UPAYA MENINGKATKAN KOHESIVITAS ANGGOTA KELOMPOK PENGURUS OSIS MELALUI TEKNIK ROLE PLAYING DI SMPN 3 SAMBIT PONOROGO.
UPAYA MENINGKATKAN KOHESIVITAS ANGGOTA KELOMPOK PENGURUS OSIS MELALUI TEKNIK ROLE PLAYING
DI SMPN 3 SAMBIT PONOROGO
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Aditya Wahyu Hanggara NIM 11104244028
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(2)
i
UPAYA MENINGKATKAN KOHESIVITAS ANGGOTA KELOMPOK
PENGURUS OSIS MELALUI TEKNIK ROLE PLAYING
DI SMPN 3 SAMBIT PONOROGO
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Aditya Wahyu Hanggara NIM 11104244028
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(3)
(4)
(5)
(6)
v MOTTO
Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil, kita baru yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik.
(Evelyn Underhill)
Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua. (Aristoteles)
(7)
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan untuk:
1. Bapak, Ibu, dan Kakak tercinta, terimakasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah diberikan untukku.
2. Almamater tercinta, Universitas Negeri Yogyakarta 3. Agama, Nusa dan Bangsa
(8)
vii
UPAYA MENINGKATKAN KOHESIVITAS ANGGOTA KELOMPOK PENGURUS OSIS MELALUI
TEKNIK ROLE PLAYING DI SMPN 3 SAMBIT PONOROGO
Oleh :
Aditya Wahyu Hanggara NIM. 11104244028
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kohesivitas anggota kelompok pengurus OSIS melalui teknik role playing di SMP Negeri 3 Sambit, Ponorogo.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart. Subjek penelitian pada penelitian ini adalah seluruh anggota OSIS SMP Negeri 3 Sambit dengan jumlah anggota 26 siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah skala kohesivitas kelompok, observasi, dan wawancara. Berdasarkan dari skala kohesivitas terdapat 12 dari 26 siswa memiliki kategori rendah dan sedang. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif. Indikator keberhasilan yang ditetapkan adalah semua siswa memiliki skor lebih dari sama dengan 108 dengan kategori tinggi atau mempunyai skor rata-rata 75%.
Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata skala kohesivitas kelompok pada pra tindakan sebesar 106,1 dengan persentase 74%, setelah tindakan pada siklus pertama mengalami peningkatan sebesar 5,6 atau 4% sehingga skor rata-rata menjadi 111,7 dengan persentase 78%, dan pada tindakan siklus kedua menjadi 116,4 atau 81% dengan peningkatan rata-rata sebesar 10,3 atau 7%. Hasil tersebut juga didukung dengan hasil observasi dan wawancara. Berdasarkan hasil observasi menunjukkan adanya peningkatan dengan adanya kerjasama antar anggota seperti menyelesaikan tugas bersama, saling menolong tanpa diminta ketua OSIS atau teman lainnya, lebih menghargai atau toleransi terhadap pendapat orang lain, dan komitmen dengan kelompok yang ditunjukkan dengan kehadiran dan kenyamanan siswa dalam mengikuti kegiatan. Berdasarkan hasil wawancara semua anggota sudah mampu mengungkapkan alasan mereka tanpa malu-malu mengenai pentingnya kerjasama, saling menolong dalam bentuk apapun, toleransi dengan menghargai usaha dan pendapat orang lain, serta berkomitmen dengan kelompok.
(9)
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “Upaya
Meningkatkan Kohesivitas Kelompok Pengurus OSIS Melalui Teknik Role Playing di SMPN 3 Sambit Ponorogo”. Proposal skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan, pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang telah memberi kesempatan bagi peneliti untuk menempuh dan menyelesaikan studi.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.
3. Bapak Fathur Rahman, M.Si. selaku Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang yang telah memberikan ijin penelitian serta saran dan masukan dalam pemilihan judul penelitian.
4. Bapak Sugiyatno, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan baik hati meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing, memberikan arahan, serta saran kepada saya dalam penyusunan proposal skripsi ini.
(10)
ix
5. Seluruh Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan wawasan, ilmu, dan pengalamannya kepada penulis selama perkuliahan hingga akhir.
6. Keluarga penulis, Bapak Sunarno dan Ibu Nunuk Sudarjati yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan proposal skripsi.
7. Semua pihak yang membantu penulis menyelesaika proposal skripsi ini yang mungkin tidak dapat disebutkan satu persatu.
Demikian pengantar dari penulis, semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi pengembangan dunia pendidikan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini, maka dari itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis guna perbaikan dalam karya selanjutnya.
Yogyakarta, 3 September 2015 Penulis,
Aditya Wahyu Hanggara NIM. 11104244028
(11)
x DAFTAR ISI
hal HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PERNYATAAN ... HALAMAN PENGESAHAN ... MOTTO ... PERSEMBAHAN ... ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... LAMPIRAN ...
BAB I PENDAHULUAN
A. Lata Belakang Masalah ... B. Identifikasi Masalah ... C. Batasan Masalah ... D. Rumusan Masalah ... E. Tujuan Penelitian ... F. Manfaat Penelitian ... BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Kohesivitas Kelompok
1. Pengertian Kohesivitas Kelompok ... 2. Aspek-aspek Kohesivitas Kelompok ... 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kohesivitas Kelompok ... 4. Ciri-ciri Kelompok yang Kohesif ... 5. Manfaat Kelompok yang Kohesif ... B. Tinjauan tentang Role Playing (Bermain Peran)
1. Pengertian RolePlaying (Bermain Peran) ... i ii iii iv v vi vii viii x xiii xiv xv 1 11 12 12 12 13 15 17 19 21 23 24
(12)
xi
2. Jenis-jenis Role Playing ... 3. Langkah-langkah Pembelajaran role playing ... 4. Kelebihan Role Playing…... 5. Kelemahan Role Playing…... C. Tinjauan tentang Perkembangan Anak SMP
1. Pengertian Remaja ... 2. Ciri-ciri Masa Remaja ... 3. Tugas Perkembangan Masa Remaja ... D. Kerangka Berpikir ... E. Hipotesis Tindakan ... BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ... B. Subjek Penelitian ... C. Tempat dan Waktu Penelitian ... D. Desain Penelitian... E. Rencana Tindakan ...
1. Pra Tindakan ... 2. Pemberian tindakan (Siklus) ... a. Perencanaan ... b. Tindakan ... c. Observasi ... d. Refleksi ... F. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data ... G. Uji Validitas dan Reliabilitas …………... H. Teknik Analisis Data ... I. Kriteria Keberhasilan Tindakan ... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ... B. Pembahasan ... C. Keterbatasan Penelitian ...
27 28 30 31 32 32 35 37 39 40 41 41 42 43 43 44 44 45 49 50 51 58 63 65 66 97 106
(13)
xii BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... B. Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...
107 108
110 112
(14)
xiii DAFTAR TABEL Hal. Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15.
Kisi-kisi InstrumentSkala Kohesivitas ………...
Skor Skala Kohesivitas ………...
Kisi-kisi Pedoman Observasi ………..
Kisi-kisi Pedoman Wawancara ………...
Kisi-kisi Skala Kohesivitas Kelompok Setelah Uji Coba ………...
Rangkuman Item sahih dan Item Gugur ………. Rumus Kategori Skala ………
Kategorisasi Skor Kohesivitas Kelompok Pengurus OSIS SMPN 3
Sambit ………. Waktu Pelaksanaan Tindakan ……….
Hasil Pre Test ………..
Daftar Anggota OSIS yang Akan Diberikan Tindakan …………...
Hasil Post Test I ………..
Skor Perbandingan Pre Test dan Post Test I ………...
Hasil Post Test II ……….
Skor Perbandingan Pre Test, Post Test I, dan Post Test II ………. 53 55 56 58 60 61 65 65 67 68 69 78 80 90 93
(15)
xiv
DAFTAR GAMBAR
Hal. Gambar 1. Proses Penelitian Tindakan ... 42
Gambar 2. Gafik Peningkatan Skor Rata-rata ……….. 96
(16)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Surat Permohonan izin Penelitian FIP UNY ………... Lampiran 2. Rekomendasi Penelitian Badan KESBANGLINMAS ………...
Lampiran 3. Rekomendasi Penelitian BAKESBANGPOL Surabaya ………. Lampiran 4. Rekomendasi Penelitian KESBANGPOLLINMAS Ponorogo ...
Lampiran 5. Surat Keterangan Penelitian SMPN 3 Sambit ……….
Lampiran 6. Skala Kohesivitas Kelompok ………..
Lampiran 7. Daftar Hadir Siklus I ………...
Lampiran 8. Daftar Hadir Siklus II ………..
Lampiran 9. Grafik Peningkatan Kohesivitas Anggota Kelompok ………….
Lampiran 10. Lembar Observasi Siklus I ………
Lampiran 10. Lembar Observasi Siklus II ………...
Lampiran 11. Lembar Wawancara ………..
Lampiran 12. Materi role playingsiklus I ………...
Lampiran 13. Materi role playing siklus II ………...
113 114 115 116 117 118 123 124 125 126 127 128 130 146
(17)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang pada hakikatnya tidak bisa untuk hidup sendiri. Serangkaian kegiatan yang dilakukan tentu melibatkan orang lain. Bahkan, sejak lahir seseorang memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa manusia memerlukan orang lain dalam rangka memenuhi kelangsungan hidupnya. Dalam memenuhi kelangsungan hidupnya, manusia dituntut untuk mampu beradaptasi dan bekerjasama dengan orang lain. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan bersosialisasi yang baik agar dapat terjalin hubungan yang baik pula antar sesama. Untuk dapat memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik tentunya bukan merupakan suatu hal yang mudah. Perlu adanya latihan atau proses yang lama untuk membentuknya.
Proses pembelajaran untuk membentuk kemampuan bersosialisasi agar lebih efektif dapat dilakukan sejak dini terutama masa remaja. Remaja merupakan masa yang sangat rawan. Sebab masa remaja merupakan masa dimana emosi dan pikiran mereka masih labil. Sama halnya yang dijelaskan oleh Hall (Santrock, 2007: 6) bahwa masa remaja merupakan masa badai dan stress (strom and stress), yaitu masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan buaian suasana hati. Perasaan, pikiran, tindakan mengenai kesombongan dan kerendahan hati, kebaikan dan godaan, serta kegembiraan dan kesedihan. Oleh karna itu masa remaja dapat dikatakan sebagai tahap perkembangan manusia yang paling labil.
