Kelompok perlakuan FHEMM dosis 34,28; 68,57; dan 137,14 mgkgBB
Kelompok perlakuan FHEMM dosis III memiliki nilai aktivitas serum ALP sebesar 106,4 ± 9,3 Ul tabel V. Hasil uji statistik dengan uji Tuckey HSD
tabel VI, menunjukkan bahwa aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis III mmiliki perbedaan bermakna p = 0,000 dengan kelompok
kontrol karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB 244,4 ± 13,7 Ul. Hal ini berarti bahwa FHEMM dosis III mampu menghambat aktivitas serum ALP
ditunjukkan dengan penurunan aktivitas serum ALP secara signifikan. Data aktivitas serum ALP pada kelompok FHEMM dosis III memiliki perbedaan
bermakna p = 0,011 dengan kelompok kontrol negatif CMC-Na 1 180,2 ± 6,8 Ul. Data aktivitas serum ALP menunjukkan bahwa FHEMM dosis III
sudah mampu menurunkan aktivitas serum ALP sampai pada keadaan normal. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian FHEMM dosis III memiliki efek
penghambatan terhadap aktivitas serum ALP pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Efek penghambatan tersebut sebesar 214.
Hasil analisis uji statistik dengan uji Tuckey HSD tabel VI menunjukkan bahwa aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM
dosis I memiliki perbedaan tidak bermakna p = 0,500 terhadap aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis II. Hal ini berarti bahwa
penurunan aktivitas serum ALP akibat perlakuan FHEMM dosis I dan II sama secara statistik. Aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan dosis I
memiliki perbedaan bermakna p = 0,039 terhadap aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan dosis III. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan aktivitas
serum ALP karena perlakuan FHEMM dosis I berbeda dengan penurunan
aktivitas serum ALP akibat perlakuan FHEMM dosis III. Aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis II juga memiliki perbedaan bermakna
p = 0,001 terhadap aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis III. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan aktivitas serum ALP pada
kelompok perlakuan FHEMM dosis II dan III berbeda. Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa dosis pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari tidak
memiliki kekerabatan dengan aktivitas penurunan kadar ALP pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida
.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, hipotesis yang disusun peneliti diterima karena sediaan FHEMM kajian jangka panjang 6 hari mampu
memberikan efek penghambatan yang signifikan terhadap aktivitas serum ALP pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida, yaitu pada dosis
137,14 mgkgBB. Karbon tetraklorida merupakan hepatotoksin yang digunakan pada
penelitian ini. Toksisitas karbon tetraklorida terjadi akibat biotransformasi karbon tetraklorida menjadi radikal bebas triklorometil CCl
3
• oleh enzim CYP2E1 di dalam hati Weber, dkk., 2003. Radikal bebas merupakan senyawa
yang mempunyai elektron tidak berpasangan, sehingga menyebabkan senyawa ini sangat reaktif dan berenergi tinggi Fessenden dan Fessenden, 1986. Di
dalam tubuh radikal bebas triklorometil CCl
3
• bereaksi dengan berbagai zat- zat biologis penting seperti asam amino, nukleotida, asam lemak, protein, asam
nukleat, dan lipid. Reaksi ini akan meningkat ketika ada oksigen, radikal bebas triklorometil CCl
3
• apabila bereaksi dengan oksigen akan membentuk radikal
bebas triklorometil peroksi CCl
3
O
2
• yang lebih reaktif. Radikal bebas triklorometil peroksi CCl
3
O
2
• akan dengan sangat cepat untuk mencari atom hidrogen agar menjadi stabil, radikal ini akan memutus atom hidrogen dari
polyunsaturated fatty acids PUFA, hal ini merupakan awal dari proses peroksidasi lipid Weber, dkk., 2003.
Peroksidasi lipid akibat karbon tetraklorida berpengaruh secara signifikan terhadap sintesis protein, sekresi protein, dan sekresi lipoprotein,
yang mana lipoprotein berfungsi untuk transport lipid. Akibat adanya gangguan pada proses transport lipid yaitu terjadi perlemakan hati steatosis. Proses
peroksidasi lipid dapat menyebabkan rusaknya fungsi sel dan cedera pada sel hati yang dapat ditandai dengan kenaikan aktivitas serum hati, salah satunya
adalah ALP Weber, dkk., 2003. Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron electron donor.
Senyawa ini dapat mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Terdapat 3 jenis antioksidan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan
primer merupakan antioksidan yang diproduksi secara alami didalam tubuh seperti glutation peroksidase GSH. Antioksidan sekunder merupakan
antioksidan yang tidak diproduksi secara alami di dalam tubuh, biasanya banyak ditemukan di tanaman, seperti tanin, flavonoid, dan metabolit sekunder
lainnya. Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair Winarsi, 2007.
Efek penghambatan terhadap aktivitas serum ALP yang dihasilkan dari pemberian FHEMM ini diduga karena adanya aktivitas antioksidan di dalam
FHEMM, khususnya tanin. Tanin merupakan senyawa fenolik yang jumlahnya mendominasi dalam kandungan metabolit sekunder tanaman dan juga
merupakan salah satu senyawa antioksidan sekunder yang memiliki kemampuan untuk menangkal radikal bebas Zhang dan Lin, 2008. Senyawa
tanin di dalam FHEMM akan menstabilkan radikal bebas triklorometil CCl
3
• dan radikal bebas triklorometil peroksi CCl
3
O
2
• dengan cara menyumbangkan atom H dari gugus hidroksil sehingga radikal bebas triklorometil CCl
3
• dan radikal bebas triklorometil peroksi CCl
3
O
2
• menjadi lebih stabil dan tidak reaktif. Kestabilan kedua senyawa tersebut menyebabkan terhentinya proses
peroksidasi lipid sehingga dapat mencegah terjadinya steatosis yang ditandai dengan terjadinya penghambatan peningkatan aktivitas ALP.
Senyawa model hepatotoksin yang digunakan pada penelitian ini adalah karbon tetraklorida yang dapat menyebabkan kerusakan hati berupa steatosis,
sehingga peneliti hanya dapat menyimpulkan bahwa pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari dapat memberikan efek penghambatan aktivitas serum
ALP pada kondisi steatosis. Pada penelitian ini belum dapat ditentukan apakah pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari dapat memberikan efek
penghambatan aktivitas serum ALP pada jenis kerusakan hati lainnya, seperti nekrosis. Menurut Jollow cit., Olaleye, Amobonye, Komolafe, dan
Akinmoladun, 2014 parasetamol dapat menyebabkan nekrosis hepatik. Oleh karena itu, peneliti menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
menggunakan senyawa model hepatotoksin lain, seperti parasetamol yang dapat
menyebabkan nekrosis. Selain itu, sebagai data pendukung perlu dilakukannya uji histopatologi terhadap organ hati hewan uji.