PT. Perkebunan Nusantara VII

No.918MentanXI1981 tanggal 15 November 1981 dengan SK Pencadangan sebagai berikut: 1. SK Nomor: 361KPTSI1981 tanggal 02 November 1981 tentang pencadangan tanah seluas 30.600 ha yang terletak di Kecamatan Muara Enim, Gunung Megang dan Prabumulih. 2. SK Nomor: 542KPTSI1981 tanggal 02 Nopember 1986 tentang penambahan cadangan seluas: 6.000 ha yang terletak di Kecamatan Rambang Dangku Prabumulih. Dengan jarak dengan lokasi kebun yang terjauh 50 km dan terdekat 2 km dari kota Kecamatan Muara Enim dengan topografi datar sampai dengan bergelombang, jenis tanah podzolik merah kuning dan ketinggian rata-rata 23 m dari permukaan laut. Adapun komposisi tahun tanam, luas areal dan jumlah petani di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 4 untuk wilayah Sungai Niru dan Tabel 5 untuk wilayah Sungai Lengi. Tabel 4. Tahun Tanam, Luas Areal dan Jumlah Petani Kebun Wilayah Sungai Niru,PT. Perkebunan Nusantara VII No Urut Tahun Tanam Luas Ha Jumlah Petani Umur Tanaman saat ini Umur Produktif 1 19831984 2.000 1.000 27 tahun 23 tahun 2 19841985 1.588 794 26 tahun 22 tahun 3 19851986 210 105 25 tahun 20 tahun 4 19861987 1.700 850 24 tahun 20 tahun 5 19871988 202 101 23 tahun 18 tahun 6 19881989 416 208 22 tahun 17 tahun 7 19891990 94 47 21 tahun 16 tahun Jumlah 6.210 3.105 Adapun pengembangan perkebunan di Sungai Lengi Plasma dan inti masuk dalam wilayah kecamatan Gunung Megang, dengan surat keputusan, SK Nomor: 1045SKI1981 tanggal 26 Desember 1986 tentang pencadangan tanah seluas 2.466 ha yang terletak di Kecamatan Gunung Megang Kabupaten Muara Enim untuk keperluan kebun plasma Tabel 5. Tabel 5. Tahun Tanam, Luas Areal dan Jumlah Petani Kebun Wilayah Sungai Lengi PlasmaPT. Perkebunan Nusantara VII. No Urut Tahun Tanam Luas Ha Jumlah Petani Umur Tanaman Saat ini Umur Produktif 1 19851986 2.550 1.275 25 20 2 19861987 1.050 522 24 19 3 19871988 840 424 22 18 4 19881989 1.200 599 21 17 5 19891990 150 75 22 16 Jumlah 5.790 2.895 Permulaan penerapan pola PIR pada sub sektor perkebunan hanya dimungkinkan oleh adanya perusahaan perkebunan negara PTP yang telah berakar kemantapannya sebagai bagian dari ekonomi nasional. Dengan demikian perkembangan proyek PIR yang dapat kita saksikan sampai saat ini tidak terlepas dari misi perusahaan perkebunan negara sebagi pionir dan sebagai wahana pembangunan agent of development, bahkan menjadi panduan dari pengembangan PIR-Trans dengan pola yang sama dan sekaligus memberi pengalaman bagi swasta baru untuk melakukan investasi pada sub sektor perkebunan pada lokasi bukaan baru. Kebun yang dikelola oleh perseroan meliputi kebun karet, kelapa sawit, teh dan tebu. Kecuali teh, kebun tersebut dikelola dengan menggunakan skema inti-plasma. Dalam skema ini, perseroan memiliki kebun inti, sedangkan masyarakat ikut berpartisipasi memiliki dan mengolah kebun plasma. Sebagai perusahaan inti, PTP Nusantara bertugas, sebagai : Sebagai pelaksana : a. Membangun kebun sampai dengan siap konversi menurut standar teknis. b. Membuka lahan panganpekarangan berikut penyediaan sarana produksi untuk penanaman tahun pertama, c. Membangun rumah peserta, berikut saranaprasarana jalan untuk menunjang pengusahaan tanaman perkebunan. d. Menerima, menetapkan dan memukimkan calon peserta. e. Menunjuk rumah untuk dihuni masing-masing keluarga peserta. f. Membagi lahan pangan kepada masing-masing peserta. g. Menilai dan menetapkan calon peserta menjadi peserta. h. Membagi kebun plasma menjadi milik masing-masing petani. i. Membentuk organisasi peserta berikut pembinaan, j. Mengarahkan terlaksananya konversi berikut penyiapan dokumenpendukungnya. k. Bersama-sama dengan instansi terkait menyelesaikan masalah-masalah non-teknis. Sebagai inti: a. Membantu peserta untuk pengadaan produksi sepanjang diperlukan. b. Membeli dan mengolah semua produk plasma c. Menetapkan harga pembelian menurut rumus harga yang ditetapkan oleh pemerintah. d. Membimbing para peserta secara teknis untuk mampu menghasilkan produk setinggi-tingginya dengan mutu yang baik. e. Membantu bank yang bersangkutan dalam rangka kelancaran pembelian kredit dari para peserta.

