebut tidak efisien secara ekonomis karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar. Hal ini membuktikan bahwa dalam sumberdaya ikan, peningkatan input tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan output yang disebabkan oleh adanya faktor daya dukung alam yang membatasi. Fungsi tersebut baru hanya menggambarkan kondisi secara biologi, sehingga aspek ekonomi terkait dengan biaya produksi (upaya penangkapan) belum dapat digambarkan. Dalam hal ini, Conrad dan Clark, (1987) dalam Fauzi (2010), menjelaskan lebih lanjut bahwa pendekatan MSY memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

1. Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok meleset sedikit saja dapat berpengaruh pada kondisi pengurasan stok (stok depletion).

2. Didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non steady state.

3. Tidak memperhitungkan nilai ekonomi apabila stok ikan tidak dipanen (imputed value).


(52)

25

4. Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya .

5. Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multi species).

2.3.2 Aspek Ekonomi

Kelemahan-kelemahan tersebut selanjutnya memunculkan pertimbangan pentingnya penghitungan aspek ekonomi dalam pendugaan fungsi produksi sumberdayaikan yang dikembangkan oleh Gordon (1954). Gordon mengembangkan fungsi kuadratik Velhust (1983) yang digunakan oleh Schaefer dalam pendugaan produksi sumberdaya ikan. Model ini selanjutnya dikenal dengan model Gordon-Schaefer, yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:

1. Harga per satuan output diasumsikan konstan. 2. Biaya per satuan upaya diasumsikan konstan.

3. Spesies sumberdaya ikan diasumsikan bersifat tunggal (single species).

4. Struktur pasar bersifat kompetitif.Nelayan berposisi sebagai price taker (tidak bisa menentukan harga).

5. Faktor yang dihitung hanya faktor penangkapan, tanpa mengakomodir faktor pasca penangkapan.

Dalam perspektif ekonomi, effort diartikan sebagai nominal fishing effort yang sering dilambangkan dengan notasi . (Clark, 1985 dalam Fauzi, 2010) menjelaskan effort sebagai jumlah unit alat tangkap ikan yang distandarisasi dan secara aktif digunakan pada suatu periode tertentu. Dengan asumsi-asumsi tersebut maka rente ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya ikan dihitung dari selisih antara penerimaan total lestari (total sustainable revenue/TSR) dengan biaya yang dikeluarkan, yang dituliskan dengan persamaan berikut:

(2.26)

Dengan persamaan biaya total penangkapan dihitung melalui persamaan diatas,dimana konstanta selain menggambarkan biaya per unit input yang digunakan juga menggambarkan biaya korbanan dari input yang digunakan.

(2.27)

Manfaat ekonomi dari penangkapan ikan selanjutnya dapat dihitung dari selisih TSR dengan TC, seperti ditulis pada persamaan berikut:


(53)

26

(2.28)

(2.29)

Dari aplikasi model Gordon-Schaefer tersebut, maka diperoleh dugaan kondisi kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan yang telah mengakomodir aspek biologi dan aspek ekonomi. Secara grafik, kondisi pengelolaan sumberdaya ikan pada titik optimum secara ekonomi diilustrasikan pada Gambar 7 berikut:

Gambar 7. Kurva Keseimbangan Bioekonomi Sumberdaya Ikan (Gordon-Schaefer).

Berdasarkan Gambar 7 kurva keseimbangan bioekonomi sumberdaya ikan layang rente ekonomi maksimum secara biologi diperoleh pada saat upaya penangkapan ikan berada pada titik MEY (E*), titik tersebut merupakan selisih antara penerimaan total (TR) dan biaya total (TC) maksimum. Rente ekonomi mencapai nilai 0 akan terjadi pada kondisi upaya penangkapan pada titik (EOA) karena pada saat tersebut merupakan penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC) sehingga rente ekonomi akan mencapai nilai 0.

MSY atau maximum sustainable yield adalah hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan suatu stok sumberdaya perikanan.Konsep MSY didasarkan atas suatu model populasi ikan yang dianggap sebagai suatu unit tunggal. Pada prinsipnya, sumberdaya ikan memiliki kemampuan untuk bereproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus tersebut dipanen, maka ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Apabila level produksi surplus yang dipanen, maka tidak akan mengganggu kelestarian stok sumberdaya ikan. Namun, konsep MSY tidak lepas dari kritikan para ilmuwan. Kritik terhadap MSY antara lain; tidak bersifat stabil, didasarkan hanya pada


(54)

27

konsep steady state, yaitu pada kondisi keseimbangan, tidak memperhitungkan nilai ekonomi, mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya, sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki ragam jenis (multispecies) rente optimal tidak terjadi pada saat MSY.

