Development Of Texturized Vegetable Protein (Tvp) Made From Fermented Hyacinth Flour (Lablab Purpureus (L.) Sweet) And Its Application In Meatball

(1)

KAJIAN PEMBUATAN

TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN

(TVP) BERBASIS TEPUNG TEMPE KACANG KOMAK (

Lablab

purpureus

(L.) sweet) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI

TEXTURIZED SOY PROTEIN

(TSP) DAN APLIKASINYA PADA

BAKSO

SKRIPSI

LISA

F24060505

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

DEVELOPMENT OF TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN (TVP)

MADE FROM FERMENTED HYACINTH FLOUR (Lablab purpureus

(L.) sweet) AND ITS APPLICATION IN MEATBALL

Lisa1, Rizal Syarief2, Arif Hartoyo2

1,2

Deparment of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone 62 856 92751514, email: lycha_88@yahoo.com

ABSTRACT

Nowadays, people are more conscious in consuming low cholesterol foods. This phenomenon makes Texturized Vegetable Protein (TVP) becomes popular. However, the most commonly used for producing TVP is soybean which is not self-supporting in Indonesia. It directs to find an alternative substitute of soybean, such as komak/hyacinth (Lablab purpureus (L.) sweet). It is a tolerant bean and contains globulin protein that the ratio of 7S and 11S is similar to soy bean. It also has high protein (21-28%) but low fat (less than 1%). Those made hyacinth becomes a potential to be TVP without require fat extraction process. Therefore the objective of this research was to produce TVP from mixture of hyacinth bean (75% and 90%) and gluten flour (10% and 25%) afterwards evaluate its characteristics and also its application in meatball which is acceptable in terms of chemical, physical and organoleptic properties.

A preliminary experiment was conducted to determine the appropriate processing conditions. The barrel temperature, screw speed, and moisture content of feed were varied to obtain texturized products with optimal characteristics. The result showed that moisture level of the ingredients should be adjusted to 20%, the barrel temperature of twin screw extruder was 130-1400C, and the screw speed was at 35 RPM, 12 Hz. Hyacinth based textured vegetable protein is prepared by double screw extrusion for structuring protein.

The fermentation technique was used in this research to increase the protein digestibility. The results indicated that fermented THP (Texturized Hyacinth Protein) had higher in protein content, and water holding capacity but lower density than unfermented THP. These differences were significant (P < 0.05). In addition, THP prepared with 25% gluten had the psychochemical properties which close to commercial TSP (Texturized Soy Protein). Subtitution of 30% beef meat with fermented THP flour in preparing meatballs were still acceptable in organoleptic test and has fulfilled Indonesia national standards (SNI 01–3818–1995). Furthermore, this subtitution had an advantage in lowering cholesterol and in increasing dietary fiber.

Keywords:hyacinth bean, tempeh, Texturized Vegetable Protein (TVP), Texturized Hyacinth Protein (THP), meatball

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS)

NIP. 19480409.197302.1


(3)

Lisa. F24060505

. Kajian Pembuatan

Texturized Vegetable Protein

(TVP)

Berbasis Tepung Tempe Kacang Komak (

Lablab purpureus

(L.)

sweet) sebagai

Alternatif Pengganti

Texturized Soy Protein

(TSP) dan Aplikasinya pada Bakso.

Di bawah bimbingan Rizal Syarief dan Arif Hartoyo. 2010

RINGKASAN

Meningkatnya pola konsumsi masyarakat terhadap makanan yang

mengandung kolesterol dalam jumlah tinggi menyebabkan kemungkinan terjadinya

penyakit degeneratif semakin besar. Hal ini memacu populernya daging tiruan yang

memiliki nilai tambah dibandingkan daging asli (Watanabe

et al

., 2004). Selama ini,

bahan yang banyak digunakan dalam pembuatan daging tiruan adalah kedelai yang

biasa disebut sebagai

Texturized Soy Protein

/TSP.

Namun, penggunaan tepung kedelai menurut Melianawati (1998)

menyebabkan penurunan penerimaan konsumen karena munculnya bau langu dari

kandungan lemaknya dan harganya yang tinggi. Salah satu alternatif solusinya

adalah penggantian penggunaan kacang kedelai dengan kacang komak/Hyacinth

(

Lablab purpureus

(L.)

sweet)

yang mempunyai sifat dan fungsi hampir mirip

kedelai (Hartoyo, 2008).

Penelitian ini bertujuan untuk membuat produk

Texturized Vegetable

Protein

/TVP dari komak sebagai alternatif pengganti TSP dan mempelajari

karakteristik yang dihasilkan serta aplikasinya kepada produk akhir, yaitu bakso.

Hasil analisis fisiko kimia dan analisis proksimat menunjukan bahwa pengaruh

fermentasi pada tepung tempe komak menyebabkan nilai kadar air, kadar protein,

kadar lemak, WHC, daya serap minyak dan kapasitas emulsi TVP yang dihasilkan

lebih tinggi daripada TVP kacang komak kontrolnya. TVP dengan kadar gluten yang

lebih tinggi (25%) memiliki nilai kadar air, kadar protein, kadar lemak, WHC, daya

serap minyak, dan kapasitas emulsi, serta elastisitas yang lebih tinggi dari TVP yang

menggunakan 10% gluten. Kelebihan dari segi kandungan gizi antara THP dengan

TSP adalah kandungan seratnya yang lebih tinggi.

Berdasarkan kompisisi kimia dan sifat fisikokimia dapat disimpulkan bahwa

formula 2 lebih baik daripada F1 berdasarkan analisis fisik dan fisikokimianya yang

lebih mendekati dengan standar TSP komersil. Terpilihnya F2 kemudian akan

diaplikasikan pada produk bakso sebagai pangan olahan daging yang paling terkenal

di Indonesia dengan taraf subtitusi sebesar 20, 30, dan 40%.

Berdasarkan hasil uji organoleptik tahap 1 yang kemudian dianalisis dengan

analisis sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95% terlihat bahwa antara formulasi

20% dan 30% subtitusi THP dari kacang komak (kontrol) menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata, sedangkan formula 40% subtitusi menurunkan tingkat kesukaan

panelis terhadap rasa bakso secara signifikan. Pada uji organoleptik tahap 2 terlihat

bahwa penilaian panelis umumnya menunjukan bakso yang paling disukai adalah

bakso subtitusi THP tempe yang memperoleh nilai tingkat kesukaan antara 2-3. Hal

ini berarti produk berada pada kisaran kategori agak disukai hingga disukai.


(4)

Sedangkan berdasarkan uji ranking hedonik didapatkan bahwa respon 30

orang panelis terhadap penilaian kesukaan dari keempat bakso tersebut berada pada

nilai rata-rata 2-3, yaitu antara suka hingga agak suka dengan yang disukai adalah

bakso subtitusi THP tempe, bakso subtitusi THP kacang, bakso subtitusi TSP dan

terakhir adalah bakso tanpa subtistusi.

Jika hasil analisis fisikokimia yang dimiliki oleh bakso subtitusi tersebut

dibandingkan dengan standar produk bakso menurut SNI, yaitu SNI nomor 01–

3818–1995 terlihat bahwa baik bakso hasil subtitusi THP tempe, THP kacang dan

TSP memenuhi standar untuk kadar air, abu dan protein, namun tidak untuk kadar

lemak. Kadar lemak yang cukup tinggi ini diduga berasal dari daging sapi dan

kuning telur yang dipakai sebagai

emulsifier

alami. Keuntungan dari subtitusi ini

adalah menurunkan kolesterol yang terdapat pada daging dan meningkatkan

kandungan serat.


