Latar Belakang Karakteristik sumberdaya, peluang dan pola pemanfaatan ikan demersal laut-dalam

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perikanan trawl dasar laut-dalam berkembang dengan cepat sebagai akibat dari mulai menurunnya stok ikan di laut-dangkal 200 m dan permintaan konsumen terhadap ikan terus meningkat FAO 2003. Langkah kebijakan yang umum diambil oleh beberapa negara adalah mendorong usaha penangkapan ikan dilakukan di perairan yang lebih jauh, umumnya dengan kedalaman perairan yang lebih dalam. Perikanan trawl dasar laut-dalam dimulai pertama kali oleh USSR dahulu Uni Soviet pada akhir 1950-an di Samudera Pasifik dan awal 1970-an di Samudera Atlantik, selanjutnya pada tahun 1970 perikanan orange roughy Hoplostethus atlanticus mulai berkembang dengan pesat di New Zealand. Negara- negara lain mulai memanfaatkan sumberdaya ikan demersal laut-dalam mulai tahun 1980 dan 1990-an Morgan et al. 2005. Jenis ikan yang menjadi target utama penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl dasar laut- dalam antara lain adalah orange roughy Hoplostethus atlanticus, alfonsino Beryx splendens, oreos Pseudocyttus maculatus, patagonian toothfish Dissostichus spp., pelagic amorhead Pseudopentaceros wheeleri, redfish Sebastes spp., dan macroudrids Coryphaenoides ruprestris FAO 2003. Sampai saat ini sumberdaya perikanan demersal Indonesia yang telah dimanfaatkan sebagian besar masih berasal dari wilayah laut-dangkal 200 m. Wilayah tersebut meliputi Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP Laut Jawa, WPP Selat Malaka, WPP laut Cina Selatan dan WPP laut Arafura. Secara umum seluruh WPP tersebut dilaporkan sedang mengalami tekanan usaha penangkapan ikan yang tinggi dan beberapa diantaranya seperti Laut Jawa dan Laut Cina Selatan telah dikategorikan sebagai wilayah yang mengalami kelebihan tangkap. Kondisi ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk mencari sumberdaya ikan di wilayah perairan yang belum pernah dimanfaatkan sumberdaya ikannya. Perairan laut-dalam 200 m merupakan wilayah dengan sumberdaya ikan demersal yang potensial dan belum dimanfaatkan untapped resources. Upaya untuk memanfaatkan sumberdaya ikan laut-dalam bagi pemerintah dan pengusaha Indonesia belum mampu dilakukan secara mandiri karena tidak memiliki kemampuan teknologi dan keterampilan yang memadai. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah karakter pengusaha penangkapan Indonesia yang belum berani menanamkan modalnya dalam usaha ini karena takut merugi. Selain itu pemerintah dan pengusaha perikanan dalam negeri juga tidak mampu mencari dan menciptakan pasar bagi sumberdaya ikan tersebut. Di pihak lain Jepang sebagai negara yang dikenal paling banyak mengkonsumsi ikan di dunia, melalui JDSTA Japan Deep Sea Trawl Association, telah melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan trawl laut-dalam sejak tahun 1969. Saat ini JDSTA telah memiliki kelebihan kapital dalam usaha penangkapan ikan demersal laut-dalam dengan armada kapal tidak kurang dari 350 buah kapal trawler laut-dalam dan 7 unit kapal induk. Wilayah operasi kapal ikan trawler laut-dalam JDSTA meliputi perairan Afrika, Amerika Selatan, Amerika Utara, Kutub Selatan, Laut Bearing, perairan New Zealand dan selalu mencari lokasi fishing ground baru yang belum dieksplorasi JDSTA 2007 . Kebijakan perikanan tangkap laut-dalam saat ini semakin ketat seiring dengan kesadaran bahwa lingkungan dan sumberdaya ikan laut-dalam mulai menurun. Sebagai contoh, New Zealand sudah memberlakukan sistem pembatasan kuota tangkapan TAC dan juga wilayah larangan untuk penangkapan ikan laut-dalam marine protected area. JDSTA yang kelebihan kapital mulai merasa terdesak dan selalu berusaha mencari sumberdaya ikan laut- dalam yang baru pada negara yang belum menerapkan kebijakan pelarangan operasi trawl laut-dalam. Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut-dalam yang luas dan memiliki potensi sumberdaya ikan demersal laut-dalam yang secara komersial dapat dimanfaatkan. Pemerintah Indonesia juga sangat berkeinginan untuk dapat mengembangkan sektor perikanan tangkapnya terutama di wilayah yang belum dimanfaatkan untapped resources sebagai upaya untuk mendukung program pemerintah yang ingin membuka lapangan kerja baru projob, mengentaskan kemiskinan propoor dan mendorong pertumbuhan ekonomi disektor perikanan tangkap progrowth termasuk menciptakan iklim usaha bidang perikanan tangkap yang kondusif probusiness. Dua kepentingan inilah yang mempertemukan antara Jepang dan Indonesia untuk bekerjasama mencoba memanfaatkan sumberdaya ikan laut-dalam di wilayah Indonesia. Indonesia memiliki beberapa wilayah laut dengan kedalaman lebih dari 200 m antara lain: laut-dalam Samudera Hindia, laut-dalam Samudera Pasifik, dan laut-dalam peripheral antara lain Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sawu, Laut Halmahera dan sebagian Selat Makassar. Sumberdaya ikan laut-dalam khususnya ikan demersal pada wilayah laut dengan kedalaman lebih dari 200 m tersebut sampai saat ini masih belum dimanfaatkan. Eksplorasi sumberdaya ikan laut-dalam di Indonesia telah dilakukan beberapa kali dalam bingkai penelitian sumberdaya ikan laut-dalam di beberapa wilayah antara lain: 1 Survei perikanan dengan alat trawl pada bulan Agustus 1978 sampai dengan Juli 1981 dalam proyek JETINDOFISH Joint Eastern Indian Ocean Fisheries Survey . Dalam survei ini operasi trawl dasar dilakukan sampai kedalaman 380 m. Survei ini menghasilkan data dan informasi dasar tentang keanekaragaman hayati sumber daya ikan di daerah barat Sumatera sampai kedalaman 380 m. Informasi ini telah dilaporkan dalam Baseline Studies of Biodiversity: The Fish Resources of Western Indonesia Pauly Martosubroto 1996 dan Trawled fishes of southern Indonesia and northern Australia Kaiilola Tarp 1984. 2 Pada tahun 1980 kapal riset DR. Fridtjof Nansen juga telah melakukan survei eksplorasi mulai tanggal 6 sampai 30 Agustus 1980 di perairan utara dan barat Sumatera sampai kedalaman 350 m. Eksplorasi KR DR Fridtjof Nansen dilaksanakan dalam program investigasi sumber daya ikan di Thailand, Malaysia dan Indonesia yang dibiayai oleh FAO dan NORAD Norwegian Agency for International Development Institute of Marine Research Bergen 1980. Survei ini menghasilkan data dan informasi mengenai kuantitas dan distribusi sumberdaya ikan, oseanografi dan topografi dasar perairan sampai kedalaman 350 m terutama pada wilayah laut teritorial di barat Sumatera. 3 Pada bulan Oktober-November tahun 1991 KAL Baruna Jaya I BPPT-Balitkanlut melakukan penelitian tentang udang laut-dalam di Karubar Tim Survei Karubar 1991. Penelitian ini menghasilkan data dan informasi sumber daya ikan demersal laut-dalam terutama udang laut-dalam sampai kedalaman 500 m. 4 Pada tanggal 9-24 Desember tahun 2003 KR Umitakamaru dari Tokyo University of Marine Science and Tehcnology melakukan bottom trawl survey di Selatan Jawa sampai pada kedalaman 1.100 m Purbayanto et al. 2003. Survei ini menghasilkan data dan informasi pendahuluan sumberdaya ikan demersal laut-dalam di perairan sebelah selatan Jawa. Kegiatan penelitian tersebut belum berlanjut kepada upaya menjual sumberdaya tersebut ke pasar internasional sehingga belum diketahui berapa nilai ekonomi yang dimiliki oleh jenis-jenis ikan demersal laut dalam di wilayah perairan Indonesia. Pada bulan September-Oktober tahun 2004 