DEGRADASI LAHAN TERKAIT PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT

Kemiringan lahan sangat berpengaruh terhadap kecepatan degradasi tanah karena gaya kinetik erosi akan semakin kuat. Jika tanah tidak mendapatkan perlakuan konservasi, maka semakin lama akan semakin banyak tanah dan bahan organik di permukaan yang terbawa aliran permukaan menuju tempat yang lebih rendah. Teixeiraa dan Misrac 2005 melaporkan bahwa kehilangan sedimen dan unsur hara akan meningkat seiring dengan peningkatan kelerengan dan energi kinetik air hujan. Hal ini sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian dimana pada lereng tengah memiliki kandungan hara yang paling rendah di bandingkan lereng atas dan bawah. Pada lereng tengah merupakan jalur transportasi aliran permukaan yang membawa fraksi tanah dan bahan organik. Gaya kinetik terbesar dari pergerakan aliran permukaan juga terjadi di lereng tengah. Terdapat empat fase dalam proses erosi Editorial 2005 yaitu: a pelepasan agregat dan percikan akibat pukulan air hujan, b pengangkutan oleh aliran permukaan runoff, c pegendapan bahan di cekungan mikro micro-depression, dan d pengendapan di cekungan makro dan dataran banjir floodplains. Pada masing-masing fase tersebut, C-org akan mengalami mineralisasi dan pencucian leaching yang merupakan nilai koreksi terhadap selisih C-org di posisi awal, terhadap kandungan C-org di posisi akhir lokasi pengendapan Tabel 13 . Selisih kandungan C-org , antara Kebun Inti dan Kebun Plasma terhadap Hutan, dengan Kedalaman 20-40 cm pada tahun tanam 1987, 1988 dan tahun tanam Bagian 1987 1988 1989 Hutan Plasma Inti Plasma Inti Plasma Inti Atas 0,24 0,40 -0,72 -0,37 -0,29 1,28 Tengah -0,24 0,88 0,48 -0,32 -2,63 -1,75 0,64 Bawah -1,04 -0,88 -0,48 -1,04 -1,59 -1,43 2,00 Bahan organik yang terdapat pada kedalaman 20-40 cm adalah dalam kondisi terlindungi protected organic material. Penurunan kandungan C-org pada kedalaman tanah 20-40 cm tersebut lebih disebabkan oleh pencucian air perkolasi daripada proses mineralisasi. Pada kedalaman tersebut, proses mineralisasi oleh mikrob tidak berlangsung optimal karena keterbatasan oksigen Lal 2003. Proses mineralisasi yang paling banyak terjadi hanya disebabkan oleh A T B proses enzimatik. Tan 1998 melaporkan bahwa C-org tanah dengan kedalaman 20-40 cm sangat penting untuk memperbaiki struktur tanah, pengikat air, dan pengikat unsur hara dalam bentuk ikatan kimia termasuk ikatan formasi kompleks complex formation. Harahap 1999 melaporkan bahwa distribusi perakaran kelapa sawit rata-rata pada berbagai umur produktif yang terbesar ditemukan pada kedalaman 30 cm dari permukaan tanah. Dengan demikian, mempertahankan kandungan C-org tanah pada kedalaman 20-40 cm sangat penting untuk dilakukan. Pada Tabel 13, dapat diketahui bahwa tanah pada kedalaman 20-40 cm yang digunakan untuk kebun kelapa sawit, baik di lereng atas, tengah dan bawah telah mengalami penurunan kandungan C-org tanah. Hanya pada kebun plasma tahun tanam 1987 di bagian atas dan kebun inti di bagian atas dan tengah tidak terjadi penurunan kandungan C-org tanah, begitu juga bagian tengah kebun inti pada tahun tanam 1988 tidak terjadi penurunan. Artinya bahwa air perkolasi pada kebun kelapa sawit tahun tanam 1987 dan 1988, yang sangat menentukan proses pencucian C-org dan hara yang lain, belum perlu menjadi perhatian khusus untuk ditangani. Kebun kelapa sawit inti dan plasma keduanya memiliki respon erosi yang bervariasi. Pada kebun inti, erosi masih dapat dikendalikan dengan baik, yang dapat diketahui dari akumulasi kandungan C-org, N, dan P di lereng tengah dan belum mencapai lereng bawah. Sedangkan pada kebun