2.5. Kelembagaan Petani

Kelembagaan sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya yang sekaligus mengatur hubungan antara seorang dengan lainnya Nasution 2002.Walker 1992, Arkadie 1990 dan Robins 1996,mendefinisikan kelembagaan atau organisasi sebagai kumpulan beberapa orang yang secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Kartasasmita 1997menekankan pentingnya kelembagaan petani sebagai upaya meningkatkan daya saing petani salah satunya adalah pengembangan kelembagaan pertanian, pemberdayaan, pemantapan dan peningkatan kemampuan kelompok-kelompok petani kecil. Gibsonet al. 1996, menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dicapai secara individu atau perseorangan. Petani-petani kecil sebaiknya digerakkan untuk bergabung secara kolektif dalam suatu kelompok-kelompok, organisasi atau kelembagaan agar menjadi satu unit kekuatan produksi yang besar, tangguh dan memiliki produktivitas tinggi. Penumbuhan kelompok-kelompok sekunder masyarakat tani selain meningkatkan produktivitasusaha juga akan meningkatkan efisiensi usaha pertanian. Untuk mengatasi permasalahan petani kecil beberapa jalan dapat ditempuh seperti: a konsolidasi lahan usahatani menjadi usaha yang lebih luas, dan b memperluas skala pengelolaan dan penggunaan sumberdaya usahatani tanpa mengubah pemilikan petani, melalui usaha tani korporasi atau kelompok Reed1979. Oleh sebab itu kelembagaan petani yang diharapkan mampu membantu petani keluar dari persoalan kesenjangan ekonomi petani, sampai saat ini masih belum berfungsi secara optimal. Kelembagaan pertanian kurang menempatkan petani sebagai pengambil keputusan dalam usahataninya, karena dominansi pengaruh intervensi pihak luar petani terhadap kelompok tani Slamet 2003. Kurang berhasilnya proyek-proyek pertanian yang berorientasi pada pembangunan kelembagaan petani, seperti: KUD, corporate farming, dan kelompok-kelompok usaha bersama yang lain; menunjukkan masih perlunya kajian yang mendalam terhadap kelembagaan petani. Organisasi atau kelembagaan petani diakui sangat penting untuk pembangunan pertanian, baik di negara industri maupun negara berkembang seperti Indonesia. Namun kenyataan memperlihatkan kecenderungan masih lemahnya organisasi petani di negara berkembang, serta besarnya hambatan dalam menumbuhkan organisasi atau kelembagaan pada masyarakat petani. Intervensi yang terlalu besar dari pemerintah atau politisi seringkali menyebabkan organisasi itu bekerja bukan untuk petani tetapi lebih melayani kepentingan pemerintah atau para pengelolanya Van den Ban dan Hawkins 1999. Perbedaan sosial dan kultural masyarakat petani di negara berkembang dengan bentuk kelembagaan yang diadopsi menyebabkan kelembagaan petani yang dibangun tidak berkembang. Bunch 1991 menegaskan pembangunan lembaga tidak sekedar memindahkan kerangka organisasi, tetapi juga harus memberikan ‘perasaan’ tertentu. Karakter masyarakat, perasaan, ketrampilan, sikap dan sikap moral, merupakan darah dan daging suatu lembaga. Dalam rangka melakukan perubahan atau merubah masyarakat kearah yang lebih baik menurut Maciver dan Page 1962, Pranadji 2003 dan Poensioen 1969, harus memperhatikan kekuatan norma, struktur dan keorganisasian sosialnya. Dewasa ini pengembangan system usaha pertanian di pedesaan baru menyentuh aspek inovasi tehnologi, dan sebagian dari sumber daya hayati ekosistem setempat. Strategi pembangunan yang sentralistik model top-down, selama tiga dekade terakhir telah memarjinalkan makna dan peran kelembagaan masyarakat lokal, memandulkan inisiatif dan menjauhkan mereka dari sumber daya social-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka. Sentralistik menyebabkannya bias mengejar pertumbuhan, bias kawasan atau wilayah, kurang memperhatikan aspek sosial keadilan dan budaya keberlanjutan. Otonomi mereka terampas sehingga tidak mampu berkembang sebagi basis self-propelled development gerakan perkembangan mandiri. Tanpa kemandirian, jati diri petani dinegasikan, realisasi diri dan potensinya digerogoti, yang mencerminkan gejala sub ordinasi lokal terhadap pusat, untuk keberhasilannya diperlukan kerjasama antara: administasi lokal, pemerintah lokal, kelembagaanorganisasi yang beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha, pelayanan dan bisnis swasta tiga pilar kelembagaan yang dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional dan global Elizabeth 2007. Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di pedesaan, meliputi : 1. Pola pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensitas lahan, perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang dapat memperluas penghasilan; 2. Perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan social pendidikan, gizi dan kesehatan, dan sebagainya; 3. Program memperkuat prasarana kelembagaan dan ketrampilan mengelola kebutuhan perdesaan. Beberapa strategi pembangunan pedesaan meliputi : 1. Peningkatan dan memperluas kesempatan kerja di perdesaan dan daerah urban; 2. Peningkatan efisiensi produksi dan produktifitas SDA sehingga bermanfaat, berkelanjutan dan berkesinambungan, terkait perbaikan teknologi, keharmonisan ekologi dan koservasi, memperhatikan lingkungan social, politik dan ekonomi ada relevans adaptasi pelaksanaan pembangunan sfesifik lokasi; 3. Equity, terkait peningkatan aksesbilitas berbagai peluang sumberdaya dan Infratruktur;

