Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor

(1)

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PRODUK

DOMESTIK REGIONAL BRUTO DAN TINGKAT

KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR

SUYOTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2009

Suyoto


(3)

ABSTRACT

SUYOTO. Correlation between the General Allocation Fund (DAU) with Gross Domestic Regional Product and Degree of Poverty in Bogor Region. Under direction of SRI HARTOYO and HARIANTO

Indonesia’s system and characteristic of development designed in top-down and centralistic development system in Orde Baru era. The weakness of centralistic development are neglectful of initiative and participation from the Regional Government and local peoples, although centralistic development get success to result of important things for people of Indonesia. Government has three functions: distribution, stabilization and allocation. Distribution and stabilization functions will more effective if it handled by central government, and allocation function handled by regional government.

In reformation era, there are some changes in government system in Indonesia, from centralistic to decentralistic government. Decentralization is applied under the law No. 22 year of 1999 and changed by the law No. 32 year of 2004 about Regional Government. This system is also governed by the law No. 25 year of 1999 and changed by the law No. 33 year of 2004 about the Financial Balance between Central Government and Regional Government. The implementation of that law is implemented by Government Regulation No. 55 year of 2005 about the Funding Balance. That law and regulation support the Regional Government to implement decentralization system. Funding balance consists: the General Allocation Fund (DAU), the Specific Allocation Fund (DAK) and the Shared Revenue Fund (DBH). The aim of the funds transfer is to reduce financial discrepancies between the center and the regions as well as between regions and to reduce interregional discrepancies in public services provision. Particularly in regard to financial matters, the central government has the responsibility to ensure the balance of fund allocations to each region.

Proportion of DAU compare to Regional Budget (APBD) in Bogor Region is 55 percent (from year 2001 to 2007). Growth of Gross Domestic Regional Product influenced by Balance Budget instruments as DAU, DBH and Genuine Regional Revenue (PAD) have impact to increasing of consumption (C) and net trading activity (NX). Growth of Gross Domestic Regional Product and interest rate don’t have a significant impact to investment flow in Bogor Region, but investment activity influenced by investment climate and simplification of license procedure. Also, the implementation of Balance Budget has not give an impact yet in reducing poverty. Average poverty level in Bogor Region is about 20 percen (from year 2001 to 2007), this level is above the national average of poverty, which is about 16.89 percent. Bogor Regional’s budget allocation for routine activity about 53 percent and development budget about 47 percent.

Keywords: the General Allocation Fund (DAU), Gross Domestic Regional Product, Degree of Poverty in Bogor Region.


(4)

RINGKASAN

SUYOTO. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan HARIANTO.

Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik dan bersifat top down, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi. Sistem pembangunan sentralistik tersebut walaupun satu sisi bisa dikatakan cukup efektif namun di sisi lain mengandung kelemahan yang sangat mendasar yaitu partisipasi dan inisiatif pemerintah daerah dan masyarakat lokal diabaikan. Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat.

Pada saat era reformasi bergulir, terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan di Indonesia, yaitu diantaranya perubahan dari sistem pemerintahan yang bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Sistem desentralisasi tersebut diatur dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 serta Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 dan diperbaharui dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Implementasi undang-undang, dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Kedua undang-undang tersebut telah memberikan otonomi bagi Pemerintah Daerah dan dukungan sistem keuangan pada pelaksanaan otonomi tersebut. Dana perimbangan merupakan dukungan dana dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Analisis pengaruh DAU terhadap PDRB digunakan analisis model simultan (Simultaneous-Equation Models), analisis tersebut dilakukan untuk menunjukkan pola hubungan antar variabel yang berlaku dalam parameter PDRB. Pendugaan dalam parameter PDRB menggunakan model analisis Two Stage Least Square (TSLS). Sedangkan dalam menganalisis pengaruh implementasi APBD terhadap tingkat kemiskinan dalam pendugaannya digunakan model analisis

Ordinary Least Square (OLS). Untuk memperkuat hasil pendugaan parameter pada persamaan PDRB dan persamaan tingkat kemiskinan, dilakukan juga analisis elastisitas.

Analisis dalam persamaan konsumsi (C) diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,94 yang berarti bahwa 94 persen variasi yang terjadi pada variabel konsumsi dapat dijelaskan oleh variabel PDRB. Berdasarkan hasil analisis Two-Stage Least Square diketahui bahwa PDRB mempengaruhi konsumsi secara positif, yang ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif, hal ini berarti bahwa jika PDRB meningkat, maka akan mempengaruhi peningkatan jumlah konsumsi masyarakat yang terjadi. Nilai thitung sebesar 17,82528, dengan probabilitas sebesar 0,0000 atau kurang dari α=0,01 yang berarti bahwa antara variabel PDRB dengan konsumsi terdapat hubungan


(5)

interdepedensi. Pengujian siginifikansi diperoleh nilai Fhitung sebesar 317,74 dengan probabilitas sebesar 0,00000 atau kurang dari α=0,01, hal ini menunjukkan bahwa variabel PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi. Analisis elastisitas PDRB terhadap konsumsi diperoleh nilai sebesar 1,19 yang berarti bahwa jika PDRB mengalami pertumbuhan sebesar 1%, maka komsumsi masyarakat akan tumbuh sebesar 1,19 persen.

Hasil analisis pada persamaan investasi (I) diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,0863, hal ini menunjukkan bahwa hanya 8,63 persen variasi yang terjadi pada variabel investasi dapat dijelaskan oleh PDRB dan suku bunga, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. PDRB mempengaruhi investasi secara positif, yang ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif, sedangkan suku bunga mempengaruhi investasi secara negatif yang ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa jika PDRB meningkat, maka akan mempengaruhi peningkatan jumlah investasi, sedangkan peningkatan suku bunga sebesar 1 persen, maka akan mempengaruhi penurunan nilai investasi di Kabupaten Bogor sebesar Rp 44,3 miliar. Uji t diperoleh nilai thitung PDRB sebesar 0,317597 dengan probabilitas sebesar 0,3769 dan thitung suku bunga sebesar -0,149242 dengan probabilitas sebesar 0,4414. Karena nilai probabilitas kedua variabel tersebut masing-masing lebih dari

α=0,01, berarti variabel PDRB dan suku bunga tidak berpengaruh nyata terhadap investasi. Sedangkan pengujian signifikansi diperoleh nilai Fhitung sebesar 0,174338, dengan probabilitas sebesar 0,841162 atau lebih besar dari α=0,01, maka seluruh variabel yaitu PDRB dan suku bunga secara serempak tidak signifikan mempengaruhi investasi. Sedangkan analisis elastisitas PDRB terhadap investasi diperoleh nilai sebesar 8,76 yang berarti bahwa jika PDRB mengalami pertumbuhan sebesar 1 persen, maka investasi swasta akan meningkat sebesar 8,76 persen.

Hasil analisis pada persamaan aktivitas perdagangan (NX) diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,8519, hal ini menunjukkan bahwa 85,19 persen variasi yang terjadi pada variabel aktivitas perdagangan dapat dijelaskan oleh PDRB. Variabel PDRB mempengaruhi aktivitas perdagangan bersih secara positif, yang ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif, hal ini berarti bahwa jika PDRB meningkat maka akan mempengaruhi peningkatan jumlah aktivitas perdagangan bersih di Kabupaten Bogor. Uji t diperoleh nilai thitung sebesar 9,420817, dengan probabilitas sebesar 0.0000 atau kurang dari

α=0,01, maka antara variabel PDRB dengan aktivitas perdagangan terdapat hubungan interdepedensi. Pengujian signifikansi diperoleh nilai Fhitung sebesar 98,74215 dengan probabilitas sebesar 0.00000 atau kurang dari α=0,01, maka variabel PDRB mempengaruhi aktivitas perdagangan secara signifikan. Sedangkan analisis elastisitas PDRB terhadap aktivitas perdagangan diperoleh nilai sebesar 1,05 yang berarti bahwa jika PDRB mengalami pertumbuhan sebesar 1 persenmaka aktivitas perdagangan di Kabupaten Bogor akan meningkat sebesar 1,05 persen.

