PT. CGN bisa membeli, bisa menguasai dan bisa memiliki asset kredit PT. Tahta Medan menjadi semakin kaya h.222 alinea ke- alinea ke-5.
o bahwa kemudian dengan dicairkannya Kredit Bridging Loan pada
tanggal 28 dan 29 oktober 2002 yang total nilainya Rp. 160 milyar, maka PT. CGN bisa membeli, bisa menguasai dan bisa memiliki asset
kredit PT. Tahta Medan menjadi semakin kaya ; h.222 alinea ke-5
Pertimbangan hakim dengan menyatakan bahwa perubahan PT. CGN belum kaya sebelum modalnya bertambah Rp. 160 milyar karena
ketidakmampuan membeli aser PT Tahta Medan sudah sesuai dengan fakta hukum yang ada dalam putusan tersebut.
Dalam pertimbangannya majelis mengatakan bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka unsur memperkaya orang lain telah terpenuhi.
Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka unsur memperkaya orang lain telah terpenuhi ; h.224 alinea ke-1.
e. Pertimbangan majelis hakim tentang unsur ”dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara ”
Disini, majelis hakim memulai pertimbangan terhadap elemen tindak pidana korupsi yang keempat dengan mengutarakan pentingnya posisi dari kata
”dapat” dalam pasal 2 ayat 1 tersebut h.224 alinea ke-3. Hakim menjelaskan bahwa pada dasarnya kata ”dapat” yang dalam bagian dari delik formil bertujuan
untuk memudahkan Jaksa dalam penuntutan h.224 alinea ke-4. Karena menurut Andi Hamzah seperti yang dikutip majelis, Sehingga Jaksa tidak perlu
membuktikan apakah kerugian itu betul-betul terjadi atau tidak h.225 alinea ke- 1.
Penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan oeh majelis cukup tepat dengan mengemukakan bahwa delik formilnya tindak pidana korupsi
sesungguhnya memudahkan Jaksa untuk menuntut pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi karena Jaksa hanya cukup membuktikan terpenuhinya unsur
pasal yang didakwakan. Dalam delik materil Jaksa harus membuktikan keberadaan akibat dari perbuatan-perbuatan terdakwa.
123
Tentang delik ini, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kata ”dapat” yang dicantumkan didepan unsur
merugikan keuangan negara pada pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, merubah delik ini menjadi ”delik formil”.
124
Kata dapat maksudnya adalah bahwa kata ”dapat” sebelum kata ”kerugian negara” di pasal tersebut dimaknai dengan arti potensial lost, sesuatu yang
berpotensi merugikan negara karena bukti-bukti diawal yang menyatakan bahwa unsur sebelumnya terbukti. Dengan kelalaian, proses penyelesaian peminjaman
yang hanya memakan waktu satu hari, modal pemohon hanya Rp. 600 juta sedangkan peminjaman Rp. 160 milyar, persyaratan permohonan bridging loan,
tidak dilakukannya pengikatan agunan dari PT. CGN
125
.. Majelis melakukan hal yang tidak termasuk kedalam ranah kompetensinya
yaitu menguji pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 dengan mengatakan bahwa ”sudah saatnya kata ”dapat” dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang baru di
hapuskan” dengan alasan bahwa bukan merupakan hal yang sulit dalam melakukan pembuktian kata ”kerugian negara” h.225 alinea ke-2.
123
Delik materil dalam KUHP seperti pasal 338 tentang pembunuhan yaitu : “barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sedangkan delik formil seperti pasal 362 tentang pencurian yaitu : “barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah”.
124
Barda Bawawi Arief, “Masalah Penegakkan Hukum Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
”, Jakarta, Citra Aditya Bakti, 2001 Cet ke-1, h. 149
125
Garnasih, Benang Kusut Peradilan h. 99-101
Majelis kemudian mengatakan bahwa delik korupsi adalah delik yang sudah selesai dan tidak akan hapus seketika terdakwa mengembalikan uang
kepada negara h.225 alinea ke-3. Majelis merasa tidak menemukan artian spesifik dari kata “kerugian negara” dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian mencari artian definitif kata tersebut pada Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dimana pasal 1 butir 22 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kekurangan uang surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai ; h.225 alinea ke-4. Dan penegasan Majelis bahwa kerugian negara harus nyata-
nyata terjadi. Saksi ahli Rudy Prasetya menyatakan bahwa pemegang saham baru
dikatakan rugi jika dilakukan likwidasi dengan catatan perusahaan tidak bisa mengembalikan penyertaan h.227 alinea ke-3. Sedangkan menurut saksi ahli,
K.C Komala dalam praktek perbankan suatu transaksi kredit baru dapat dihitung kerugiannya apabila kredit itu telah jatuh tempo akan tetapi fasilitas kredit tidak
dapat dilunasi seluruhnya ; h.227 alinea ke-4 Saksi ahli Muhammad Yusuf, dipersidangan menerangkan bahwa saat
terjadinya kerugian negara apabila tidak memenuhi standart operating procedure itu dikucurkan atau dicairkan, sedangkan apabila kemudian terjadi pembayaran
maka hal itu adalah merupakan tindak lanjut dari pembayaran atas kerugian negara. Kemudian bila dalam laporan keuangan Bank Mandiri tidak ada laporan
kerugian maka berarti juga tidak ada kerugian yang dialami oleh negara h.228 alinea ke-4,5.
Kemudian majelis dalam pertimbangan akhirnya menyatakan bahwa dalam pemeriksaan dalam persidangan, berdasarkan keterangan saksi-saksi dan
ahli serta bukti-bukti yang diajukan, maka menurut pendapat majelis hakim bahwa kredit tersebut masih berjalan yang jatuh temponya nanti September 2007. Juga
diperoleh fakta hukum bahwa PT. CGN PT. Tahta Medan si debitor masih melaksanakan kewajiban yaitu berdasarkan bukti yang diajukan, sampai dengan
desember 2005, PT CGN PT Tahta Medan sudah membayar bunga dan pokok pinjaman sebesar Rp. 58 milyar, juga dari keterangan saksi dan ahli seperti terurai
diatas, menurut pendapat majelis hakim, tidak terbukti adanya kerugian Negara c.q Bank Mandiri ; h.229 alinea ke-3
Sedangkan kesimpulan Majelis menyatakan bahwa oleh karena salah satu unsur dalam pasal 2 ayat 1 nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang diuraikan
dalam dakwaan primer oleh Jaksa Penuntut Umum tidak terpenuhi maka dakwaan tersebut harus dinyatakan tidak terbukti h.229 alinea ke-4. Menimbang bahwa
oleh karena dakwaan primer tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer tersebut h.230 alinea ke-1.
Menimbang bahwa oleh karena salam satu unsur dalam pasal 2 ayat 1 nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan primer oleh
jaksa penuntut umum tidak terpenuhi maka dakwaan tersebut harus dinyatakan tidak terbukti ; h.229 alinea ke-4
Pertimbangan Majelis pada unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” pada dakwaan primer diterapkan pada dakwaan subsidair,
lebih subsidair, lebih subsidair lagi sehingga otomatis semua dakwaan tersebut patah. Tidak terpenuhinya dakwaan subsidair h.231 alinea ke-2, lebih subsidair
h.233, alinea ke-2, lebih subsidair lagi h.233, alinea ke-3 memnyebabkan hakim mengeluarkan putusan sebagai berikut :
Mengadili
1. Menyatakan bahwa para terdakwa
- EDWARD CORNELIS WILLIAM NELOE, tersebut ;
- I WAYAN PUGEG, tersebut ;
- M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM, tersebut ;
Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan kepada mereka.
2. Membebaskan para terdakwa tersebut dari seluruh dakwaan
tersebut ; 3.
Memerintahkan agar para terdakwa dibebaskan dari tahanan negara ;
4. Mengembalikan hak-hak para terdakwa dalam kedudukan,
kemampuan, harkat dan martabatnya ; 5.
Memerintahkan barang bukuti berupa dokumen yang tercantum dalam daftar barang bukti no. Urut 1 sampai dengan 140 h. 235-
255 tetap dilampirkan dalam berkas perkara dikembalikan kepada terdakwa ;
6. Membebankan kepada msing-masing terdakwa untuk membayar
biaya perkara ini sebesar rp. 7500.00 ; Penulis akan memberikan beberapa sanggahan atas pertimbangan unsur
“dapat merugikan keuangan negara” untuk memudahkan pisau analisa terhadap unsur “pertanggungjawaban pidana korprasi”.
Kemudian, penulis mencoba mengungkapkan apakah kemudian ada kemungkinan konsep strict liability dan vicarious liability dapat diterapkan dalam
kasus tindak pidana korupsi I.C.W Neloe dkk. Terlebih dengan dinyatakan mereka
“tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana
“ sebagaimana dengan dakwaan. Penulis melihat bahwa putusan Majelis Hakim telah salah menerapkan
hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya dan kemungkinan keluarnya putusan lain menurut penulis cukup terbuka. Hal itu dikarenakan
beberapa pertimbangan yang digunakan hakim tidak dalam jalurnya, antara lain : 1.
Tidak konsistennya Majelis Hakim menerapkan ketentuan tindak pidana yang didakwakan, karena Majelis Hakim dalam membuktikan unsur barang siapa
dan unsur yang dengan melawan hukum serta unsur memperkaya orang lain atau korporasi, didasarkan pada ketentuan pidana yaitu Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, Namun pada saat membuktikan unsur “dapat merugikan keuangan negara Majelis Hakim mendasarkan pada ketentuan
Hukum Administrasi Negara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Hukum Perdata Perjanjian Kredit.
2. Bahwa Majelis Hakim keliru menafsirkan konotasi kata “dapat sebagaimana
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 secara analogi, karena Majelis Hakim menafsirkan bahwa pengertian kata dapat adalah “suatu hal dapat
merugikan dan suatu hal dapat tidak merugikan”, putusan hal 224 alinea 3 sehingga Majelis Hakim telah menafsirkan kata dapat bertentangan dengan
penjelasan resmi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ; yaitu bahwa rumusan delik ini adalah delik formil, artinya seperti apa yang dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 menjelaskan : Dalam ketentuan ini kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana delict korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat ;
3. Bahwa Majelis Hakim telah menafsirkan arti kata dapat dalam suatu yang
belum pernah terjadi dan ada secara nyata, karena Majelis Hakim menginginkan dalam ketentuan baru nantinya kala dapat sudah saatnya
dihapuskan, sehingga dengan demikian Majelis Hakim telah menafsirkan ketentuan dalam Undang-Undang yang belum ada, yang artinya penafsiran
keliru dari Majelis Hakim hanya merupakan wacana. 4.
Bahwa kekeliruan Majelis Hakim dalam menafsirkan unsur tindak pidana yaitu unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
terjadi dikarenakan Majelis Hakim telah mempertimbangkan hal-hal yang tidak didakwakan, karena baik dalam Dakwaan Primair, Dakwaan Subsidair,
Dakwaan lebih Subsidair, serta Dakwaan lebih Subsidair lagi, Penuntut Umum tidak ada mendakwakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2004 ataupun meng-junctokannya dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 atau menjunctokannya dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. 5.
Bahwa adanya pemutarbalikan fakta keterangan ahli Prof. DR. Rudy Prasetya, dimana di dalam pertimbangan Majelis Hakim halaman 227 paragraf 1
dikatakan : Menimbang bahwa menurut Ahli Hukum Korporasi yaitu Prof. DR. Rudy Prasetya mengatakan bahwa pemegang saham baru dapat
dikatakan menderita rugi apabila setelah dilakukan likuidasi perusahaan dan hasil likuidasi tersebut tidak bisa mengembalikan penyertaan yang
ditanamkan dalam PT tersebut, sementara dalam fakta persidangan berupa
keterangan ahli Prof. DR. Rudy Prasetya yang dituangkan dalam putusan halaman 186 sd 189 sebanyak 22 dua puluh dua fakta, tidak ada terungkap
fakta sebagaimana dipertimbangan Majelis Hakim pada putusan halaman 227 paragraf 1 tersebuf di atas ;
6. Bahwa adanya pemutarbalikan fakta keterangan ahli K.C. Komala oleh
Majelis Hakim, sebagaimana dalam pertimbangan Majelis Hakim halaman 227 paragraf 2 dikatakan Menimbang bahwa ahli KC. Kamala, ahli
perbankan mengatakan bahwa dalam praktek perbankan suatu transaksi kredit baru dapat dihitung kerugiannya apabila kredit itu telah jatuh tempo
akan tetapi fasilitas kredit tidak bisa dilunasi seluruhnya, sementara dalam
fakta persidangan berupa keterangan ahli tersebut sebagaimana dituangkan dalam putusan halaman 193 sd halaman 195, tidak satupun fakta keterangan
ahli tersebut yang menerangkan sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim, sehingga dasar pertimbangan Majelis Hakim bukan atas fakta yang terungkap
di persidangan ; 7.
Bahwa Majelis Hakim dalam putusan tidak menerapkan hukum pembuktian sebagaimana mestinya yaitu dalam menentukan unsur dapat merugikan
keuangan negara, telah tidak menerapkan alat-alat pembuktian yang diperoleh di persidangan secara obyektif dan komprehensif yaitu keterangan
ahli, karena : Majelis Hakim telah memanipulasi keterangan ahli dari BPKP ahli Mohamad Yusuf, Ak yang mengatakan dalam putusan halaman 228
alinea 5 yaitu : Menimbang, bahwa menurut keterangan ahli dari BPKP yakni Muhamad Yusuf, AK dalam persidangan juga telah menerangkan bahwa
apabila dalam laporan keuangan Bank Mandiri yang disahkan dalam RUPS
ternyata tidak ada kerugian yang dialami oleh Bank Mandiri, maka berarti juga tidak ada kerugian yang dialami oleh Negara
; padahal ada keterangan Mohamad Yusuf, Ak yang menyatakan bahwa kerugian Negara sudah timbul
sejak diterbitkannya kredit yang tidak sesuai atau menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam Standar Operating Prosedure
hal. 185 alinea 3 dan yang menyatakan bahwa dengan dikucurkannya kredit PT. Bank Mandiri kepada
PT. CGN dimana agunan belum diikat maka sejak saat itulah Negara telah rugi sebesar kredit yang dukucurkan yakni 18,5 juta US Dollar.
hal. 185 alinea 5. dengan demikian jelas terdakwa bersalah.
8. Bahwa keterangan ahli tersebut telah dipertimbangkan Majelis Hakim
sepotong-potong dan tidak secara utuh, karena menurut ahli apabila dalam RUPS Bank Mandiri mengalami keuntungan, hal tersebut adalah merupakan
keuntungan dari seluruh transaksi umum secara satu periodik satu tahunan, Sedangkan kerugian yang timbul dalam kasus ini adalah kerugian khusus atas
pemberian fasilitas kredit sebesar USD 18,500,000 yang menyimpang dari Standart Operating Procedure
antara lain tidak dilakukannya pengikatan jaminan pada saat pencairan Standart Operating Procedure yang berlaku pada
Bank Mandiri;
2. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi