Latar Belakang Konsep system Dinamik 23

3 bahan organik tanah, menurunnya laju dan kapasitas infiltrasi tanah, dan menurunnya kapasitas tanah memegang air water holding capacity. Peningkatan sedimen dan aliran permukaan run off akan menyebabkan penurunan kualitas air permukaan lainnya seperti danau dan sungai. Lahan pada saat dan setelah konversi hutan akan meningkat sensitifitasnya sehingga setiap aktivitas yang dilakukan di atasnya akan berpengaruh terhadap lingkungan dan aliran sungai Connoly dan Pearson 2005. Menurut Elias 1998, alih guna lahan hutan alam menjadi kebun kelapa sawit akan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm yang terus berlangsung hingga tanaman tersebut dewasa dan berkembang kanopinya. Dalam kaitannya dengan siklus karbon, perkebunan kelapa sawit di daerah tropis mempunyai kapasitas menyerap karbon melebihi hutan. Dilaporkan Lamade dan Setyo 2002, bahwa perkebunan kelapa sawit yang sudah dewasa kisaran umur 8-18 tahun mampu menyerap karbon ke dalam tanah antara 1198- 2014 Cm 2 th, lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas hutan tropis basah di kepulauan hawai sebesar 519 Cm 2 th atau hutan pegunungan merapi di Indonesia sebesar 844 Cm 2 1. Tanah yang tererosi memiliki NPP Net Primary Productivity yang rendah dibandingkan tanah yang tidak tererosi karena penggunaan input pupuk dan irigasi yang lebih tinggi Dick and Gregorich, 2003. Kualitas tanah yang menurun disebabkan oleh penurunan efektifitas perakaran, th. Perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi besar dalam pembangunan daerah dan perekonomian nasional. Untuk menjamin tingkat produktivitas lahan, kelestarian lingkungan, dan tanggung jawab sosial masyarakat, maka pembangunan industri kelapa sawit harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan. Degradasi lahan yang dicirikan dengan penurunan kualitas tanah selanjutnya akan menurunkan tingkat keberlanjutan pertanian. Degradasi lahan terutama di Indonesia secara teknis lebih disebabkan oleh erosi tanah Subagyono et al. 2003; Firman 2003. Hipotesis bahwa kehilangan C yang dominan bersumber dari C-org tanah dapat menyebabkan degradasi lahan adalah sebagai berikut Editorial 2005: 4 penurunan ketersediaan air dan kapasitas retensi hara, ketidakseimbangan air dan hara, dan kerusakan siklus hidrologi. 2. Erosi menyebabkan hancurnya agregat tanah dan dispersi tanah, dan menyingkap bahan organik terhadap akses mineralisasi akibat proses yang melibatkan mikrob dan enzim. Bahan organik pada sedimen hasil erosi mudah temineralisasi dan sekitar 20-30 teremisi ke atmosfer Jacinthe and Lal, 2001. Pembalikan tanah akibat pengaruh iklim dan pengelolaan tanah pada lapis olah climatic perturbation akan menyingkap bahan organik pada kedalaman 20 cm sehingga mudah termineralisasi. Degradasi tanah adalah suatu proses yang menurunkan kemampuan aktual dan atau potensial tanah memproduksi benda atau jasa kuantitatif dan atau kualitatif. Degradasi tanah tidak terjadi terus menerus, proses tersebut dapat terjadi dalam jangka waktu relatif singkat antara dua keadaan keseimbangan ekologi Riquier 1977. Penerapan konservasi tanah dan air yang baik dapat memperkecil kehilangan tanah akibat erosi, pengendalian secara vegetatif dan sipil teknis seperti waterways, strip penyangga, strip cropping dan pembangunan dam dapat dilakukan untuk mengurangi erosi tanah dan laju aliran permukaan United State Society of Agronomy 2005. Pengelolaan kebun kelapa sawit milik petanirakyat dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: petani plasma dan petani mandiri. Petani plasma bergabung dalam sistem PIR Perkebunan Inti Rakyat dengan perusahaan inti sehingga lebih terorganisir; sedangkan petani mandiri mengelola lahan dan memasarkan hasil panen secara mandiri sesuai dengan kemampuannya. Secara umum, pengelolaan kebun kelapa sawit milik petani plasma akan lebih baik dibandingkan petani mandiri karena adanya kerjasama dengan perusahaan inti. Dalam sistim PIR perusahaan perkebunan besar sebagai inti memiliki tugas untuk membangun dan memasarkan hasil kebun petani plasma. Petani plasma harus mengelola kebunnya dengan baik dan memasarkan hasilnya melalui perusahaan inti. Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan pada pasal 11 menyebutkan bahwa setiap perusahaan perkebunan yang memiliki IUP Izin Usaha Perkebunan wajib membangun kebun untuk masyarakat paling rendah seluas 20 dari total luas areal kebun 5 yang diusahakan oleh perusahaan. Pembangunan kebun untuk masyarakat dapat dilakukan antara lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil dan pelaksanan pembangunannya dilakukan secara bersamaan dengan lahan milik perusahaan. Menurut Ahmad 1998, latar belakang dan motivasi berkembangnya proyek PIR di Indonesia, karena beberapa faktor, antara lain: 1.Kondisi petani pada perkebunan rakyat yang miskin. 2. Adanya “ Enclave” pada perkebunan besar milik negara dan 3. Pertimbangan untuk kepentingan makro. PIR-Trans merupakan pengembangan dari pola PIR sebelumnya. Program ini dibuat untuk menyelaraskan antara program pengembangan perkebunan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Skema PIR merupakan bagian penting dari program transmigrasi untuk memukimkan kembali rakyat miskin dan tanpa lahan dari Jawa, Bali dan Sumatera ke pulau-pulau yang kurang padat penduduknya, khususnya Kalimantan. Berdasarkan skema ini, maka sebuah perusahaan terkait bekerjasama dengan pemerintah mengembangkan plasma di atas lahan seluas 2 hektar bagi masing-masing pemukim di sekitar perkebunan inti rakyat Vermeulen dan Goad 2006. Pemecahan masalah yang kompleks tidak dapat dilakukan dengan cara sederhana dengan menggunakan penyebab tunggal, tetapi dengan menerapkan pendekatan sistem yang dapat memberikan dasar untuk memahami berbagai penyebab dari suatu masalah dalam kerangka sistem Marimin 2005. Selanjutnya Eriyatno 1999 menyatakan bahwa keunggulan pendekatan sistem adalah dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahannya secara menyeluruh. Pemecahan masalah malalui pendekatan sistem dilakukan antara lain melalui tahap pembuatan model pemodelan dan simulasi.model tersebut dapat diklasifikasikan sebagai model statik dan model dinamik. Dalam model statis, perubahan input memiliki pengaruh langsung terhadap output, karena tidak melibatkan waktu tunda delays atau konstanta waktu time constant. Sebaliknya model dinamis melibatkan umpan balik dan waktu tunda informasi untuk memahami perilaku dinamis suatu sistem yang kompleks Laurikkala et al. 2001. 6

