Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
4
kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas rendah. Seperti yang dipaparkan Bimo Walgito 2007: 51 bahwa kelompok dengan kohesi
tinggi lebih produktif dari pada kelompok dengan kohesi rendah dalam mencapai tujuan kelompok. Kelompok yang kohesif akan mencoba
berbuat lebih baik daripada kelompok yang tidak kohesif. Menurut Cattel Bimo Walgito 2007: 51, kohesi menaikkan sinergi efektif pada
kelompok. Dengan naiknya sinergi efektif, kelompok dapat mencapai tujuannya dengan lebih efisien.
Dalam bidang pendidikan, kelompok itu penting untuk membantu siswa dalam proses belajar serta mengasah produktifitas kerja mereka
didalam kelompok-kelompok yang ada. Seperti, kelompok ektrakurikuler, kelompok belajar, OSIS, dan sebagainya. Kohesivitas kelompok perlu
diwujudkan dalam kelompok-kelompok tersebut agar mempermudah kinerja kelompok dan mengembangkan produktifitas kerja didalamnya.
Sebab pekerjaan didalam kelompok tentu tidak dapat dikerjakan secara maksimal apabila pekerjaan tersebut dikerjakan secara individu. Namun,
dalam membangun kohesivitas kelompok tersebut menemui beberapa kesulitan. Kesulitan tersebut bisa berupa kesulitan seorang remaja dalam
beradaptasi dengan orang-orang yang baru, norma atau aturan yang baru, sistem kerja kelompok yang baru serta gaya kepemimpinan yang
dimungkinkan berbeda dari kelompok sosial sebelumnya. Selain itu, kesulitan untuk membangun kohesivitas muncul dari pemimpin yang
kurang dipandang oleh anggotanya disebabkan rentang usia yang sama
5
antara anggota dengan pemimpin. Sehingga terkadang pemimpin dipandang sebelah mata.
Permasalahan diatas menyebabkan permasalahan yang baru pada diri siswa. Permasalahan yang timbul dapat berpengaruh terhadap
perkembangan sosialnya di masa mendatang. Seperti, siswa menutup diri dan malu berbaur dengan temannya sehingga para siswa lebih bersikap
individualis dan kurang memiliki rasa kebersamaan didalam kelompok. Komunikasi juga belum dapat terjalin dengan baik di lingkungan yang
baru, sehingga tujuan kelompok tidak dapat tercapai secara optimal. Hal tersebut menyebabkan para anggota merasa kurang nyaman berada
didalam kelompok, juga mempengaruhi rasa bangga individu terhadap kelompoknya semakin rendah. Dari permasalahan di atas dapat
disimpulkan bahwa kelompok memiliki tingkat kohesivitas kelompok yang rendah.
Kohesivitas kelompok ini perlu diwujudkan di lingkungan sekolah khususnya pada jenjang SMP. Pada jenjang SMP, seorang remaja
memiliki banyak kegiatan di sekolah maupun diluar sekolah. Remaja dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diikutinya. Kohesivitas
kelompok harus diwujudkan dalam berbagai ekstrakurikuler terutama di dalam pengurus OSIS. Sebab kebanyakan pengurus OSIS tidak
menginginkan jabatannya sebagai pengurus OSIS. Pengurus OSIS yang tidak menginginkan jabatan sebagai pengurus adalah siswa yang ditunjuk
sebagai perwakilan dari kelas, sehingga siswa yang menjadi perwakilan
6
kelas tersebut merasa terpaksa untuk menjalani jabatan sebagai pengurus OSIS.
Pengurus yang merasa terpaksa, menyebabkan banyak dari pengurus merasa tidak nyaman dan bahkan beberapa dari mereka ingin
mengundurkan diri. Ditambah lagi dengan pengurus yang merasa senior atau siswa yang sudah kelas 9, mereka merasa sudah lama sehingga
terkadang sikap mereka seperti pemimpin yang berkuasa dan efek yang ditimbulkan adalah kerenggangan suatu hubungan antar anggota serta
pemimpin yang tidak dianggap lagi sebagai pemimpin. Pemimpin hanya dijadikan sebagai simbol saja. Lebih sering lagi dalam pengurus OSIS itu
cenderung berkubu-kubu. Kelas 7 bergerombol dengan kelas 7 dan mereka lebih pendiam, kelas 8 juga dengan kelas 8 dan kadang memerintah kelas
7, dan kelas 9 terkadang lebih memimpin dan melupakan tugas seorang ketua OSIS. Hal tersebut yang membuat seorang remaja tidak betah dalam
suatu organisasi dan ingin meninggalkan kelompok tersebut. Hal tersebut merupakan kelompok yang tidak kohesif.