(18)
2
Menurut Hurlock (1997: 206) masa remaja berlangsung antara usia 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun. Ditinjau dari rentang kehidupan manusia, remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dalam tahap perkembangan sosialnya, seorang remaja membutuhkan kondisi-kondisi yang dapat membuat dirinya mampu menyalurkan kebutuhan sosialnya. Remaja dapat dikatakan labil karna remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju dewasa dan mempunyai tugas perkembangan yang cukup banyak.
Berdasarkan penjelasan diatas, proses pembelajaran untuk membentuk kemampuan bersosialisasi lebih efektif jika dilakukan pada masa remaja. Apabila masa yang begitu labil antara pikiran dan perasaan dapat ditata rapi, tidak menutup kemungkinan proses sosialisasi remaja dapat berjalan dengan efektif. Seperti yang sudah dipaparkan diatas, tahap perkembangan sosial remaja menurut Hurlock membutuhkan kondisi yang dapat membuat dirinya mampu menyalurkan kebutuhan sosialnya. Menyalurkan kebuuhan sosial salah satunya adalah membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja memiliki tugas perkembangan dalam menjalin hubungan sosial dengan lingkungan disekitarnya. Seperti, interaksi dengan keluarga, teman sebaya, masyarakat, serta interaksi dengan organisasinya. Dengan kata lain, remaja diharuskan mampu untuk menjalin interaksi sosial atau hubungan sosial yang baik dengan lingkungan disekitarnya.
(19)
3
Proses sosialisasi pada masa remaja ini perlu mendapat perhatian lebih, sebab kemampuan remaja dalam bersosialisasi ini dapat menentukan keberhasilan seorang remaja dalam beradaptasi dan bekerjasama di masa selanjutnya. Keberhasilan remaja dalam menjalin hubungan sosial dapat mempermudah remaja dalam melanjutkan tahan atau tugas perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, sikap solid, saling menghargai, dan juga menyayangi harus dapat tercipta didalam suatu kelompok. Sikap tersebut dapat menggambarkan bahwa suatu kelompok itu dapat dikatakan kelompok yang kohesif atau tidak. Menurut Abu Ahmadi (2002: 117) kohesivitas kelompok yaitu perasaan bahwa orang bersama-sama dalam kelompok. Hal tersebut dapat diwujudkan apabila setiap anggota kelompok dapat bekerja bersama, saling membantu satu sama lain seperti yang sudah dipaparkan diatas. Kohesivitas kelompok juga dipertegas oleh Leon Festinger (Abu Ahmadi, 2002: 117) bahwa kohesi kelompok sebagai kekuatan yang memelihara dan menjaga anggota dalam kelompok. Sedangkan menurut Bimo Walgito (2007: 47) kohesi adalah saling tertariknya atau saling senangnya anggota satu dengan yang lain dalam kelompok. Berdasarkan beberapa pemaparan ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok merupakan daya rekat atau tertariknya anggota kelompok untuk tetap berada dalam kelompok dan merasa berat untuk meninggalkan kelompok tersebut.
Apabila kelompok tersebut memiliki tingkat kohesivitas tinggi maka kelompok tersebut akan lebih produktif jika dibandingkan dengan
(20)
4
kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas rendah. Seperti yang dipaparkan Bimo Walgito (2007: 51) bahwa kelompok dengan kohesi tinggi lebih produktif dari pada kelompok dengan kohesi rendah dalam mencapai tujuan kelompok. Kelompok yang kohesif akan mencoba berbuat lebih baik daripada kelompok yang tidak kohesif. Menurut Cattel (Bimo Walgito 2007: 51), kohesi menaikkan sinergi efektif pada kelompok. Dengan naiknya sinergi efektif, kelompok dapat mencapai tujuannya dengan lebih efisien.
Dalam bidang pendidikan, kelompok itu penting untuk membantu siswa dalam proses belajar serta mengasah produktifitas kerja mereka didalam kelompok-kelompok yang ada. Seperti, kelompok ektrakurikuler, kelompok belajar, OSIS, dan sebagainya. Kohesivitas kelompok perlu diwujudkan dalam kelompok-kelompok tersebut agar mempermudah kinerja kelompok dan mengembangkan produktifitas kerja didalamnya. Sebab pekerjaan didalam kelompok tentu tidak dapat dikerjakan secara maksimal apabila pekerjaan tersebut dikerjakan secara individu. Namun, dalam membangun kohesivitas kelompok tersebut menemui beberapa kesulitan. Kesulitan tersebut bisa berupa kesulitan seorang remaja dalam beradaptasi dengan orang-orang yang baru, norma atau aturan yang baru, sistem kerja kelompok yang baru serta gaya kepemimpinan yang dimungkinkan berbeda dari kelompok sosial sebelumnya. Selain itu, kesulitan untuk membangun kohesivitas muncul dari pemimpin yang kurang dipandang oleh anggotanya disebabkan rentang usia yang sama
(21)
5
antara anggota dengan pemimpin. Sehingga terkadang pemimpin dipandang sebelah mata.
Permasalahan diatas menyebabkan permasalahan yang baru pada diri siswa. Permasalahan yang timbul dapat berpengaruh terhadap perkembangan sosialnya di masa mendatang. Seperti, siswa menutup diri dan malu berbaur dengan temannya sehingga para siswa lebih bersikap individualis dan kurang memiliki rasa kebersamaan didalam kelompok. Komunikasi juga belum dapat terjalin dengan baik di lingkungan yang baru, sehingga tujuan kelompok tidak dapat tercapai secara optimal. Hal tersebut menyebabkan para anggota merasa kurang nyaman berada didalam kelompok, juga mempengaruhi rasa bangga individu terhadap kelompoknya semakin rendah. Dari permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok memiliki tingkat kohesivitas kelompok yang rendah.
Kohesivitas kelompok ini perlu diwujudkan di lingkungan sekolah khususnya pada jenjang SMP. Pada jenjang SMP, seorang remaja memiliki banyak kegiatan di sekolah maupun diluar sekolah. Remaja dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diikutinya. Kohesivitas kelompok harus diwujudkan dalam berbagai ekstrakurikuler terutama di dalam pengurus OSIS. Sebab kebanyakan pengurus OSIS tidak menginginkan jabatannya sebagai pengurus OSIS. Pengurus OSIS yang tidak menginginkan jabatan sebagai pengurus adalah siswa yang ditunjuk sebagai perwakilan dari kelas, sehingga siswa yang menjadi perwakilan
(22)
6
kelas tersebut merasa terpaksa untuk menjalani jabatan sebagai pengurus OSIS.
Pengurus yang merasa terpaksa, menyebabkan banyak dari pengurus merasa tidak nyaman dan bahkan beberapa dari mereka ingin mengundurkan diri. Ditambah lagi dengan pengurus yang merasa senior atau siswa yang sudah kelas 9, mereka merasa sudah lama sehingga terkadang sikap mereka seperti pemimpin yang berkuasa dan efek yang ditimbulkan adalah kerenggangan suatu hubungan antar anggota serta pemimpin yang tidak dianggap lagi sebagai pemimpin. Pemimpin hanya dijadikan sebagai simbol saja. Lebih sering lagi dalam pengurus OSIS itu cenderung berkubu-kubu. Kelas 7 bergerombol dengan kelas 7 dan mereka lebih pendiam, kelas 8 juga dengan kelas 8 dan kadang memerintah kelas 7, dan kelas 9 terkadang lebih memimpin dan melupakan tugas seorang ketua OSIS. Hal tersebut yang membuat seorang remaja tidak betah dalam suatu organisasi dan ingin meninggalkan kelompok tersebut. Hal tersebut merupakan kelompok yang tidak kohesif.
Idealnya, suatu organisasi itu harus memiliki kerjasama, saling membantu, sikap solid, saling menghargai, tanggung jawab, dan juga sikap saling menyayangi antar anggota harus dapat tercipta didalam suatu kelompok tersebut. Organisasi yang kohesif, dapat menghasilkan kinerja yang produktif dibandingkan kelompok yang tidak kohesif. Namun kejadian yang sering terjadi dilapangan, dalam kepengurusan OSIS di berbagai sekolah masih menunjukkan ciri-ciri kelompok yang kurang
(23)
7
kohesif. Bahkan di SMP Negeri 3 Sambit, Ponorogo juga terdapat siswa yang menjadi pengurus OSIS namun tidak menginginkan sepenuhnya jabatan tersebut.
Hal ini diperkuat dari hasil observasi dan wawancara awal yang dilakukan terhadap pengurus OSIS, kepala sekolah dan pembina OSIS pada tanggal 18 April 2015. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, dapat dilihat penggunaan ruang OSIS kurang berjalan efektif. Terlihat dari tidak adanya pengurus di ruang OSIS saat istirahat dan kecenderungan pengurus untuk datang ke ruang OSIS hanya pada saat rapat saja. Kehadiran yang kurang didukung oleh jadwal pertemuan rutin anggota OSIS. OSIS memiliki jadwal pertemuan rutin setiap hari jumat pukul 07.00-07.30 wib. Seharusnya dengan jadwal pertemuan rutin setiap minggu sekali dapat sedikit demi sedikit meningkatkan kohesivitas kelompok. Namun hal tersebut kurang dimanfaatkan anggota OSIS untuk menjalin keeratan. Terdapat sebagian pengurus tidak menghadiri pertemuan dan hanya duduk didepan ruangan bahkan ada yang ke kantin. Pertemuan rutin ini dihadiri semua anggota OSIS jika Pembina OSIS ikut hadir dalam pertemuan.
Hal tersebut diperkuat dari hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa pengurus OSIS. Pengurus OSIS tersebut mengungkapkan bahwa jika tidak ada program atau kegiatan yang akan dilakukan, pengurus OSIS cenderung malas untuk datang atau sekedar mengurus ruang OSIS. Apabila ada jadwal pertemuan rutin, ada anggota yang pergi ke kantin dari
(24)
8
pada menghadiri pertemuan. Berdasarkan pengakuan pengurus OSIS juga menyebutkan bahwa pertemuan rutin dihadiri semua anggota jika Pembina OSIS ikut masuk dan memimpin acara. Selain itu kepengurusan OSIS tersebut terdapat siswa kelas 9 yang belum habis masa jabatannya, siswa kelas 9 tersebut terkadang tidak menghargai jabatan yang disandang oleh siswa kelas 8. Sebab mereka merasa labih senior atau lebih lama didalam OSIS. Hal tersebut dapat diinterpretasikan secara menyeluruh bahwa pengusus OSIS di SMP Negeri 3 Sambit Ponorogo belum memiliki kohesivitas kelompok yang tinggi.
