3. Alat Pengumpul Data
Alat yang dipergunakan untuk pengumpulan data atau bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan 2 dua cara :
1. Studi kepustakaan
documentary study; Studi kepustakaan ini adalah cara mencari bahan hukum atau data dengan
mengkaji dokumen hukum, berupa konsep – konsep, teori, pendapat, atau penemuan – penemuan yang berhubungan erat dengan pokok
permasalahan dalam berbagai literatur buku-buku hukum, jurnal hukum dan ketentuan perundang-undangan baik berupa naskah konstitusi UUD
1945 sebelum dan sesudah perubahan, Undang-Undang Otonomi Daerah UU No. 1 Tahun 1945 sampai UU No.32 Tahun 2004, Undang-Undang
Otonomi Khusus Provinsi Aceh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006, Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan
Daerah, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya. 2. Wawancara
interview. Disamping melakukan studi kepustakaan, peneliti juga melakukan
wawancara kepada aparatur-aparatur Pemerintah, baik Gubernur Aceh, Wakil Gubernur Aceh, DPR Aceh, Bupati dan Wakil Bupati Aceh
Tamiang, Forum KKA Komunikasi KabupatenKota dll.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mempergunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu menganalisa bahan-bahan hukum yang bersumber dari bahan-
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier yang dipadukan dengan hasil wawancara, untuk selanjutnya disajikan dalam
bentuk uraian kalimat. Pendekatan kualitatif yang dilakukan lebih menekankan analisis pada proses penyimpulan secara deduktif dan induktif
serta terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH
DALAM SISTEM OTONOMI DI INDONESIA
A. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan
Belanda. Pondasi awal desentralisasi pada masa penjajahan belanda diatur dalam Regering Reglement RR
32
yang ditetapkan pada tahun 1854. Peraturan ini menegaskan bahwa di Hindia Belanda tidak dikenal adanya desentralisasi karena
sistem yang digunakan adalah sentralisasi, namun disamping sentralisasi diperkenalkan juga dekonsentrasi. Dengan adanya dekonsentrasi, kawasan Hindia
Belanda di bentuk wilayah-wilayah administratif yang diatur secara hierarkis mulai Gewest residentie, Afdeling, Distric, dan Onderdistric.
Selanjutnya pada tahun 1903, oleh Pemerintah Belanda ditetapkan Decentralisatie Wet
33
pada tanggal 23 Juli 1903 yang diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1903 Nomor 329. Decentralisatie Wet pada dasarnya memuat
ketentuan dari Regering Reglement tahun 1854 ditambah beberapa pasal baru yang memungkinkan adanya daerah otonom gewest yang memiliki kewenangan
32
Regering Reglement sebutan lazim dari Reglement op het beleid der regering van Nederlandsch-Indie, Stbl. 1854 No. 129 yang ditetapkan pada tanggal 2 September 1854. Lihat Jimly
Asshiddiqie, op.cit, hlm.397
33
Decentralisatie Wet sebutan lazim dari Wet van Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie.
Universitas Sumatera Utara