Analisis pada persamaan tingkat kemiskinan diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0.65, artinya keragaman kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat dijelaskan oleh keragaman peubah-peubah yang mempengaruhinya sebesar 65 persen. Nilai significance-F sebesar 2.23755 dan probabilitas sebesar 0.015248 atau kurang dari α=0,01, hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas yaitu


(6)

ABD, Pengangguran dan Inflasi secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman Kemiskinan di Kabupaten Bogor. Variabel Anggaran Bantuan Desa (ABD) mempuyai pengaruh negatif dan signifikan, hal ini ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda negatif serta dengan nilai thitung sebesar -1.45752 dan probabilitas 0.0853 atau kurang dari α=0,01. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan anggaran (ABD) yang ditujukan untuk program pemberantasan kemiskinan maka akan berdampak terhadap pengurangan angka kemiskinan. Variabel pengangguran (U) mempunyai pengaruh positif dan signifikan, hal ini ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif dengan nilai thitung sebesar 1.408253 dan probabilitas 0.0169 atau kurang dari

α=0,01 yang berarti bahwa jika terjadi peningkatan angka pengangguran, maka akan berdampak terhadap peningkatan angka kemiskinan. Sedangkan variabel inflasi (Inf) mempunyai pengaruh positif dan tidak signifikan, hal ini ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif serta dengan nilai thitung sebesar 0.677082 dan probabilitas 0.2531 atau kurang dari α=0,01 yang berarti bahwa setiap terjadi peningkatan inflasi sebesar 1 persen maka akan mempunyai dampak terhadap peningkatan angka kemiskinan sebesar 3461 angka kemiskinan. Sedangkan analisis elastisitas ABD terhadap tingkat kemiskinan (Pov) diperoleh nilai sebesar 0,0526, hal ini berarti bahwa jika ABD ditingkatkan sebesar 1 persen maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 0,053 persen. Sedangkan analisis elastisitas pengangguran (U) terhadap tingkat kemiskinan diperoleh nilai sebesar 1,024 yang berarti bahwa jika angka pengangguran mengalami peningkatan sebesar 1 persen maka tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor akan meningkat sebesar 1,024 persen.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang menumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PRODUK

DOMESTIK REGIONAL BRUTO DAN TINGKAT

KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR

SUYOTO

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Magister Manajeman Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(9)

(10)

Judul : Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor

Nama : Suyoto

NRP : H251064025

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S Dr. Ir. Harianto, M.S. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(11)

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PRODUK

DOMESTIK REGIONAL BRUTO DAN TINGKAT

KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR

SUYOTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(12)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2009

Suyoto


(13)

ABSTRACT

SUYOTO. Correlation between the General Allocation Fund (DAU) with Gross Domestic Regional Product and Degree of Poverty in Bogor Region. Under direction of SRI HARTOYO and HARIANTO

Indonesia’s system and characteristic of development designed in top-down and centralistic development system in Orde Baru era. The weakness of centralistic development are neglectful of initiative and participation from the Regional Government and local peoples, although centralistic development get success to result of important things for people of Indonesia. Government has three functions: distribution, stabilization and allocation. Distribution and stabilization functions will more effective if it handled by central government, and allocation function handled by regional government.

In reformation era, there are some changes in government system in Indonesia, from centralistic to decentralistic government. Decentralization is applied under the law No. 22 year of 1999 and changed by the law No. 32 year of 2004 about Regional Government. This system is also governed by the law No. 25 year of 1999 and changed by the law No. 33 year of 2004 about the Financial Balance between Central Government and Regional Government. The implementation of that law is implemented by Government Regulation No. 55 year of 2005 about the Funding Balance. That law and regulation support the Regional Government to implement decentralization system. Funding balance consists: the General Allocation Fund (DAU), the Specific Allocation Fund (DAK) and the Shared Revenue Fund (DBH). The aim of the funds transfer is to reduce financial discrepancies between the center and the regions as well as between regions and to reduce interregional discrepancies in public services provision. Particularly in regard to financial matters, the central government has the responsibility to ensure the balance of fund allocations to each region.

Proportion of DAU compare to Regional Budget (APBD) in Bogor Region is 55 percent (from year 2001 to 2007). Growth of Gross Domestic Regional Product influenced by Balance Budget instruments as DAU, DBH and Genuine Regional Revenue (PAD) have impact to increasing of consumption (C) and net trading activity (NX). Growth of Gross Domestic Regional Product and interest rate don’t have a significant impact to investment flow in Bogor Region, but investment activity influenced by investment climate and simplification of license procedure. Also, the implementation of Balance Budget has not give an impact yet in reducing poverty. Average poverty level in Bogor Region is about 20 percen (from year 2001 to 2007), this level is above the national average of poverty, which is about 16.89 percent. Bogor Regional’s budget allocation for routine activity about 53 percent and development budget about 47 percent.

Keywords: the General Allocation Fund (DAU), Gross Domestic Regional Product, Degree of Poverty in Bogor Region.


(14)

RINGKASAN

SUYOTO. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan HARIANTO.

Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik dan bersifat top down, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi. Sistem pembangunan sentralistik tersebut walaupun satu sisi bisa dikatakan cukup efektif namun di sisi lain mengandung kelemahan yang sangat mendasar yaitu partisipasi dan inisiatif pemerintah daerah dan masyarakat lokal diabaikan. Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat.

Pada saat era reformasi bergulir, terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan di Indonesia, yaitu diantaranya perubahan dari sistem pemerintahan yang bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Sistem desentralisasi tersebut diatur dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 serta Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 dan diperbaharui dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Implementasi undang-undang, dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Kedua undang-undang tersebut telah memberikan otonomi bagi Pemerintah Daerah dan dukungan sistem keuangan pada pelaksanaan otonomi tersebut. Dana perimbangan merupakan dukungan dana dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Analisis pengaruh DAU terhadap PDRB digunakan analisis model simultan (Simultaneous-Equation Models), analisis tersebut dilakukan untuk menunjukkan pola hubungan antar variabel yang berlaku dalam parameter PDRB. Pendugaan dalam parameter PDRB menggunakan model analisis Two Stage Least Square (TSLS). Sedangkan dalam menganalisis pengaruh implementasi APBD terhadap tingkat kemiskinan dalam pendugaannya digunakan model analisis

Ordinary Least Square (OLS). Untuk memperkuat hasil pendugaan parameter pada persamaan PDRB dan persamaan tingkat kemiskinan, dilakukan juga analisis elastisitas.

Analisis dalam persamaan konsumsi (C) diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,94 yang berarti bahwa 94 persen variasi yang terjadi pada variabel konsumsi dapat dijelaskan oleh variabel PDRB. Berdasarkan hasil analisis Two-Stage Least Square diketahui bahwa PDRB mempengaruhi konsumsi secara positif, yang ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif, hal ini berarti bahwa jika PDRB meningkat, maka akan mempengaruhi peningkatan jumlah konsumsi masyarakat yang terjadi. Nilai thitung sebesar 17,82528, dengan probabilitas sebesar 0,0000 atau kurang dari α=0,01 yang berarti bahwa antara variabel PDRB dengan konsumsi terdapat hubungan


(15)

interdepedensi. Pengujian siginifikansi diperoleh nilai Fhitung sebesar 317,74 dengan probabilitas sebesar 0,00000 atau kurang dari α=0,01, hal ini menunjukkan bahwa variabel PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi. Analisis elastisitas PDRB terhadap konsumsi diperoleh nilai sebesar 1,19 yang berarti bahwa jika PDRB mengalami pertumbuhan sebesar 1%, maka komsumsi masyarakat akan tumbuh sebesar 1,19 persen.

Hasil analisis pada persamaan investasi (I) diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,0863, hal ini menunjukkan bahwa hanya 8,63 persen variasi yang terjadi pada variabel investasi dapat dijelaskan oleh PDRB dan suku bunga, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. PDRB mempengaruhi investasi secara positif, yang ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif, sedangkan suku bunga mempengaruhi investasi secara negatif yang ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa jika PDRB meningkat, maka akan mempengaruhi peningkatan jumlah investasi, sedangkan peningkatan suku bunga sebesar 1 persen, maka akan mempengaruhi penurunan nilai investasi di Kabupaten Bogor sebesar Rp 44,3 miliar. Uji t diperoleh nilai thitung PDRB sebesar 0,317597 dengan probabilitas sebesar 0,3769 dan thitung suku bunga sebesar -0,149242 dengan probabilitas sebesar 0,4414. Karena nilai probabilitas kedua variabel tersebut masing-masing lebih dari

α=0,01, berarti variabel PDRB dan suku bunga tidak berpengaruh nyata terhadap investasi. Sedangkan pengujian signifikansi diperoleh nilai Fhitung sebesar 0,174338, dengan probabilitas sebesar 0,841162 atau lebih besar dari α=0,01, maka seluruh variabel yaitu PDRB dan suku bunga secara serempak tidak signifikan mempengaruhi investasi. Sedangkan analisis elastisitas PDRB terhadap investasi diperoleh nilai sebesar 8,76 yang berarti bahwa jika PDRB mengalami pertumbuhan sebesar 1 persen, maka investasi swasta akan meningkat sebesar 8,76 persen.