plasma, erosi dapat dihambat dengan baik yang diketahui dari tingginya kandungan C-org, N, dan K di lereng atas, meskipun hara P sudah tererosi ringan dan terakumulasi di lereng tengah. Pada kondisi alami, hutan dengan tutupan yang tidak rapat dan memiliki kontur makro dan mikro yang lebih bervariasi masih dapat mengalami erosi yang lebih besar dibandingkan lahan yang datar seperti hamparan kebun kelapa sawit. Kebun kelapa sawit inti dan plasma keduanya memiliki respon erosi yang bervariasi. Tabel 14 . Selisih kandungan C-Organik, antara Kebun Inti dan Kebun Plasma terhadap Hutan, dengan Kedalaman 40-60 cm pada tahun tanam 1987, 1988 dan tahun tanam 1989 Bagian 1987 1988 1989 Hutan Plasma Inti Plasma Inti Plasma Inti Atas 0,08 -0,32 0,08 -0,16 0,8 0,08 0,72 Tengah -0,64 -0,32 0,12 0,16 -0,32 -0,08 0,88 Bawah -0,4 0,32 -0.16 -0,16 0.96 Keberadaan C-org pada kedalaman 40-60 cm terjadi akibat proses pencucian dan pada saat proses pembentukan tanah. Pada proses pencucian, C-org tersebut terangkut oleh air infiltrasi dan perkolasi dari lapisan atas hingga terdeposisi di lapisan 40-60 cm. C-org juga dapat terjadi pada saat pembentukan tanah ketika bahan induk sedimen yang sudah bercampur dengan bahan organik melapuk menjadi tanah. Kondisi C-org pada kedalaman 40-60 cm lebih terlindungi dibandingkan C-org pada lapisan di atasnya. Parameter C-org pada lapisan ini sebenarnya bukan penciri degradasi lahan karena bukan faktor penentu pertumbuhan tanaman maupun penentu proses hidrologi lahan. Keberadaan C-org pada lapisan ini penting sebagai sumber energi bagi mikrob yg hidup di lapisan ini sehingga menyehatkan perakaran. Pada saat terjadi pembalikan tanah soil turbation akibat pengaruh iklim, fauna, dan geologi, maka C-org di lapisan ini dapat menjadi sumber C yang penting bagi perakaran kelapa sawit di lapisan atas. Pada kedalaman tanah 40-60 cm kebun kelapa sawit tahun tanam 1988, tidak terjadi penurunan kandungan C-org tanah, baik di kebun plasma maupun kebun inti pada bagian lereng atas dan tengah. Sementara pada bagian lereng atas tidak terjadi penurunan kandungan C-org tanah pada hampir semua kebun kelapa berbagai tahun tanam, kecuali tahun tanam 1987 Tabel 14. Kedalaman 40-60 cm pada tahun tanam 1987 pada kebun inti telah terjadi penurunan kandungan C-org pada bagian atas, tengah dan bawah sebaliknya pada tahun tanam 1988 tidak terjadi penurunan C-org. Pengelolaan lahan termasuk olah tanah konservasi dan pemupukan bahan organik menjadi salah satu kunci terpeliharanya lahan dari degradasi dan menjamin keberlanjutan. A T B Sedangkan kebun kelapa sawit tahun tanam 1989 bagian atas belum memperlihatkan tingkat penurunan kandungan C-org yang mengkhawatirkan karena belum menampakkan perbedaan besar atas kandungan C-org, sementara di lereng tengah dan bawah, telah terjadi penurunan kandungan C-org Tabel 14. Sementara hutan masih menunjukkan proses akumulasi hara di lereng bawahnya akibat erosi, meskipun kandungan hara yang tersisa di lereng atas dan tengah masih lebih baik dibandingkan kebun kelapa sawit. Tabel 12 13 dan 14 disajikan data mengenai hasil analisa C-org tanah pada berbagai kedalaman di lereng atas, tengah, dan bawah baik di hutan maupun pada kebun kelapa sawit pada berbagai umur tanam. Khusus pada hutan, perbedaan kandungan hara ini menunjukkan telah terjadi erosi tanah di lapisan permukaan tanah top soil maupun di lereng atas. Pengangkutan hara yang terjadi di hutan tidak saja terjadi akibat aliran permukaan runoff, melainkan juga akibat aliran perkolasi dan lateral air tanah. Pada tanah Podsolik, terdapat akumulasi liat pada kedalaman tertentu yang mengakibatkan peningkatan berat isi tanah