1.2 . Perumusan Masalah

Pada umumnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha budidaya tanaman dapat berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas air, persebaran hama penyakit dan gulma serta perubahan kesuburan tanah akibat berkurangnya bahan organik tanah dan penggunaan pestisida. Rona lingkungan yang turut terpengaruh dapat berupa perubahan kondisi ekosistem, hidrologi, bentang alam, dan karakter penduduk yang tinggal diwilayah perkebunan. Hasil Evaluasi dan penelitian Balitbang Pertanian 2010, pada pola PIR kerjasama antara inti dengan plasma tidak berjalan dengan baik. Hubungan kerja perusahaan inti dan koperasi bukan merupakan kesepakatan bersama atas pondasi kebersamaan ekonomi. Produktivitas kebun plasma jauh dibawah kebun inti, waktu konversi yang selalu ditunda, dan penetapan harga dan pembayaran hasil TBS Tandan Buah Segar tidak transparan. Pekebun umumnya dalam posisi tawar yang lemah, sehingga harga, rendemen dan mutu TBS ditentukan oleh perusahaan inti. Kendala yang ditimbulkan dari perkembangan pola PIR ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, baik menyangkut masalah sosial ekonomi, teknis, kelembagaan, dan aspek lingkungan Hasibuan 2005. Adapun beberapa isu pokok yang berkembang pada lokasi-lokasi PIR-Trans adalah: 1. Degradasi lahan yang terjadi akibat erosi dan aplikasi pemupukan yang belum tepat. 2. Rendahnya tingkat pendidikan sehingga adopsi dan motivasi petani untuk mengelola kebun sawit secara mandiri terutama dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi menjadi rendah. 3. Posisi tawar-menawar bargaining position petani dalam penentuan harga TBS masih lemah sehingga tingkat harga yang diterima petani masih dibawah tingkat harga wajar. 4. Tingginya tingkat penjualan TBS ke PKS Pabrik Kelapa Sawit non inti yang memicu ketidakharmonisan mekanisme kinerja dan hubungan petani plasma dengan perusahaan inti. 5. Lemahnya perjanjian kerjasama antara perusahaan inti, KUD, dan petani plasma yang berkaitan dengan pembinaan teknis sehingga pemeliharaan kebun petani plasma dibawah standar. 7 6. Lemahnya kerjasama antar institusi yang terkait baik pada tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa dalam memberdayakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Berdasarkan pertimbangan permasalahan di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan studi kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Pertanyaan penelitian yang perlu dijawab adalah: 1. Sejauh mana pembangunan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berpotensi menyebabkan terjadinya degradasi lahan? 2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit? 3. Faktor-faktor apa saja penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit? 4. Bagaimana model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk merancang model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan yang mampu memenuhi aspek biofisik, ekonomi, dan sosial. Sedangkan tujuan spesifik adalah : 1. Menganalisis degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit. 2. Mengevaluasi status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit. 3. Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit. 4. Membangun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit ber- kelanjutan.