Oleh karena itu, perlu adanya kohesivitas yang baik agar kelompok tetap kompak dan menjadi lebih produktif dalam menghasilkan program-program kerja yang bermanfaat. Untuk itu diperlukan suatu upaya khusus untuk meningkatkan kohesivitas kelompok pengurus OSIS di SMP Negeri 3 Sambit, Ponorogo. Dalam perkembangan remaja dengan kelompoknya, terdapat beberapa metode untuk meningkatkan kohesivitas kelompok. Cara yang paling efektif adalah dengan membentuk hubungan yang kooperatif antar anggota kelompok. Dalam membangun suatu hubungan yang baik, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan cara bermain peran (role playing).
Role Playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan, dan edutainment (Fogg dalam Miftahul Huda, 2013: 208). Dalam Role Playing,siswa dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di
(25)
9
dalam kelas. Menurut Miftahul Huda (2013: 209), Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pada Role Playing, titik tekannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indra ke dalam suatu situasi permasalahan yang secara nyata dihadapi. Sedangkan menurut Fannie dan George Shaftel (Bruce Joyce, dkk, 2009: 328) mengatakan bahwa dalam RolePlaying siswa mengeksplorasi masalah-masalah tentang hubungan antar manusia dengan cara memainkan peran dalam situasi permasalahan kemudian mendiskusikan peraturan-peraturan. Secara bersama-sama, siswa bisa mengungkapkan perasaan, tingkah laku, nilai, dan strategi pemecahan masalah. Melalui role playing, siswa dapat mengungkapkan perasaan dan dapat menjalin komunikasi serta kerjasama yang baik antar anggota yang akan berakibat pada meningkatnya kohesivitas kelompok tersebut.
Pemilihan teknik role playing didasarkan pada kegiatannya yang berpengaruh positif terhadap kohesivitas suatu kelompok. Serangkaian kegiatan dalam role playing menurut Bruce Joyce, dkk (2009: 329) adalah menguraikan sebuah masalah, memeragakan, dan mendiskusikan masalah tersebut, sehingga permasalahan yang dialami anggota kelompok dapat diangkat menjadi bahan dalam pelaksanaan Role Playing dan diperagakan kemudian didiskusikan secara bersama-sama.
Keunggulan yang diperoleh siswa dalam role playing (Miftahul Huda, 2013: 210) adalah: 1) dapat memberi kesan pembelajaran yang kuat
(26)
10
dan tahan lama dalam ingatan siswa; 2) bisa menjadi pengalaman belajar menyenangkan yang sulit untuk dilupakan; 3) membuat suasana kelas menjadi lebih dinamis dan antusiastis; 4) membangkitkan gairah dan semangat optimism dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan; dan 5) memungkinkan siswa untuk terjun langsung memerankan sesuatu yang akan dibahas dalam proses belajar. Berdasarkan keunggulan diatas, kohesivitas kelompok dapat ditingkatkan melalui role playing. Sebab role playing dapat membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan. Melalui roleplaying, diharapkan komunikasi antar pengurus dapat terjaga dengan baik serta keakraban antar pengurus dapat lebih ditingkatkan. Apabila kohesivitas kelompok meningkat setelah dipengaruhi, maka produktifitas kerja kelompok tersebut akan meningkat pula.
Penggunaan teknik role playing ini telah terbukti efektif sebelumnya pada penelitian yang dilakukan oleh Rita Hermawati (2012: 147) yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar dengan Metode Role Playing pada Mata Diklat Pelayanan Prima Kelas X Busana B di SMK Ma’arif 2 Sleman”. Penelitian ini menghasilkan peningkatan pada setiap siklus pada materi bekerja dalam satu tim. Hal ini dapat dibuktikan dengan peningkatan pencapaian kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan yaitu 70, dari 39 siswa pencapaian hasil belajar pada pra siklus 43,6% siswa atau 17 siswa sudah memenuhi kriteria ketuntasan minimal, dan pada siklus pertama setelah dikenai tindakan melalui metode role playing
(27)
11
pencapaian hasil belajar kognitif siswa meningkat menjadi 79,5% siswa atau 31 siswa sudah memenuhi kriteria ketuntasan minimal dan pada siklus kedua pencapaian hasil belajar kognitif siswa meningkat lagi menjadi 100% atau seluruh siswa sudah memenuhi kriteria ketuntasan minimal.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan teknik role playing yang menekankan pada pencapaian tugas kelompok yang diharapkan dapat berpengaruh terhadap tingkat kohesivitas kelompok pengurus OSIS SMP Negeri 3 Sambit. Selain itu aspek yang akan dijadikan sebagai bahan pembuatan skala, pedoman wawancara dan observasi berbeda dengan penelitian sebelumnya. Adapun aspek yang dimaksud adalah kerjasama, menolong, toleransi, dan berkomitmen.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan, maka peneliti menganggap bahwa fenomena ini sangat perlu dikaji secara ilmiah dengan melakukan penelitian tentang “Upaya Meningkatkan Kohesivitas Kelompok Pengurus OSIS Melalui Teknik Role Playing Di SMP Negeri 3 Sambit”.
B. Identifikasi Masalah
Dari paparan latar belakang terdapat beberapa masalah yang diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Beberapa pengurus OSIS merasa sulit beradaptasi dengan kelompok yang baru dikarenakan proses komunikasi belum terjalin dengan baik.
(28)
12
2. Sebagian pengurus OSIS yang menjadi perwakilan kelas terkadang ingin keluar dari kepengurusan karena merasa terpaksa menjalani jabatan sebagai pengurus OSIS.
3. Sebagian pengurus OSIS baru cenderung belum saling mengenal satu sama lain karena minimnya frekuensi bertemu serta rendahnya minat berkumpul sehingga menimbulkan berbagai kubu didalam kelompok. 4. Program kerja OSIS kurang dapat berjalan dengan baik karena
kohesivitas antar anggota belum begitu terlihat.
C. Batasan Masalah
Beberapa masalah yang ada, peneliti membatasi pada masalah kohesivitas kelompok para pengurus OSIS yang kurang, sehingga membutuhkan teknik yang dapat menyatukan kebersamaan kelompok yaitu dengan teknik RolePlaying.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana upaya meningkatkan kohesivitas kelompok pengurus OSIS melalui teknik Role Playing di SMP Negeri 3 Sambit, Ponorogo?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kohesivitas anggota kelompok pengurus OSIS melalui teknik Role Playing di SMP Negeri 3 Sambit, Ponorogo.
(29)
13 F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik bagi kepentingan teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu dalam bidang bimbingan dan konseling, serta menambah pengetahuan tentang Role Playing untuk meningkatkan kohesivitas anggota kelompok.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pengurus OSIS
Dengan kohesivitas kelompok yang baik sangat
mendukung kinerja para pengurus OSIS dalam praktek kepengurusan OSIS secara optimal.
b. Bagi Pembina OSIS
Tugas Pembina OSIS lebih mudah dan lancar karena para pengurus OSIS yang memiliki kohesivitas kelompok baik dapat menjalankan tugasnya secara mandiri dan lebih optimal.
c. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling
Guru BK dapat menerapkan teknik role playing sebagai salah satu media dalam memberikan layanan bimbingan pribadi sosial.
(30)
14 d. Bagi Peneliti Lainnya
Peneliti lainnya diharapkan mampu meningkatkan wawasan dan termotivasi untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai upaya meningkatkan kohesivitas kelompok melalui teknik role playing, atau dapat juga mengembangkan teknik-teknik lain untuk meningkatkan kohesivitas kelompok.
(31)
15 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Kohesivitas Kelompok
1. Pengertian Kohesivitas Kelompok
Kelompok menurut Bales (Yusuf dalam buku Abu Huraerah dan Purwanto, 2006: 3) mengatakan bahwa kelompok adalah sejumlah individu yang berinteraksi dengan sesamanya secara tatap muka, dimana masing-masing anggota tersebut saling menerima impresi atau persepsi anggota lain dalam waktu tertentu dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, yang membuat masing-masing anggota bereaksi sebagai reaksi individual. Dalam definisi tersebut, Bales menekankan bahwa kelompok itu merupakan kumpulan individu yang saling berinteraksi dengan cara tatap muka atau dalam suatu pertemuan. Selain itu, masing-masing anggota juga menerima impresi atau persepsi anggota lain dalam waktu tertentu yang bertujuan membuat masing-masing anggota bereaksi sebagai individual.
Menurut Sherif and Sherif (Abu Ahmadi, 2002: 94) menyatakan bahwa kelompok adalah suatu unit sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga di antara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma-norma tertentu yang khas bagi kelompok itu. Ditambahkan lagi oleh Roland Freedman cs (Abu Ahmadi, 2002: 94) bahwa kelompok adalah organisasi terdiri
(32)
16
atas dua atau lebih individu-individu yang tergantung oleh ikatan-ikatan suatu sistem ukuran-ukuran kelakuan yang diterima dan disetujui oleh semua anggota-anggotanya.
Berdasarkan pengertian kelompok dari berbagai tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa kelompok merupakan sekumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain yang cukup intensif dan juga mempunyai daya tarik serta ikatan-ikatan antar individu. Daya tarik dalam kelompok tersebut merujuk pada kohesivitas kelompok atau suatu kekuatan untuk menjaga anggota kelompok agar terus berada dalam kelompok tesebut. Kohesivitas kelompok merupakan kekuatan yang memelihara dan menjaga individu untuk tetap berada dalam kelompok (Leon Festinger dalam Abu Ahmadi, 2002: 117). Sedangkan Shaw (Bimo Walgito, 2007: 46) menyatakan kohesi kelompok ialah bagaimana para anggota kelompok saling menyukai dan saling mencintai satu dengan lainnya. Tingkatan kohesi akan
menunjukkan seberapa baik kekompakan dalam kelompok
bersangkutan. Kemudian Carolina dan Jusman (Abu Huraerah dan Purwanto, 2006: 44) mengungkapkan bahwa kohesi kelompok dapat didefinisikan sebagai sejumlah faktor yang mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap menjadi anggota kelompok tersebut.