dan porositas tanah menjadi berkurang. Kondisi ini memungkinkan air sulit untuk mengalir ke bawah sehingga mengakibatkan kondisi drainase tanah tersebut buruk. Apabila berada di tempat yang miring, maka air dengan cepat akan mengalir ke bawah sehingga meningkatkan aliran permukaan dan lateral Kehilangan hara bukan hanya terjadi di lapisan atas tanah saja, melainkan juga dapat terjadi di lapisan bawahnya. Hal ini dapat dimungkinkan karena air yang terinfiltrasi masuk ke dalam tanah dapat mengalami perkolasi maupun aliran lateral di dalam tubuh tanah. Aliran tersebut dapat mengangkut material tanah dan hara yang dilaluinya. Kondisi tanah pada kebun kelapa sawit dengan tahun tanam terakhir, yakni tahun tanam 1989 memiliki kesuburan yang lebih baik dibandingkan kebun dengan umur tanaman yang lebih tua. Kondisi ini terjadi baik di kebun kelapa sawit inti maupun plasma sehingga dapat diketahui bahwa tanaman yang lebih lama ditanam akan menguras hara lebih banyak dibandingkan tanaman yang lebih muda. Kebun sawit inti dengan tahun tanam 1987 dan 1989 memiliki kandungan C-org, N, dan P di lereng atas lebih baik dibandingkan lereng bawahnya Tabel 16. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tanah kebun inti di tahun awal penanaman mungkin lebih baik dibandingkan kebun plasma. Penurunan kualitas tanah mungkin baru terjadi dalam kurun waktu terakhir dimana tanah yang sudah mengalami erosi mengalami tambahan tekanan akibat pengurasan hara oleh tanaman. Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan karbon organik dalam tanah Kloepper, 1993, Pengelolaan lahan di kebun inti baik pengelolaan agronomi dan pengelolaan tanah kondisinya lebih baik dibandingkan dengan kebun plasma. Kebun inti merupakan kawasan produksi utama suatu perusahaan sehingga akan diberikan perhatian yang lebih baik untuk menjaga produktivitas lahan dan menjamin pasokan TBS untuk diolah menjadi CPO crude palm oil. Sedangkan pada kebun kelapa sawit tahun tanam 1988 telah menunjukkan gradasi kualitas tanah dimana lereng atas memiliki kandungan C-org, N, P, dan K lebih rendah dibandingkan lereng tengah dan bawah. Hal ini menunjukkan telah terjadi degradasi pada lapisan tanah 20-40 cm akibat aliran lateral tanah. Tabel 15. Perbandingan Hasil Analisis Tanah pada Kedalaman 40-60 cm di Bagian Atas, Tengah dan Bawah pada Tahun Tanam 1987 No Bagian C organik N Total P-tersedia ppm P K-tersedia ppm K KP KI H KP KI H KP KI H KP KI H 1 Atas 0,80 0,4 0,72 0,09 0,04 0,07 2,50 3,2 3,10 0,12 0,78 0,12 2 Tengah 0,24 0,56 0,88 0,02 0,06 0,09 3,10 3,2 2,40 0,09 0,43 0,10 3 Bawah 0.96 0,56 0.96 0,10 0,06 0,10 3.60 3,6 2,40 0,13 0,56 0,14 Tanah pada kedalaman 40-60 cm biasanya tidak terlalu terpengaruh oleh perbedaan perlakuan pupuk yang diberikan di permukaan tanah. Perbedaan akan terjadi jika air yang masuk dari permukaan dan membawa hara dari permukaan akan mengalir terus hingga kedalaman tanah 60 cm leaching. Akumulasi hara dan C-org pada lapisan ini akan tergantung pada lamanya waktu dan kondisi sifat fisik tanah tekstur, porositas, permeabilitas, dan keberadaan lapisan kedappan.. Pada hutan dan kebun kelapa sawit tahun tanam 1987 dan 1988 telah terjadi pencucian hara hingga kedalaman 60 cm. Hal ini nampak dari kandungan C-org, N, dan K pada lereng bawah yang lebih tinggi dibandingkan dengan lereng di atasnya, kecuali pada unsur P. Pergerakan hara akibat aliran permukaan dan aliran air lateral bawah tanah akan menuju tempat di bawahnya yaitu di lereng bawah. Seiring dengan waktu, akumulasi hara di lereng bagian bawah akan mengalami pencucian hingga dapat masuk ke lapisan 60 cm. Hara di lapisan atas sangat penting untuk dimanfaatkan