dan bulan Mei- Agustus 2005 survei sumber daya ikan laut-dalam dilaksanakan dalam proyek The Japan-Indonesia Deep Sea Fishery Resources Joint Exploration pada kedalaman 200-1.100 m BRKP-OFCF 2006. Kegiatan ini merupakan cikal bakal bagi upaya memanfaatkan sumberdaya ikan demersal laut-dalam sampai tahap pemasaran di pasar internasional pada tahun 2008-2009. Hasil kerjasama tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan penanda tanganan MoU untuk melakukan kerjasama uji coba penangkapan sumberdaya ikan demersal laut-dalam skala komersial antara JDSTA dan BBPPI pada akhir tahun 2007. Awal tahun 2008 Departemen Kelautan dan Perikanan secara resmi telah mengijinkan percobaan penangkapan ikan demersal laut-dalam skala komersial dengan menggunakan satu unit trawler laut-dalam dari JDSTA yaitu FV Koshin Maru No. 01 ukuran 1500 GT yang beroperasi di Samudera Hindia mulai dari 115 Bujur Timur ke arah barat ZEEI. Pada bulan Januari sampai Mei 2008 FV Koshin Maru 01 telah melakukan penangkapan ikan demersal laut-dalam skala komersial yang pertama kali di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah tangkapan dan jenis ikan apa saja di wilayah perairan barat Aceh yang dapat dijual di pasar internasional. Permasalahan yang umum dihadapi dalam melakukan pengelolaan perikanan tangkap adalah eksekusi kegiatan eksploitasi sumberdaya ikan dilakukan sebelum pengelola memahami dengan baik sifat dan karakater sumberdayanya. Hal ini menyebabkan sumberdaya perikanan di beberapa wilayah menjadi hancur dan mengalami kepunahan. Hasil dari beberapa kegiatan eksplorasi perikanan demersal yang telah dilaksanakan adalah mendapatkan informasi tentang jenis, komposisi, distribusi, densitas, biomasa dan struktur komunitas ikan demersal sampai kedalaman maksimum 350 m Pauly Martosubroto 1996; sedangkan dalam laporan akhir kegiatan The Japan-Indonesia Deep Sea Fishery Resources Joint Exploration Project juga menginformasikan distribusi, densitas ikan dan udang sampai kedalaman 1.000 m BRKP-OFCF 2006. Informasi mengenai distribusi, densitas dan struktur komunitas fauna merupakan sentral pertanyaan dalam ilmu ekologi dan sangat penting untuk diketahui untuk pengelolaan sumberdaya Begon Harper 1996. Demikian pula analisis yang mendalam diperlukan untuk dapat menggambarkan sifat dan karakter struktur komunitas. Sampai saat ini belum ada informasi yang dapat menggambarkan struktur komunitas dan faktor yang mempengaruhinya secara komprehensif sehingga pelaksanaan eksploitasi sumber daya ikan demersal laut-dalam masih belum didasari oleh pengetahuan yang memadai untuk dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Kebutuhan akan informasi struktur komunitas, besarnya stok yang tersedia, biologi ikan target, serta peluang dan strategi pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di laut-dalam semakin dirasakan perlu untuk diketahui karena saat ini secara progresif para pengusaha penangkapan ikan laut-dalam mulai melihat dan mencoba kemungkinan pengusahaan penangkapan ikan demersal laut-dalam skala komersial di wilayah laut Indonesia. Dengan beroperasinya kapal komersial FV Koshin Maru No 01 pada bulan Januari sampai Mei 2008 Indonesia memasuki babak baru dalam usaha perikanan tangkap yaitu mulai memanfaatkan sumberdaya di wilayah laut-dalam. Apakah jenis kegiatan ini membahayakan sumberdaya dan bagaimana respon sumber daya di wilayah perairan Indonesia terhadap tekanan penangkapan dan apakah usaha ini menguntungkan. Penelitian ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil survei KR Baruna Jaya IV tahun 2005 dan kegiatan operasi penangkapan FV Koshin Maru No 01 di perairan barat Aceh pada tahun 2008.

1.2 Perumusan Masalah