Rente optimal terjadi pada saat maximum economic yield (MEY), dimana marginal revenue (MR) adalah sama dengan marginal cost (MC). Hal itu sesuai dengan prinsip maksimisasi profit atau keuntungan. Meskipun hasil tangkapan pada level MSY adalah maksimal, namun keuntungan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor produksi dan penerimaan, tetapi juga dipengaruhi oleh biaya.Prinsip efektifitas dan efisiensi perlu dipadukan. Produksi dan penerimaan terkait dengan prinsip efektifitas, sedangkan biaya atau pengeluaran terkait dengan prinsip efisiensi. Pada level MEY, produksi berada pada level optimal secara ekonomi, dimana walaupun produksinya tidak maksimal, namun masih relatif tinggi dan pengeluarannya efisien sehingga keuntungannya tertinggi.

Kondisi open access equilibrium (OAE) atau keseimbangan akses terbuka terjadi pada saat sumberdaya perikanan bersifat open acces. Pada saat kondisi tidak ada hambatan masuk (entry) dan hambatan upaya (effort), maka akan dapat mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya ikan menuju break even point (BEP), dimana total revenue (TR) sama dengan total cost (TC).

Selama kegiatan penangkapan menguntungkan, maka akan mendorong orang untuk melakukan peningkatan kegiatan penangkapan. Namun, sumberdaya ikan memiliki keterbatasan dalam daya regenerasi. Oleh karena itu, apabila tingkat penangkapan melebihi level MSY, maka peningkatan upaya penangkapan justru menyebabkan penurunan produksi. Apabila menggunakan asumsi harga dan biaya konstan, maka terjadi transisi kegiatan penangkapan yang semula menguntungkan, berubah menjadi BEP (break even point), dimana kalau terus dipaksakan maka justru menyebabkan kegiatan penangkapan berada pada kondisi merugikan dan penerimaan lebih kecil daripada pengeluaran.


(55)

28

2.4 Depresiasi Sumberdaya Perikanan

Pengertian depresiasi dalam bidang ekonomi, dihubungkan dengan sumberdaya lebih ditujukkan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Depresiasi juga dapat diartikan sebagai pengukuran deplesi atau degradasi yang dirupiahkan. Monetarisasi dalam depresiasi ini tentu saja harus mengacu kepada pengukuran nilai rill, bukan nilai nominal. Artinya, untuk menghitungnya kita harus selalu mengacu pada beberapa indikator perubahan harga, seperti inflasi dan indeks harga konsumen, yang berlaku untuk setiap komoditi sumberdaya alam pesisir dan laut (Fauzi dan Anna 2005).

Suatu kerusakan sumberdaya yang terjadi pada ekosistem laut maupun darat dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Secara umum ada dua faktor yng menyebabkan kerusakan terhadap sumberdaya yaitu yakni kebutuhan ekonomi (economic driven) dan kegagalan kebijakan (policy failure), kita salah mengartikan deplesi, degradasi dan depresiasi, atau bahkan kita artikan ketiga istilah tersebut dengan pengertian yang sama. Padahal ketiganya memiliki arti yang berbeda. Deplesi diartikan sebagai tingkat/laju pengurangan stok dari sumberdaya alam tidak dapat diperbaharukan (non-renewable resources). Dalam hal ini terjadi jumlah penurunan stok sumberdaya alam yang jauh di atas laju penurunan stok yang seharusnya, atau terjadi laju eksploitasi yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Sementara degradasi mengacu pada penurunan kualitas/kuantitias sumberdaya alam dapat diperbarukan (non-renewable resources). Dalam hal ini, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbarukan untuk beregenerasi sesuai kapasitas produksinya. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Namun, pada sumberdaya alam pesisir dan laut, kebanyakan degradasi terjadi karena ulah manusia, baik berupa aktivitas produksi (penangkapan dan eksploitasi), maupun karena aktivitas nonproduksi, seperti pencemaran akibat limbah domestik maupun industri (Fauzi dan Anna, 2005).