(5)

KAJIAN PEMBUATAN

TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN

(TVP)

BERBASIS TEPUNG TEMPE KACANG KOMAK (

Lablab purpureus

(L.)

sweet) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI

TEXTURIZED SOY PROTEIN

(TSP) DAN APLIKASINYA PADA BAKSO

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Lisa

F24060505

DEPARTEMEN ILMU TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

ii 

HALAMAN PENGESAHAN

MAHASISWA PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Judul Skripsi : Kajian Pembuatan

Texturized Vegetable Protein

(TVP) Berbasis

Tepung Tempe Kacang Komak (

Lablab Purpureus

(L.) sweet)

sebagai Alternatif Pengganti

Texturized Soy Protein

(TSP) dan

Aplikasinya pada Bakso

Nama

: Lisa

NIM

:

F24060505

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

(Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS)

(Arif Hartoyo, STP, MSi)

NIP. 19480409.197302.1

NIP. 19700430.199712.1.001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc)

NIP. 19650814.199002.1.001


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul

“Kajian Pembuatan

Texturized Vegetable Protein

(TVP) Berbasis Tepung

Tempe Kacang Komak (

Lablab purpureus

(L.)

sweet

)

sebagai Alternatif

Pengganti

Texturized Soy Protein

(TSP) dan Aplikasi Penggunaannya pada

Produk Bakso” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing

akademik, kecuali yang dengan jelas dicantumkan rujukannya.

Bogor, November 2010

Yang membuat pernyataan

Lisa

F24060505


(8)

iv 

© Hak cipta milik Lisa, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik

cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya


(9)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 26

Februari 1988. Penulis merupakan anak terakhir dari empat

bersaudara, anak dari pasangan Bapak Darmaji dan Ibu Sri

Rejeki. Penulis menempuh pendidikan di SDN Keputeran 7

Pekalongan (1994-1998), SDN 14 Petang Jakarta (1988-2000),

SLTPN 38 Jakarta (2000-2003), dan SMAN 35 Jakarta

(2003-2006). Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa di

Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi

Masuk Mahasiswa) untuk mengikuti Tahap Persiapan Bersama

(TPB) selama 1 tahun dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa di

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan penulis terlibat dalam organisasi-organisasi

kemahasiswaan, seperti Kesatria Pangan, Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK),

Komisi Pembinaan dan Pemuridan (KPP), dan paduan suara FATETA, serta Youth

of Nation Ministry (YoNM).

Pada pertegahan tahun 2009 penulis melakukan penelitian di Laboratorium

Seafast, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, serta AP-4 mengenai “Kajian

pembuatan

Texturized Vegetable Protein

(TVP) berbasis tepung tempe kacang

komak (

Lablab purpureus

(l.)

Sweet

) sebagai alternatif pengganti

Texturized Soy

Protein

(TSP)” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. dan Arif

Hartoyo, STP, MSi. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada bulan April tahun 2010, penulis menjadi salah satu peserta yang

mewakili Institut Pertanian Bogor dalam kegiatan

Trust by Danone Internasional

Business Competition

yang diadakan oleh Danone Group Company di Jakarta dan

berhasil menjadi finalist dalam ajang tersebut. Selain itu di tahun yang sama, penulis

juga menjadi delegasi IPB sekaligus Indonesia dalam acara

The 17

th

Tri-University

International Joint Seminar and Symposium

pada tanggal 9-12 November di Chiang

Mai University, Thailand dan berhasil terpilih sebagai

The Best Paper Award

dalam

kategori bidang pangan.


(10)

vi 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu penulis naikkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

sebab hanya karena kasih karunia dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan skripsi ini dengan judul “Kajian Pembuatan

Texturized Vegetable

Protein

(TVP) Berbasis Tepung Tempe Kacang Komak (

Lablab purpureus

(L.)

sweet

)

sebagai Alternatif Pengganti

Texturized Soy Protein

(TSP) dan Aplikasi

Penggunaannya pada Produk Bakso” dilaksanakan di Laboratorium Departemen

ITP dan Seafast Center serta Technopark.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1.

Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, dan Bapak Arif Hartoyo, STP, MSi

selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan sangat baik dan

memberi banyak masukan, nasihat, dan motivasi kepada penulis selama

mengerjakan penelitian dan skripsi.

2.

Bapak Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA selaku dosen penguji yang telah

memberi banyak masukan dalam penelitian dan perbaikan skripsi ini.

3.

Ibu Ir. Sri Endah Agustina, M.S dan Ibu Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi atas

masukan dan dorongan moril yang telah diberikan.

4.

Dosen-dosen pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan dosen yang

pernah mengajar penulis, ilmu dan nasihat Bapak Ibu sangatlan berarti.

5.

Para laboran/teknisi: Pak Jun, Pak Hendra, Pak Nur, Pak Iyas, Bu Rubiah, Bu

Antin, Bu Sri, Pak Wachid, Pak Yahya, Pak Rojak, Pak Sidiq, dan Pak Gatot

atas bantuan dan masukannya.

6.

Bu Novi dan rekan-rekan di UPT ITP, Staf Perpustakaan PITP, LSI, dan PAU

atas bantuannya bagi kelancaran selama penulis kuliah di IPB.

7.

Keluarga penulis yang selalu mendoakan dan menjadi motivasi bagi penulis

untuk memberi yang terbaik dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi.

8.

Teman-teman keluarga komak: Ade, Kak Dila, Kak Rika, dan Ci Stella serta

teman-teman ITP’43 atas kerja sama, dukungan, dan bantuan yang diberikan

pada penulis selama mengerjakan penelitian, seminar, dan skripsi.

9.

Sahabat-sahabat di Bogor: Edi & keluarga, Mellisa, Citra, Kak Azis, kak Dita,

Kak Mergy, Ci Sherly, Bang Darius, semua anak YoNM, tim BATIK-Danone

Trust 7, dan tim Rumah Pala, serta teman kos atas dukungan dan bantuannya

selama penulis berada di Bogor.

10.

Serta bapak, ibu, saudara sekalian yang telah membantu baik langsung maupun

tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan skripsi

ini. Penulis mendoakan semoga kebaikan bapak, ibu dan saudara sekalian

dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis juga mohon maaf apabila selama ini banyak kesalahan dan sikap yang tidak

berkenan kepada semua pihak. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini

bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang pangan.

Bogor, Juli 2010

Lisa


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... .. vi

DAFTAR ISI ... .. vii

DAFTAR TABEL ... .. xi

DAFTAR GAMBAR ... .. xii

DAFTAR LAMPIRAN ... . xiv

I. PENDAHULUAN

...

...

1

A. LATAR BELAKANG ... ... 1

B. PERUMUSAN MASALAH ... ... 2

C. TUJUAN PENELITIAN ... ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... ... 3

A. KACANG KOMAK ... ... 3

B. TEMPE ... ... 5

C. TEPUNG TEMPE ... ... 6

D. GLUTEN ... ... 7

E. TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN (TVP) ... ... 8

F. EKSTRUSI BAHAN PANGAN ... ... 8

G. PERUBAHAN SIFAT FISIKOKIMIA SELAMA EKSTRUSI ... .. 10

H. BAKSO ... .. 10

I. SIFAT FISIKOKIMIA TVP DAN BAKSO ... .. 12

1.

Density

(

ρ

) ... .. 12

2. Daya Serap Air (WHC) ... .. 12

3. Daya Serap Minyak ... .. 13

4. Daya dan Kapasitas Emulsi ... .. 13

III. BAHAN DAN METODOLOGI ... .. 15

A. BAHAN DAN ALAT ... .. 15

1. Bahan ... .. 15

2. Alat ... .. 15

B. METODE PENELITIAN ... .. 16

1. Pembuatan Tempe Komak ... .. 18

2. Pembuatan Tepung Tempe dan Kacang Komak ... .. 18

3. Pembuatan THP/Texturized Hyacinth Protein ... .. 18

4. Pembuatan Bakso Subtitusi THP ... .. 18

5

.

Analisis THP dan Bakso ... .. 18

a) Analisis Kadar Air ... .. 18

b) Analisis Kadar Abu ... .. 19

c) Analisis Kadar Protein ... .. 19

d) Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet ... .. 19

e) Analisis Kadar Karbohidrat

by difference ... ..

19

f) Analisis Kadar Serat Kasar ... .. 19

g) Analisis WHC ... .. 20


(12)

viii 

i) Kapasitas Emulsi ... .. 20

j) Derajat Pengembangan ... .. 20

k) Analisis Densitas ... .. 20

l) Pengukuran tekstur THP ... .. 20

m) Analisis Profil tekstur ... .. 21

6

.

Uji Organoleptik ... .. 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... .. 23

A. PEMBUATAN TEMPE KOMAK ... .. 23

B. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE KOMAK ... .. 24

C. PEMBUATAN THP... .. 25

D. HASIL ANALISIS THP ... .. 27

1. Analisis Kadar Air ... .. 27

2. Analisis Kadar Abu ... .. 28

3. Analisis Kadar Protein ... .. 29

4. Analisis Kadar Lemak ... .. 30

5. Analisis Kadar Karbohidrat

... ..

30

6. Analisis Kadar Serat Kasar ... .. 31

7. Derajat Pengembangan ... .. 32

8. Analisis Densitas ... .. 33

9. Analisis WHC ... .. 34

10. Analisis Daya Serap Minyak ... .. 34

11. Kapasitas Emulsi ... .. 35

12. Pengukuran tekstur THP ... .. 36

E. PEMILIHAN FORMULA THP TERBAIK ... .. 37

F. PEMBUATAN BAKSO SUBSTITUSI THP ... .. 38

G. UJI ORGANOLEPTIK ... .. 39

1. Uji Organoleptik Tahap I ... .. 39

2. Uji Organoleptik Tahap II ... .. 44

a) Uji Rating Hedonik ... .. 44

b) Uji Ranking Sederhana Hedonik ... .. 45

H. HASIL ANALISIS BAKSO SUBSTITUSI THP ... .. 46

1. Analisis Kadar Air ... .. 46

2. Analisis Kadar Abu ... .. 47

3. Analisis Kadar Protein ... .. 48

4. Analisis Kadar Lemak ... .. 48

5. Analisis Kadar Karbohidrat

... ..

49

6. Analisis Kadar Serat Kasar ... .. 49

7. Analisis WHC ... .. 50

8. Kapasitas Emulsi ... .. 50

10. Pengukuran Tekstur Bakso dengan TA ... .. 51

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... .. 54

A. KESIMPULAN ... .. 54

B. SARAN ... .. 54

DAFTAR PUSTAKA ... .. 55


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai ... 1

Tabel 2. Komposisi Kimia Kacang Komak ... 4

Tabel 3. Komposisi Asam Amino Protein Kacang Komak ... 4

Tabel 4. Potensi Senyawa Aktif pada Tempe ... 5

Tabel 5. Nilai Gizi Kedelai, Tempe dan Tepung Tempe ... 6

Tabel 6. Komposisi Kimia Gluten ... 7

Tabel 7. Contoh Pangan Ekstrusi ... 9

Tabel 8. SNI Bakso (SNI01-3818-1995) ... 11

Tabel 9. Setting Pengukuran Alat TPA untuk Produk Bakso ... 21

Tabel 10. Komposisi Kimia Formula THP ... 27

Tabel 11. Tabulasi Hasil Tekstur THP ... 36

Tabel 12. Tabulasi Formulasi Pembuatan THP ... 38

Tabel 13. Hasil Penilaian Rating Hedonik Bakso Tahap I ... 40

Tabel 14. Hasil Penilaian Rating Hedonik Bakso Tahap II ... 44

Tabel 15. Hasil Penilaian Ranking Hedonik Bakso ... 46

Tabel 16. Komposisi Kimia Formula Bakso Subtituasi THP ... 46


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Visualisasi Tanaman Kacang Komak ... 3

Gambar 2. Kacang Komak (

Lablab purpureus (L) Sweet

) ... 3

Gambar 3.

Diagram alir pembuatan THP

... 16

Gambar 4.

Diagram alir pembuatan bakso subtitusi THP

... 17

Gambar 5. Visualisasi Tempe Kacang Komak ... 23

Gambar 6. Visualisasi Tempe Kacang Komak (Melintang) ... 24

Gambar 7. Visualisasi Tepung Tempe Kacang Komak ... 24

Gambar 8. Visualisasi Tepung Kacang Komak ... 24

Gambar 9. “Berto” Twin Screw Ekstruder ... 25

Gambar 10. Bagian Proses Pengolahan Ekstruder Ulir Ganda ... 26

Gambar 11. Visualisasi THP ... 27

Gambar 12. Grafik Analisis Kadar Air THP ... 28

Gambar 13. Grafik Analisis Kadar Abu THP ... 29

Gambar 14. Grafik Analisis Kadar Protein THP ... 29

Gambar 15. Grafik Analisis Kadar Lemak THP ... 30

Gambar 16. Grafik Analisis Kadar Karbohidrat THP ... 31

Gambar 17. Grafik Analisis Kadar Serat THP ... 31

Gambar 18. Grafik Analisis Derajat Pengembangan THP... 33

Gambar 19. Grafik Analisis Densitas THP ... 33

Gambar 20. Grafik Analisis Daya Serap Air THP ... 34

Gambar 21. Grafik Analisis Daya Serap Minyak THP ... 35

Gambar 22. Grafik Analisis Kapasitas Emulsi THP ... 36

Gambar 23. Grafik Analisis Tekstur THP Formula 1 ... 37

Gambar 24. Grafik Analisis Tekstur THP Formula 1I ... 37

Gambar 25. Visualisasi THP Hasil Hidrasi ... 38

Gambar 26. Visualisasi Bakso Subtitusi THP ... 39

Gambar 27. Grafik Analisis Uji Rating Kesukaan Rasa Bakso ... 40

Gambar 28. Grafik Analisis Uji Rating Kesukaan Aroma Bakso ... 41

Gambar 29. Grafik Analisis Uji Rating Kesukaan Warna Bakso ... 42

Gambar 30. Grafik Analisis Uji Rating Kesukaan Tekstur Bakso... 43

Gambar 31. Grafik Analisis Uji Rating Kesukaan Overall Bakso ... 43

Gambar 32. Grafik Tabulasi Analisis Uji Rating Kesukaan Bakso Tahap II ... 45

Gambar 33. Grafik Analisis Kadar Air Bakso ... 47

Gambar 34. Grafik Analisis Kadar Abu Bakso ... 47

Gambar 35. Grafik Analisis Kadar Protein Bakso ... 48

Gambar 36. Grafik Analisis Kadar LemakBakso ... 49

Gambar 37. Grafik Analisis Kadar Karbohidrat Bakso ... 49

Gambar 38. Grafik Analisis Kadar Serat Kasar Bakso ... 50

Gambar 39. Grafik Analisis Daya Serap Air Bakso ... 50


(15)