Dilihat dari berbagai pendapat para ahli mengenai kohesivitas
kelompok, dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok
(33)
17
didalam kelompok tersebut dengan membentuk ikatan sosial, sehingga para anggota tetap bertahan dan bersatu dalam kelompok untuk menuju suatu tujuan tertentu yang sudah disepakati.
2. Aspek-aspek Kohesivitas Kelompok
Carron dan Forsyth (Hertina Wulansari, dkk., 2013: 4) mengatakan bahwa kohesivitas kelompok mencakup tindakan-tindakan seperti:
a. Ketertarikan individu pada tugas kelompok. Setiap individu tidak merasa keberatan jika mendapatkan tugas atau menjalankan tugas yang diberikan dalam kelompok.
b. Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial. Individu merasa nyaman dengan situasi kelompok yang ada, dalam hal interaksi sosial dengan anggota lainnya.
c. Kesatuan kelompok dalam tugas, yaitu saling mendukung antar anggota demi membangun kelompok untuk menjadi lebih baik. d. Kesatuan kelompok secara sosial. Saling menghargai dan merasa
saling membutuhkan satu sama lain dalam menjaga keutuhan dan nama baik kelompok.
e. Kerjasama dalam berbagai hal demi perkembangan dan
produktivitas kerja kelompok.
Menurut Veroff dan Veroff (Saryanti dalam Teguh Kurnia dan Arundati Shinta, 2015: 397) kelompok yang kohesivitasnya
(34)
18
tinggi dipersepsikan positif oleh anggota-anggotanya. Persepsi tersebut mengandung lima aspek yaitu:
a. Setiap orang pada kelompok yang kohesif mempunyai rasa memiliki terhadap kelompok. Anggota akan dengan senang hati bekerja sama demi tercapainyatujuan kelompok.
b. Kesadaran diri seorang anggota bahwa dia merupakan bagian dari kelompok. Hal itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh seorang anggota kelompok akan dihayati sebagai perbuatan dari dan untuk kelompok itu sendiri.
c. Toleransi yang tinggi dalam berhubungan antar individu dalam kelompok akan memunculkan kerjasama yang terbina dengan baik.
d. Pemimpin jarang memberikan hukuman. Hal ini dapat dilakukan bila pemimpin memperhatikan hak dan kewajiban setiap anggota sesuai dengan porsinya.
e. Anggota berkomitmen tinggi untuk menjaga keutuhan kelompok. Komitmen anggota tersebut berdasarkan kesediaan anggota untuk patuh pada norma kelompok.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat peneliti simpulkan bahwa aspek-aspek dalam kohesivitas kelompok meliputi kerjasama, menolong, toleransi, dan berkomitmen.
(35)
19
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kohesivitas Kelompok
Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi suatu kelompok berhasil menjadi kelompok dengan kohesivitas tinggi maupun rendah. Tatiek Romlah (2006: 38) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kohesivitas kelompok antara lain:
a. Bahasa dan proses berfikir yang sama. Keseragaman bahasa mampu memudahkan komunikasi sehingga komunikasi dapat terjalin lebih efektif. Apa yang disampaikan satu anggota dapat dengan mudah dan tepat tersampaikan kepada kelompok yang lain. Proses berfikir yang sejalan juga mendukung tercapainya tujuan bersama dengan mudah.
b. Masalah-masalah dan tujuan-tujuan yang sama. Apabila para anggota mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi kelompok secara bersama-sama sesuai dengan tujuan kelompok maka kohesivitas kelompok dapat terjalin.
c. Cara berkomunikasi serta saluran-saluran komunikasi yang jelas antar sesama anggota. Para anggota melakukan kesepakatan mengenai metode komunikasi yang sesuai, efektif dan dapat diterima oleh seluruh anggota. Sehingga pesan-pesan atau hal-hal yang perlu dikomunikasikan dengan seluruh anggota dapat tersampaikan dengan baik.
(36)
20
d. Adanya rasa memiliki dan dimiliki oleh kelompok. Rasa bangga para anggota memiliki dan dimiliki kelompok terlihat dari sikap taat anggota terhadap norma yang berlaku dalam kelompok. e. Frekuensi pertemuan. Kelompok memiliki jadwal petemuan yang
teratur dan dapat dihadiri oleh seluruh anggota. Dalam setiap pertemuan diharapkan memiliki kebermanfaatan bagi kelompok. f. Hubungan yang bersifat kerjasama antara anggotanya. Hubungan
yang anggota mampu menempatkan kepentingan kelompok diatas kepentingan individu.
g. Organisasi yang mantap dimana para anggotanya mempunyai tanggung jawab untuk bekerjasama untuk kepentingan kepuasan kebutuhan masingmasing anggota.
Jadi dapat disimpulkan, faktor-faktor yang mempengaruhi kohesivitas kelompok yaitu: bahasa dan proses berfikir yang sama, masalah-masalah dan tujuan-tujuan yang sama, cara berkomunikasi serta saluran-saluran komunikasi yang jelas antar sesama anggota, adanya rasa memiliki dan dimiliki oleh kelompok, frekuensi pertemuan, hubungan yang bersifat kerjasama antara anggotanya serta organisasi yang mantap dimana para anggotanya mempunyai tanggung jawab untuk bekerjasama untuk kepentingan kepuasan kebutuhan masing-masing anggota.
(37)
21 4. Ciri-ciri Kelompok yang Kohesif
Menurut Shaw (Bimo Walgito, 2007: 46) dalam kelompok, situasi interaksi para anggota kelompok dapat bervariasi, sehingga situasi kelompok satu dengan yang lain dapat berbeda. Demikian pula situasi interaksi anggota satu dengan anggota yang lain dapat berbeda-beda pula. Suatu kelompok dapat solid, tetapi juga dapat kurang solid. Hal demikian berkaitan dengan kohesi kelompok. Tingkatan kohesi akan menunjukkan seberapa baik kekompakan dalam kelompok bersangkutan.
Shaw (Sunarru Samsi Hariadi, 2011: 28) mengungkapkan bahwa suatu kelompok memiliki kohesivitas yang tinggi dilihat dari sikap para anggota kelompoknya. Anggota kelompok pada kelompok yang kohesinya tinggi lebih energik didalam aktivitas kelompok, jarang absen dalam pertemuan kelompok dan merasa senang apabila kelompok berhasil dan bersedih apabila kelompoknya gagal. Shaw juga menjelaskan bahwa kohesi kelompok yang tinggi ditandai dengan curahan waktu untuk perencanaan kegiatan dan semua anggota kelompok mengikuti rencana yang telah disetujuinya. Kelompok dengan kohesi yang tinggi pemimpinnya berperilaku demokratik, sedangkan pada kelompok dengan kohesi yang rendah pemimpinnya berperilaku seperti “bos” dan cenderung autokratik.
Abu Huraerah dan Purwanto (2006: 47) menyebutkan bahwa anggota kelompok yang kohesif lebih siap untuk berpartisispasi
(38)
22
didalam pertemuan-pertemuan kelompok. Mereka lebih setuju terhadap tujuan kelompok, lebih siap menerima tugas-tugas dan peranan serta lebih mentaati norma-norma kelompok. Mereka juga memelihara dan mempertahankan norma-norma serta menolak orang lain yang merasa tidak sesuai dengan norma kelompok. Kelompok yang kohesif memiliki anggota yang loyal terhadap kelompok, mempunyai rasa tanggung jawab, mempunyai motivasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas serta merasa puas atas pekerjaan kelompok. Selanjutnya anggota kelompok tersebut lebih sering berkomunikasi secara efektif.
Bimo Walgito (2007: 49) menambahkan bahwa pada anggota kelompok dengan kohesi tinggi, komunikasi antar anggota tinggi dan interaksinya berorientasi positif. Anggota kelompok dengan kohesi tinggi bersifat kooperatif dan pada umumnya mempertahankan dan meningkatkan integrasi kelompok
Dari pemaparan beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kelompok yang kohesif yaitu :
a. Anggota rajin menghadiri pertemuan kelompok
b. Anggota senang jika kelompok berhasil dan sedih ketika kelompok gagal
c. Anggota siap mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran untuk kepentingan kelompok
(39)
23
e. Anggota mentaati dan menjaga norma dan nama baik kelompok f. Anggota saling berkomunikasi secara efektif
5. Manfaat Kelompok yang Kohesif
Menurut Berg dan Landreth (Tatiek Romlah, 2006: 39) mengemukakan bahwa individu-individu anggota kelompok yang kohesif menunjukan perilaku sebagai berikut :
a. Lebih produktif. Kondisi yang nyaman dalam kelompok
memungkinkan para anggota kelompok lebih optimal dalam menghasilkan suatu karya. Kebersamaan diantara kelompok juga mendorong para anggota untuk dapat bekerjasama dan saling membantu jika menemui masalah. Karena suatu masalah akan terasa lebih ringan jika ditangani secara bersama-sama.
b. Tidak mudah kena pengaruh-pengaruh negatif dari luar. Adanya rasa saling menyayangi dan menjaga satu sama lain membuat anggota aman dari pengaruh yang kurang baik.
c. Lebih terbuka terhadap pengaruh dari anggota lain. Pada kelompok yang kohesif, rasa percaya juga tertanam sangat erat, sehingga para anggota mau menerima saran atau ajakan dari anggota lain. Hal ini karena mereka percaya, anggota pengajak tidak akan mengajak ke hal-hal yang merugikan baik anggota lain maupun kelompok.
(40)
24
d. Mampu mengungkapkan hal-hal yang lebih pribadi. Keterbukaan akan mudah terjalin pada kelompok yang kohesif bahkan mungkin pada masalah atau hal-hal yang bersifat pribadi. Jika hal itu sebuah masalah, maka anggota yang lain akan membantu, atau paling tidak mampu menjaga rahasia.
e. Lebih mampu mengekspresikan perasaan-perasaan negatif dan mengikuti norma-norma kelompok. Jika dalam kelompok salah satu anggotanya ada yang merasa kurang cocok dengan sikap atau keputusan, ia langsung menyampaikannya di depan forum. Tentu saja dengan cara yang bijak dan sopan. Dengan demikian semua aspirasi dapat tersampaikan.
f. Lebih mempunyai keinginan dan usaha untuk mempengaruhi anggota lain.
Dapat disimpulkan bahwa anggota kelompok yang
mempunyai kohesivitas tinggi, mampu melanjutkan
keanggotaannya dalam kelompok lebih lama. Anggota kelompok yang kohesif akan bertahan lebih lama dibanding dengan kelompok yang tidak kohesif.
