Sub-Model Lingkungan MEMBANGUN MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN

menikmati nilai tambah yang memadai baik dari kegiatan produksi atau “on farm” maupun kegiatan pasca produksi atau “off fam”. Berdasarkan pengamatan di lapangan tidak berjalannya kelembagaan petani, seperti kelompok tani dan KUD, disebabkan ketidakpercayaan petani terhadap pengurus yang ada berdasarkan pengalaman awal pendirian kelembagaan tersebut, disamping hadirnya kelompok tani dan KUD dirasakan menambah beban biaya bagi petani dan manfaatnya kurang dirasakan.

8.2.3. Analisis Dampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani

Hasil keuntungan kotor rata-rata per hektar jika petani plasma mengikuti pola pemupukan inti adalah Rp 7.588.814,- jika dilakukan tambahan pemupukan NPK sebanyak 155 kg hingga 207 kg setiap hektarnya, tergantung tahun tanam. Artinya diperlukan biaya tambahan pemupukan NPK sebesar Rp 119.516,- hingga Rp 156.135,- setiap hektarnya. Hal ini akan tetap meningkatkan keuntungan hingga Rp 7.446.289,- setiap hektarnya. Hal ini bisa dipenuhi oleh peningkatan keuntungan petani plasma jika memiliki minimum 2 ha lahan dengan pola pemupukan inti, atau keuntungan dari 2 ha lahan sebesar 2 x Rp 7.446.289,- = Rp 14.892.578,- Apabila dikaitkan dengan UMP Sumsel 2012 Rp. 1.195.220,- per bulan atau Rp.14.342.640,- per tahun, seperti terlihat pada gambar 35. Sumsel 2012 Rp 1.195.220,- per bulan atau Rp 14. 3 Gambar 35. Keuntungan petani plasma menggunakan pola pupuk inti 9.136.152 11.207.936 1.994.779 151.923 156.135 119.516 - 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000 180.000 - 2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.000 10.000.000 12.000.000 1986 1987 1988 1989 1990 B ia y a T a mb a h a n R p h a K e u n tu n g a n R p h a Tahun Tanam Selisih Keuntungan Bersih Rpha Biaya Tambahan Pupuk Rpha