Gambar 41. Alat Tekstur Analyser ... 51

Gambar 42. Visualisasi Hasil Analisis Tekstur Bakso ... 52


(16)

xii 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Tabulasi hasil analisis kadar air THP ... 61

Lampiran 2. Tabulasi hasil analisis kadar abu THP ... 62

Lampiran 3. Tabulasi hasil analisis kadar protein THP ... 62

Lampiran 4. Tabulasi hasil analisis kadar lemak THP ... 63

Lampiran 5. Tabulasi hasil analisis kadar karbohidrat THP ... 64

Lampiran 6. Tabulasi hasil analisis kadar serat kasar THP ... 64

Lampiran 7. Tabulasi hasil analisis derajat pengembangan THP ... 65

Lampiran 8. Tabulasi hasil analisis densitas THP ... 65

Lampiran 9. Tabulasi hasil analisis WHC THP ... 65

Lampiran 10. Tabulasi hasil analisis daya serap minyak THP ... 66

Lampiran 11. Tabulasi hasil analisis kapasitas emulsi THP ... 66

Lampiran 12. Hasil uji rating hedonik rasa bakso dari THP kacang tahap1 ... 66

Lampiran 13. Hasil uji rating hedonik rasa bakso dari THP tempe tahap1 ... 67

Lampiran 14. Hasil uji rating hedonik aroma bakso dari THP kacang tahap1 ... 68

Lampiran 15. Hasil uji rating hedonik aroma bakso dari THP tempe tahap1 ... 69

Lampiran 16. Hasil uji rating hedonik warna bakso dari THP kacang tahap1 ... 69

Lampiran 17. Hasil uji rating hedonik warna bakso dari THP tempe tahap1 ... 70

Lampiran 18. Hasil uji rating hedonik tekstur bakso dari THP kacang tahap1 ... 70

Lampiran 19. Hasil uji rating hedonik tekstur bakso dari THP tempe tahap1 ... 71

Lampiran 20. Hasil uji rating hedonik overrall bakso dari THP kacang tahap1 ... 72

Lampiran 21. Hasil uji rating hedonik overall bakso dari THP tempe tahap1 ... 73

Lampiran 22. Hasil uji rating hedonik rasa bakso dari THP kacang tahap2 ... 74

Lampiran 23. Hasil uji rating hedonik rasa bakso dari THP tempe tahap2 ... 74

Lampiran 24. Hasil uji rating hedonik warna bakso dari THP kacang tahap2 ... 75

Lampiran 25. Hasil uji rating hedonik tekstur bakso dari THP tempe tahap2 ... 75

Lampiran 26. Hasil uji rating hedonik overall bakso dari THP tempe tahap2 ... 76

Lampiran 27. Hasil uji ranking hedonik bakso ... 77

Lampiran 28. Tabulasi hasil analisis kadar air bakso ... 78

Lampiran 29. Tabulasi hasil analisis kadar abu bakso ... 78

Lampiran 30. Tabulasi hasil analisis kadar protein bakso ... 79

Lampiran 31. Tabulasi hasil analisis kadar lemak bakso ... 80

Lampiran 32. Tabulasi hasil analisis kadar karbohidrat bakso ... 80

Lampiran 33. Tabulasi hasil analisis kadar serat kasar bakso ... 81

Lampiran 34. Tabulasi hasil analisis WHC bakso ... 82


(17)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Meningkatnya pola konsumsi masyarakat terhadap makanan yang mengandung kolesterol dalam jumlah tinggi akibat pengaruh perkembangan zaman menyebabkan kemungkinan terjadinya penyakit degeneratif, antara lain jantung koroner dan tekanan darah tinggi (Watanabe et al., 2004). Hal ini memacu populernya daging tiruan yang memiliki nilai tambah dibandingkan daging asli, yaitu: kandungan lemak tidak jenuhnya cukup tinggi, tanpa kolesterol, dan harganya lebih murah (Bunge, 2001).

Pembuatan daging tiruan dapat menggunakan bahan-bahan nabati. Daging tiruan ini dibuat dengan sebelumnya diproses menjadi Texturized Vegetable Protein/TVP. TVP merupakan salah satu produk meat analog yang dibuat dengan memodifikasi stuktur protein nabati sehingga teksturnya menyerupai daging.

Teksturisasi meliputi penyusunan kembali struktur molekul-molekul protein menjadi massa berlapis saling menyilang yang tahan terhadap perpecahan selama pemanasan atau selama “processing” lebih lanjut. Sumber pembuatan TVP yang telah digunakan adalah protein gluten dari gandum dan protein globulin dari kacang-kacangan dalam bentuk tepung, konsentrat atau isolat. Adapun penggunaan TVP tersebut ternyata memperbaiki sifat emulsi, stabilitas emulsi, tekstur dan peningkatan daya rehidrasi (Muchtadi et al., 1988).

Menurut Irawan (2001), bahan yang banyak digunakan dalam pembuatan TVP ini berasal dari kedelai sehingga sering disebut Texturized Soy Protein/TSP. Namun, penggunaan tepung kedelai menurut Melianawati (1998) menyebabkan penurunan penerimaan konsumen karena munculnya bau langu dari kandungan lemaknya dan juga masalah daya cernanya yang rendah. Masalah lain dalam penggunaan kedelai adalah tingginya harga kedelai di Indonesia.

Tercatat di akhir 2007 hingga awal 2008, harga kedelai melambung hingga 100 persen, dari harga sebelumnya di kisaran Rp 3.500 - Rp 4.000 per kilogram, menjadi Rp 7.000 - Rp 8.000 per kilogram (Hartoyo, 2008). Sedangkan harga kedelai impor pada tahun ini dijual pada harga Rp9.000/kg (BAPPEBTI, 2010). Melonjaknya harga tersebut disebabkan oleh tingginya konsumsi kedelai di Indonesia karena banyak produk pangan yang sering dikonsumsi oleh rakyat Indonesia menggunakan kedelai sebagai salah satu bahan bakunya. Tingginya konsumsi tersebut tidak disertai oleh kemampuan pertanian di Indonesia untuk memenuhinya sehingga Indonesia harus tergantung pada kedelai impor. Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Tahun Luas panen Produktivitas Produksi

(000ha) Pertumbuh-an (%)

(ton/ ha)

Pertumbuh-an (%) (000 ton)

Pertumbuh-an (%) 1998 1.095,07 -2,15 1,19 -1,67 1.305,64 -3,78 1999 1.151,08 5,11 1,2 0,76 1.382,85 5,91 2000 824,48 -28,37 1,23 2,74 1.017,63 -26,41 2001 678,85 -17,66 1,22 -1,31 826,93 -18,74 2002 544,52 19,79 1,24 1,47 673,06 -18,61 2003 526,8 -3,26 1,27 3,14 671,60 -0,22 2004 565,16 7,28 1,28 0,41 723,48 7,73 2005 621,54 9,98 1,3 1,59 808,35 11,73 Rata-rata

1998-2005 -6,67 1,26


(18)

Salah satu solusi untuk pemecahan masalah tersebut adalah mencari alternatif pengganti kacang kedelai yang mempunyai sifat dan fungsi yang hampir menyerupai kacang kedelai dan dapat tumbuh produktif di Indonesia. Hartoyo (2008) menyatakan bahwa salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti kacang kedelai adalah kacang komak yang memiliki harga lebih rendah dari kedelai, yaitu Rp 3000,- per kilogram (Hartoyo, 2008).

Komak juga berpotensi menggantikan sebagian atau seluruh kacang kedelai pada pembuatan produk pangan berbasis kacang kedelai. Tempe, tauco, kecap, tepung komposit, makanan bayi, dan konsentrat protein adalah produk yang dapat dihasilkan dari kacang komak (Utomo et al., 1999). Sedangkan salah satu solusi untuk mengatasi rendahnya daya cerna dan adanya zat antinutrisi yang ada pada kacang-kacangan adalah dengan menggunakan kacang yang telah difermentasi menjadi tempe. Proses fermentasi pada tempe menyebabkan komponen-komponen kacang dihidrolisa menjadi senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna. Selain itu, selama proses pembuatan tempe terjadi penurunan kandungan antitripsin, asam fitat, dan oligosakarida penyebab flatulensi (Suwarno, 2003).

Sifat tepung kacang komak yang tinggi protein namun rendah lemak (sekitar 1%) memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan pangan berbasis protein seperti Texturized Vegetable Protein (TVP) yang tidak memerlukan proses ekstraksi lemak terlebih dahulu sehingga tidak memerlukan waktu yang lama. Pembuatan TVP ini dilakukan dengan teknik ekstruksi pemasakan (cooking extrusion). Pemilihan teknologi ekstruksi didasari oleh pertimbangan bahwa teknik ekstruksi hanya membutuhkan biaya yang relatif rendah serta produk yang dihasilkan mempunyai mutu tinggi karena kerusakan nutrisi selama proses relatif rendah (Smith, 1981). Texturized Hyacinth Protein/THP ini kemudian diaplikasikan pada end product. End product yang dipilih adalah bakso karena merupakan salah satu bahan pangan yang banyak menggunakan TSP sebagai pengganti daging (Wolf dan Cowan, 1971).

B.

PERUMUSAN MASALAH

Masyarakat kini semakin sadar akan pentingnya pola konsumsi pangan berbahan dasar nabati, salah satunya adalah Texturized Soy Protein (TSP). Hingga saat ini, TSP masih menjadi andalan dalam produk daging tiruan. Namun, dengan semakin meningkatnya harga kedelai impor, harga produk pangan berbasis kedelai pun semakin mahal. Dengan demikian diperlukan adanya suatu alternatif pengganti kacang kedelai sebagai bahan baku dalam pembuatan Texturized Vegetable Protein (TVP). Kacang komak merupakan kacang-kacangan yang banyak ditemukan di Indonesia. Dengan struktur dan sifat yang mirip kacang kedelai, diharapkan kacang komak dapat dijadikan alternatif pengganti dalam pengadaan bahan baku pembuatan TVP. Selain itu, rendahnya kadar lemak yang dimiliki oleh kacang komak, baik dalam bentuk kering maupun olahannya (bentuk tepung tempenya) membuat TVP dari kacang ini lebih singkat tahapan pembuatannya karena ekstrasi lemak sudah tidak perlu dilakukan lagi.

Formulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengaruh komposisi bahan antara tepung tempe kacang komak dan gluten, serta penentuan parameter ekstrusi seperti suhu pemasakan ekstrusi untuk mendapatkan hasil yang optimum baik dari segi fisik, kimia, maupun organoleptik. Hasil dari optimasi ini dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan produk pangan lainnya yang berbasis TVP dari tempe kacang komak, seperti bakso.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memacu tumbuhnya industri TVP berbasis tepung tempe kacang komak (THP). Berdirinya industri tersebut akan membutuhkan kontinuitas supply bahan baku yang penyediaannya berasal dari hasil panen petani kacang komak. Dengan demikian para petani memiliki pasar yang tetap untuk menjual hasil panennya yang secara tidak langsung hal tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani.

C.

TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui formulasi campuran tepung tempe komak : gluten, dan suhu pemasakan ekstrusi yang optimum untuk mendapatkan produk Texturized Vegetable Protein (TVP) yang mendekati standar

2. Mengetahui kadar substitusi Texturized Hyacinth Protein (THP) tempe terhadap produk bakso yang dihasilkan dan mempelajari sifat fisikokimia serta sensorinya berdasarkan perbandingan karakteristiknya dengan standar (TSP/ Texturized Soy Protein)

3. Mempelajari sifat fisikokimia dan organoleptik pada produk Texturized Hyacinth Protein (THP) dan bakso subtitusi Texturized Hyacinth Protein (THP) yang dihasilkan


(19)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. KACANG KOMAK

Kacang komak (Lablab purpureus (L.) sweet) termasuk dalam subkelas Dycotiledonae, ordo Kacang polonginoceae, famili Fabaceae, dan genus Dolichos. Kacang komak memiliki banyak nama lain, di antaranya adalah hyacinth bean, Bonavist, Chicaros, Chink, Egyption bean, Pharao, Seem, Val, Dolichos lablab L., Dolichos purpureus L., lablab niger Medik, lablab vulgaris Savi, Dolichos albus lour., Dolichos cultratus Thund, Dolichos lablab var hortensis, lablab leucocarpos Davi, lablab nankinicus Savi, lablab perennans DC., dan lablab vulgaris var niger DC.

Kacang komak dapat tumbuh, baik di daerah tropis maupun subtropis. Suhu pertumbuhan yang paling baik untuk kacang komak adalah 18-30oC. Namun, perkembangannya tidak dipengaruhi oleh suhu tinggi. Selain itu, tanaman ini juga sangat toleran terhadap kekeringan dan dapat beradaptasi dengan baik pada lahan kering dengan curah hujan antara 200-2500 mm/tahun

(Duke, 1983). Visualisasi kacang komak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Visualisasi tanaman komak (Lablab purpureus (L.) sweet)

Tanaman kacang komak memiliki batang yang keras, berserat, dan berbulu dengan tinggi sekitar 2-3 m bahkan dapat mencapai 10 m (Skerman, 1977 dalam Harnani, 2009). Biji kacang komak terdapat di dalam polongnya. Tiap polong umumnya berisi 3-6 biji kacang komak dengan panjang antara 5-20 cm dan lebar antara 1-5 cm (Kay, 1979). Biji kacang komak umumnya memiliki panjang antara 0,6-1,3 cm (Duke, 1983). Ukuran dan warna biji kacang komak beragam, yaitu hitam, coklat, dan kekuningan (Allen, 1981). Gambar 2 menunjukan visualisasi berbagai jenis kacang komak.

