xv
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1. Surat Permohonan izin Penelitian FIP UNY …………………...
Lampiran 2. Rekomendasi Penelitian Badan KESBANGLINMAS ………... Lampiran 3. Rekomendasi Penelitian BAKESBANGPOL Surabaya ……….
Lampiran 4. Rekomendasi Penelitian KESBANGPOLLINMAS Ponorogo ... Lampiran 5.
Surat Keterangan Penelitian SMPN 3 Sambit …………………. Lampiran 6.
Skala Kohesivitas Kelompok ………………………………….. Lampiran 7.
Daftar Hadir Siklus I …………………………………………... Lampiran 8. Daftar Hadir Siklus
II ………………………………………….. Lampiran 9.
Grafik Peningkatan Kohesivitas Anggota Kelompok …………. Lampiran 10.
Lembar Observasi Siklus I …………………………………… Lampiran 10.
Lembar Observasi Siklus II …………………………………... Lampiran 11.
Lembar Wawancara ………………………………………….. Lampiran 12. Materi role playing
siklus I …………………………………... Lampiran 13. Materi role playing siklus II
………………………………...... 113
114 115
116 117
118 123
124 125
126 127
128 130
146
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang pada hakikatnya tidak bisa untuk hidup sendiri. Serangkaian kegiatan yang dilakukan tentu
melibatkan orang lain. Bahkan, sejak lahir seseorang memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa manusia
memerlukan orang lain dalam rangka memenuhi kelangsungan hidupnya. Dalam memenuhi kelangsungan hidupnya, manusia dituntut untuk mampu
beradaptasi dan bekerjasama dengan orang lain. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan bersosialisasi yang baik agar dapat terjalin
hubungan yang baik pula antar sesama. Untuk dapat memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik tentunya bukan merupakan suatu hal yang mudah.
Perlu adanya latihan atau proses yang lama untuk membentuknya. Proses pembelajaran untuk membentuk kemampuan bersosialisasi
agar lebih efektif dapat dilakukan sejak dini terutama masa remaja. Remaja merupakan masa yang sangat rawan. Sebab masa remaja
merupakan masa dimana emosi dan pikiran mereka masih labil. Sama halnya yang dijelaskan oleh Hall Santrock, 2007: 6 bahwa masa remaja
merupakan masa badai dan stress strom and stress, yaitu masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan buaian suasana hati. Perasaan,
pikiran, tindakan mengenai kesombongan dan kerendahan hati, kebaikan dan godaan, serta kegembiraan dan kesedihan. Oleh karna itu masa remaja
dapat dikatakan sebagai tahap perkembangan manusia yang paling labil.
2
Menurut Hurlock 1997: 206 masa remaja berlangsung antara usia 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun. Ditinjau dari rentang kehidupan
manusia, remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dalam tahap perkembangan sosialnya, seorang remaja
membutuhkan kondisi-kondisi yang dapat membuat dirinya mampu menyalurkan kebutuhan sosialnya. Remaja dapat dikatakan labil karna
remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju dewasa dan mempunyai tugas perkembangan yang cukup banyak.
Berdasarkan penjelasan diatas, proses pembelajaran untuk membentuk kemampuan bersosialisasi lebih efektif jika dilakukan pada
masa remaja. Apabila masa yang begitu labil antara pikiran dan perasaan dapat ditata rapi, tidak menutup kemungkinan proses sosialisasi remaja
dapat berjalan dengan efektif. Seperti yang sudah dipaparkan diatas, tahap perkembangan sosial remaja menurut Hurlock membutuhkan kondisi yang
dapat membuat dirinya mampu menyalurkan kebutuhan sosialnya. Menyalurkan kebuuhan sosial salah satunya adalah membina hubungan
baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja memiliki tugas perkembangan dalam menjalin
hubungan sosial dengan lingkungan disekitarnya. Seperti, interaksi dengan keluarga, teman sebaya, masyarakat, serta interaksi dengan organisasinya.
Dengan kata lain, remaja diharuskan mampu untuk menjalin interaksi sosial atau hubungan sosial yang baik dengan lingkungan disekitarnya.
3
Proses sosialisasi pada masa remaja ini perlu mendapat perhatian lebih, sebab kemampuan remaja dalam bersosialisasi ini dapat menentukan
keberhasilan seorang remaja dalam beradaptasi dan bekerjasama di masa selanjutnya. Keberhasilan remaja dalam menjalin hubungan sosial dapat
mempermudah remaja dalam melanjutkan tahan atau tugas perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, sikap solid, saling menghargai, dan juga
menyayangi harus dapat tercipta didalam suatu kelompok. Sikap tersebut dapat menggambarkan bahwa suatu kelompok itu dapat dikatakan
kelompok yang kohesif atau tidak. Menurut Abu Ahmadi 2002: 117 kohesivitas kelompok yaitu perasaan bahwa orang bersama-sama dalam
kelompok. Hal tersebut dapat diwujudkan apabila setiap anggota kelompok dapat bekerja bersama, saling membantu satu sama lain seperti
yang sudah dipaparkan diatas. Kohesivitas kelompok juga dipertegas oleh Leon Festinger Abu Ahmadi, 2002: 117 bahwa kohesi kelompok sebagai
kekuatan yang memelihara dan menjaga anggota dalam kelompok. Sedangkan menurut Bimo Walgito 2007: 47 kohesi adalah saling
tertariknya atau saling senangnya anggota satu dengan yang lain dalam kelompok. Berdasarkan beberapa pemaparan ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok merupakan daya rekat atau tertariknya anggota kelompok untuk tetap berada dalam kelompok dan
merasa berat untuk meninggalkan kelompok tersebut. Apabila kelompok tersebut memiliki tingkat kohesivitas tinggi
maka kelompok tersebut akan lebih produktif jika dibandingkan dengan
4
kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas rendah. Seperti yang dipaparkan Bimo Walgito 2007: 51 bahwa kelompok dengan kohesi
tinggi lebih produktif dari pada kelompok dengan kohesi rendah dalam mencapai tujuan kelompok. Kelompok yang kohesif akan mencoba
berbuat lebih baik daripada kelompok yang tidak kohesif. Menurut Cattel Bimo Walgito 2007: 51, kohesi menaikkan sinergi efektif pada
kelompok. Dengan naiknya sinergi efektif, kelompok dapat mencapai tujuannya dengan lebih efisien.
Dalam bidang pendidikan, kelompok itu penting untuk membantu siswa dalam proses belajar serta mengasah produktifitas kerja mereka
didalam kelompok-kelompok yang ada. Seperti, kelompok ektrakurikuler, kelompok belajar, OSIS, dan sebagainya. Kohesivitas kelompok perlu
diwujudkan dalam kelompok-kelompok tersebut agar mempermudah kinerja kelompok dan mengembangkan produktifitas kerja didalamnya.
Sebab pekerjaan didalam kelompok tentu tidak dapat dikerjakan secara maksimal apabila pekerjaan tersebut dikerjakan secara individu. Namun,
dalam membangun kohesivitas kelompok tersebut menemui beberapa kesulitan. Kesulitan tersebut bisa berupa kesulitan seorang remaja dalam
beradaptasi dengan orang-orang yang baru, norma atau aturan yang baru, sistem kerja kelompok yang baru serta gaya kepemimpinan yang
dimungkinkan berbeda dari kelompok sosial sebelumnya. Selain itu, kesulitan untuk membangun kohesivitas muncul dari pemimpin yang
kurang dipandang oleh anggotanya disebabkan rentang usia yang sama