IX. PEMBAHASAN UMUM

Indonesia sebagai negara tropis memiliki tingkat kehilangan karbon di dalam tanah yang tinggi secara alamiah sehingga rentan terhadap degradasi lahan. Hal ini terjadi akibat tingkat dekomposisi bahan organik yang tinggi ditambah dengan tingkat erosi yang tinggi pula. Strategi pengurangan kehilangan karbon dapat dilakukan terhadap dua aspek yaitu menekan tingkat dekomposisi bahan organik dan menekan tingkat erosi tanah. Penerapan teknologi konservasi tanah baik secara vegetatif dan mekanis seperti telah dijelaskan di atas merupakan tindakan yang strategis dan urgen untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas tanah. Kehilangan karbon dapat terjadi akibat erosi dimana bahan organik di tanah bagian atas akan terbawa oleh air dan diendapkan di bagian bawah sekuen erosi. Teknologi konservasi tanah juga telah terbukti dapat menekan kehilangan bahan organik tanah yang terbawa oleh aliran permukaan air pada saat kejadian erosi berlangsung. Teknologi konservasi tanah dapat dilakukan secara vegetatif dan mekanis. Teknologi konservasi tanah secara vegetatif memiliki prinsip mengurangi pukulan air hujan, memperlambat aliran permukaan, dan meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Beberapa teknologi konservasi tanah antara lain adalah tanaman lorong alley cropping, strip rumput grass strip, mulsa sisa tanaman mulch, tanaman legum penutup tanah legume cover crop, rumput penguat teras, barisan sisa tanaman, penanaman multistrata, tumpangsari, tumpang gilir, dan rotasi tanaman. Sedangkan teknologi konservasi tanah secara mekanis prinsipnya adalah memanipulasi lahan sehingga mampu mengurangi laju aliran permukaan. Beberapa teknologi yang sudah kita kenal dengan baik adalah pembuatan teras bangku, teras gulud, rorak, embung, saluran pengelak, bronjong bambu, dan lubang pori. Dari hasil penelitian ini menunjukan terjadi perbedaan antara analisis keberlanjutan dimensi lingkungan dengan analisis degradasi lahan melalui analisis tanah. Analisi tanah secara langsung terindikasi telah terjadi degradasi lahan pada kebun plasma dan inti pada kedalaman 0-20 pada kemiringan bagian tengah dan bawah serta pada bagikan atas tahun tanam 1989 dan inti pada tahun tanam 1988. Sementara pada evaluasi keberlanjutan terkait pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit menggunakan analisis multidimensional scaling pada dimensi lingkungan disimpulkan cukup berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena analisis MDS mempunyai kelemahan, antara lain pada penentuan atribut, yaitu: 1 da mpak kesalahan dalam skoring akibat minimnya informasi; 2 dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian; 3 perbedaan persepsi para pakar dalam menuntukan hasil skoring. multidimensional scaling merupakan sekelompok prosedur untuk menggambarkan persepsi dan preferensi responden secara visual sebagai hubungan geometris antara beberapa hal dalam suatu ruang multidimensi. Dalam berbagai riset, analisis multidimensional scaling digunakan untuk mengetahui persepsi konsumen terhadap beberapa produk dan hubungan antara atribut-atribut produk. Kebijakan pengembangan agribisnis di Indonesia merupakan kelanjutan dari strategi jangka panjang pembangunan pertanian. Namun pada kenyataannya selama ini usaha pertanian cenderung berkembang hanya pada on farm yaitu berupa kegiatan produksi budidaya, dan kurang memperhatikan pengembangan pada off farm kegiatan yang mendukung kegiatan budidaya. Karena itu keikutsertaan dan dukungan dari kegiatanfaktor lainnya sangat diperlukan agar komoditas pertanian yang dihasilkan berdaya saing dan mampu eksis di pasaran. Perkebunan kelapa sawit rakyat pola PIR-BUN yang diusahakan oleh petani plasma merupakan salah satu usaha agribisnis. Aktivitas dari usaha itu sudah tentu memerlukan dukungan tidak hanya terbatas pada proses produksibudidaya saja, tetapi dukungan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan usaha bersangkutan. Banyaknya faktor yang terkait dengan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit rakyat maka usaha itu merupakan sebuah sistem yang disebut dengan sistem agribisnis. Terkait dengan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan, dibutuhkan pengelolaan secara terpadu disamping sebagai kegiatan agribisnis juga upaya penyelamatan lingkungan, dalam upaya menguranginya terjadinya degradasi lahan. Menurut Firman 2003, faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal yang berlereng, tanah yang mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat. Pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman kelapa sawit merupakan hasil interaksi berbagai faktor, yaitu: genetis, tanah, biotik, kultur teknis, dan iklim . Penyebab degredasi lahan diklasifikasi menjadi tiga tingkat yaitu pelaku, penyebab langsung; dan penyebab yang mendasari perubahan tutupan hutan underlying cause. Pelaku merujuk pada orang-orang atau organisasi misalnya petani rakyat yang mempunyai peranan fisik danatau peranan membuat keputusan langsung dalam perubahan tutupan hutan. Penyebab langsung perubahan tutupan hutan adalah parameter-parameter keputusan yang mempunyai pengaruh langsung pada perilaku para pelaku. Pada umumnya dampak yang ditimbulkan oleh usaha budidaya tanaman, berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas air, persebaran hama penyakit dan gulma serta perubahan kesuburan tanah akibat penggunaan pestisida. Serta rona lingkungan yang turut terpengaruh, seperti: kondisi ekosistem, hidrologi, bentang alam, sikap penduduk yang tinggal diwilayah perkebunan. 