Idealnya, suatu organisasi itu harus memiliki kerjasama, saling membantu, sikap solid, saling menghargai, tanggung jawab, dan juga sikap
saling menyayangi antar anggota harus dapat tercipta didalam suatu kelompok tersebut. Organisasi yang kohesif, dapat menghasilkan kinerja
yang produktif dibandingkan kelompok yang tidak kohesif. Namun kejadian yang sering terjadi dilapangan, dalam kepengurusan OSIS di
berbagai sekolah masih menunjukkan ciri-ciri kelompok yang kurang
7
kohesif. Bahkan di SMP Negeri 3 Sambit, Ponorogo juga terdapat siswa yang menjadi pengurus OSIS namun tidak menginginkan sepenuhnya
jabatan tersebut. Hal ini diperkuat dari hasil observasi dan wawancara awal yang
dilakukan terhadap pengurus OSIS, kepala sekolah dan pembina OSIS pada tanggal 18 April 2015. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara
yang dilakukan, dapat dilihat penggunaan ruang OSIS kurang berjalan efektif. Terlihat dari tidak adanya pengurus di ruang OSIS saat istirahat
dan kecenderungan pengurus untuk datang ke ruang OSIS hanya pada saat rapat saja. Kehadiran yang kurang didukung oleh jadwal pertemuan rutin
anggota OSIS. OSIS memiliki jadwal pertemuan rutin setiap hari jumat pukul 07.00-07.30 wib. Seharusnya dengan jadwal pertemuan rutin setiap
minggu sekali dapat sedikit demi sedikit meningkatkan kohesivitas kelompok. Namun hal tersebut kurang dimanfaatkan anggota OSIS untuk
menjalin keeratan. Terdapat sebagian pengurus tidak menghadiri pertemuan dan hanya duduk didepan ruangan bahkan ada yang ke kantin.
Pertemuan rutin ini dihadiri semua anggota OSIS jika Pembina OSIS ikut hadir dalam pertemuan.
Hal tersebut diperkuat dari hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa pengurus OSIS. Pengurus OSIS tersebut mengungkapkan bahwa
jika tidak ada program atau kegiatan yang akan dilakukan, pengurus OSIS cenderung malas untuk datang atau sekedar mengurus ruang OSIS.
Apabila ada jadwal pertemuan rutin, ada anggota yang pergi ke kantin dari
8
pada menghadiri pertemuan. Berdasarkan pengakuan pengurus OSIS juga menyebutkan bahwa pertemuan rutin dihadiri semua anggota jika Pembina
OSIS ikut masuk dan memimpin acara. Selain itu kepengurusan OSIS tersebut terdapat siswa kelas 9 yang belum habis masa jabatannya, siswa
kelas 9 tersebut terkadang tidak menghargai jabatan yang disandang oleh siswa kelas 8. Sebab mereka merasa labih senior atau lebih lama didalam
OSIS. Hal tersebut dapat diinterpretasikan secara menyeluruh bahwa pengusus OSIS di SMP Negeri 3 Sambit Ponorogo belum memiliki
kohesivitas kelompok yang tinggi. Oleh karena itu, perlu adanya kohesivitas yang baik agar kelompok
tetap kompak dan menjadi lebih produktif dalam menghasilkan program- program kerja yang bermanfaat. Untuk itu diperlukan suatu upaya khusus
untuk meningkatkan kohesivitas kelompok pengurus OSIS di SMP Negeri 3 Sambit, Ponorogo. Dalam perkembangan remaja dengan kelompoknya,
terdapat beberapa metode untuk meningkatkan kohesivitas kelompok. Cara yang paling efektif adalah dengan membentuk hubungan yang
kooperatif antar anggota kelompok. Dalam membangun suatu hubungan yang baik, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang
dapat dilakukan dengan cara bermain peran role playing. Role Playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak
yang didalamnya ada tujuan, aturan, dan edutainment Fogg dalam Miftahul Huda, 2013: 208. Dalam Role Playing, siswa dikondisikan pada
situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di
9
dalam kelas. Menurut Miftahul Huda 2013: 209, Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan
imajinasi dan penghayatan siswa. Pada Role Playing, titik tekannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indra ke dalam suatu
situasi permasalahan yang secara nyata dihadapi. Sedangkan menurut Fannie dan George Shaftel Bruce Joyce, dkk, 2009: 328 mengatakan
bahwa dalam Role Playing siswa mengeksplorasi masalah-masalah tentang hubungan antar manusia dengan cara memainkan peran dalam situasi
permasalahan kemudian mendiskusikan peraturan-peraturan. Secara bersama-sama, siswa bisa mengungkapkan perasaan, tingkah laku, nilai,
dan strategi pemecahan masalah. Melalui role playing, siswa dapat mengungkapkan perasaan dan dapat menjalin komunikasi serta kerjasama
yang baik antar anggota yang akan berakibat pada meningkatnya kohesivitas kelompok tersebut.
Pemilihan teknik role playing didasarkan pada kegiatannya yang berpengaruh positif terhadap kohesivitas suatu kelompok. Serangkaian
kegiatan dalam role playing menurut Bruce Joyce, dkk 2009: 329 adalah menguraikan sebuah masalah, memeragakan, dan mendiskusikan masalah
tersebut, sehingga permasalahan yang dialami anggota kelompok dapat diangkat menjadi bahan dalam pelaksanaan Role Playing dan diperagakan
kemudian didiskusikan secara bersama-sama. Keunggulan yang diperoleh siswa dalam role playing Miftahul
Huda, 2013: 210 adalah: 1 dapat memberi kesan pembelajaran yang kuat
10
dan tahan lama dalam ingatan siswa; 2 bisa menjadi pengalaman belajar menyenangkan yang sulit untuk dilupakan; 3 membuat suasana kelas
menjadi lebih dinamis dan antusiastis; 4 membangkitkan gairah dan semangat optimism dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa
kebersamaan; dan 5 memungkinkan siswa untuk terjun langsung memerankan sesuatu yang akan dibahas dalam proses belajar. Berdasarkan
keunggulan diatas, kohesivitas kelompok dapat ditingkatkan melalui role playing. Sebab role playing dapat membangkitkan gairah dan semangat
optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan. Melalui role playing, diharapkan komunikasi antar pengurus dapat terjaga
dengan baik serta keakraban antar pengurus dapat lebih ditingkatkan. Apabila kohesivitas kelompok meningkat setelah dipengaruhi, maka
produktifitas kerja kelompok tersebut akan meningkat pula. Penggunaan teknik role playing ini telah terbukti efektif
sebelumnya pada penelitian yang dilakukan oleh Rita Hermawati 2012: 147
yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar dengan Metode Role Playing pada Mata Diklat Pelayanan Prima Kelas X Busana B di SMK
Ma’arif 2 Sleman”. Penelitian ini menghasilkan peningkatan pada setiap siklus pada materi bekerja dalam satu tim. Hal ini dapat dibuktikan dengan
peningkatan pencapaian kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan yaitu 70, dari 39 siswa pencapaian hasil belajar pada pra siklus 43,6 siswa
atau 17 siswa sudah memenuhi kriteria ketuntasan minimal, dan pada siklus pertama setelah dikenai tindakan melalui metode role playing
11
pencapaian hasil belajar kognitif siswa meningkat menjadi 79,5 siswa atau 31 siswa sudah memenuhi kriteria ketuntasan minimal dan pada
siklus kedua pencapaian hasil belajar kognitif siswa meningkat lagi menjadi 100 atau seluruh siswa sudah memenuhi kriteria ketuntasan
minimal. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan teknik role playing yang menekankan pada pencapaian tugas kelompok yang diharapkan dapat
berpengaruh terhadap tingkat kohesivitas kelompok pengurus OSIS SMP Negeri 3 Sambit. Selain itu aspek yang akan dijadikan sebagai bahan
pembuatan skala, pedoman wawancara dan observasi berbeda dengan penelitian sebelumnya. Adapun aspek yang dimaksud adalah kerjasama,
menolong, toleransi, dan berkomitmen. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan,
maka peneliti menganggap bahwa fenomena ini sangat perlu dikaji secara ilmiah dengan melak
ukan penelitian tentang “Upaya Meningkatkan Kohesivitas Kelompok Pengurus OSIS Melalui Teknik Role Playing Di
SMP Negeri 3 Sambit ”.