Perbuatan Pidana, Actus Reus

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

KORPORASI

A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Unsur pertanggungjawaban pidana korporasi meliputi pertama adalah adanya perbuatan, kedua adanya pertanggungjawaban pidana, ketiga terpenuhi unsur kesalahan korporasi.

1. Perbuatan Pidana, Actus Reus

Perbuatan manusia dalam arti luas dapat diartikan mengenai apa yang dilakukan apa yang diucapkan act, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu kejadian omission atau perbuatan negatif. 12 Van Hamel menyebutkan bahwa ”tidak melakukan sesuatu” itu pada umumnya tidak bertentangan dengan hukum, akan tetapi perilaku semacam itu akan bersifat melanggar hukum apabila ada suatu ”kewajiban hukum yang bersifat khusus ”. 13 Larangan itu ditujukan kepada perbuatan, yaitu pada keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan perbuatan itu. 14 12 Leden Marpaung, Asas Teori Dan Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2006 Cet. ke-3 h.31 13 Ibid., h.31 14 Contoh act adalah pasal 362 KUHP yang rumusannya antara lain: ”barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain....”, sedangkan contoh omission adalah pasal 164, 165,166 KUHP yaitu tentang kewajiban lapor jika ada kemungkinan terjadinya tindak kejahatan. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2002 Cet ke-7 h. 54 Perbuatan pidana dinyatakan sebagai yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan tata pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. 15 Namun tidak semua semua perbuatan yang merugikan masyarakat diberi sanksi. Begitu pula, kita tidak dapat menyebutkankan bahwa hanya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian besar saja yang dapat dijadikan perbuatan pidana. 16 Hukum pidana tak melarang adanya orang mati tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. 17 maka beraku postulat ”Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang pun tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”. 18 Istilah ”perbuatan pidana” itu kerap disamakan dengan istilah dalam Belanda ”strafbaar feit”, padahal arti keduanya dalam term hukum pidana adalah berbeda. Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Van Hammel merumuskan sebagai berikut : strafbaar feit adalah kelakuan orang menselijke gedraging yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana strafwaardig dan dilakukan dengan kesalahan. Simons berkata bahwa strafbaar feit itu sendiri terdiri atas handeling dan gevolg kelakuan dan akibat. Adapun mengenai yang kedua hal itu berbeda sekali dengan ”perbuatan pidana” sebab disini tidak dihubungkan dengan kesalahan 15 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana –Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana -, Jakarta, Aksara Baru, 1983, h. 13 atau Lihat: Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana , Pidato dies natalies Universitas Gajah Mada tahun 1955, h. 9 16 Saleh Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, h. 13 17 Moeljatno, Asas-Asas Hukum, h. 54 18 Ibid., h. 54 yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana. 19 Dalam konteks perbuatan pidana J.M. Van Bemmelen mengatakan bahwa yang pada umumnya harus dipandang sebagai suatu kejahatan adalah segala sesuatu yang merusak dan tidak susila. 20 Friedman menyatakan bahwa perubahan nilai menyebabkan sejumlah perbuatan yang tadinya merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak dituntut pidana berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana. 21 Dalam hukum pidana yang juga menjadi perhatian adalah sifat melawan hukum. Sifat melawan hukum dipandang ada dua : pertama, sifat melawan hukum formil yaitu sifat melawan hukum yang mencocoki sifat kekeliruan atau ketidaksusilaan dengan undang-undang. Kedua, sifat melawan hukum materil yaitu pendapat yang menyatakan bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki dengan undang-undang bersifat melawan hukum. 22 Ada 5 elemen penyusun perbuatan pidana, yaitu : pertama adalah kelakuan dan akibat, kedua adalah hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai 19 Ibid., h. 56-57. Tentang kelakuan, Moeljatno sependapat dengan apa yang dikatakan Vos yaitu bahwa hanya sikap jasmani yang disadari sajalah yang masuk kualifikasi perbuatan pidana. 1. Sikap jasmani yang orangnya sama sekali pasif yaitu tidak dikehendaki olehnya karena dipaksakan orang lain, tidak dimasukkan kedalam makna kelakuan. 2. Gerakan refleks juga tidak dapat dinamakan kelakuan. 3. Sikap jasmani yang diadakan dalam keadaan tidak sadar juga tidak dapat dinamakan kelakuan. 20 Rantawan Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2006 cet. ke-1 h. 21 Rusli effendi, A.Z. Abidin Farid, Barny C.M., Masalah Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi Dalam Rangka Pembahasan Hukum Pidana , Dalam BPHN-DepKeh, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional , Bandung, Bina Cipta, 1986, h. 65. 22 Moeljatno, Asas-Asas Hukum, h. 133-134 perbuatan. Dimana menurut Van Hammel dibagi dua golongan yaitu : mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan mengenai diluar diri si pembuat. Ketiga adalah keadaan tambahan yang disebut dengan unsur-unsur yang memberatkan. Misal pasal 351 ayat 2 dan 3 KUHP tentang penganiayaan dengan pemberatan. Keempat adalah adanya perbuatan yang tertentu dirumuskan seperti dirumuskan maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah nampak dengan wajar. 23 Ini yang kemudian dinamakan dengan sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri. Misal padal 285 tentang pemerkosaan. Dan yang kelima adalah sifat melawan hukum subjektif.

2. Kesalahan ; Mens Rea