9.1.Sistem Kelembagaan Dari analisis keberlanjutan dalam dimensi kelembagaan diperoleh hasil tiga atribut yang sensitif yang dapat menjadi faktor pengungkit leverage terhadap nilai indeks dimensi kelembagaan yaitu : 1. Kemampuan modal kelompok tani. 2. Kelompok tani, 3. Lembaga Keuangan Mikro. Perbaikan terhadap ketiga atribut tersebut berpotensi dapat meningkatkan status tingkat keberlanjutan dimensi kelembagaan lebih signifikan dibandingkan atribut lainnya. Uphoff 1992 dan Fowler 1992, menyatakan bahwa suatu lembaga dapat berbentuk organisasi, atau sebaliknya. Suatu lembaga dapat berbentuk organisai pemerintah, bank, partai, perusahaan dan lain-lain. Institusi dapat juga berupa tata peraturan seperti hukum dan undang-undang. Sebagai sebuah organisasi, kelembagaan merupakan seperangkat aturan main yang dipatuhi dan didukung oleh sarana dan sumber daya manusia dalam memenuhi kebutuhan para pendukung kelembagaan tersebut. Sehubungan dengan hal itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa berusaha tani hanya bisa berhasil apabila ditunjang oleh kelembagaan yang terkait. Ada beberapa kelembagaan yang aktivitasnya berkaitan dengan usaha perkebunan kelapa sawit rakyat pola PIR-BUN. Berbagai aktivitas kelembagaan dan keterlibatan petani pada lembaga itu diyakini dapat menentukan keragaan pada usaha tersebut. Kelembagaan yang dimaksud antara lain : Kelompok Tani, Koperasi Unit Desa KUD, Lembaga Penyuluhan PPL-BUN, dan Lembaga Pembinaan dari Perusahaan Inti. Hal ini sejalan dengan pendapat Dillon 1994 yang menyatakan bahwa dalam agribisnis mutlak dibutuhkan kelembagaan institusional building untuk menghindari proses alokasi sumberdaya yang tidak mendorong kepada kesejahteraan petani.. Ditambahkan oleh Mubyarto 1985, bahwa aspek kelembagaan mempunyai peran penting dalam keberhasilan pembangunan pertanian Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ajid 1995, bahwa berusaha tani hanya bisa berhasil apabila ditunjang oleh perangkat kelembagaan terkait yang ada dan berlaku pada komunitas yang bersangkutan. Pendapat-pendapat yang dikemukakan itu mengisyaratkan bahwa dukungan kelembagaan terhadap usaha perkebunan kelapa sawit rakyat sangat dibutuhkan untuk keberhasilan usaha tersebut. Dukungan dari kelembagaan tidak hanya terbatas pada peran kelembagaan itu sendiri tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan petani secara aktif di dalamnya. Jika hal itu dapat dilakukan, maka keberadaan kelembagaan dapat memberikan nilai tambah yang berarti bagi keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh petani Pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit secara berkelanjutan bisa dicapai dengan melakukan pemberdayaan masyarakat antara lain dengan melibatkan penduduk dalam aktifitas perkebunan. Untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dibutuhkan para penyuluh yang baik, menurut Sumardjo 2008 menyatakan bahwa penyuluh seharusnya mempunyai karakter konsisten, inovatif, percaya diri, berkeyakinan diri, arif, mampu bersinergi interdependent, berwawasan luas, adil dan beradab. Beradab berarti mampu memahami dan menghargai norma dan nilai budaya yang berlaku dan mampu berempati dalam mengemban misi atau tugas- tugasnya. Hasil strukturisasi elemen kelembagaan dalam analisis Multidimenisonal scaling yaitu kelompok tani masih merupakan faktor kunci sebagai elemen pendorong utama dalam pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit. Oleh karena itu secara kelembagaan, kemampuan kelompok tani baik organisasi maupun modal melalui lembaga keuangan mikro terkait dalam hal ini PT.Perkebunan Nusantara VII sebagai perkebunan inti harus mampu mendorong Lembaga Keuangan Mikro sebagai penyandang dana guna pengelolaan perkebunan plasma dan rencana re-planting. Secara regulatif, pemerintah pusat juga harus menyediakan kebijakan strategis dan teknis yang bisa mendorong pengelolaan perkebunan inti rakyat. Selain itu, perlu juga PT.Perkebunan Nusantara VII melakukan pelibatan institusi lokal yang sudah ada, yang mana bisa mendorong ekonomi komunitas dan mengurangi potensi konflik. Pakpahan 1989, menyatakan bahwa secara konseptual kelembagaan dalam sistem agribisnis mengandung dua makna, yaitu kelembagaan sebagai aturan main rules of the games dan kelembagaan sebagai organisasi. Sebagai aturan main, kelembagaan merupakan sistem organisasi, dan sebagai organisasi kelembagaan diartikan sebagai wadah badan membuat aturan main.