1.4. Kerangka Pemikiran

Menurut Wigena 2009, bahwa model pengelolaan kebun kelapa sawit berkelanjutan yang diterapkan pada interval waktu tahun 2010-2035 mampu 8 memenuhi aspek biofisik, ekonomi dan sosial dengan indikator produksi TBS rata-rata 25,83 tonhath, diiringi dengan rendahnya degradasi lahan dan rendahnya penurunan daya dukung lingkungan, masing-masing sebesar 0,03- 0,08 dan 0,02-0,01. Pendapatan petani rata-rata sebesar Rp 22.859.950,- hath dan pendapatan masyarakat sekitar kebun rata-rata sebesar Rp 16.845,025,-hath yang melebihi tingkat upah minimum regional provinsi. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia tercermin dari tingkat pendidikan yang disetarakan dengan pendapatan yang diperoleh sebagai tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit mencapai Rp 55.000.000,-th. Menurut Iswati 2004, pola PIR-Trans kelapa sawit merupakan pelaksanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang menjadi tanggung jawab petani. Untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut diperlukan upaya untuk merubah perilaku dan memotivasi petani melalui suatu organisasi petani yaitu kelompok tani dan KUD. Tetapi kemampuan kelompok tani masih relatif rendah dan peranan KUD belum efektif, sehingga menyebabkan petani plasma tidak mampu mengelola kebunnya secara berkelanjutan. Hal ini mengakibatkan produksi rendah, tanah mengalami degradasi sifat kimia, fisika, biologi tanah, dan pada akhirnya mempengaruhi rendahnya pendapatan petani. Oleh sebab itu pengelolaan kebun yang kurang memperhatikan masalah lingkungan terutama sumber daya tanah dan air berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas lingkungan. Pentingnya aspek kemitraan usaha ini sudah sejak lama disadari tidak hanya oleh para ahli ekonomi tetapi juga oleh pemerintah, hal ini antara lain dapat ditelusuri dari beberapa kebijakan atau peraturan pemerintah tentang kemitraan usaha. Sejak pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an telah dikeluarkan peraturan-peraturan tentang kemitraan usaha melalui pola perusahaan inti rakyat PIR, seperti: PIR-perkebunan, PIR-perunggasan, tambak inti rakyat, tebu inti rakyat, dan kemitraan usaha di bidang hortikultura. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan untuk dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi yang berlaku dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemudian ditindaklanjuti melalui SK Mentan No. 940KptsOT.210101997 tentang

Dokumen yang terkait

Analisis Kehilangan Crude Palm Oil pada Pabrik Kelapa Sawit Bah Jambi PT. Perkebunan Nusantara IV

34 131 131

Language Disorder In Schizophrenia Patient: A Case Study Of Five Schizophrenia Paranoid Patients In Simeulue District Hospital

1 32 102

Local resource based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis Meranti, Riau Province

1 32 201

Water resource conservation model on sustainable palm oil (Case study Sub watershed Lalindu, North Konawe, South East Sulawesi province )

1 51 197

Local resource-based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations: a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis-Meranti, Riau Province

0 21 387

SPATIAL PATTERN OF PALM OIL DEVELOPMENT IN NORT SUMATRA AND SOUTH KALIMANTAN A CASE STUDY OF ACTUAL UTILIZATION AND LAND HOLDING STATUS

0 3 15

Diversity and Dispersal of Amphibian in Palm Oil Agriculture Landscape Elements: Case Study PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan District, West Sumatra

2 20 273

Model Of Sustainable Fishing Management In South Sulawesi

1 6 294

Sustainable agriculture management for palm oil productivity enhancement : a case study at Felda Wilayah Mempaga.

0 2 24

Assessment of Smallholders’ Barriers to Adopt Sustainable Practices: Case Study on Oil Palm (Elaeis Guineensis) Smallholders’ Certification in North Sumatra, Indonesia

0 0 29