Dokumen yang terkait

Analisis Kehilangan Crude Palm Oil pada Pabrik Kelapa Sawit Bah Jambi PT. Perkebunan Nusantara IV

34 131 131

Language Disorder In Schizophrenia Patient: A Case Study Of Five Schizophrenia Paranoid Patients In Simeulue District Hospital

1 32 102

Local resource based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis Meranti, Riau Province

1 32 201

Water resource conservation model on sustainable palm oil (Case study Sub watershed Lalindu, North Konawe, South East Sulawesi province )

1 51 197

Local resource-based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations: a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis-Meranti, Riau Province

0 21 387

SPATIAL PATTERN OF PALM OIL DEVELOPMENT IN NORT SUMATRA AND SOUTH KALIMANTAN A CASE STUDY OF ACTUAL UTILIZATION AND LAND HOLDING STATUS

0 3 15

Diversity and Dispersal of Amphibian in Palm Oil Agriculture Landscape Elements: Case Study PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan District, West Sumatra

2 20 273

Model Of Sustainable Fishing Management In South Sulawesi

1 6 294

Sustainable agriculture management for palm oil productivity enhancement : a case study at Felda Wilayah Mempaga.

0 2 24

Assessment of Smallholders’ Barriers to Adopt Sustainable Practices: Case Study on Oil Palm (Elaeis Guineensis) Smallholders’ Certification in North Sumatra, Indonesia

0 0 29