Hasil analisis pada persamaan aktivitas perdagangan (NX) diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,8519, hal ini menunjukkan bahwa 85,19 persen variasi yang terjadi pada variabel aktivitas perdagangan dapat dijelaskan oleh PDRB. Variabel PDRB mempengaruhi aktivitas perdagangan bersih secara positif, yang ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif, hal ini berarti bahwa jika PDRB meningkat maka akan mempengaruhi peningkatan jumlah aktivitas perdagangan bersih di Kabupaten Bogor. Uji t diperoleh nilai thitung sebesar 9,420817, dengan probabilitas sebesar 0.0000 atau kurang dari

α=0,01, maka antara variabel PDRB dengan aktivitas perdagangan terdapat hubungan interdepedensi. Pengujian signifikansi diperoleh nilai Fhitung sebesar 98,74215 dengan probabilitas sebesar 0.00000 atau kurang dari α=0,01, maka variabel PDRB mempengaruhi aktivitas perdagangan secara signifikan. Sedangkan analisis elastisitas PDRB terhadap aktivitas perdagangan diperoleh nilai sebesar 1,05 yang berarti bahwa jika PDRB mengalami pertumbuhan sebesar 1 persenmaka aktivitas perdagangan di Kabupaten Bogor akan meningkat sebesar 1,05 persen.

Analisis pada persamaan tingkat kemiskinan diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0.65, artinya keragaman kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat dijelaskan oleh keragaman peubah-peubah yang mempengaruhinya sebesar 65 persen. Nilai significance-F sebesar 2.23755 dan probabilitas sebesar 0.015248 atau kurang dari α=0,01, hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas yaitu


(16)

ABD, Pengangguran dan Inflasi secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman Kemiskinan di Kabupaten Bogor. Variabel Anggaran Bantuan Desa (ABD) mempuyai pengaruh negatif dan signifikan, hal ini ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda negatif serta dengan nilai thitung sebesar -1.45752 dan probabilitas 0.0853 atau kurang dari α=0,01. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan anggaran (ABD) yang ditujukan untuk program pemberantasan kemiskinan maka akan berdampak terhadap pengurangan angka kemiskinan. Variabel pengangguran (U) mempunyai pengaruh positif dan signifikan, hal ini ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif dengan nilai thitung sebesar 1.408253 dan probabilitas 0.0169 atau kurang dari

α=0,01 yang berarti bahwa jika terjadi peningkatan angka pengangguran, maka akan berdampak terhadap peningkatan angka kemiskinan. Sedangkan variabel inflasi (Inf) mempunyai pengaruh positif dan tidak signifikan, hal ini ditunjukkan melalui koefisien regresi yang bertanda positif serta dengan nilai thitung sebesar 0.677082 dan probabilitas 0.2531 atau kurang dari α=0,01 yang berarti bahwa setiap terjadi peningkatan inflasi sebesar 1 persen maka akan mempunyai dampak terhadap peningkatan angka kemiskinan sebesar 3461 angka kemiskinan. Sedangkan analisis elastisitas ABD terhadap tingkat kemiskinan (Pov) diperoleh nilai sebesar 0,0526, hal ini berarti bahwa jika ABD ditingkatkan sebesar 1 persen maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 0,053 persen. Sedangkan analisis elastisitas pengangguran (U) terhadap tingkat kemiskinan diperoleh nilai sebesar 1,024 yang berarti bahwa jika angka pengangguran mengalami peningkatan sebesar 1 persen maka tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor akan meningkat sebesar 1,024 persen.


(17)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang menumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(18)

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PRODUK

DOMESTIK REGIONAL BRUTO DAN TINGKAT

KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR

SUYOTO

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Magister Manajeman Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(19)

(20)

Judul : Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor

Nama : Suyoto

NRP : H251064025

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S Dr. Ir. Harianto, M.S. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(21)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah membuka pintu hidayah dan memberi berbagai kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan kajian pembangunan daerah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr. Ir. Harianto, MS, selaku komisi pembimbing atas masukan dan saran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku Ketua Program MPD beserta jajarannya serta ucapan terima kasih tidak lupa saya sampaikan kepada Kantor Menko Perekonomian yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas beasiswa untuk mengikuti program ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada istriku tercinta Yuli Ana Lastari dan buah hati tersayang Iffatunisa Sekar Widinanti dan Naufal Muhammad Alfajri, atas dukungan dan doa selama penulis mengikuti program studi serta dalam menyelesaikan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2009


(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Karanganyar-Solo pada tanggal 30 Desember 1974 dari pasangan Bapak Wijiarto dan Ibu Kardiyem. Menikah pada tahun 2000 dengan Yuli Ana Lastari, dan sekarang dikaruniai dua orang putra bernama Iffatunisa Sekar Widinanti dan Naufal Muhammad Alfajri.

Memperoleh pendidikan dari SD sampai SMP di Karanganyar, sedangkan SMA di SMAN 5 Solo. Setelah lulus SMA, penulis memperoleh kesempatan melanjutkan belajar di sekolah kedinasan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-Program Diploma Keuangan Jakarta (STAN-Prodip Jakarta) dalam program studi Anggaran Negara, lulus pada tahun 1995/1996. Gelar sarjana diperoleh pada tahun 2002 dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tridharma Bandung jurusan Akuntansi.

Penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana dengan beasiswa dari Kantor Menko Perekonomian pada tahun 2007 dalam Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1996 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Keuangan yang telah mengalami mutasi ke beberapa tempat di Indonesia (Bandung, Jakarta dan Halmahera Utara-Ternate). Sejak tahun 2007 penulis dipindahtugaskan ke Kantor Menko Perekonomian.


(23)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xvi DAFTAR GAMBAR ... xvii DAFTAR LAMPIRAN ... xviii 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah

………...

4

1.3 Tujuan Kajian ... 6 1.4 Kegunaan Kajian ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8 2.1 Otonomi Daerah ... 8 2.2 Keuangan Negara dan Daerah ... 10 2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 11 2.4 Dana Perimbangan .………..………...

2.4.1 Dana Bagi Hasil (DBH) ……….…………... 2.4.2 Dana Alokasi Umum (DAU) ……… 2.4.3 Dana Alokasi Khusus (DAK) ………

13 13 14 16 2.5 Definisi Kemiskinan ………..…… 17

3 METODE KAJIAN ……… 19

3.1 Kerangka Pemikiran ………... 19 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ... 20 3.3 Metode Pengumpulan Data ... 22 3.4 Model Analisis ... 22 3.4.1 Menganalisis Kontribusi Penerimaan DAU terhadap PDRB 22 3.4.2 Evaluasi Strategi-strategi Mengurangi Ketergantungan

Terhadap DAU ... 25 3.4.3 Pengaruh Implementasi APBD terhadap Tingkat

Kemiskinan ... 26 3.5 Metode Perancangan Strategi dan Program ... 27


(24)

4 KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR ………. 29 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Bogor ... 29 4.2 Kependudukan dan Sumber Daya Manusia ... 30 4.3 Ekonomi dan Sosial ... 31 4.4 Sarana dan Prasarana Wilayah ... 32 4.5 Potensi Pendapatan Asli Daerah ... 34

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 36

5.1 Hubungan antara Penerimaan DAU dengan Pertumbuhan PDRB ... 36 5.1.1 Uji Asumsi Klasik ...

5.1.1.1 Uji Multikolinearitas ... 5.1.1.2 Uji Heterokedastisitas ... 5.1.1.3 Uji Autokorelasi ...

36 36 37 37 5.1.2 Pendugaan Parameter Model Simultan ...

5.1.2.1 Persamaan Konsumsi ... 5.1.2.2 Persamaan Investasi ... 5.1.2.3 Persamaan Aktivitas Perdagangan ...

37 38 39 40 5.2 Hubungan Implementasi APBD terhadap Tingkat Kemiskinan ...

5.2.1 Uji Asumsi Klasik ... 5.2.2 Pendugaan Parameter Kemiskinan ...

41 41 42

6 STRATEGI DAN PROGRAM MENGURANGI ANGKA

KEMISKINAN DAN KETERGANTUNGAN APBD TERHADAP DAU ... 44 6.1 Visi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor ………... 6.2 Misi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor ………..

44 44 6.3 Perancangan Strategi dan Program dengan Logical Framework

Approach (LFA) ... 44 6.4 Perumusan Strategi Mengurangi Angka Kemiskinan dan

Ketergantungan Sumber Pembiayaan APBD terhadap DAU ……... 6.4.1 Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 6.4.2 Strategi Peningkatan Investasi dan Perbaikan Iklim Usaha ... 6.4.3 Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin ...

46 49 54 55


(25)

6.4.4 Strategi Peningkatan Fasilitas Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur ... 55 6.5 Perencanaan Program Peningkatan PAD ... 56 6.6 Perencanaan Program Pengentasan Kemiskinan ... 58 6.7 Rencana Proyek/Kegiatan dan Estimasi Biaya ... 61 6.8 Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Proyek/Kegiatan ... 61

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 63 7.1 Kesimpulan ... 63 7.2 Implikasi Kebijakan ... 64 7.3 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(26)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Sepuluh Besar APBD di Jawa Barat ... 21 2 Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Menurut Status Pendidikan dan

Jenis Kelamin Tahun 2005 ... 30 3 Rata-rata APBD, DAU dan Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor …….. 32 4 Jumlah Sarana Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2005 ... 33 5 Hasil Estimasi Persamaan Konsumsi ... 38 6 Hasil Estimasi Persamaan Investasi ... 39 7 Hasil Estimasi Persamaan Aktivitas Perdagangan ... 40 8 Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan ………... 42 9 Rasio Kemandirian Keuangan Kabupaten Bogor Tahun 1983 s.d. 2007 ... 48 10 Rancangan Proyek/Kegiatan Peningkatan PAD dan Pengentasan


(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Grafik Angka Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun 1983 s.d. 2007 ... 6 2 Pola kewenangan dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah pasca

otonomi daerah ... 10 3 Pola Hubungan Pertumbuhan PDRB dengan Angka Kemiskinan …... 20 4 Rasio DAU Terhadap APBD Kabupaten Bogor Tahun 2000 s.d. 2007 ... 21 5 Diagram Alur Metode Logical Framework Approach ………... 28 6 Peta Batas Wilayah Kabupaten Bogor Bogor ……… 29 7 Target dan Realisasi Pajak Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1999 s.d.

2006 ………. 35

8 Perencanaan Strategi dan Program Peningkatan PAD dan Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ………... 46


(28)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil Regresi dan Uji Asumsi Klasik Pendugaan Parameter Model

Simultan ……….. 68

2 Hasil Regresi dan Uji Asumsi Klasik Pendugaan Parameter Kemiskinan . 74 3 Data APBD, PDRB dan Dana Perimbangan Kabupaten Bogor tahun

1983 s.d. 2007 ………... 76 4 Data PDRB, Konsumsi, Investasi, DAU, DBH, PAD dan NX Riil ……… 78 5 Data Kemiskinan, ABD dan Penerimaan Pemerintah Riil ……... 79 6 Jenis PAD Kabupaten Bogor ... 80 7 Identifikasi Model ... 82 8 Hasil Analisis Elastisitas ... 83


(29)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sistem pembangunan sentralistik tersebut walaupun satu sisi bisa dikatakan cukup berhasil yaitu ditandai dengan adanya stabilitas harga, inflasi yang terkedali, swasembada pangan, pengangguran dan kemiskinan yang rendah, namun di sisi lain mengandung kelemahan yang sangat mendasar yaitu partisipasi dan inisiatif pemerintah daerah dan masyarakat lokal diabaikan. Pola kebijakan yang bersifat top down tersebut walaupun telah berhasil membangun sesuatu di daerah tersebut namun sering kali bentuk dan hasil pembangunan yang telah dilakukan sebenarnya tidak/belum diperlukan oleh masyarakat ditempat tersebut atau dengan kata lain pembangunan dari pola kebijakan top down tersebut tidak tepat sasaran.

Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat. Pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab. Penyelenggaraan otonomi daerah tersebut harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.


(30)

Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pembiayaan APBN juga mencakup pada penyelenggaraan kewenangan pusat yang didekonsentrasikan kepada gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas Perbantuan.

Pada saat era reformasi bergulir, terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan di Indonesia, yaitu perubahan dari sistem pemerintahan yang bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Perubahan tersebut tentunya memiliki dampak yang sangat luas bagi pemerintah daerah dalam mengatur dan mengelola daerahnya sesuai dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Implementasi undang-undang yang telah diperbarui, dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Kedua undang-undang tersebut telah memberikan otonomi bagi Pemerintah Daerah dan dukungan sistem keuangan pada pelaksanaan otonomi tersebut.

Kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin besar diharapkan dapat mengatasi masalah pembangunan di daerahnya dengan lebih baik. Disamping itu, pemerintah daerah pun mempunyai kontribusi yang sangat besar dari hasil sumber-sumber penerimaan daerah, yaitu berupa pengalokasian


(31)

sumber-sumber penerimaan daerah yang sebagian besar dikembalikan bagi pembangunan daerahnya. Perencanaan pembangunan daerah harus mengarah pada wacana otonomi yang pelaksanaannya tidak lepas dari kontrol masyarakat secara adil dan merata.

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharapkan Pemerintah Daerah dapat memaksimalkan fungsi barunya tersebut. Sedangkan sistem desentralisasi mengatur fungsi-fungsi yang lebih tegas antara lain :

a. Pemerintah Pusat dapat berkonsentrasi pada masalah-masalah strategis ekonomi makro sedangkan pelaksanaan operasional pembangunan ditangani oleh pemerintah daerah;

b. Pendelegasian yang tegas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk berkonsentrasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan di daerah; c. Adanya kontrol dari masyarakat terhadap jalannya pembangunan sehingga

dapat mengurangi terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap jalannya pembangunan.

Dengan pelaksanaan ketiga hal tersebut maka diharapkan pembangunan ekonomi akan menjadi lebih baik, tepat sasaran, adil dan merata.

Penyelenggaraan Otonomi Daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara profesional. Kewenangan yang luas diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pelaksanaan kewenangan harus sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah untuk menyatukan dan mengurus rumah tangganya sendiri, baik dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pengawasan dan pengendalian. Otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan masyarakat, disamping juga semakin mengoptimalkan pemanfaatan potensi daerah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ada di daerah.


(32)

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 menyebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. PAD merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Undang-undang tersebut bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah Pusat serta merupakan satu kesatuan yang utuh.

Menurut PP No. 55 Tahun 2005, dana perimbangan yang terdiri atas Penerimaan Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang besarnya sangat tergantung terhadap kontribusi daerah tersebut. Sebesar 26 persen dari APBN merupakan sumber dana bagi DAU yang sistem pembagiannya sebesar 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sumber penerimaan terbesar yaitu dari penerimaan pajak yang besarnya mencapai 90 persen kembali bagi pembangunan daerah.

1.2 Perumusan Masalah

Data dari Departemen Keuangan tahun 1983 sampai dengan tahun 2007 menunjukan bahwa persentase DAU terhadap APBD Kabupaten Bogor dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. DAU yang diterima Kabupaten Bogor ini merupakan bagian terpenting dari pengeluaran pemerintah (APBD) Kabupaten Bogor, sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten ini.


(33)

Anggaran pembiayaan pembangunan yang bersumber dari APBD seharusnya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) sehingga hasilnya dapat dirasakan bagi kesejahteraan masyarakat. Proporsi rata-rata DAU terhadap APBD Kabupaten Bogor dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2007 mencapai lebih dari 40 persen. Proporsi DAU tersebut mengalami peningkatan yang cukup mencolok yaitu pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 yaitu mencapai 55 persen (Lampiran III).

Salah satu ukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari laju pertumbuhan PDRB-nya. Berkaitan dengan data tersebut di atas dan untuk menganalisis korelasi antara DAU dengan PDRB di Kabupaten Bogor, maka rumusan masalah pertama dalam kajian ini yaitu “Bagaimana pengaruh penerimaan DAU terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Bogor?” Hal ini dikaitkan pula dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Persentase DAU terhadap total APBD yang sudah lebih dari setengahnya ini menunjukkan kondisi yang kurang baik. Jika suatu saat ada kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk menghentikan alokasi DAU tersebut ke Pemerintah Daerah, maka APBD Kabupaten Bogor kemungkinan tidak akan mampu lagi membiayai pembangunannya dan hanya mampu membiayai pembiayaan rutinnya. Berkaitan dengan fakta dan data tersebut di atas, maka rumusan masalah yang kedua dalam kajian ini adalah “Strategi apa yang harus dilakukan oleh Kabupaten Bogor untuk mengurangi ketergantungan Pendanaannya pada DAU ?”.

Saat ini pemerintah pusat masih terus melakukan “inovasi” kebijakan tentang formulasi pembagian DAU yang diharapkan dapat dirasakan lebih “adil” bagi seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia. Salah satu kajian yang masih diperdebatkan antara lain adalah formula perhitungan DAU yang juga mempertimbangkan luas lautan, hal ini penting karena banyak Provinsi yang persentase luas lautan lebih besar dari pada daratannya.