B. Tinjauan tentang Role Playing (Bermain Peran)
1. Pengertian Role Playing (Bermain Peran)
Andang Ismail (2006: 15) menjelaskan bahwa bermain peran adalah suatu jenis simulasi yang umumnya digunakan untuk pendidikan sosial dan hubungan antar sesama. Pada dasarnya, bermain
(41)
25
memiliki dua pengertian yang harus dibedakan. Bermain menurut pengertian yang pertama dapat bermakna sebagai sebuah aktifitas bermain yang murni mencari kesenangan tanpa mencari menang dan kalah (play). Sedangkan yang kedua disebut sebagai aktivitas bermain yang dilakukan dalam rangka mencari kesenangan dan kepuasan, namun ditandai dengan adanya menang dan kalah (game). Pada dasarnya setiap aktivitas bermain selalu didasarkan pada perolehan kesenangan. Sebab fungsi utama bermain adalah untuk relaksasi dan penyegaran kondisi fisik dan mental yang berada diambang ketegangan. Peran (role) bisa diartikan sebagai cara seseorang berperilaku dalam posisi dan situasi tertentu. Role Playing merupakan suatu tindakan pembelajaran yang dilakukan secara sadar dan disertai diskusi tentang peran didalamnya untuk mencapai tujuan bersama.
Teknik role playing (bermain peran) adalah teknik pembelajaran yang didalamnya menampakan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat atau peniruan atau situasi dari tokoh-tokoh sedemikan rupa. Dengan demikian teknik bermain peran adalah teknik yang melibatkan siswa untuk pura-pura memainkan peran/tokoh yang terlibat dalam pengalaman kehidupan sehari-hari (Bruce Joyce, 2009: 270).
Bermain peran (role playing) menurut Made Pidarta (1990: 81) adalah melakukan permainan dengan peran tertentu, misalnya peran sebagai orang tua, sebagai siswa, sebagai guru dan sebagainya yang
(42)
26
sedang melakukan kegiatan tertentu. Bermain peran (role playing) ini dapat dipakai sebagai metode belajar mengajar di sekolah maupun perguruan tinggi. Kegiatan yang dilakukan dalam bermain peran adalah meminta anak atau siswa melaksanakan peran tertentu yang sudah ditetapkan.
Hisyam Zaeni, dkk (2002: 92) mengungkapkan bahwa role playing adalah suatu aktivitas pembelajaran yang terencana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang spesifik. Role Playing berdasar pada tiga aspek utama dari pengalaman peran dalam kehidupan sehari-hari. Aspek utama tersebut adalah:
a. Mengambil peran (role-taking), yaitu tekanan ekspektasi-ekspektasi sosial terhadap pemegang peran. Contoh: berdasar pada hubungan keluarga (apa yang harus dikerjakan anak perempuan), atau berdasar tugas jabatan (bagaimana agen polisi harus bertindak), dalam situasi-situasi sosial.
b. Membuat peran (role-making) yaitu kemampuan pemegang peran untuk berubah secara dramatis dari satu peran ke peran yang lain dan menciptakan serta memodifikasi peran sewaktu-waktu diperlukan.
c. Tawar-menawar peran (role-negotiation), yaitu tingkat dimana peran-peran dinegosiasikan dengan pemegang peran-peran yang lain dalam parameter dan hambatan interaksi sosial.
(43)
27
Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Jadi role playing merupakan cara belajar yang dilakukan dengan cara membagi siswa menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok memerankan karakter sesuai dengan naskah yang telah dibuat dan materi yang telah ditentukan, sehingga siswa lebih mudah memahami dan mengingat materi yang akan diperankan.
2. Jenis-jenis Role Playing
Menurut Adrian Doff (Ayu Fitriana, 2014: 20), ada dua jenis dalam bermain peran yaitu:
a. Scripted Role Playing (Bermain peran berdasarkan naskah)
Dalam jenis ini, role playing dilakukan berdasarkan naskah yang sudah dibuat sebelumnya dengan cara membaca dan memerankan cerita yang sudah ada sehingga membentuk sebuah percakapan. Jenis ini memberikan siswa sebuah gambaran mengenai isi atau makna dari percakapan yang diperankan. Fungsi utama dari semua teks yang disampaikan memiliki makna yang mengesankan atau arti yang dapat diingat oleh pemerannya.
(44)
28
Dengan kata lain, pada jenis ini siswa memainkan peran berdasarkan naskah yang sudah dibuat sebelumnya.
b. Unscripted Role Play (Bermain peran tanpa naskah)
Berbeda dengan bermain peran berdasarkan naskah, jenis ini meminta siswa untuk memainkan peran dengan tidak bergantung pada naskah. Hal ini dikenal sebagai bermain peran bebas atau improvisasi. Siswa hanya mengetahui gambaran cerita mengenai peran yang akan dimainkan.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kedua jenis bermain peran yang dikemukakan oleh Adrian Doff. Pada siklus pertama, peneliti mengunakan jenis Scripted Role Playing (Bermain peran berdasarkan naskah). Pemeran membaca dan menghafalkan naskah sebelum mempraktikkan. Pada siklus kedua peneliti menggunakan jenis Unscripted Role Play (Bermain peran tanpa naskah). Pemeran diberitahu alur cerita dan percakapan awal untuk memulainya. Selanjutnya pemeran bebas untuk berperan sesuai alur yang ada.
3. Langkah-langkah pembelajaran role playing
Menurut Djamarah dan Zain (2002: 39), langkah-langkah dalam pembelajaran role playing sebagai berikut
a. Pemilihan masalah, guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan peserta didik agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya.
(45)
29
b. Pemilihan peran, memilih peran yang sesuai dengan
permasalahan yang akan dibahas, mendeskripsikan karakter dan apa yang harus dikerjakan oleh para pemain.
c. Menyusun tahap-tahap bermain peran, dalam hal ini guru telah membuat dialog tetapi siswa dapat juga menambahkan dialog sendiri.
d. Menyiapkan pengamat, pengamat dari kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak menjadi pemain atau pemeran.
e. Pemeranan, dalam tahap ini para peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan peran masing-masing yang terdapat pada skenario bermain peran.
f. Diskusi dan evaluasi, mendiskusikan masalah-masalah serta pertanyaan yang muncul dari siswa.
g. Pengambilan kesimpulan dari bermain peran yang telah dilakukan.
Tahap-tahap bermain peran yang dikemukakan oleh Djamarah dan Zain, lebih dijelaskan lagi oleh Sri Wahyuningsih, dkk (2012: 3) dalam jurnal penelitian menjelaskan tahap persiapan. Langkah-langkah penggunaan metode bermain peran yang dilakukan yaitu:
a.
Menyampaikan pokok bahasan.(46)
30
c.
Mempersiapkan naskah skenario pelaksanaan metode ber-main peran yang telah dibuat dan memba-gikan kepada siswa untuk dibaca.d.
Membentuk kelompok bermain peran (4-6 siswa) secaraheterogen dan salah satu sis-wa menjadi ketua kelompok.
e.
Membantu kelompok untuk menentukan peran yang akandimainkan.
f.
Mempersiapkan media yang.g.
Menunjuk kelompok bermain peran yang telah berlatih untuk tampil di depan kelas.4. Kelebihan Role Playing
Djamarah dan Zain (2002: 42) mengemukakan bahwa terdapat beberapa kelebihan dalam penerapan role playing. Kelebihan dari teknik role playing adalah sebagai berikut:
a. Siswa melatih dirinya untuk memahami dan mengingat isi bahan yang akan diperankan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian, daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama.
b. Siswa akan berlatih untuk berinisiatif dan kreatif. Pada waktu bermain peran, para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.
(47)
31
c. Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah.
d. Kerjasama antar pemain dapat ditimbulkan dan dibina dengan sebaik-baiknya.
e. Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya.
f. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang lebih baik agar mudah dipahami orang lain.
5. Kelemahan Role Playing
Dalam bukunya, Djamarah dan Zain (2002: 42) juga
mengemukakan kelemahan dalam penggunaan role playing.
Kelemahan dari teknik role playing adalah sebagai berikut:
a. Sebagian anak yang tidak ikut bermain peran menjadi kurang aktif. Karena hanya sebagai pengamat saja.
b. Banyak memakan waktu.
c. Memerlukan tempat yang cukup luas.
d. Kelas lain merasa terganggu oleh suara para pemain dan tepuk tangan penonton/pengamat. Jika pelaksanaan role playing ini dilakukan saat jam pelajaran.
(48)
32
C. Tinjauan tentang Perkembangan Anak SMP
1. Pengertian Remaja
Masa remaja adalah masa yang unik, yang berbeda dari masa sebelum dan sesudahnya. Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 123) menjelaskan kata remaja diterjemahkan dari kata dalam bahasa inggris adolescence atau adolecere (bahasa latin) yang berarti tumbuh untuk masak, menjadi dewasa. Adolescence maupun remaja menggambarkan seluruh perkembangan remaja baik perkembangan fisik, intelektual, emosi dan sosial. Menurut Hurlock (1991: 206) istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Kathryn Geldard (2011: 5) mengatakan bahwa periode remaja adalah ketika seorang anak muda harus beranjak dari ketergantungan menuju kemandirian, otonomi, dan kematangan. Lebih lanjut Mabey dan Sorensen (Kathryn Geldard, 2011: 5) menjelaskan bahwa seseorang pada tahap remaja akan bergerak dari sebagai bagian suatu kelompok keluarga menuju menjadi bagian dari suatu kelompok teman sebaya hingga akhirnya mampu berdiri sendiri sebagai orang yang dewasa.
Dari beberapa uraian di atas mengenai pengertian remaja, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan perubahan yang bersifat biologis dan psikologis. Pada masa remaja, individu mulai melakukan
(49)
33
interaksi yang lebih banyak mengenai kehidupan sosialnya. Pada masa remaja, bermain juga merupakan salah satu kegiatan yang disukai. Maka melalui metode bermain, kohesivitas dalam kelompok dapat lebih ditingkatkan.
2. Ciri-ciri Masa Remaja
Menurut Hurlock (1997: 206) awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Garis pemisah antara awal masa dan akhir masa remaja terletak kira-kira di sekitar usia 17 tahun.