Selanjutnya, deplesi, degradasi, maupun depresiasi sumberdaya pesisir dan laut disebabkan oleh berbagai faktor, baik alam maupun manusia, faktor endogenous maupun eksogenous, dan juga kegiatan yang bersifat produktif


(56)

29

maupun nonproduktif. Deplesi dan degradasi diperparah oleh adanya berbagai gejala kerusakan lingkungan (termasuk pencemaran, overfishing, abrasi pantai, kerusakan fisik habitat pesisir, dan konflik penggunaan ruang) di kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk serta tinggi intensitas pembangunan.Sementara itu kemiskinan yang masih berdampak pada sebagian besar penduduk pesisir juga menjadi akibat sekaligus penyebab kerusakan lingkungan kawasan pesisir dan lautan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tersebut tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya. Miller (2004) dalam Mukhtasor (2007) misalnya, mendefinisikan bahwa pencemaran adalah penambahan pada udara, air dan tanah, atau makanan yang membahayakan kesehatan, ketahanan atau kegiatan manusia atau organisme hidup lainnya.

Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1991), mendefiniskan bahwa pencemaran laut adalah masuknya zat atau energi, secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia ke dalam lingkungan laut termasuk daerah pesisir pantai, sehingga dapat menimbulkan akibat yang merugikan baik terhadap sumberdaya alam hayati, kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut, termasuk perikanan dan penggunaan lainyang dapat menyebabkan penurunan tingkat kualitas air laut serta menurunkan kualitas tempat tinggal dan rekreasi. Definisi pencemaran laut tersebut sejalan dengan yang dibuat dalam Program Lingkungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau United Nations Environmental Programs seperti yang dikutip oleh Bishop (1983) dalam Mukhtasor (2007) bahwa pencemaran laut adalah dimasukannya substansi atau energi ke dalam lingkungan laut oleh manusia secara langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan terjadinya pengaruh yang merugikan seperti merusak sumberdaya hidup, bahaya kesehatan manusi, gangguan terhadap kegiatan kelautan diantaranya perikanan, rusaknya kualitas air, dan pengurangan pada keindahan dan kenyamanan.


(57)

30

Dalam perspektif biofisik, pencemaran diartikan sebagai masuknya aliran residual yang diakibatkan oleh perilaku manusia, ke dalam sistem lingkungan.Apakah kemudian residual ini mengakibatkan kerusakan atau tidak, tergantung pada kemampuan penyerapan media lingkungan, seperti air, tanah, maupun udara (Perman et al, 1996 dalam Fauzi, 2004). Selain itu, penting juga untuk membedakan antara pencemaran aliran dan pencemaran stok. Pencemaran aliran merupakan pencemaran yang ditimbulkan oleh residual yang mengalir masuk ke dalam lingkungan. Pencemaran ini tergantung dari laju aliran yang masuk ke dalam lingkungan, artinya jika aliran ini berhenti, pencemaran juga akan berhenti. Contoh nyata dari pencemaran aliran ini adalah kebisingan udara. Jika sumber kebisingan dihentikan, yang berarti laju kebisingan juga berkurang, pencemaran kebisingan udara juga akan berhenti. Di sisi lain, pencemaran yang bersifat stok terjadi jika kerusakan yang ditimbulkan merupakan fungsi dari stok residual dan bersifat kumulatif. Akumulasi ini terjadi jika jumlah bahan pencemar yang diproduksi melebihi kapasitas penyerapan lingkungan. Bahan-bahan logam berat yang masuk ke perairan, misalnya, akan terakumulasi dan menjadi pencemaran stok. Demikian juga sampah yang tidak bisa diurai oleh mikroba akan terakumulasi dan menjadi pencemaran stok.

Dari perspektif ekonomi, pencemaran bukan saja dilihat dari hilangnya nilai ekonomi sumberdaya akibat berkurangnya kemampuan sumberdaya (secara kualitas dan kuantitas untuk menyuplai barang dan jasa), namun juga dari dampak pencemaran tersebut terhadap kesejahteraaan masyarakat (Fauzi, 2004).Dana lingkungan dan kompensasi yang dapat dituntut pada kasus-kasus pencemaran lingkungan termasuk biaya pemulihan lingkungan merupakan beban ekonomi yang cukup besar. Dana lingkungan juga dapat membantu mengalokasikan sekaligus mendistribusikan beban pencemaran lingkungan tidak saja pada pengusaha yang secara langsung dapat menimbulkan pencemaran lingkungan tidak saja pada pengusaha yang secara langsung dapat menimbulkan pencemaran, namun juga pada masyarakat yang mendapatkan manfaat secara tidak langsung melalui sistem perpajakan, asuransi dan bentuk keuangan lainnya, sehingga pencemaran lingkungan menjadi tanggung jawab bersama diantara pengusaha, pemerintah, dan masyarakat (Mukhtasor, 2007).