9.2. Sistem Pengelolaan.

Menurut Dinas Perkebunan 2009, rendahnya tingkat produktivitas dan mutu hasil merupakan masalah utama dalam perkebunan. Hal ini disebabkan karena belum maksimalnya pengelolaan usaha tani perkebunan dalam penerapan teknologi maju terutama penggunaan benih unggul yang bermutu, pupuk, pengendalian hama, penyakit dan gulma, serta penanganan panen dan pasca panen. Di samping masih rendahnya tingkat kemampuan SDM lemahnya kelembagaan petani yang ada dan lemahnya posisi tawar bargaining position, sehingga petani pekebun belum dapat menikmati nilai tambah yang memadai baik dari kegiatan produksi atau “on farm” maupun kegiatan pasca produksi atau “off farm”. Ada 3 unsur kelembagaan kelompok tani yang kondisinya masih lemah dalam membentuk kinerja kelembagaan bersangkutan. Unsur-unsur tersebut yaitu : 1. Unsur kerjasama anggota kelompok tani dalam penyediaan inputsaprotan. Rendahnya kerjasama petani dalam penyediaan saprotan disebabkan tidak semua petani memiliki uang kontan pada saat yang bersamaan untuk melakukan pembelian input pertanian, selain kurangnya koordinasi antara anggota dengan pengurus kelompok. Kondisi ini menyebabkan pemberian input kepada tanaman cenderung tidak sesuai dengan yang dianjurkan. 2. Unsur kerjasama anggota kelompok tani dalam kegiatan budidaya. Rendahnya kerjasama anggota kelompok tani dalam kegiatan budidaya disebabkan tidak adanya kerjasama antara petani di dalam kelompoknya untuk melakukan budidaya tanaman sehingga petani melakukan budidaya dengan caranya sendiri, baik pada saat melakukan penyiangan, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit. 3. Unsur kerjasama anggota kelompok tani dalam pemanenan pascapanen. Rendahnya kerjasama anggota kelompok tani dalam pemanenan pascapanen seperti waktu pemanenan buah sawit dan pengangkutan ke TPH, semua petani melakukannya secara sendiri-sendiri dan terkadang dibantu oleh keluarganya. Hal ini disebabkan petani masih merasa mampu melakukan kegiatan tersebut sehingga petani tidak memerlukan bantuan anggota kelompok lainnya.Kondisi yang demikian seringkali menyebabkan buah sawit yang telah dipanen terlalu lama dibiarkan menumpuk di kebun atau di tempat penumpukan hasil TPH. Pemberdayaan masyarakat adalah proses pengembangan kesempatan, kemauan motivasi, dan kemampuan masyarakat untuk lebih mempunyai akses terhadap sumberdaya, sehingga meningkatkan kapasitasnya untuk menentukan masa depan sendiri dengan berpartisipasi dalam mempengaruhi dan mewujudkan kualitas kehidupan diri dan komunitasnya. Tujuan jangka pendek pemberdayaan sebaiknya jelas specific, terukur measurable, sederhana realistic, sehingga merupakan kondisi yang mendorong minat masyarakat untuk mewujudkannya achievable dalam waktu tertentu. Adanya program pemberdayaan masyarakat lokal disekitar perkebunan secara baik dan merata di setiap desa akan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat lokal disekitar perkebunan dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Secara umum keberhasilan sistem pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit di Muara Enim sangat terkait dengan aspek institusi atau lembaga pengelolanya, kebijakan atau tata cara pengelolaannya, serta anggaran yang menunjang kelancaran pengelolaan yang telah dibahas sebelumnya. Isu strategis pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit di Muara Enim terutama harus diawali oleh terbentuknya struktur kelembagaan yang bertanggung jawab melakukan pengelolaan. Keberadaan lembaga ini akan menjadi pendorong disusunnya tata cara dan sumber pendanaan bagi keberhasilan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit di Muara Enim. Kebijakan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit dituangkan dalam bentuk model konseptual pengelolaan yang terdiri dari penentuan institusi pengelola manager dan penyusunan sistem pengelolaannya management yang memenuhi prinsip-prinsip keberkelanjutan. Konsepsi diagram input-output digambarkan secara lebih rinci, secara khusus pada rancangan pengendalian dari pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit yang berkelanjutan di Muara Enim Gambar 36. Model konseptual ini merupakan hasil sintesa dari berbagai analisis yang dilakukan untuk menyusun strategi pengendalian dari pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit yang berkelanjutan di Muara Enim. Mekanisme pengelolaan diperkirakan mampu merekayasa berbagai output tidak dikehendaki menjadi output yang dikehendaki. Mekanisme pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit terbagi menjadi berbagai kebijakan guna mencapai tujuan, menyelesaikan kendala, menata kelembagaan dan memenuhi prioritas kebijakan hasil analisis. Berbagai kebijakan tersebut antara lain kebijakan prioritas penataan kelembagaan, prioritas

Dokumen yang terkait

Analisis Kehilangan Crude Palm Oil pada Pabrik Kelapa Sawit Bah Jambi PT. Perkebunan Nusantara IV

34 131 131

Language Disorder In Schizophrenia Patient: A Case Study Of Five Schizophrenia Paranoid Patients In Simeulue District Hospital

1 32 102

Local resource based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis Meranti, Riau Province

1 32 201

Water resource conservation model on sustainable palm oil (Case study Sub watershed Lalindu, North Konawe, South East Sulawesi province )

1 51 197

Local resource-based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations: a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis-Meranti, Riau Province

0 21 387

SPATIAL PATTERN OF PALM OIL DEVELOPMENT IN NORT SUMATRA AND SOUTH KALIMANTAN A CASE STUDY OF ACTUAL UTILIZATION AND LAND HOLDING STATUS

0 3 15

Diversity and Dispersal of Amphibian in Palm Oil Agriculture Landscape Elements: Case Study PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan District, West Sumatra

2 20 273

Model Of Sustainable Fishing Management In South Sulawesi

1 6 294

Sustainable agriculture management for palm oil productivity enhancement : a case study at Felda Wilayah Mempaga.

0 2 24

Assessment of Smallholders’ Barriers to Adopt Sustainable Practices: Case Study on Oil Palm (Elaeis Guineensis) Smallholders’ Certification in North Sumatra, Indonesia

0 0 29