Hurlock (1991: 207) menyebutkan ciri-ciri khusus remaja yang membedakan masa sebelum dan sesudahnya sebagai berikut :
1. Masa remaja sebagai masa yang penting, artinya setiap hal yang terjadi pada masa remaja akan berakibat langsung pada sikap dan perilaku serta fisik dan psikologisnya untuk jangka panjang. 2. Masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja merupakan
peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, sehingga mereka harus mampu meninggalkan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan mulai mengenal pola perilaku dan sikap baru.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, artinya pada masa remaja terjadi perubahan fisik, perilaku dan sikap yang berlangsung pesat dan sebaliknya.
(50)
34
4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas, artinya pada masa ini remaja berusaha mencari identitas agar berbeda dengan yang lain. Namun, pada beberapa kasus remaja ini juga mengalami krisis identitas.
5. Usia bermasalah, artinya ketika mengalami masalah, remaja mulai menyelesaikannya secara mandiri. Mereka menolak bantuan dari orang tua dan guru lagi.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan kekuatan/kesulitan. Artinya pada masa remaja sering timbul pandangan yang bersifat negatif. Hal ini mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya, sehingga sulit melakukan peralihan menuju dewasa.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Pada masa ini remaja cenderung memandang dirinya dan orang lain sebagaimana yang diinginkan bukan sebagaimana adanya. Hal ini menyebabkan emosi meninggi dan mudah marah bila yang diinginkan tidak terpenuhi.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Pada masa ini remaja sulit untuk meninggalkan usia belasan tahunnya. Mereka belum cukup berperilaku sebagai orang dewasa, oleh karena itu mereka mulai berperilaku sebagai status orang dewasa seperti cara berpakaian, merokok dll, yang dipandang dapat memberikan citra yang diinginkannya
(51)
35
Andi Mappiare (1982: 32) menyebutkan ciri-ciri remaja awal sebagai berikut:
1. Ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi
2. Sikap dan moral yang menonjol pada masa akhir remaja awal 3. Pada masa remaja awal kemampuan mental dan kemampuan
berpikir mulai sempurna
4. Status remaja awal yang sulit ditentukan 5. Remaja awal mengalami banyak masalah 6. Masa remaja awal adalah masa yang kritis.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja usia SMP yang berkisar antara usia 12-17 tahun termasuk remaja awal yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu memiliki perasaan dan emosi yang tidak menentu. Dari hal tersebut dapat mempengaruhi hubungan didalam kelompok sosialnya. Kecenderungan emosi yang masih labil, membuat hubungan remaja dalam kelompok ikut labil juga. Baik keinginan remaja yang masih berubah-ubah tidak menentu dan juga perasaan yang belum menentu pula. Karena apapun yang terjadi ketika remaja dalam kelompoknya akan berdampak langsung pada fisik dan psikologis serta sikap dan perilakunya di lingkungan sosialnya. Peningkatan kohesivitas kelompok ini diperlukan agar siswa dapat menjalin interaksi dengan baik di dalam kelompoknya. Diharapkan melalui peningkatan kohesivitas kelompok, remaja tidak melakukan perbuatan yang merugikan bagi dirinya dan orang lain.
3. Tugas Perkembangan Masa Remaja
Tugas perkembangan yang harus dilalui dalam masa remaja menurut Havighurst (Hurlock 1997: 10) yaitu:
(52)
36
a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.
f. Mempersiapkan karir ekonomi.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideology.
Perkembangan peran sosial juga dibutuhkan oleh remaja. Dimana remaja ingin dilihat mandiri oleh orang disekitarnya. Dengan kata lain remaja memiliki keinginan untuk mencari identitas diri. Hal tersebut senada dengan pendapat Rudi Mulyatiningsih, dkk. (2004: 7) yang mengatakan bahwa remaja dalam mencari identitas diri tersebut didorong oleh rasa ingin diakui orang lain dengan menonjolkan diri dalam kegiatan positif. Salah satu cara menonjolkan diri dalam hal positif adalah melalui pengembangan kemampuan yang dimiliki seperti kegiatan dalam organisasi dan juga sesuai dengan bakat yang dimiliki. Perkembangan peran sosial remaja banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar diri, seperti teman sebaya, media masa, dan media elektronik. Oleh sebab itu, perkembangan peran sosial remaja perlu mendapat pengawasan. Tanpa pengawasan, remaja dapat menonjolkan diri dalam hal yang negatif karena ingin dilihat oleh orang lain. Seperti, mabuk-mabukan, kebut-kebutan, dan sebagainya.
Dari pemaparan di atas, yang termasuk aspek perkembangan sosial remaja yaitu :
(53)
37
a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
c. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
D. Kerangka Berpikir
Remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dalam tahap perkembangan sosialnya, seorang remaja membutuhkan kondisi-kondisi yang dapat membuat dirinya mampu menyalurkan kebutuhan sosialnya. Dengan mengikuti organisasi sosial memberikan keuntungan bagi perkembangan sosial remaja. Banyak sekali organisasi yang ditawarkan disekolah, salah satunya yaitu Organisasi Siswa Intra Sekolah atau yang biasa disingkat OSIS.
Kenyataan di lapangan, tidak semua remaja mampu berinteraksi dengan baik antara teman sebayanya terutama di lingkungan sosial yang baru. Permasalahan itu antara lain siswa menutup diri dan malu untuk berbaur dengan temannya. Hal ini menyebabkan para siswa tidak saling mengenal, bersikap individualis dan kurangnya kebersamaan dalam kelompok. Komunikasi yang belum efektif, seringkali terjadi pada lingkungan yang baru. Ketidaknyamanan tersebut menyebabkan rendahnya minat berkumpul para anggota dan dapat menimbulkan berbagai kubu didalam kelompok. Hal tersebut juga mempengaruhi
(54)
38
kebanggaan anggota terhadap kelompoknya. Paparan permasalahan diatas, mengindikasikan bahwa kelompok memiliki kohesivitas kelompok yang rendah.
Kohesivitas kelompok merupakan kecenderungan anggota
kelompok untuk tetap membentuk ikatan sosial, sehingga para anggota tetap bertahan dan bersatu dalam kelompok. Kelompok yang kohesi memiliki ciri-ciri yaitu, anggota rajin menghadiri pertemuan kelompok, anggota senang jika kelompok berhasil dan sedih ketika kelompok gagal, anggota siap mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran untuk kepentingan kelompok, memiliki pemimpin yang demokratis, anggota mentaati dan menjaga norma dan nama baik kelompok, anggota saling berkomunikasi secara efektif
Ciri-ciri diatas tidak akan terwujud pada suatu kelompok yang kohesivitasnya rendah. Oleh karena itu diperlukan suatu cara yang mampu mengupayakan peningkatan kohesivitas kelompok. Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam peningkatan kohesivitas kelompok, salah satunya adalah menggunakan teknik role playing. Melalui role playing, siswa dilatih untuk lebih imajinatif dan kreatif agar siswa tidak lagi malu untuk mengungkapkan pendapatnya. Selain itu, dalam role playing siswa dapat melatih kerjasama, komunikasi antar anggota, saling menghargai baik menghargai diri sendiri dan orang lain, serta memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dalam kelompok.
(55)
39
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa role playing berpengaruh positif terhadap kohesivitas kelompok. Wujud dari pengaruh positif tersebut yaitu role playing mampu mempengaruhi kohesivitas kelompok menjadi lebih baik. Dari kohesivitas kelompok yang rendah menjadi kohesivitas kelompok yang tinggi.
E. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik Role Playing dapat meningkatkan kohesivitas anggota kelompok pengurus OSIS di SMP Negeri 3 Sambit Ponorogo.
(56)
40 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Suharsimi Arikunto (2010: 129) mendefinisikan pengertian tindakan kelas dengan menggabungkan batasan pengertian dari tiga kata yaitu penelitian, tindakan dan kelas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian tindakan kelas adalah suatu perencanaan terhadap kegiatan yang dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas.
Menurut Kemmis (Wina Sanjaya, 2011: 24), penelitian tindakan adalah suatu bentuk penelitian reflektif dan kolektif yang dilakukan oleh peneliti dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran praktik sosial mereka. Pendapat lain dikemukakan oleh Elliot (Wina Sanjaya, 2011: 25), penelitian tindakan adalah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan melalui proses diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan mempelajari pengaruh yang ditimbulkannya.
Berdasarkan beberapa definisi penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah suatu penelitian yang dilakukan didalam kelas dan memiliki serangkaian proses yaitu diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan mempelajari pengaruhnya. Kegiatan penelitian tindakan ditekankan pada upaya peningkatan
(57)
41
pemahaman teori maupun praktik sosial pada setiap individu atau subjek yang diteliti.
B. Subjek Penelitian
Subyek penelitian adalah subyek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti (Suharsimi Arikunto, 2010: 145). Subjek penelitian merupakan sesuatu yang mempunyai peran sangat penting dalam sebuah penelitian, karena data tentang variabel yang diteliti dan diamati oleh peneliti terdapat pada subjek tersebut.
Subjek dalam penelitian ini adalah pengurus OSIS SMP Negeri 3 Sambit, Kabupaten Ponorogo. Subjek penelitian diambil melalui purposive sampling yaitu pengambilan subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Suharsimi Arikunto, 2010: 117).
Kriteria yang akan dijadikan subjek dalam penelitian ini adalah pengurus OSIS SMP Negeri 3 Sambit yang memiliki skala kohesivitas kelompok masuk ke dalam kategori rendah dan sedang.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 3 Sambit yang terletak di Desa Wringinanom, Kecamatan Sambit, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
(58)
42 2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 17 September sampai dengan 31 Oktober 2015.
D. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian yang dikemukakan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc Taggart yang menggunakan siklus sistem spiral. Tiap siklus terdiri dari rencana, tindakan, observasi, dan refleksi (Dede Rahmat & Aip Badrujaman, 2012:12). Ada empat komponen penelitian yang terdapat pada model ini, yaitu:
1. Merumuskan masalah dan merencanakan tindakan. 2. Melaksanakan tindakan dan pengamata/monitoring. 3. Refleksi hasil pengamatan.
4. Perubahan/revisi perencanaan untuk pengembangan selanjutnya Adapun visualisasi bagan model penelitian yang disusun oleh Kemmis dan McTaggart adalah sebagai berikut :
(59)
43
Gambar 1 di atas terdiri dari siklus I dan II yang di dalamnya memuat perencanaan, perlakuan dan pengamatan yang dilakukan pada saat yang bersamaan dan diakhiri dengan refleksi. Refleksi dapat digunakan untuk melihat hasil sejauh mana tindakan yang diberikan berhasil. Jika hasil tindakan dirasa kurang, maka dilanjutkan pada siklus berikutnya. Penelitian ini dikatakan berhasil apabila terdapat hasil yang signifikan merujuk pada perubahan perilaku siswa yang menunjukkan adanya peningkatan kohesivitas kelompok.