Pertumbuhan PDRB di suatu daerah diharapkan dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Dari data angka kemiskinan yang


(34)

dikeluarkan oleh BPS menunjukan bahwa angka kemiskinan di Kabupaten Bogor dari tahun ke tahun mempunyai kecenderungan mengalami peningkatan (Gambar 1). Persentase rata-rata angka kemiskinan Kabupaten Bogor dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 sebesar 20 persen (Lampiran III), atau lebih tinggi dari rata-rata tingkat kemiskinan nasional pada periode yang sama sebesar 16,89 persen (Bappenas 2007).

Gambar 1 Grafik Angka Kemiskinan di Kabupaten Bogor tahun 1983 s.d. 2007

Salah satu tugas pemerintah daerah adalah mensejahterakan masyarakat yang ada di wilayahnya. Bentuk usaha pemerintah daerah dalam memerangi kemiskinan adalah dengan menyusun strategi dan program serta mengalokasikan anggaran yang proporsional untuk memberantas kemiskinan di wilayahnya. Terkait dengan hal tersebut, rumusan permasalahan ketiga dalam kajian ini adalah ”Bagaimana korelasi implementasi APBD yang ditopang oleh DAU ini terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor ?”.

1.3 Tujuan Kajian

Tujuan kajian mengenai pengaruh DAU terhadap PDRB dan tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah :


(35)

a. Menganalisis pengaruh penerimaan DAU terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten Bogor.

b. Mengevaluasi terhadap strategi-strategi yang dilakukan Kabupaten Bogor untuk mengurangi ketergantungan APBD terhadap penerimaan DAU dari Pemerintah Pusat serta menganalisis dampak apabila DAU dari pemerintah pusat dihentikan dan apa implikasinya bagi ekonomi Kabupaten Bogor.

c. Menganalisis dan mengevaluasi pengaruh implementasi APBD yang ditopang DAU terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor.

1.4 Kegunaan Kajian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor tentang sudah seberapa bergantungnya APBD Kabupaten Bogor terhadap penerimaan DAU, sehingga diharapkan Pemerintah Daerah dapat lebih ”kreatif” dalam menggali sumber-sumber pembiayaan pembangunan di daerahnya namun tidak memberatkan dunia usaha dengan adanya pungutan-pungutan baru karena Pemerintah Daerah hanya mengejar target setoran tanpa memperhatikan dampaknya.

Hasil kajian diharapkan dapat memberikan sumbang pemikiran kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor tentang strategi-strategi atau program-program pembangunan yang kiranya dapat diimplementasikan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Kabupaten Bogor. Hasil kajian secara khusus diharapkan juga memberikan informasi tentang strategi penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Bogor.

Dalam kajian ini pula penulis berharap dapat memberikan sumbang saran tentang program dan kebijakan apa yang sebaiknya diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor untuk mengoptimalkan pertumbuhan PDRB-nya, khususnya yang disumbang melalui pengeluaran pemerintah.


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otonomi Daerah

Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat aturan (hukum) sendiri, mengatur diri sendiri, dan berjuang berdasarkan kewenangan kekuasaan dan prakasa sendiri (Suryadi 2000).

Menurut Basri (2002), otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Sedangkan Supriady dan Solihin (2001) mendefinisikan otonomi daerah adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan megurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terdapat tiga bentuk pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yaitu :

a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah.


(37)

c. Tugas Perbantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

Prinsip otonomi daerah adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi dimana dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (UU No. 33 Tahun 2004).

Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah Pusat, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 serta UU No. 33 Tahun 2004, maka pola


(38)

kewenangan dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah dapat di lihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Pola kewenangan dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah pasca otonomi

2.2 Keuangan Negara dan Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun (Suparmoko 1987). Sedangkan UU Nomor 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Demokratisasi Reformasi

Desentralisasi

Kewenangan Keuangan

UU 32/2004 UU 33/2004

Pusat ---> Daerah Kewenangan yg luas, nyata & bertanggungjawab

Pusat ---> Daerah - Perluasan Tax Base - Dana Perimbangan


(39)

Pengelolaan keuangan daerah adalah proses pengurusan, penyelenggaraan, penyediaan dan penggunaan uang yang pelaksanaannya meliputi penyusunan, penetapan, pelaksanaan pengawasan dan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah (Domai 2002). Sejalan dengan pengertian tersebut Halim (2001) menyatakan bahwa, membicarakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari pembahasan APBD, oleh karena itu APBD adalah merupakan program kerja suatu daerah dalam bentuk angka-angka selama satu tahun anggaran.

Adapun pengeluaran anggaran (budget expenditure) dibedakan atas belanja rutin (current expenditure) dan belanja modal (capital expenditure). Belanja rutin dapat diartikan sebagai pengeluaran yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang sifat terus menerus. Belanja modal atau lebih dikenal dengan belanja pembangunan merupakan pengeluaran yang sifatnya tidak terus menerus, ada batasnya dan investasi. Belanja pembangunan yang dibiayai dari tabungan pemerintah (public saving), yaitu sisa dari penerimaan pemerintah setelah dikurangi dengan belanja rutin. Belanja rutin pemerintah daerah meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja operasional, belanja pemeliharaan dan belanja lain-lain. Sedangkan belanja pembangunan merupakan pengeluaran pemerintah yang tertuang di dalam program dan proyek.

2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah Jumlah nilai tambah yang ditimbulkan oleh berbagai sektor/lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya disuatu daerah tertentu tanpa memperhatikan pemilikan atas faktor produksi (Suparmoko 2006). Perhitungan PDRB dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu :

a. Pendekatan Produksi

PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu.


(40)

PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu.

c. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir, yaitu (1) pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestic bruto, (4) perubahan stok, dan (5) ekspor neto dalam jangka waktu tertentu. d. Pendekatan Alokasi

PDRB adalah dikenal dengan metode alokasi dan merupakan metode untuk menghasilkan pendapatan nasional menjadi pendapatan regional dengan indikator rasional tertentu.

Kegunaan statistik PDRB antara lain untuk mengetahui :

a. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

Tingkat pertumbuhan ekonomi regional baik secara menyeluruh maupun sektoral, dengan melihat prosentase pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan.

b. Tingkat Kemakmuran

Mengetahui tingkat kemakmuran daerah, baik tingkat pertumbuhan maupun tingkat kemakmuran dibanding dengan daerah lain, tingkat kemakmuran suatu wilayah biasanya diukur dengan besarnya pendapatan perkapita penduduknya. Tingkat kemakmuran ini tidak mengalami perubahan apabila laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari pada pertumbuhan ekonominya.

c. Tingkat Inflasi atau Deflasi

Mengetahui tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi dalam waktu tertentu, dengan membandingkan antara PDRB atas dasar berlaku dan PDRB atas dasar konstan, dapat diperoleh suatu indeks implisit yang bisa menggambarkan kenaikan suatu penurunan harga barang dan jasa.

d. Struktur Perekonomian

Mengetahui gambaran struktur perekonomian daerah, PDRB dapat digunakan sebagai indikator tentang komposisi struktur perekonomian suatu wilayah, yaitu dengan menyusun peranan masing-masing sektor/lapangan usaha.


(41)

e. Potensi Suatu Wilayah

Mengetahui potensi suatu daerah terhadap regional secara keseluruhan maupun sektoral. Dengan melihat peranan sektoral dalam suatu wilayah kabupaten atau peranan keseluruhan suatu wilayah propinsi. Dengan demikian maka pendapatan regional sangat bermanfaat bagi perencana maupun pengambil keputusan, baik yang berhubungan dengan rencana pembangunan jangka pendek maupun jangka penjang.

2.4 Dana Perimbangan

Kuncoro (2004) mendefinisikan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Hal tersebut diuraikan lebih lanjut dalam UU No. 33 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa, perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas perbantuan.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh.

2.4.1 Dana Bagi Hasil (DBH)

DBH adalah pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam seperti minyak dan gas, pertambangan dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota dan kabupaten (Kuncoro 2004). Dalam UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa DBH adalah dana yang


(42)

bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang tersebut merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH. Sumber-sumber DBH berasal dari :

a. Pajak

Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

b. Sumber daya alam

Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

2.4.2 Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU adalah block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya (Kuncoro 2004). Sedangkan Sidik (2003) mengatakan bahwa DAU dapat diartikan sebagai salah satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN. Pengalokasian DAU didasarkan atas konsep


(43)

kesenjangan fiskal atau celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Instrumen DAU ini ditujukan untuk mengatasi

horizontal imbalance yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah di mana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah. DAU sebagai equalization grant yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA yang diperoleh daerah.

UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan DBH.

Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan juga bahwa batasan minimal untuk alokasi DAU adalah sebesar 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Neto. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Secara umum kriteria formula DAU harus meliputi beberapa aspek, antara lain :

a. Menggunakan pendekatan kesenjangan fiskal (celah fiskal) b. Dapat dipertanggungjawabkan secara akademis


(44)

d. Perhitungan dapat dilakukan oleh daerah e. Mudah dimengerti publik

f. Formula DAU Propinsi dapat berbeda dengan Kabupaten/Kota

2.4.3 Dana Alokasi Khusus (DAK)

Kuncoro (2004) berpendapat bahwa DAK adalah dana yang ditransfer dan ditujukan untuk daerah khusus yang dipilih untuk tujuan khusus, dimana alokasi dana yang didistribusikan ini sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan untuk tujuan nasional. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi :

a. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain;

b. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang menampung transmigrasi;

c. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana yang memadai;

d. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa, DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah.

PP No. 55 Tahun 2005 lebih rinci mengatur tentang kriteria-kriteria daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK, yaitu meliputi :

a. Kriteria umum,

Kriteria ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD.


(45)

Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah.

c. Kriteria teknis.

Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian Negara/departemen teknis.

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 41 menyatakan bahwa daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping tersebut harus dianggarkan dalam APBD daerah tersebut. Sedangkan untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.

2.5 Definisi Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) membuat ukuran kemiskinan berdasarkan tingkat konsumsi penduduk terhadap kebutuhan dasar, dalam arti lebih dari sekedar beras. Dalam hal ini, kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan dan non makanan. Dari sisi makanan ini, BPS menggunakan indikator kebutuhan minimum setara dengan satuan 2.100 kalori per orang per hari. Hal ini dikombinasikan dengan standar minimum kebutuhan non makanan yang mencakup sandang, papan, pendidikan dan kesehatan, dengan pemilihan sejumlah komoditas berdasarkan ukuran-ukuran tertentu.

Definisi kemiskinan menurut Bappenas (2002) adalah suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Taraf manusiawi ini dalam artian terpenuhinya hak-hak dasar seseorang. Hak-hak dasar itu antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Menurut Bank Dunia (2004) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana sebuah keluarga mempunyai pendapatan kurang dari US$2 (Rp 20.000) per hari. Sedangkan Bappenas (2007) dalam Laporan Pencapaian Millenium


(46)

Development Goals Indonesia, dari sisi pendapatan ini mengatakan bahwa salah satu indikator suatu keluarga dikatakan miskin apabila mempunyai pendapatan kurang dari US$1 (Rp 10.000) per hari. Lebih lanjut BKKBN mendefinisikan kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera jika tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan dua kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.

Sumardjo (Crescent, 2003) menyatakan bahwa pada tingkat paling dasar kesejahteraan manusia yang beradab, paling tidak manusia harus dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu kecukupan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Apabila kebutuhan dasar tersebut sudah terpenuhi, maka dapat dikatakan sebagai kondisi tingkat aman pertama dalam kesejahteraan.

Dari berbagai definisi kemiskinan yang telah dijelaskan di atas, untuk membatasi masalah dan mempermudah dalam memperoleh dan menganalisis data, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan definisi kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS.


(47)

BAB III

METODE KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Beberapa manfaat data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) adalah untuk mengetahui tingkat produk yang dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian pada satu periode di suatu daerah tertentu. Laju pertumbuhan ekonomi dapat diketahui jika data PDRB dikaji dari sudut perbandingan nilai atas dasar harga yang konstan, sedangkan struktur ekonomi dapat dilihat dari besarnya sumbangan masing-masing sektor ekonomi terhadap total PDRB. Disamping itu PDRB dapat digunakan untuk mengetahui indikator kesejahteraan/kemakmuran suatu daerah atau dengan kata lain dengan melihat pertumbuhan PDRB suatu daerah maka dapat diketahui juga dampak pertumbuhan tersebut terhadap tingkat kemiskinan daerah tersebut.

Secara teoritis model PDRB yang dihitung dari pendekatan pengeluaran adalah dengan Aggregate Expenditure (AE) yang merupakan hasil penjumlahan dari semua komponen permintaan akhir, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung (C), konsumsi pemerintah (G), pembentukan modal tetap domestik bruto (I), dan aktivitas perdagangan bersih (X-M) dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi pemerintah (G) dalam hal ini direpresentasikan dalam APBD, dimana dana APBD bersumber dari DAU, DAK, DBH dan PAD. Secara matematis persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :

AE = C + I + G + (X-M) pada saat keseimbangan Y=AE (Aggregate Expenditure).

Teori ekonomi menyatakan pertumbuhan ekonomi (PDRB) yang menunjukkan semakin banyaknya output daerah, mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan PDRB suatu daerah maka tingkat penganguran dan kemiskinan akan berkurang.


(48)

Hubungan pertumbuhan ekonomi (PDRB), pengeluaran pemerintah (G), Investasi (I), konsumsi rumah tangga (C) dengan tingkat kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Pola Hubungan Pertumbuhan PDRB dengan Angka Kemiskinan

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian

Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 1983 sampai dengan 2007. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar lain adalah bahwa DAU yang diterima oleh Kabupaten Bogor memiliki kecenderungan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 40 persen. Persentase DAU ini terus mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2000 sampai tahun 2007 dominansi DAU terhadap APBD meningkat tajam dengan persentasi rata-rata lebih dari 55%. Rasio DAU terhadap APBD tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

DAU DAK DBH PAD

Angka Kemiskinan

Konsumsi RT Investasi Pengel.

Pemerintah X-M


(49)

Gambar 4 Rasio DAU Terhadap APBD Kabupaten Bogor Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2007

Alasan kedua penulis melakukan kajian di Kabupaten Bogor adalah karena adanya kecenderungan peningkatan angka kemiskinan (Gambar 1) sedangkan di sisi lain alokasi DAU yang diterima dari Pemerintah Pusat juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.

APBD Kabupaten Bogor pada tahun 2007 menduduki ranking ke-2 terbesar di Jawa Barat di bawah Kabupaten Bandung. Oleh sebab itu perlu dikaji dengan cermat apakah APBD yang besar tersebut mempunyai dampak nyata terhadap pertumbuhan PDRB dan kesejahteraan rakyat di Kabupaten Bogor.

Tabel 1 Sepuluh Besar APBD di Jawa Barat

No. Prop/Kota/Kab Total APBD 2007

(dalam juta rupiah) 1 Kabupaten Bandung 1,962,177.06 2 Kabupaten Bogor 1,692,601.21 3 Kota Bandung 1,629,508.55 4 Kabupaten Bekasi 1,318,882.86 5 Kabupaten Ciamis 1,227,778.07 6 Kabupaten Garut 1,174,647.11 7 Kota Bekasi 1,112,557.80


(50)

8 Kabupaten Sukabumi 1,071,153.61 9 Kabupaten Cianjur 1,054,974.27

10 Kabupaten Kerawang 1,049,282.34

Sumber : DJPK-Depkeu diolah

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data sekunder diperolah dari instansi-instansi terkait di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, antara lain : Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pendapatan Daerah, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kantor Penanaman Modal Daerah (KPMD) Kabupaten Bogor, sedangkan data sekunder yang diperolah dari instansi pusat yaitu berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK)-Departemen Keuangan, BPS Pusat dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

3.4 Model Analisis

Dalam kajian ini digunakan analisis diskriptif (kualitatif) dan kuantitatif, dimana analisis diskriptif dilakukan untuk menggambarkan strategi dan program pembangunan Kabupaten Bogor untuk mengoptimalkan pertumbuhan PDRB dan mengurangi angka kemiskinannya. Sedangkan analisis kuantitatif yaitu dengan analisis regresi linear berganda, yang dilakukan untuk mengetahui pola hubungan antar variabel dalam parameter PDRB serta untuk mengetahui pengaruh implementasi APBD terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor.

3.4.1 Menganalisis Kontribusi Penerimaan DAU Terhadap PDRB

Dalam melihat hubungan beberapa faktor yang mempengaruhi PDRB dalam waktu 25 tahun terakhir yaitu tahun 1983 sampai dengan 2007, digunakan analisis diskriptif dan analisis inferensial. Tujuan analisis diskriptif adalah membangun model penelitian yang menunjukan pola hubungan antar variabel yang berlaku dalam parameter PDRB, dalam hal ini akan digunakan analisis model simultan

(Simultaneous-Equation Models). Sedangkan analisis inferensial adalah teknik analisis yang digunakan untuk melakukan generalisasi melalui pengujian signifikansi keterkaitan antara variabel konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran


(51)

pemerintah (G) yang direpresentasikan oleh variabel DAU, DBH dan PAD, aktivitas perdagangan bersih (NX) dan PDRB secara simultan berdasarkan data runtut waktu. Dalam tahap analisis inferensial ini dilakukan prosedur uji t dan uji F.

Dalam model simultan ini terdapat lebih dari satu persamaan yang bekerja dalam satu sistem secara bersamaan atau secara simultan. Spesifikasi empirik model dalam penelitian ini adalah tiga persamaan struktural dan satu persamaan identitas. Persamaan struktural tersebut adalah:

C = α11 + β11Yt + εt ; β11 > 0

I = α21 + β21Ratet + β22Yt + εt ; β21 < 0, β22 > 0 NX = α31 + β31Yt + εt ; β31 > 0

dengan instrumen-instrumen yang mempengaruhi adalah pengeluaran pemerintah (G) yang direpresentasikan oleh DAU, DBH dan PAD. Sedangkan persamaan identitasnya adalah:

Y = C + I + G + NX dimana G = DAU + DBH + PAD Keterangan :

Yt = Produk Domestik Regional Bruto di tahun t

αj = Intersep (j=1,2,3,4)

βj = Parameter atau Koefisien Regresi (j=1,2,3,4) C = Konsumsi Rumah Tangga

I = Investasi Rate = Suku bunga DAU = Dana Alokasi Umum DBH = Dana Bagi Hasil

PAD = Pendapatan Asli Daerah NX = Nilai Perdagangan Bersih

εt = Error

Sebelum masing-masing persamaan tersebut di atas dilakukan pendugaan parameter, terlebih dahulu dilakukan identifikasi model. Tujuan dari identifikasi model tersebut adalah untuk menentukan apakah nilai koefisien regresi (πij)yang diduga dari persamaan reduced form dapat digunakan untuk menduga parameter


(52)

dalam model persamaan struktural, serta untuk menentukan metode pendugaan model apa yang dapat digunakan.

Model persamaan reduced form adalah persamaan yang dibentuk dari persamaan struktural sedemikian rupa sehingga masing-masing variabel endogen dalam model merupakan fungsi dari semua variabel predetermined dan error. Tujuan dibentuknya persamaan reduced form adalah untuk menduga parameter atau koefisien fungsi dalam persamaan struktural.

Dalam persamaan simultan terdapat tiga variabel yaitu variabel endogen, eksogen dan variabel predetermined. Variabel endogen adalah variabel dalam persamaan simultan yang nilainya ditentukan di dalam sistem persaman, variabel ini dapat berupa variabel independen atau variabel dependen. Variabel predetermined

adalah variabel yang nilainya ditentukan di luar sistem atau ditentukan terlebih dahulu, variabel predetermine meliputi konstanta, variabel eksogen dan lag variabel. Sedangkan variabel eksogen adalah variabel yang nilainya tidak ditentukan di dalam sistem, tetapi di luar sistem, variabel ini mempengaruhi variabel endogen di dalam sistem.

Untuk melakukan identifikasi suatu model persamaan struktural dilakukan dengan

order condition dan rank condition. Order condition merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk identifikasi. Sedangkan rank condition yaitu suatu persamaan memenuhi syarat identifikasi jika dan hanya jika dapat dibentuk sekurang-kurangnya satu determinant ordo (G-1) tidak sama dengan nol. Untuk melakukan identifikasi dengan order condition dapat digunakan rumus sebagai berikut: (K−M) ≥ (G−1)

dimana:

G : banyaknya persamaan dalam model

K : banyaknya variabel (variabel endogen dan predetermined) dalam model M : banyaknya variabel dalam persamaan tertentu

Jika (K−M) < (G−1) : under identification,

Jika (K−M) = (G−1) : Just atau exactly indentification Jika (K−M) > (G−1) : Over indentification


(53)

a. Just atau exact identification: kondisi di mana koefisien fungsi dapat ditentukan secara tepat dari koefisien persamaan reduced form. Metode yang digunakan untuk menduga model adalah Indirect Least Square (ILS).

b. Under identification (tidak dapat diidentifikasikan): kondisi dimana dari persamaan reduced form tidak dapat digunakan untuk menduga koefisien model struktural.

c. Over identification: kondisi dimana dari koefisien persamaan reduced form

dapat menghasilkan lebih dari satu nilai salah satu koefisien persamaan struktural. Metode yang digunakan untuk menduga model adalah dua tahap derajat terkecil atau Two Stage Least Square (TSLS).

Identifikasi dengan order condition: dalam model persamaan konsumsi terdapat empat persamaan (G=4), enam variabel, C, I, G, NX, Y dan Rate (K=6). Dalam persamaan konsumsi terdapat dua variabel, yaitu C dan Y (M=2), maka (K–M) = (6-2)=4 dan (G-1)=(4-1)=3, dengan demikian model memenuhi syarat untuk diidentifikasi. Sedangkan identifikasi dengan rank condition diperoleh nilai determinan ordo 3 bernilai 1. Sehingga dapat disumpulkan bahwa fungsi konsumsi over identification, sehingga metode yang digunakan untuk menduga model persamaan konsumsi, investasi dan aktivitas perdagangan adalah Two Stage Least Square (TSLS) (Lampiran VII).

3.4.2 Evaluasi Strategi-strategi Mengurangi Ketergantungan Terhadap DAU

Analisis diskriptif dilakukan untuk menggambarkan strategi dan program pembangunan di Kabupaten Bogor, apakah program-program dan strategi yang dilakukan sudah mengantisipasi dampak yang ditimbulkan jika suatu saat DAU ini dihentikan pengucuranya oleh Pemerintah Pusat.

Disamping analisis diskriptif, dilakukan pula analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, dimana rasio ini menggambarkan derajat ketergantungan Pemda Kabupaten Bogor terhadap sumber pembiayaan dari pihak luar. Semakin rendah angka rasio kemandirian maka semakin besar ketergantungan Pemda Kabupaten Bogor terhadap dana dari pihak luar, dalam hal ini Dana Perimbangan


(54)

dari Pemerintah Pusat (DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil). Suatu daerah dikatakan memiliki rasio kemandirian rendah jika persentase PAD dibawah 50% dari total APBD-nya, sedangkan jika persentase PAD lebih besar dari 50% dapat dikatakan memiliki kemandirian yang tinggi atau baik.

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :

angan DanaPerimb

PAD dirian

RasioKeman =

Derajat kemandirian atau ketergantungan Kabupaten Bogor terhadap DAU dari Pemerintah Pusat dapat diukur dengan membandingkan antara penerimaan DAU terhadap total APBD-nya. Dari sisi DAU ini, suatu daerah dikatakan memiliki rasio kemandirian rendah jika persentase DAU di atas 50% dari total APBD-nya, sedangkan jika persentase DAU lebih kecil dari 50% dapat dikatakan memiliki kemandirian yang tinggi atau baik. Rasio tersebut dapat dihitung sebagaimana berikut :

TotalAPBD DAU dirian

RasioKeman =

3.4.3 Pengaruh Implementasi APBD Terhadap Tingkat Kemiskinan

Untuk melihat hubungan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor, digunakan analisis regresi linier berganda sebagai berikut :

Povt = α + β1ABD + β2U + β3Inflasi + εt ; β1<0, β2>0, β3>0 Keterangan :

Povt = Angka Kemiskinan di tahun t

α = Intersep

βj = Parameter atau Koefisien Regresi (j=1,2,3,4)

ABD = Anggaran Bantuan Desa (Untuk program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat desa)

U = Unemployment (pengangguran)


(55)

3.5 Metode Perancangan Strategi dan Program

Metode perancangan program yang akan digunakan adalah dengan pendekatan kerangka logik (Logical Framework Approach/LFA). LFA merupakan sebuah alat manajemen dan perencanaan dengan menggunakan teknik visualisasi yang mampu membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pengumpulan data dan informasi untuk merancang program pembangunan daerah yang berbasiskan pada suatu hasil kajian.

Metode tersebut merupakan suatu cara untuk menyusun informasi secara sistemik, memudahkan pengamatan terhadap koherensi diantara berbagai komponen program dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Metode ini juga memberikan kemudahan dalam menyusun unsur-unsur utama dari suatu proyek, menganalisis hubungan logik antara variabel-variabel yang diinginkan, kegiatan yang direncanakan dan hasil yang dikehendaki (Tonny 2007).