Gambar 2. Kacang komak (Lablab purpureus (L.) sweet)

Selama ini penggunaan kacang komak adalah sebagai pakan ternak, padahal kacang komak juga dapat digunakan sebagai sumber kebutuhan protein manusia dan dapat dimanfaatkan


(20)

dengan berbagai cara. Kacang komak telah didistribusikan secara luas ke banyak daerah baik negara tropis maupun negara subtropis (Duke, 1983). Di Amerika Serikat dan Amerika Selatan, India Barat dan Timur, Asia dan China kacang komak tumbuh sebagai tanaman jangka pendek atau tanaman tahunan (Duke, 1983).

Kacang komak diketahui memiliki varietas yang berbeda diberbagai belahan dunia, sehingga nama yang diberikan pun berbeda pula. Beberapa namanya seperti Dolichos lablab, Country Bean, Dolichos Bean, Lablab vulgaris, Lubia Bean, Lablab niger, Hierba de Conejo, Frijol jacinto, Poroto japones, India Butter Bean, dan lain-lain (Skerman, 1977 dalam Harnani, 2009).

Tanaman ini dapat bermanfaat bagi lingkungan sebagai penahan erosi dan juga dapat meningkatkan kesuburan tanah (Purwanto, 2007). Tanaman ini mampu meningkatkan daya dukung lahan dengan menghasilkan bahan organik tanah dan pupuk hijau. Akarnya yang bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanah (Purwanto, 2007). Selain sebagai pakan ternak, kacang ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan (sayuran dan kacang-kacangan). Bijinya yang masih muda dapat dijadikan sayuran. Biji kacang komak dapat dimasak dan dimakan sebagai sayuran atau salad. Kulit (polong) yang masih muda dan biji yang sudah kering juga dapat dikonsumsi sebagai makanan (Duke, 1983). Biji keringnya yang utuh juga dapat diproses melalui fermentasi menjadi tempe dan kecap (Harnani, 2009)

Kacang komak memiliki nilai gizi yang cukup tinggi. Zat gizi yang terkandung dalam kacang komak antara lain karbohidrat, protein, serat, dan susunan asam amino yang baik. Selain itu, kacang komak juga mengandung lemak, mineral, seperti abu, kalsium, fosfor, dan zat besi, serta vitamin, seperti asam nikotinat dan asam askorbat.

Biji kacang komak memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang cukup tinggi. Kandungan proteinnya menempati urutan ketiga setelah kedelai dan kacang tanah. Sebagai bahan pangan, kacang ini berpotensi sebagai bahan campuran makanan bayi menggantikan kedelai (Purwanto, 2007).

Biji kacang komak tua mengandung sekitar 21-29% protein sehingga dapat digunakan dalam upaya mengatasi kekurangan protein (Kay, 1979). Komposisi kimia kacang komak dapat dilihat pada Tabel 2. Susunan asam amino kacang komak mendekati susunan protein kedelai, yaitu kurangnya asam amino sulfur (metionin dan sistein) dan kaya akan asam amino lisin. Komposisi asam amino dari protein kacang komak dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi kimia kacang komak (Lablab purpureus (L.) sweet)

Komponen Rerata ± standar deviasi (%)

Protein Karbohidrat Lemak Kadar Air Kadar Abu

17,1 ± 1,5 67,9 ± 4.2 1,1 ± 0,4 9,3 ± 0,5 3,6 ± 0,1 Sumber: Subagio et al. (2006)

Tabel 3. Komposisi asam amino protein kacang komak

Asam Amino mg/g N Asam Amino mg/g N

Isoleusin 256 Tirosin 197

Leusin 436 Treonin 207

Lysin 360 Alanin 266

Metionin 36 Valin 294

Sistein 57 Arginin 393

Fenilalanin 299 Histidin 186

Asam Aspartat 727 Asam Glutamat 978

Glisin 240 Prolin 288


(21)

B. TEMPE

Menurut Handajani (2001), tempe merupakan pangan tradisional Indonesia yang dibuat dengan proses fermentasi menggunakan kultur murni Rhizopus sp. (Rhizopus oryzae atau Rhizopus oligosporus) atau kultur campuran dalam bentuk ragi tempe sebagai inokulan. Selama fermentasi, fungi tumbuh pada kedelai matang dan membentuk lapisan putih yang kompak.

Tempe biasanya diidentikan dengan kedelai. Namun, berbagai jenis tempe lain disebut dengan nama bahan bakunya, seperti tempe gembus, tempe lamtoro, tempe benguk, tempe koro, tempe bongkrek, dan tempe gude (Sapuan dan Sutrisno, 1996). Tempe yang dibuat dari bahan baku kacang komak dapat pula disebut sebagai tempe kacang komak atau tempe komak.

Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979), proses pembuatan tempe dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap perebusan pertama, perendaman, pengupasan kulit, perebusan kedua (pemasakan), penirisan dan pendinginan, inokulasi ragi tempe, pengemasan, serta inkubasi (pemeraman). Kapang yang berperan penting dalam pembuatan tempe adalah genus Rhizopus (Steinkraus, 1983; Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Beberapa spesies kapang yang biasa digunakan dalam pembentukan tempe adalah Rhizopus oligosprorus, Rhizopus oryzae, Rhizopus arrhizus, dan Rhizopus stolonifer. Kapang-kapang yang digunakan dalam pembuatan tempe tersebut memiliki aktivitas protease, lipase, dan amilase yang berbeda-beda. Ragi tempe umumnya tidak hanya mengandung satu species kapang. Ragi tempe yang beredar di pasaran umumnya mengandung Mucor rouxii, Mucor javanicus, Aspergillus niger, dan Trichosporon polulans (Steinkraus, 1983). Pada tempe terkandung berbagai macam senyawa aktif. Potensi senyawa aktif pada tempe dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Potensi senyawa aktif pada tempe

No Senyawa Aktif Potensi / Fungsi

1 Isoflavon: daidzein, glisitein, genistein, dan faktor-2

Antioksidan, antihemolisis, antibakteri, antifungi, antikanker 2 Asam lemak tidak jenuh: asam oleat,

asam linoleat, dan asam linolenat

Antioksidan, hipokholesteremik

3 Vitamin larut dalam lemak: vitamin E

dan -karoten Antioksidan, antihemolisis, pembelahan sel, melindungi dinding sel, metabolisma 4 Glikoprotein Antibakteri

5 Ergosterol Hipokholesteremik, provitamin D 6 Vitamin B komplek: thiamin,

riboflavin, niasin, asam panthotenat, sianokobalamin, folasin

Metabolisma (koenzim)

7 Enzim: protease, lipase, amilase, dan lain-lain

Metabolisma/hidrolisa

Sumber : Prawiroharsono (1995)

Selama fermentasi terjadi beberapa perubahan biokimia, antara lain peningkatan suhu bahan baku, peningkatan total padatan terlarut, peningkatan nitrogen terlarut, namun total nitrogen relatif tetap, peningkatan pH, serta pembentukan amonia bebas pada tahap akhir fermentasi. Selain itu, tekstur tempe menjadi lunak dan mudah patah (Steinkraus, 1983).