Penelitian ini dilaksanakan secara kolaborasi antara peneliti dengan guru guru BK. Bentuk kerjasama dalam penelitian ini guru BK secara bersama-sama dengan peneliti sebagai pemberi tindakan.
E. Rencana Tindakan
1. Pra tindakan
Sebelum melakukan tindakan, peneliti terlebih dahulu melakukan beberapa langkah pra tindakan yang akan mendukung pelaksanaan tindakan agar dapat berjalan lancar sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Adapun langka-langkah dalam pra tindakan adalah sebagai berikut:
a. Peneliti mewawancarai dan mendiskusikan dengan guru BK terkait dengan permasalahan yang berkaitan dengan rendahnya kohesivitas kelompok pengurus OSIS SMP Negeri 3 Sambit seperti kurangnya kemampuan siswa untuk menjalin hubungan antar anggota, kurangnya minat anggota mengikuti jalannya rapat
(60)
44
dan mengemukakan pendapat serta sikap menghargai antar anggota yang menuju pada kohesivitas kelompok rendah sehingga dalam keanggotaan OSIS muncul berbagai kubu.
b. Peneliti melakukan observasi awal terhadap anggota OSIS SMP Negeri 3 Sambit dan melakukan wawancara dengan beberapa guru dan siswa.
c. Peneliti dan guru pembimbing berdiskusi mengenai tindakan yang akan diberikan kepada siswa.
d. Peneliti berdiskusi dengan guru BK mengenai teknik role playing, cara melakukan tindakan, dan peran yang dilakukan oleh guru BK dalam melakukan tindakan penelitian.
e. Peneliti menyusun skala kohesivitas berdasarkan aspek-aspek kohesivitas kelompok untuk diuji validitasnya dan reliabilitasnya. f. Peneliti memberikan tes sebelum tindakan (pre test), untuk
mengetahui tingkat kohesivitas anggota OSIS sebelum diberikan tindakan.
g. Peneliti mempersiapkan instrumen dan susunan teknik
pelaksanaan tindakan yang akan diberikan pada siswa untuk mendukung kelancaran tindakan penelitian.
2. Pemberian tindakan (Siklus)
a. Perencanaan
Sebelum melaksanakan tindakan, peneliti menyusun rencana tindakan sebagai berikut:
(61)
45
1) Peneliti menyiapkan skala pre-test untuk mengetahui tingkat kohesivitas kelompok pengurus OSIS SMP Negeri 3 Sambit. 2) Peneliti melakukan pre-test untuk mengetahui tingkat
Kohesivitas kelompok pengurus OSIS.
3) Peneliti memberitahukan hasil pre-test kepada guru pembimbing dan mendiskusikan rencana tindakan yang sesuai.
4) Peneliti menyusun jadwal pelaksanaan teknik role playing yang akan dilakukan. Pelaksanaan teknik ini akan melibatkan guru pembimbing dan pengurus OSIS.
5) Peneliti menyiapkan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan role playing.
b. Tindakan
Tindakan dalam penelitian ini menggunakan teknik role playing, sehingga para siswa dapat bekerjasama antar anggota dalam berperan serta meningkatkan keeratan atau kohesivitas dalam kepengurusan OSIS. Adapun langkah-langkah tindakan sebagai berikut:
1) Tindakan pertama
a) Peneliti memperkenalkan diri kepada pengurus OSIS agar terjalin suasana yang akrab.
b) Guru BK menjelaskan tujuan, materi dan peraturan dalam melakukan teknik role playing.
(62)
46
c) Peneliti bersama dengan guru BK memberikan materi pengantar mengenai pengertian kohesivitas kelompok, faktor yang mempengaruhi, dan manfaat kohesivitas kelompok.
d) Peneliti bersama pengurus OSIS dan guru membentuk kelompok untuk memainkan peran yang telah disiapkan oleh peneliti.
e) Peneliti dan guru BK memastikan kesiapan kelompok yang akan tampil mempraktikan role playing.
f) Pengurus OSIS pada kelompok pertama mepraktikkan role playing dengan tema “Kerjasama”, pengurus lain yang belum tampil atau berperan bertindak sebagai observer. g) Mendiskusikan tentang peran yang sudah dilakukan dengan
tema “Kerjasama” dengan semua pengurus OSIS, serta dilakukan sesi tanya jawab.
h) Guru BK membagikan naskah kepada kelompok
selanjutnya untuk dipelajari dan akan diperankan pada pertemuan selanjutnya.
i) Penutupan dengan melakukan diskusi tentang kesan dan manfaat dari kegiatan yang telah dilakukan.
(63)
47 2) Tindakan kedua
a) Pembukaan, dilakukan sedikit pemanasan dengan
membahas tindakan sebelumnya dan memastikan kesiapan pengurus OSIS untuk mengikuti kegiatan selanjutnya. b) Peneliti dan guru BK memastikan kesiapan kelompok yang
akan tampil mempraktikan role playing.
c) Pengurus OSIS pada kelompok kedua mepraktikkan role playing dengan tema “Menolong”, pengurus lain yang belum tampil atau berperan bertindak sebagai observer. d) Mendiskusikan tentang peran yang sudah dilakukan dengan
tema “Menolong” dengan semua pengurus OSIS, serta dilakukan sesi tanya jawab.
e) Guru BK membagikan naskah kepada kelompok
selanjutnya untuk dipelajari dan akan diperankan pada pertemuan selanjutnya.
f) Penutupan dengan melakukan diskusi tentang kesan dan manfaat dari kegiatan yang telah dilakukan.
3) Tindakan ketiga
a) Pembukaan, dilakukan sedikit pemanasan dengan
membahas tindakan sebelumnya dan memastikan kesiapan pengurus OSIS untuk mengikuti kegiatan selanjutnya. b) Peneliti dan guru BK memastikan kesiapan kelompok yang
(64)
48
c) Pengurus OSIS pada kelompok kedua mepraktikkan role playingdengan tema “Toleransi”, pengurus lain yang belum tampil atau berperan bertindak sebagai observer.
d) Mendiskusikan tentang peran yang sudah dilakukan dengan tema “Toleransi” dengan semua pengurus OSIS, serta dilakukan sesi tanya jawab.
e) Guru BK membagikan naskah kepada kelompok
selanjutnya untuk dipelajari dan akan diperankan pada pertemuan selanjutnya.
f) Penutupan dengan melakukan diskusi tentang kesan dan manfaat dari kegiatan yang telah dilakukan.
4) Tindakan keempat
a) Pembukaan, dilakukan sedikit pemanasan dengan
membahas tindakan sebelumnya dan memastikan kesiapan pengurus OSIS untuk mengikuti kegiatan selanjutnya. g) Peneliti dan guru BK memastikan kesiapan kelompok yang
akan tampil mempraktikan role playing.
h) Pengurus OSIS pada kelompok kedua mepraktikkan role playing dengan tema “Komitmen”, pengurus lain yang belum tampil atau berperan bertindak sebagai observer. i) Mendiskusikan tentang peran yang sudah dilakukan dengan
tema “Komitmen” dengan semua pengurus OSIS, serta dilakukan sesi tanya jawab.
(65)
49
j) Penutupan dengan melakukan diskusi tentang kesan dan manfaat dari kegiatan yang telah dilakukan.
Tindakan di atas dilaksanakan dengan alokasi waktu 30 menit tiap pertemuan. Apabila tindakan pada siklus I belum menunjukkan keberhasilan maka tindakan akan dilaksanakan pada siklus ke II dengan mengacu pada kekuatan dan kelemahan yang ada pada siklus I dan seterusnya
c. Observasi
Observasi dilakukan terhadap proses pemberian teknik role playing dengan menggunakan lembar observasi. Peneliti mencatat apa yang terjadi selama proses pemberian layanan pada setiap siklus agar memperoleh data yang lengkap sebagai bahan untuk memperbaiki layanan yang diberikan pada siklus berikutnya. Hal-hal yang diamati pada saat pelaksanaan tindakan adalah kepercayaan diri pengurus OSIS dalam memainkan peran dan menangapi permasalahan yang ada di dalam proses role playing, interaksi pengurus dengan pengurus lain serta kepada guru BK, kemampuan pengurus dalam mengungkap dan memilih alternatif-alternatif pemcahan masalah, dan keaktifan pengurus OSIS dalam mengikuti kegiatan dan diskusi serta memilih alternatif pilihan.
Selain pengamatan terhadap proses role playing, peneliti juga melakukan pengamatan terhadap hasil, antara lain keberhasilan pengurus dalam menjalin interaksi sosial dengan
(66)
50
pengurus lainnya, kemampuan pengurus OSIS dalam berempati dan menghargai teman, keberanian pengurus dalam berpendapat dan membuat keputusan dalam role playing, kemampuan pengurus dalam menjalin kerjasama, dan tanggung jawab atau komitmen pengurus dalam melaksanakan alternatif pemecahan masalah yang telah dibuat bersama.
Observasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kesesuaian pemberian tindakan dengan rancangan tindakan. Observasi juga dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan tindakan
dapat mempengaruhi kohesivitas kelompok seperti yang
diharapkan di setiap kegiatan, yaitu meningkatkan kohesivitas kelompok pengurus OSIS. Selanjutnya, hasil observasi akan diakumulasikan dalam laporan hasil penelitian.
d. Refleksi
Refleksi dilakukan setelah berbagai macam data terkumpul dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana teknik role playing dapat berasil mengatasi masalah dalam meningkatkan kohesivitas kelompok pengurus OSIS. Refleksi juga dilakukan untuk memahami proses dan kendala yang terjadi selama proses berlangsung. Peneliti menggunakan skala kohesivitas yang diberikan kepada pengurus OSIS pada akhir siklus (post test), yang bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan kohesivitas pada kepengurusan OSIS setelah diberi tindakan, selain itu hasil
(67)
51
wawancara dan observasi juga menjadi hal yang penting dalam mendukung penelitian.