Langkah-langkah dalam penyusunan LFA adalah sebagai berikut :

1. Analisis situasi :

Langkah 1 : Analisis masalah

Langkah 2 : Analisis tujuan

Langkah 3 : Analisis perumusan strategi

2. Rancangan proyek

Langkah 4 : Identifikasi unsur-unsur yang terlibat dalam proyek

Langkah 5 : Analisis perencanaan program

Langkah 6 : Identifikasi rencana proyek / rencana kerja

Langkah 7 : Monitoring kegiatan perencanaan proyek/kerja

Langkah 8 : Penyusunan anggaran biaya


(1)

F-statistic 0.451445 Probability 0.508645 Obs*R-squared 0.482583 Probability 0.487255

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 12/30/08 Time: 11:53 Sample (adjusted): 1984 2007

Included observations: 24 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.13E+11 7.67E+10 2.779326 0.0109

RESID^2(-1) 0.141876 0.211158 0.671896 0.5086 R-squared 0.020108 Mean dependent var 2.47E+11 Adjusted R-squared -0.024433 S.D. dependent var 2.80E+11 S.E. of regression 2.83E+11 Akaike info criterion 55.65793 Sum squared resid 1.77E+24 Schwarz criterion 55.75610 Log likelihood -665.8952 F-statistic 0.451445 Durbin-Watson stat 1.968216 Prob(F-statistic) 0.508645

3.

Uji Autokorelasi

a.

Persamaan Konsumsi (K) (Tidak terjadi autokorelasi)

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Obs*R-squared 1.107485 Probability 0.292629

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 12/30/08 Time: 12:00

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -30535.70 83915.03 -0.363888 0.7194

Y 0.001462 0.003254 0.449271 0.6576

RESID(-1) 0.287248 0.284451 1.009832 0.3236 R-squared 0.044299 Mean dependent var 4.66E-12

Adjusted R-squared -0.042582 S.D. dependent var 160885.8 S.E. of regression 164275.5 Akaike info criterion 26.96864 Sum squared resid 5.94E+11 Schwarz criterion 27.11491


(2)

Log likelihood -334.1081 F-statistic 0.509881 Durbin-Watson stat 1.541002 Prob(F-statistic) 0.607492

b.

Persamaan Investasi (I) (Tidak terjadi autokorelasi)

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Obs*R-squared 0.044982 Probability 0.832036

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 01/12/09 Time: 09:41

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 48362.40 3052078. 0.015846 0.9875

Y -0.002670 0.069342 -0.038510 0.9696

RATE 2567.975 303927.4 0.008449 0.9933

RESID(-1) 0.044955 0.231061 0.194559 0.8476 R-squared 0.001799 Mean dependent var 3.54E-10

Adjusted R-squared -0.140801 S.D. dependent var 2630823. S.E. of regression 2809936. Akaike info criterion 32.68087 Sum squared resid 1.66E+14 Schwarz criterion 32.87589 Log likelihood -404.5109 F-statistic 0.012618 Durbin-Watson stat 2.006887 Prob(F-statistic) 0.997998

c.

Persamaan Aktivitas Perdagangan (NX) (Tidak terjadi autokorelasi)

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Obs*R-squared 4.221633 Probability 0.069912

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 12/30/08 Time: 12:01

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -19584.62 228473.7 -0.085719 0.9325


(3)

RESID(-1) 0.424761 0.200909 2.114199 0.0461 R-squared 0.168865 Mean dependent var 2.61E-10

Adjusted R-squared 0.093308 S.D. dependent var 503135.3 S.E. of regression 479087.4 Akaike info criterion 29.10932 Sum squared resid 5.05E+12 Schwarz criterion 29.25559 Log likelihood -360.8665 F-statistic 2.234919 Durbin-Watson stat 1.894556 Prob(F-statistic) 0.130733


(4)

LAMPIRAN II

HASIL REGRESI DAN UJI ASUMSI KLASIK

PENDUGAAN PARAMETER KEMISKINAN

Dependent Variable: POV Method: Least Squares Date: 01/29/09 Time: 09:43 Sample: 1983 2006

Included observations: 24

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 35897.80 141524.7 0.253651 0.8024

ABD -1.457520 1.025453 -1.421343 0.1706

U 1.408253 0.618554 2.276684 0.0339

INF 3461.525 5112.420 0.677082 0.5061

R-squared 0.651291 Mean dependent var 347035.7 Adjusted R-squared 0.138984 S.D. dependent var 277821.6 S.E. of regression 257793.2 Akaike info criterion 27.90871 Sum squared resid 1.33E+12 Schwarz criterion 28.10506 Log likelihood -330.9046 F-statistic 2.237547 Durbin-Watson stat 0.921076 Prob(F-statistic) 0.015248

Persamaan Regresi :

POV = 35897.8 – 1.45752*ABD + 1.408253*U + 3461.525*Inflasi

3.

Uji Multikolinearitas (Tidak terjadi multikolinearitas)

ABD U INF

ABD 1.000000 0.163889 0.167613 U 0.163889 1.000000 0.068000 INF 0.167613 0.068000 1.000000

4.

Uji Heterokedastisitas (Data tidak heterokedastisitas)

White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 0.815202 Probability 0.572832 Obs*R-squared 5.362385 Probability 0.498243

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 01/29/09 Time: 09:49 Sample: 1983 2006


(5)

Included observations: 24

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -2.63E+11 1.91E+11 -1.378757 0.1858

ABD -644695.8 575709.4 -1.119829 0.2784

ABD^2 0.973311 6.449973 0.150901 0.8818

U 1970862. 1776555. 1.109373 0.2827

U^2 -3.647912 3.953769 -0.922642 0.3691

INF 1.34E+10 1.24E+10 1.079278 0.2955

INF^2 -2.17E+08 1.97E+08 -1.101760 0.2859

R-squared 0.223433 Mean dependent var 5.54E+10 Adjusted R-squared -0.050650 S.D. dependent var 1.39E+11 S.E. of regression 1.42E+11 Akaike info criterion 54.43679 Sum squared resid 3.44E+23 Schwarz criterion 54.78039 Log likelihood -646.2415 F-statistic 0.815202 Durbin-Watson stat 0.951146 Prob(F-statistic) 0.572832

3.

Uji Autokorelasi (Tidak terjadi autokorelasi)

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 3.380557 Probability 0.156692 Obs*R-squared 6.553289 Probability 0.087755

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 01/29/09 Time: 09:55

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 20648.51 131533.3 0.156983 0.8770

ABD 1.515953 1.413272 1.072654 0.2976

U 0.095558 0.558390 0.171131 0.8660

INF -1073.787 4614.278 -0.232710 0.8186

RESID(-1) 0.801152 0.348696 2.297566 0.0338 RESID(-2) 0.143121 0.657678 0.217616 0.8302 R-squared 0.273054 Mean dependent var 9.70E-11

Adjusted R-squared 0.071124 S.D. dependent var 240393.4 S.E. of regression 231686.8 Akaike info criterion 27.75648 Sum squared resid 9.66E+11 Schwarz criterion 28.05099 Log likelihood -327.0777 F-statistic 1.352223 Durbin-Watson stat 1.825293 Prob(F-statistic) 0.288021


(6)

LAMPIRAN VIII

HASIL ANALISIS ELASTISITAS

1.

Elastisitas PDRB terhadap Konsumsi

2.

Elastisitas PDRB terhadap Investasi

3.

Elastisitas PDRB terhadap Aktivitas Perdagangan

4.

Elastisitas Penganggutan terhadap Tingkat Kemiskinan


Dokumen yang terkait

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Batu Bara

1 42 75

Analisis Pengaruh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), Tingkat Investasi dan Angkatan Kerja Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Sumatera Utara

2 68 72

Pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB), Nilai Tukar Rupiah Dan Inflasi Terhadap Nilai Impor Migas Dan Non Migas Indonesia

5 46 129

Analisa Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab. Dairi

1 27 80

Dampak alokasi pengeluaran dana pembangunan pemerintah daerah dan investasi swasta terhadap produk domestik regional Bruto dan kemiskinan Provinsi Jambi

6 124 185

Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor

0 14 80

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Analisis Pengaruh Pajak Daerah, Dana Alokasi Umum Dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Meningkatnya Belanja Daerah Di Kota Surakarta Tahun 1990-2011.

0 1 12

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) Analisis Pengaruh Pajak Daerah, Dana Alokasi Umum Dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Meningkatnya Belanja Daerah Di Kota Surakarta Tahun 1990-201

0 1 15

PENGARUH PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO, TINGKAT INFLASI DAN TINGKAT PENGANGGURAN TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH (1988-2012).

0 0 16

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN

0 0 17