(58)

31

Faktor overfishing menimbulkan degradasi dan depresiasi sumberdaya pesisir. Overfishing dapat diartikan sebagai tangkap lebih (Nikijuluw, 2002), jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam suatu daerah tertentu (Fauzi, 2005), penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan (Widodo dan Suadi, 2006), ataupun kondisi dimana tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan melebihi batasan yang ditetapkan sehingga dapat menyebabkan penurunan stok (deplesi) sumberdaya ikan. Beberapa penelitian dan publikasi memaparkan adanya ancaman fenomena overfishing. Jurnal “Science” edisi November 2006 menjelaskan bahwa sekitar sepertiga (1/3) stok sumberdaya perikanan tangkap dunia berada dalam kondisi memprihatinkan. FAO dalam “FAO State of World Fisheries and Aquaculture, 2004” melaporkan bahwa pada tahun 2003 sekitar seperempat (1/4) stok sumberdaya ikan dunia berada dalam kondisi overexploited, deplesi atau sedang mengalami recovery dari kondisi deplesi dan perlu dibangun kembali (Wijayanto, 2008). Beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi ini di antaranya adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip atau CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil, dan biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat. Berbicara terminologi overfishing, Terdapat empat jenis overfishing, yaitu: Growth overfishing, Recruitment overfishing, Biological overfishing, Economic overfishing, dan Malthusian overfishing.

2.5 Sistem Dinamik

Sumberdaya perikanan adalah aset yang dapat bertambah dan berkurang baik secara alami maupun karena intervensi manusia. Seluruh dinamika alam dan intervensi manusia ini mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi sumberdaya perikanan tersebut sepanjang waktu oleh sebab itu untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan pengelolaan sistem dinamik. Keputusan pengelolaan yang dilakukan akan mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan tersebut dimasa sekarang dan akan datang (Fauzi dan Anna 2005).


(59)

32

Holing (1973) menjelaskan bahwa hampir semua sistem alam mempunyai karakteristik berubah sepanjang waktu dan bahwa jika manusia mencoba menstabilkan alam untuk kepentingannya akan meyebabkan kondisi menjadi stabil pada jangka pendek dan malapetaka pada jangka panjang. Hilborn dan Walters (1992) menyatakan beberapa konsep dasar dari analisis dinamik dalam perikanan adalah menyangkut stabilitas kesiklusan (cyclicity) dan ketahanan (resilience). Sistem dikatakan stabil jika perturbasinya (gangguan terhadap keseimbangan sistem) akan sampai pada ekuilibrium.

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang bersifat dinamis, demikian juga pertubasi yang terjadi pada sumberdaya tersebut baik berupa hubungan antara catch, effort, dan pencemaran. Oleh sebab itu pengelolaan sumberdaya perikanan yang relatif bersifat dinamis dan kompleks memerlukan pendekatan analisis yang dinamis pula. Analisis dinamis perlu dilakukan untuk melihat interaksi antara komponen sumberdaya dan pertubasinya (Fauzi dan Anna 2005).

Muhammadi (2001) menyatakan, simulasi didefenisikan sebagai suatu peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Model simulasi adalah suatu teknik dimana hubungan sebab akibat dari suatu sistem ditangkap (cupture) di dalam sebuah model komputer, untuk menghasilkan beberapa perilaku sesuai dengan sistem nyata. Pelaksanaan simulasi melalui empat tahap, dimana tahap pertama simulasi adalah menyusun konsep. Gejala atau proses yang akan ditirukan perlu dipahami, antara lain dengan menentukan unsur-unsur yang berperan dalam gejala atau proses tersebut. Tahap kedua adalah pembuatan dan perumusan model.Konsep pada tahap awal dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian gambar atau rumus. Tahap ketiga adalah simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat.

Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukan data ke dalam model, dimana perhitungan dilakukan dengan mengetahui perilaku gejala atau proses. Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukan data


(60)

33

atau informasi yang dikumpulkan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses. Tahap keempat adalah dilakukan validasi untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan.

Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau nyimpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditiru kecil. Hasil simulasi tersebut selanjutnya digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang. Model yang dibangun dengan menggunakan perangkat lunak Powersim berbentuk simbul-simbul dan simulasinya mengikuti suatu metodeyang dinamakan dinamika sistem. Perkembangan selanjutnya, simulasi dengan menggunakan perangkat lunak ini banyak dipakai dalam bidang-bidang komersial, industri, manajemen dan riset.Simulasi ditujukan untuk mencari model yang paling cocok sebelum diterapkannya ke dalam kondisi sebenarnya.Simbul yang digunakan seperti pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Simbul-simbul diagram alir (Muhammadi, 2001)

Level adalah mewakili pokok persoalan yang menjadi perhatian, untuk menggambarkan peubah keadaan pada suatu waktu tertentu.Konstanta adalah suatu besaran/nilai ketetapan tertentu dari masing-masing komponen.Auxiliary adalah variable yang merujuk kepada informasi yang melekat pada suatu obyek, jadi bukan obyek itu sendiri. Aliran/flow adalah simbul yang selalu dihubungkan dengan level sebagai proses aliran suatu benda yang dapat diamati dan diukur penambahannya dan pengurangannya dalam level. Sumber dan lubuk (sink) adalah sebagai wakil lingkungan sistem, dan aliran dapat terjadi dari sumber ke


(1)

1

6

3

Priorities with respect to: Combined

Priorities with respect

to: Combined

Priorities with

respect to: Combined Goal: PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN

LAYANG DI KOTA AMBON

Goal: PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG DI KOTA AMBON

Goal: PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG DI KOTA AMBON

>AB >AB >AB

>PH >SR >MN

1 MME 0.1 1 MME 0.122 1 MME 0.818

2 PSPB 0.9 2 PSPB 0.878 2 PSPB 0.182

Inconsistency = 0,00

Inconsistency = 0,00 Inconsistency = 0,00 with 0 missing

judgments.

with 0 missing judgments.

with 0 missing judgments.

Aktor

SKOR PERCENTAGE URUTAN

PH SR MN

MME 0.100 0.122 0.818 0.271273 27% 2.000

PSPB 0.900 0.878 0.182 0.729727 73% 1.000

Bobot 0.503 0.268 0.230


(2)

6

4

Lampiran 12 (Lanjutan 3)

Analisis Faktor

Penjelasan Output :

Nilai consistency 0,05 < 0,1 artinya sudah konsisten.

Berdasarkan hasil dari gambar diatas , faktor AB dengan nilai 41,9% merupakan faktor yang paling utama (prioritas utama), faktor AT merupakan faktor urutan kesua dengan nilai 25,1%, faktor ASE yang merupakan urutan ketiga dengan nilai 17,1%, faktor AF urutan keempat dengan nilai 9,5% dan terakhir adalah faktor AMP dengan nilai 6,5%.


(3)

1

6

5

Aktor Faktor SKOR PERCENTAGE URUTAN

AB AT ASE AF AMP

PH 0,488 0,531 0,435 0,605 0,509 0,503 50% 1

SR 0,275 0,255 0,28 0,225 0,302 0,268 27% 2

MN 0,237 0,214 0,285 0,17 0,189 0,230 23% 3

Bobot 0,419 0,251 0,171 0,095 0,065

Inconsistency 0,00 0,01 0,00 0,01 0,02

Penjelasan :

Nilai konsistensi semua memiliki nilai < 0,1 maka sudah konsisten.

Berdasarkan perhitungan diatas , maka aktor Pemerintah memiliki prioritas utama dengan nilai 50% dan Stakeholder urutan kedua dengan nilai 27% dan urutan ketiga Masyarakat nelayan dengan nilai 23%.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

PH SR MN


(4)

6

6

Lampiran 12 (Lanjutan 5)

Analisis Tujuan

Aktor

SKOR PERCENTAGE URUTAN

PH SR MN

MME 0.100 0.122 0.818 0.271273 27% 2.000

PSPB 0.900 0.878 0.182 0.729727 73% 1.000

Bobot 0.503 0.268 0.230

Inconsistency 0.000 0.000 0.000

Penjelasan :

Nilai konsistensi semua memiliki nilai < 0,1 maka sudah konsisten.

Berdasarkan perhitungan diatas , maka Tujuan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan memiliki prioritas utama dengan nilai 73% dan Memaksimalkan Manfat ekonomi urutan kedua dengan nilai 27% .

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%

MME PSPB


(5)

1

6

7

Penjelasan Output :

Nilai consistency 0,02 < 0,1 artinya sudah konsisten.

Berdasarkan hasil dari gambar diatas , ALTERNATIF Pemanfaatan memperhatikan aspek Biologi Sumberdaya Ikan lestari dengan nilai 53,8 merupakan faktor yang paling utama (prioritas utama), faktor Alternatif Peningkatan mutu dan kualitas pemasaran produk merupakan faktor urutan kedua dengan nilai 16,1%, alternatif Kegiatan


(6)

6