Selama proses pembuatan tempe terjadi penurunan kandungan antitripsin, asam fitat, dan oligosakarida penyebab flatulensi. Tahap perendaman, perebusan, dan pengukusan dapat mengurangi aktivitas antitripsin. Kapang Rhizopus oligosporus pada tempe memiliki aktivitas fitase yang sangat kuat sehingga dapat merusak asam fitat menjadi inositol dan asam fosfat. Asam


(22)

fitat dapat membentuk ikatan kompleks dengan kalsium, seng, mangan, besi, dan fosfor sehingga tidak dapat dicerna oleh tubuh. Berkurangnya oligosakarida penyebab flatulensi (rafinosa dan stakiosa) akibat proses perendaman, perebusan, dan fermentasi (Shurtleff dan Aoyagi, 1979).

Proses pembuatan tempe menggunakan laru (inokulum). Inokulum berisi spora kapang Rhizopus sp yang dalam pertumbuhannya akan menghasilkan enzim yang akan menguraikan substrat menjadi komponen-komponen yang lebih kecil dan sederhana, sehingga lebih mudah larut dan menghasilkan flavor dan aroma yang diinginkan. Syarat utama inokulum untuk pembuatan tempe (makanan) adalah : (1) mikroba tidak berbahaya bagi kesehatan, (2) dapat tumbuh dengan cepat, dan (3) tahan terhadap kontaminan. Jenis kapang yang biasa ada pada tempe adalah R. oligosporus, R. oryzae, R. stolonifer, dan R. Arrhizus (Syarief et al, 1999). Ragi tempe yang dibuat secara tradisional adalah kapang tempe yang menempel pada daun waru (usar). Ragi tempe dikenal dengan istilah laru yang ditemukan dalam berbagai bentuk, antara lain dalam bentuk tepung yang menempel pada daun waru tersebut. Laru bentuk ini dibuat dengan menumbuhkan spora kapang pada bahan seperti tepung terigu, beras, jagung, dan umbi-umbian yang dikeringkan.

C. TEPUNG TEMPE

Tempe merupakan produk fermentasi yang tidak dapat bertahan lama. Setelah dua hari, tempe akan mengalami pembusukan sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh manusia akibat fermentasi yang berlebihan (overfermented). Tempe yang sudah busuk masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan masakan namun fungsinya telah banyak mengalami penurunan. Salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan tempe adalah dengan mengolahnya menjadi tepung tempe. Manfaat pembuatan tepung ini antara lain mudah dicampur dengan tepung lain untuk meningkatkan nilai gizinya dan mudah disimpan dan diolah menjadi makanan yang cepat dihidangkan.

Mardiah (1994) menyatakan bahwa tepung tempe kedelai memiliki kadar protein kasar sebesar 48%, kadar lemak kasar 24,7%, serat kasar 2,5%, kadar air 8,7%, kadar abu 2,3%, dan karbohidrat lain 13,5%. Hasil penelitian secara in vivo menunjukkan nilai gizi protein tepung tempe hampir sama dengan kasein. Perbandingan nilai gizi antara kedelai, tempe, dan tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai gizi kedelai, tempe dan tepung tempe

Komponen (%BK) Kedelai Tempe Tepung Tempe

Protein 46,2 46,5 48,0

Lemak 19,1 19,7 24,7

Karbohidrat 28,5 30,2 13,5

Serat 3,7 7,2 2,5

Abu 6,1 3,6 2,3

Nilai cerna 75-85 (82) 83 87

Nilai hayati 41-74 (58)

Nisbah efisiensi protein 0-1,6 (0,7) 2,1

NPU 48-61 74

Sumber : Mardiah (1994)

Pembuatan tepung tempe kacang komak dapat meningkatkan daya awet dan kegunaan tempe kacang komak (Harnani, 2009). Tepung tempe komak penggunaannya selama ini meliputi sebagai tepung komposit, bahan baku produk pangan, makanan bayi dan anak-anak, serta bahan baku untuk produksi isolat protein. Pengeringan pada pembuatan tepung tempe kacang komak bertujuan untuk menurunkan nilai aktivitas air (aw) sampai pada tingkat tertentu, dimana aktivitas

mikroorganisme, reaksi kimia dan biokimia yang terjadi ditekan seminimal mungkin sehingga produk menjadi lebih awet. Biasanya, semua khamir dan sebagian besar kapang rusak pada proses pengeringan tetapi spora bakteri, dan kapang, serta sel-sel vegetatif dari spesies bakteri tahan panas umumnya dapat bertahan. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan protein, dan reaksi pencoklatan yang berlebihan.


(23)

D.

GLUTEN

Gluten adalah campuran amorf dari protein yang terkandung bersama pati dalam endosperma, terutama gandum, gandum hitam, dan jelai. Kandungan gluten dapat mencapai 80% dari total protein dalam tepung, dan terdiri dari protein gliadin dan glutenin (Edwards, 2003). Gluten dapat digunakan untuk membuat daging imitasi untuk hidangan vegetarian dan vegan. Penggunaan tepung dari jenis kacang-kacangan seperti kacang komak sebagai bahan tunggal dalam proses ekstrusi akan menghasilkan produk yang kurang mengembang serta sifat fungsional yang diharapkan tidak sanggup menyerupai daging asli. Menurut McAllister dan Finucane (1963) perlu digunakan bahan campuran untuk membantu pengembangan dan menaikan kandungan produk ekstrusi. Bahan lain yang dicampurkan adalah gluten dari tepung terigu.

Gluten jika bereaksi dengan air akan membentuk massa yang elastis dan ekstensibel. Massa tersebut akan memerangkap udara sehingga adonan akan mengembang. Hasil dari adonan yang mengembang tersebut adalah terbentuknya tekstur yang lembut dan elastis (Subarna, 1993). Penggunaan gluten dalam pembuatan produk TVP dapat membantu terbentuknya tekstur dan kekenyalan seperti yang terdapat pada daging biasa (Hartman, 1996). Gluten juga dapat memperbaiki karakteristik TVP pada saat pengirisan dan meminimumkan kehilangan berat yang terjadi selama proses pemasakan, pengolahan, dan atau proses persiapan (Magnuson, 1985). Selain itu, kandungan protein produk akhirnya cukup tinggi. Flavor alami gluten juga meningkatkan penerimaan konsumen.

Gluten kasar tepung gandum dapat dipisahkan dengan metode pencucian di bawah air yang mengalir hingga seluruh pati dan material yang larut, terpisah dari masa glutennya. Gluten yang diperoleh ini terdiri dari 2/3 bagian adalah air dan 1/3 bagian lainnya adalah bahan kering (Pomeranz, 1983). Protein gluten terdiri dari dua jenis yaitu glutenin dan gliadin. Perbedaan kedua jenis protein tersebut terletak pada kelarutannya. Protein gliadin larut dalam alkohol 70% sedangkan protein glutenin larut dalam asam lemah, misalkan asam asetat 1%. Penggunaan tepung tempe kacang komak sebagai bahan tunggal untuk proses ekstrusi akan menyebabkan produk yang dihasilkan kurang mengembang dan kandungan protein yang diharapkan untuk dijadikan Texturized Vegetable Protein (TVP) belum terpenuhi sehingga perlu digunakan bahan campuran untuk membantu pengembangan produk dan juga meningkatkan kandungan protein dari produk ekstrusi tersebut.

