memiliki nilai log P yang mendekati nilai log P senyawa tanin macatannin B, macatannin A, dan chebulagic acid yang berhasil diisolasi oleh Gunawan-
Puteri dan Kawabata 2010. Selain itu, senyawa tanin juga memiliki karakteristik dapat larut dalam etanol Shah dan Seth, 2012, sehingga pelarut
heksan-etanol dianggap mampu untuk menyari senyawa tanin tersebut. Metode yang digunakan sama seperti proses sebelumnya yaitu secara maserasi selama
24 jam dan digojog dengan kecepatan 140 rpm. Hasilnya diperoleh FHEMM yang kental dengan rendemen sebesar
3,51. FHEMM disimpan pada desikator yang tertutup dan terhindar dari cahaya matahari langsung untuk menghindari pertumbuhan mikroorganisme
maupun rusak akibat cahaya.
B. Uji Pendahuluan
1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida
Senyawa model hepatotoksin yang digunakan pada penelitian ini adalah karbon tetraklorida. Tujuan dilakukan penetapan dosis hepatotoksin yaitu untuk
menentukan besar dosis yang dapat menyebabkan kerusakan hati berupa perlemakan hati steatosis, tetapi tidak menyebabkan kematian pada tikus galur
Wistar. Perlemakan hati dapat ditandai dengan kenaikan aktivitas AST dan ALT sekitar 1-3 kali nilai normal Thapa dan Walia, 2007. Berdasarkan
penelitian Janakat dan Al-Merie 2002 ditetapkan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida yaitu sebesar 2 mLkgBB secara intraperitoneal. Dosis ini dapat
menyebabkan kerusakan pada sel-sel hati yang ditunjukkan melalui
peningkatan aktivitas AST dan ALT, tetapi tidak menyebabkan kematian pada tikus galur Wistar. Pemberian secara intraperitoneal dipilih dengan harapan
agar hepatotoksin akan langsung terlarut pada cairan intraperitoneal dan terabsorbsi pada pembuluh darah, sehingga tidak melewati saluran pencernaan
dan rusak akibat enzim pencernaan.
2. Penetapan waktu pencuplikan darah
Dilakukan penetapan waktu pencuplikan darah pada penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui waktu yang diperlukan oleh karbon
tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB untuk menimbulkan efek hepatotoksik yang maksimal. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai aktivitas serum AST dan
ALT yang paling tinggi. Pencuplikan darah dilakukan pada rentang waktu tertentu, yaitu jam ke- 0, 24, dan 48. Hewan uji dipejankan karbon tetraklorida
dosis 2 mLkgBB, pada jam ke-0, 24 dan 48 setelah pemejanan dilakukan pencuplikan darah dari sinus orbitalis mata tikus dan diukur aktivitas serum
AST dan ALT. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dongare, Dhande, dan Kadam 2013, karbon tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB dapat
menyebabkan peningkatan aktivitas serum AST, ALT, ALP, serta bilirubin total yang sebanding. Hal ini menjadi dasar peneliti untuk menggunakan peningkatan
aktivitas serum AST dan ALT sebagai patokan untuk penentuan waktu pencuplikan darah. Waktu yang memberikan peningkatan aktivitas serum AST
dan ALT paling tinggi akan dijadikan pedoman waktu pencuplikan darah pengujian berikutnya.
Data hasil pengujian aktivitas serum ALT pada tiap rentang waktu ditampilkan pada tabel I dan gambar 9.
Tabel I. Purata aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam
setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB Selang waktu jam
Purata aktivitas serum ALT ± SE UI 66,8 ± 0,8
24 184 ± 16,5
48 62,3 ±
15,6 Keterangan : SE = Standar Error
Hasil analisis statistik aktivitas serum ALT menunjukkan data terdistribusi normal dan variansi data homogen, sehingga data dapat dilanjutkan
dengan analisis variansi satu arah. Hasil analisis variansi satu arah aktivitas serum ALT menunjukkan perbedaan antar kelompok dengan nilai signifikansi
Gambar 9. Diagram batang purata aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24,
dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB