c. Diberikannya hak Petisi kepada DPRD untuk membela kepentingan
daerah dan masyarakat di hadapan pemerintah pusat untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah atasan pasal 55.
2. Otonomi Daerah di Era Orde Baru
Periode orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berjalan cukup panjang selama 32 tahun sejak tahun 1966 hingga 1998. Pada era ini
ditetapkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dan terus bertahan hingga jatuhnya rezim orde baru melalui
reformasi di Indonesia. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah berjalan dengan dimensi yang amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual, selama penerapan Undang-Undang
tersebut diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Sebagai Undang-Undang produk orde baru yang pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi, dimensi perundangan ini tidak bisa lepas
dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu stabilitas yang semakin mantap, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya, sebagaimana tertuang di dalam penjelasan umum angka 1 huruf i “Tujuan pemberian otonomi kepada
Universitas Sumatera Utara
daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan
pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa”.
Menurut J. Kaloh: Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah
pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang ciri-cirinya meliputi:
a.
Konsentrasi kekuasaan terletak di lembaga eksekutif Kepala Daerah. b.
Dihapusnya lembaga BPH Badan Pelaksana Harian sebagai perwakilan parpol di dalam Pemerintahan Daerah.
c. Tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu
keutuhan Kepala Daerah. d.
Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden.
e. Kepala Daerah hanya memberi keterangan kepada DPRD tentang
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan sekali dalam setahun.
56
Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dianut dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 bertitik tolak pada 3 tiga prinsip dasar, yaitu
desentralisasi berupa penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah tangganya,
Dekonsentrasi berupa pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah, dan
tugas pembantuan medebewind berupa penyerahan tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah
oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
56
J. Kaloh, op.cit, hlm.23
Universitas Sumatera Utara
mempertanggung jawabkan kepada yang memberi tugas Pasal 1 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1974.
Ketiga prinsip dasar tersebut pada dasarnya mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah dalam bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan
yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik keseimbangan balance power sharing. Pada masa itu muncul istilah “Pusat adalah pusatnya daerah dan daerah
adalah daerahnya pusat”. Ini berarti bahwa antara Pusat dan Daerah saling komplementer, saling memerlukan, dan bukan dalam posisi saling berhadapan.
57
Dalam pelaksanaannya, ketiga prinsip dasar tersebut tidak berjalan dengan serasi, karena semakin besar dan dominannya pelaksanaan asas dekonsentrasi
yang mencerminkan sentralistiknya pemerintahan dengan menarik kembali urusan-urusan daerah menjadi urusan dekonsentrasi tanpa melalui prosedur yang
ditetapkan, dan penempatan aparat dekonsentrasi yang semakin banyak di daerah. Hal ini menyebabkan ruang gerak daerah menjadi terbatas, malahan kegiatan
dekonsentrasi yang seharusnya dibiayai pemerintah pusat dalam pelaksanaannya dibiayai oleh daerah APBD yang menambah beban bagi keuangan daerah.
58
Kuntjorojakti, menggambarkan desentralisasi pada periode itu sebagai gerak pendulum dari satu kutub ke kutub lainnya. Kehidupan
desentralisasi pada masa orde baru cenderung berayun diantara dua kutub, dari kutub desentralisasi dan sisitem demokrasi ke kutub sentralisasi dan
autokrasi tetapi lebih berat ke sentralisasi dan autokrasi.
59
57
J. Kaloh, op.cit, hlm.65
58
Ibid, hal.25
59
Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.407
Universitas Sumatera Utara
Selama era orde baru, ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin eskalatif, sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu
kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah tidak konsisten dan konsekuennya pelaksanaan Undang-Undang tersebut, terutama terjadinya
deviasi dan distorsi terhadap pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi dikarenakan keinginan pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas negara,
sehingga menciptakan sentralistik pemerintahan oleh pemerintah pusat. Keadaan tersebut mengakibatkan dominasi pemerintah pusat semakin
besar yang menyebabkan ketergantungan daerah ke pusat otomatis menjadi semakin besar pula. Untuk menjaga stabilitas negara, pemerintah orde baru lebih
mengedepankan peran militer, dimana peran militer yang sangat besar bahkan di daerah-daerah mengakibatkan masyarakat tidak dapat menggunakan hak-haknya
dalam menyatakan pendapat.
3. Otonomi Daerah di Era Reformasi