akar tanaman kelapa sawit. Kehilangan hara di lapisan atas akan mengurangi penyediaan hara tanah bagi kesuburan tanaman dan menyebabkan tanah mengalami degradasi. Sementara pada kebun kelapa sawit tahun tanam 1989 belum mengalami pencucian hara akibat aliran lateral maupun aliran perkolasi. Hal ini nampak dari kandungan C-org, N, P dan K pada tanah di lereng atas yang lebih besar dibandingkan pada tanah di lereng bawah. Umur tanaman yang lebih muda dibandingkan yang lain kemungkinan menjadi penyebab kondisi ini. Pada umur tanaman yang lebih muda, pencucian hara akibat perkolasi dan aliran lateral belum sampai menguras hara pada kedalaman 60 cm ini. Sementara pada hutan sudah terjadi akumulasi hara di lereng bawah. Perbandingan CN rasio tinggi pada hampir semua kedalaman tanah dan tahun tanam menunjukkan bahwa bahan organik belum terurai secara sempurna. Agar dapat dimanfaatkan oleh tanaman, bahan organik akan diurai oleh mikroorganisme menjadi senyawa sederhana sehingga kation-kation mudah dilepaskan dan tersedia bagi tanaman. Dengan CN rasio yang masih tinggi mikroorganisme pengurai tidak akan mendekomposisi bahan tersebut lebih dulu, melainkan akan menyerap sumber C-org dan unsur hara dari lingkungan sekitarnya untuk pertumbuhannya dan energinya Novra 2001. Upaya pengelolaan kebun kelapa sawit yang tepat, terpadu, dan berkesinambungan merupakan upaya yang mutlak dilakukan. Menjaga permukaan tanah tetap tertutup baik secara vegetatif maupun aplikasi bahan pembenah tanah dari sisa panen, pemupukan yang rasional, dan membuat bangunan konservasi tanah dan air Poeloengan et al., 2002, sehingga degradasi tanah dapat ditekan dan produktivitas lahan dapat ditingkatkan ke arah potensi hasil sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuaian lahannya. Degradasi lahan merupakan akibat dari hubungan yang saling terkait antara alam, manusia, kelembagaan dan kebijakan pemerintah Dixon et al.; Ibaga 1989 dalam Novra 2007. Faktor kebijakan pemerintah dan kelembagaan dalam degradasi lahan dapat dilihat pada sudut pandang perencanaan, pelayanan, pelaksanaan dan control terhadap suatu program Mundita 1999. Kondisi ini terjadi baik di kebun kelapa sawit inti maupun plasma sehingga dapat diketahui bahwa tanaman yang lebih lama ditanam akan menguras hara lebih banyak dibandingkan tanaman yang lebih muda. Apabila kebun kelapa sawit dengan tahun tanam 1987 sudah mengalami penurunan produktivitas, maka perlu dipertimbangkan untuk diremajakan kembali. Hal ini terkait dengan prinsip efisiensi karena selain produktivitasnya menurun, kandungan hara tanah juga akan lebih cepat terkuras. Tanah yang miskin hara dan bahan organik akan rentan terhadap erosi dan degradasi lahan. Menurut Sanim 2001, faktor alam yang mendorong degradasi lahan seperti iklim, topografi lahan dan vegetasi, sedangkan faktor manusia yang berpengaruh termasuk keputusan sistem produksi dan eksploitasi penggunaan sumberdaya alam secara berlebihan tanpa adanya rehabilitasi tanah yang terdegradasi. Lima proses utama yang mengakibatkan terjadinya degradasi, yaitu: menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara Firman 2003. Khusus untuk tanah-tanah tropika basah terdapat tiga proses penting yang menyebabkan terjadinya degradasi tanah, yaitu: 1. Degradasi fisik yang berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu pemadatan tanah, meningkatkan aliran permukaan, dan mempercepat erosi, 2. Degradasi kimia yang berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S, K, dan unsur-unsur logam berat lainnya, dan 3. Degradasi biologi yang berhubungan dengan menurunya kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna.

VI. EVALUASI KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT

6.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Meskipun diyakini memberikan kontribusi besar dalam pembangunan daerah dan perekonomian nasional, pembangunan agribisnis kelapa sawit harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan, sehingga menjamin kelestarian lingkungan dan tanggung jawab sosial masyarakat sekitar, serta mampu menghindari tindakan marjinalisasi. Ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat di pertahankan atau bahkan ditingkatkan, mempertahankan produktifitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi Sabiham 2005. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan MDS, terhadap 17 atribut yang berpengaruh terhadap dimensi ekologi menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah 68,21. Nilai tersebut berada pada selang 50,01- 75,00 skala keberlanjutan dengan status cukup berkelanjutan Gambar 11, Gambar 11. Nilai indeks dan status keberlanjutan perkebunan inti Rakyat kelapa sawit dimensi ekologi memberikan pengaruh terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan analisis leverage tersebut diperoleh enam atribut yang sensitif Gambar 12, yaitu: 1. Kondisi jumlah sumber air, 2. Kelas kemampuan lahan, 3. Penggunaan pupuk kimia, 4. Jumlah bulan kering, 5. Kelas kesesuaian lahan, dan

6. Curah hujan rata-rata tahunan.

Leverage of Attributes 2,65 1,04 1,96 2,61 3,05 5,52 4,36 5,00 5,36 7,40 5,57 5,30 4,55 4,61 3,34 1,87 0,64 1 2 3 4 5 6 7 8 Luas kebun plasma Luas baku plasma Potensi lahan untuk pembukaan plasma baru Pembuatan kebun kelapa sawit plasma baru Konversi kebun plasma sawit Penggunaan pupuk kimia Temperatur rata-rata tahunan Curah hujan rata-rata tahunan Jumlah bulan kering Jumlah mata air Kelas kemampuan lahan Kelas kesesuaian lahan Areal tanaman kelapa sawit fuso akibat kekeringan Areal tanaman kelapa sawit rusak akibat banjir Intensitas serangan organisme pengganggu frekuensi serangan organisme pengganggu tanaman RTRW Propinsi Sumsel 2010-2030 A tt ribut e Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 Gambar 12. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square RMS skala keberlanjutan 0 – 100 Untuk meningkatkan indeks keberlanjutan dimensi ekologi, maka perlu kebijakan yang efektif antara lain: mengendalikan tata ruang dan wilayah, Jumlah sumber air pelaksanaan weeding terhadap semak dan belukar, pengendalian penggunaan pupuk kimia. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit hingga saat ini masih bersifat sektoral dan belum didasarkan atas pertimbangan multi sektoral dan multi dimensi. Kondisi ini menimbulkan kerugian ganda berupa hilangnya pendapatan petani, kerusakan lingkungan dan masalah sosial Pada umumnya dampak yang ditimbulkan oleh usaha budidaya tanaman, berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas air, persebaran hama penyakit dan gulma serta perubahan kesuburan tanah akibat penggunaan pestisida. Di samping itu rona lingkungan yang turut terpengaruh, seperti: kondisi ekosistem, hidrologi, bentang alam, sikap penduduk yang tinggal diwilayah perkebunan. 6.2.Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Hasil analisis ordinasi MDS terhadap 7 atribut yang berpengaruh terhadap dimensi ekonomi menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi adalah 88,97. Nilai tersebut berada pada selang 75,00 – 100,0 skala keberlanjutan dengan status berkelanjutan Gambar 13. RAPFISH Ordination 88,97 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Fisheries Sustainability O th e r D is ti n g is h in g F e a tu re s Real Fisheries References Anchors Gambar 13. Nilai indeks dan status keberlanjutan perkebunan inti rakyat kelapa sawit dimensi ekonomi Analisis leverage dilakukan untuk mengetahui atribut yang sensitif terhadap keberlanjutan pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada dimensi ekonomi. Berdasarkan analisis leverage terhadap 7 atribut dimensi ekonomi diperoleh empat atribut yang paling berpengaruh dan perlu diintervensi, yaitu berturut-turut harga tandan buah segar, jumlah tenaga kerja sub sektor perkebunan, dan kontribusi penguasaan kebun kelapa sawit Gambar 14. Gambar 14. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square RMS skala keberlanjutan 0 – 100 Menurut Syahza 2008, bahwa aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Manfaat kegiatan perkebunan ini terhadap aspek ekonomi pedesaan, antara lain: 1. Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 2. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar; dan 3. Memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah. Beberapa kegiatan yang secara langsung memberikan dampak terhadap komponen ekonomi pedesaan dan budaya masyarakat sekitar, antara lain: 1. Kegiatan pembangunan sumberdaya masyarakat desa; 2. Pembangunan sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, terutama sarana jalan darat; 3. Penyerapan tenaga kerja lokal; 4. Penyuluhan pertanian, kesehatan dan pendidikan; dan 5. Pembayaran kewajiban perusahaan terhadap negara pajak-pajak dan biaya kompensasi lain.

6.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial

Berdasarkan analisis menggunakan MDS terhadap 8 atribut yang berpengaruh terhadap dimensi sosial menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial adalah 81,02. Nilai tersebut berada pada selang 75,00 -100.00 skala keberlanjutan Gambar 15. RAPFISH Ordination 81,02 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Social Sustainability O th e r D is ti n g is h in g F e a tu re s Real Fisheries References Anchors Gambar 15. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial Berdasarkan analisis leverage terhadap 8 atribut dimensi sosial budaya diperoleh empat atribut yang sensitif Gambar 16, yaitu: 1. Penduduk yang bekerja disektor perkebunan, 2. Rumah tangga pertanian yang mendapat penyuluhan pertanian, dan 3. Pendidikan formal petani, 4. Aksesibilitas transportasi desa. Leverage of Attributes 1,17 4,14 4,54 12,87 4,06 4,48 3,32 4,72 2 4 6 8 10 12 14 Pertumbuhan penduduk jumlah rumah tangga petani pendidikan formal petani penduduk yang bekerja di sektor perkebunan desa yang sebagian penduduknya bekerja disektor perkebunan aksesibilitas transportasi desa aksesibilitas komunikasi desa rumah tangga pertanian yang mendapat penyuluhan pertanian A tt r ib u te Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100 Gambar 16. Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square RMS skala keberlanjutan 0 – 100 Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas sosial pada perkebunan inti rakyat kelapa sawit berjalan cukup baik dimana penduduk yang bekerja disektor perkebunan cukup banyak. Status tingkat keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada dimensi sosial tetap harus ditingkatkan melalui atribut-atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi sosial, yang terdiri dari: 1. Penduduk yang bekerja di sektor perkebunan, 2. Aksesibilitas komunikasi desa, 3. Jumlah petani kebun kelapa sawit, 4. Sebagian penduduk desa bekerja di perkebunan kelapa sawit, 5. Pendidikan formal kelapa keluarga, 6. Aksessibilitas terhadap desa dan 7. Pertumbuhan penduduk.

Dokumen yang terkait

Analisis Kehilangan Crude Palm Oil pada Pabrik Kelapa Sawit Bah Jambi PT. Perkebunan Nusantara IV

34 131 131

Language Disorder In Schizophrenia Patient: A Case Study Of Five Schizophrenia Paranoid Patients In Simeulue District Hospital

1 32 102

Local resource based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis Meranti, Riau Province

1 32 201

Water resource conservation model on sustainable palm oil (Case study Sub watershed Lalindu, North Konawe, South East Sulawesi province )

1 51 197

Local resource-based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations: a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis-Meranti, Riau Province

0 21 387

SPATIAL PATTERN OF PALM OIL DEVELOPMENT IN NORT SUMATRA AND SOUTH KALIMANTAN A CASE STUDY OF ACTUAL UTILIZATION AND LAND HOLDING STATUS

0 3 15

Diversity and Dispersal of Amphibian in Palm Oil Agriculture Landscape Elements: Case Study PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan District, West Sumatra

2 20 273

Model Of Sustainable Fishing Management In South Sulawesi

1 6 294

Sustainable agriculture management for palm oil productivity enhancement : a case study at Felda Wilayah Mempaga.

0 2 24

Assessment of Smallholders’ Barriers to Adopt Sustainable Practices: Case Study on Oil Palm (Elaeis Guineensis) Smallholders’ Certification in North Sumatra, Indonesia

0 0 29