Apabila siklus pertama sudah sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka penelitian tidak dilanjutkan pada siklus berikutnya atau diberhentikan. Namun jika siklus pertama belum sesuai dengan yang diharapkan, maka dilakukan siklus yang kedua. Refleksi dari tindakan pada siklus pertama akan digunakan sebagai evaluasi untuk melakukan revisi pada tindakan yang kedua dengan berdiskusi bersama guru BK dan tanggapan dari pengurus. Jika hasil dari siklus kedua telah sesuai dengan tujuan penelitian yang diharapkan, maka penelitian akan dihentikan.
F. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data
Suharsimi Arikunto (2010: 100) menyatakan teknik pengumpulan data adalah cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data menurut Sugiyono (2012: 224) dapat dilakukan dalam berbagai setting, sumber, dan berbagai cara. Dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya melalui observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya. Dalam penelitian ini, pengumpulan data meliputi skala kohesivitas (angket), observasi (pengamatan), dan interview (wawancara).
(68)
52
Instrumen penelitian menurut Suharsimi Arikunto (2006: 137) yaitu alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap, serta sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan ini adalah skala kohesivitas, pedoman observasi dan pedoman wawancara.
Menurut Sugiyono (2012: 149), titik tolak dari penyusunan instrumen adalah variabel-variabel penelitian yang ditetapkan untuk diteliti, dari variable-variabel tersebut diberikan definisi operasionalnya, dan selanjutnya ditentukan indikator yang akan diukur. Indikator ini kemudian dijabarkan menjadi butir-butir pertanyaan atau pernyataan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti melakukan
penyususnan instrumen untuk meningkatkan kohesivitas kelompok melalui teknik role playing pada pengurus OSIS SMP Negeri 3 Sambit sebagai berikut:
1. Skala Kohesivitas
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Pada skala Likert, responden diminta untuk menjawab suatu pertanyaan atas pernyataan dengan alternatif pilihan jawaban yang sudah disediakan.
Menurut Soehartono (Purwo Herlianto, 2013: 49) Skala Likert terdiri atas sejumlah pernyataan yang semuanya menunjukan sikap terhadap suatu objek tertentu atau menunjukkan ciri tertentu yang
(69)
53
akan diukur. Operasionalisasi variabel diterjemahkan melalui indikator pengembangan instrumen. Alat pengumpul data tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan dengan alternatif jawaban yang telah disediakan. Langkah-langkah untuk membuat angket kohesivitas adalah sebagai berikut:
a. Membuat definisi operasional
Kohesivitas kelompok merupakan kecenderungan
anggota kelompok untuk tetap berada didalam kelompok tersebut dengan membentuk ikatan sosial, sehingga para anggota tetap bertahan dan bersatu dalam kelompok untuk menuju suatu tujuan tertentu yang sudah disepakati.
b. Membuat kisi-kisi instrumen
Kisi-kisi penyusunan instrumen menunjukan kaitan antara variabel yang diteliti dengan sumber data dari mana data akan diambil (Suharsimi Arikunto, 2010: 205). Kisi-kisi instrumen dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kisi-kisi Instrument Skala Kohesivitas
Variabel Sub Variabel Indikator
Nomor Item ∑ (+) (-) Kohesivitas 1.Kerjasama a.Melakukan kegiatan
bersama pengurus lain demi tercapainya tujuan bersama. 1, 23, 45 12, 34 5
b.Bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan. 2, 24 13, 35, 46 5
c.Saling bertukar ide atau tenaga dengan teman lain. 3, 25 14, 36 4
(1)
147
Pak Heru : Kamu turunin layar satunya. Kalo kamu gak mau turun aja disini. Kamu liat gak bentar lagi ada badai..!!
Akhirnya pak Heru kehabisan kesabaran. Perdebatan antara pak Heru dengan Budi semakin meruncing. Ditambah lagi dengan adanya badai membuat pak Heru tambah panik. Mereka harus bekerjasama dalam menyeimbangkan perahu agar selamat sampai pantai.
(2)
148
MENOLONG TANPA PAMRIH
Tema : Menolong
Ide cerita : Dua siswi menolong seorang nenek yang tuli setelah pulang sekolah
Tokoh & watak :
Nenek : Tuli, mudah tersinggung Fitri : Gampang marah
Lina : Sabar
Di sebuah sekolah, ada dua orang sahabat yang sudah menjalin persahabatannya sejak sekolah dasar (SD). Mereka selalu bersama sampai kelas 3 SMP. Susah senang sudah mereka rasakan bersama-sama. Suatu ketika sepulang sekolah, mereka melihat nenek-nenek terjatuh di pinggir jalan dengan barang belanjaan yang berantakan. Mereka berdua berniat membantu nenek itu, ternyata nenek yang terjatuh itu memiliki pendengaran yang sudah berkurang.
Fitri : Lin, ayo pulang…
Lina : Bentar, lagi beres-beres ni… Fitri : Yaudah, aku tunggu diluar ya?
Lina : Iya…
Tak lama kemudian Lina keluar kelas
Lina : Dor, ayo pulang…melamun aja… Fitri : Woiii, ngagetin aja. Ayo pulang.. Lina : kamu lagi mikirin apa?
Fitri : Gak ada, cuma lagi liatin pak kebon bersih-bersih
Lina : Woo, orang bersih-bersih bukannya dibantuin malah diliatin aja.. Fitri : Ya kan mau pulang, ntar kalo bantuin dulu gak jadi pulang dong.. Lina : Hmmm, ada aja alasannya
Tiba-tiba ditengah jalan, mereka melihat nenek-nenek sedang terjatuh dengan barang bawaan yang cukup banyak.
Lina : Eh, itu ada orang jatuh. Ayo bantuin Fit.. (sambil menarik tangan Fitri)
(3)
149 Fitri : Iya sabar…
Lina : Nenek gak apa-apa? (bertanya pada nenek itu)
Nenek : (diam sambil mengumpulkan barang bawaan yang tercecer) Fitri : Wah Lin, nenek ini sepertinya gak mau dibantuin
Lina : Huss, mana ada orang dibantuin malah nolak Fitri : Coba aku yang nanya ya..
Nek, ada yang bisa kami bantu? Nenek : (masih diam)
Fitri : Nenek..!!! (Sambil teriak)
Nenek : Eh, iya dik ada apa? (sambil melihat kea rah Fitri dan Lina) Lina : Ada yang bisa kami bantu nek?
Nenek : (diam sambil liatin mereka berdua)
Fitri : Wah, bener-bener ni nenek.. (sudah emosi)
(4)
150
MENGHADIRI RAPAT Tema : Toleransi
Ide cerita : Salah satu anggota kelompok telat dalam menghadiri rapat karena ada urusan keluarga.
Tokoh & watak :
Bobi : Disiplin, keras Tomi : Baik, sabar Ridho : Penakut, lugu
Dalam suatu organisasi ekstrakurikuler, sedang berjalan rapat mingguan. Rapat dihadiri oleh semua anggota. Dalam rapat tersebut, ada seseorang yang datang terlambat dikarenakan ada urusan keluarga yaitu mengantar ibunya berobat ke dokter. Tetapi salah satu anggota tidak suka dan marah-marah kepada anggota yang telat itu.
Tomi : Untuk penggalangan dana ini lebih baik kita minta pendapat dari semua anggota aja…
Bobi : Ya sebenarnya keputusan dari ketua aja sudah cukup, kita tinggal ngikut aja gimana?
Tomi : Ya tidak bisa gitu, kita semua hadir pada rapat ini untuk apa kalo cuma diam dan ikut pendapat ketua. Apa gunanya musyawarah
ini…
Tiba-tiba Ridho masuk ruangan dengan tergesa-gesa
Ridho : Permisi, maaf telat… (dengan terengah-engah)
Bobi : Ini sudah jam berapa, bisa liat jadwal apa tidak..!! (melampiaskan marahnya kepada Ridho)
Ridho : Iya maaf, tadi ada urusan keluarga sebentar (dengan muka takut) Tomi : Sudah, mungkin urusan keluarganya sangat mendesak. Ini juga
baru mulai, belum masuk pada musyawarah semua anggota…
(5)
151
JANJI SEORANG ANAK Tema : Komitmen
Ide cerita : Seorang anak yang memiliki komitmen untuk membantu ibu mengurus keluarga setelah ayah meninggal.
Tokoh & watak : Ibu : Sabar Rini : Pemalas
Dwi : Adik Rini, suka mengadu ke ibu, cengeng
Di sebuah desa kecil, tinggal keluarga sederhana yang beranggotakan tiga orang yaitu ibu dan dua orang anaknya. Ayah mereka sudah meninggal sewaktu bertugas dimedan perang. Seorang kakak bernama Rini sudah berjanji kepada ayah untuk membantu ibu mengurus keluarga dan menjadi contoh buat adiknya. Pagi hari, Rini harus bangun pagi untuk membantu ibu.
Ibu : Rin, bangun sudah jam 5 lo…
Rini : Hmmm, masih ngantuk… (sambil menarik selimut)
Ibu : Nanti kalo udah bangun bantu ibu ya bangunin Dwi sama ajak adikmu menyapu halaman depan
Rini : Hmmm…
Tak lama kemudian, Dwi bangun dan pergi ke dapur
Ibu : Eh, adik sudah bangun…mana kakak mu?
Dwi : Gak tau buk, paling masih tidur…
Ibu : Yaudah kalo gitu, ayo sini Dwi. Bantu ibu masak ya…
Dwi : Iya buk…
Tak lama Rini bangun dan pergi mandi. Setelah itu Rini bersama adik berangkat sekolah.
Rini : Dwi, cepetan mandi. Kakak udah selesai ni, kalo gak mandi nanti kakak tinggal..
Dwi : Iya, ini mau mandi… Rini : Cepetan…
Ibu : Udah, jangan gitu sama adik kamu. Udah, sambil nunggu adik mu mending sarapan dulu. Sudah matang ni sarapannya…
(6)
152
Setelah sarapan, Rini dan Dwi berangkat sekolah bersama. Sepulang sekolah, Rini pulang untuk mengantar Dwi dan dia berangkat lagi ke sekolah untuk mengikuti ekstrakurikuler. Sepulangdari ekstrakurikuler Rini langsung mandi, makan, dan tidur. Rini seperti lupa akan komitmen dia selama ini. Setiap hari Rini bangun siang dan tidak membantu ibunya. Setelah sekian lama akhirnya ibu menegur Rini dan mengingatkan Rini akan komitmen yang dia ucapkan dimakam ayah untuk menjadi contoh yang baik buat Dwi.