Kelebihan yang didapatkan dengan menggunakan gluten dalam pembuatan TVP adalah membantu terbentuknya tekstur dan kekenyalan sepeti pada daging, memperbaiki karakteristik TVP pada saat pengirisan, meminimumkan kehilangan berat selama proses pemasakan, pengolahan dan persiapan (Magnuson, 1985). Kelebihan lainnya adalah menambah kandungan protein serta flavour alami yang terdapat pada gluten dapat memperbaiki hasil akhir sehingga dapat lebih diterima oleh konsumen. Pembuatan tepung gluten dari tepung terigu dibuat dengan teknik pencucian dibawah air yang mengalir hingga seluruh pati dan mineral larut dengan air sehingga terpisah dari massa gluten. Gluten yang diperoleh terdiri dari 2/3 bagian adalah air dan 1/3 bagian berupa bahan kering (Pomeranz, 1983). Komposisi kimia gluten dapat dilihat dalam Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi kimia gluten

Komponen Jumlah (%)

Protein 75 Lemak 6 Karbohidrat 15

Abu 0.8 Air 3.2


(24)

E.

TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN

(TVP)

Texturized Vegetable Protein (TVP) adalah salah satu jenis produk daging tiruan yang memiliki kemiripan fungsional dengan daging dalam beberapa karakteristik seperti dalam tekstur, flavour atau warna. TVP dapat digolongkan sebagai produk pangan rekayasa protein yang dibuat untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik daripada daging asli. Protein pekar atau TVP ini memiliki kadar air 5-7% serta bila sudah direhidrasi akan mekar.

Menurut Horan (1974), manfaat yang diharapkan dari pembuatan meat analog (daging tiruan) antara lain harga yang lebih rendah dengan karakteristik gizi dan daya cerna yang sebanding, tidak membutuhkan kondisi penyimpanan yang sekompleks daging asli, memudahkan dalam pengolahan dan penyimpanan serta kualitas produk yang lebih baik.

Daging tiruan yang selama ini diproduksi pada umumnya dibuat dari campuran kedelai dan tepung terigu. Produk yang dihasilkan berupa sosis, daging cacah, hamburger, daging rendang, bakso serta dalam bentuk bacon dan bistik. Teknologi pembuatan daging tiruan pertama kali dikembangkan di Amerika sekitar tahun 1970-an.

Bahan-bahan lain yang ditambahkan dalam proses pembuatan TVP adalah bahan-bahan yang berfungsi untuk mempertinggi nilai nutrisi, penampakan, serta sifat fungsional protein lainnya. Bahan tambahan lain yang ditambahkan adalah pewarna, pemberi flavor, vitamin, mineral, dan protein (Hartman, 1966). Menurut Horan (1974), penambahan bahan-bahan seperti pembentuk tekstur dan flavor sangat penting karena masalah yang dihadapi dalam produk daging tiruan adalah penerimaan konsumen yang rendah. Penambahan bahan penolong tersebut akan membentuk tekstur dan flavor produk akhir yang dapat diterima oleh konsumen.

Ekstrusi pemasakan akan merusak enzim yang ada pada kedelai, termasuk urease yang mengurangi umur simpan, lipoksidase yang menyebabkan off-flavor karena terjadinya oksidasi minyak kedelai dan juga inhibitor tripsin yang mengurangi daya cerna protein. Hal ini dapat meningkatkan penerimaan, pencernaan, dan umur simpan produk.

Tepung kedelai tanpa lemak, konsentrat atau isolat kedelai dibasahi dan diatur pHnya. Nilai pH yang lebih rendah (5,5) meningkatkan keliatan produk akhir, sedangkan pH yang lebih tinggi (8,5) menghasilkan produk yang keras dan lebih cepat terhidrasi. Warna, flavor, dan pengeras kalsium klorida ditambahkan untuk pengembangan tekstur helaian yang diinginkan atau dikeringkan hingga kadar airnya 6-8% (Smith, 1981).

F.

EKSTRUSI BAHAN PANGAN

Ekstrusi adalah suatu proses yang mengkombinasikan beberapa unit operasi, seperti pencampuran, pemasakan, peremasan atau pengadonan, pembuatan bentuk, dan pembentukan. Ekstruder diklasifikasikan berdasarkan metode operasi (ekstruder dingin atau ekstruder pemasak) dan metode konstruksinya (ekstruder ulir tunggal dan ganda) (Muchtadi et al., 1993).

Prinsip berbagai jenis operasi tersebut sama, yaitu bahan mentah dimasukkan ke dalam barrel ekstruder yang kemudian dibawa oleh ulir ke sepanjang barrel tersebut. Selanjutnya, celah antar uliran yang lebih kecil akan membatasi volume bahan yang mengalir dan meningkatkan resistensi perpindahannya. Bahan akan mengisi barrel dan celah antar uliran pada ulir sehingga mengalami penekanan. Selama bahan melewati barrel, ulir meremas atau mengadon bahan menjadi semi-solid dan membentuk massa yang liat. Jika bahan dipanaskan pada suhu di atas 100oC, prosesnya disebut ekstrusi pemasakan atau ekstrusi panas.

Pemasakan ekstrusi menyebabkan bahan pangan berpati maupun bahan pangan berprotein tinggi mengalami pemasakan sehingga menjadi adonan bersifat plastis karena adalah adanya kombinasi pemanasan, tekanan tinggi dan gesekan mekanis. Suhu tunggi pada proses ekstrusi akan menimbulkan gelatinisasi pati, denaturasi protein dan proses restrukturisasi (Matz,1994). Pemasakan ekstrusi membantu mematangkan produk yang terbuat dari serealia dan produk nabati lainnya sehingga membentuk tekstur, mouthfeel, karakteristik hidrasi dan mengurangi efek growth inhibitor dan zat antinutrisi yang umumnya terdapat pada bahan-bahan tersebut (Smith, 1981). Menurut Harper (1981), keuntungan yang diperoleh dari proses ekstrusi adalah dapat menghasilkan berbagai macam jenis produk pangan dengan penggunaan energi secara


(25)

efisien, proses pembuatannya cepat, dan sistemnya yang kontinyu. Selain itu, keuntungan lainnya adalah produktifitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, pemakaian energi rendah, dan mutu produk tinggi karena proses penggunaan suhu tinggi dengan waktu singkat sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Smith, 1981).

Beberapa peneliti berpendapat dengan proses pada suhu tinggi dan waktu tinggal yang cepat, kerusakan zat-zat gizi terutama protein dan vitamin dapat diusahakan seminimal mungkin, namun mampu merusak senyawa toksik dan antinutrisi seperti hemaglutinin, gosipol, dan antitrypsin secara maksimal. Selain itu tidak ada bakteri, larva maupun mikroorganisme yang dapat bertahan hidup selama proses ekstrusi (Muchtadi et al., 1988). Selama proses pemasakan, bahan berupa granula maupun tepung dibentuk menjadi adonan. Gelatinisasi pati menyebabkan daya serap air menjadi semakin besar. Bahan yang mengandung gluten dalam jumlah besar akan mengembang lebih baik dan menangkap gas lebih banyak. Hasil pemasakan ekstrusi adalah gelatinisi pati, denaturasi protein, dan inaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan mentah. Proses ini diikuti oleh pengembangan eksotermik yang dibentuk pada cetakan (Smith, 1981).

Air memegang peranan penting dalam proses ekstrusi karena mempengaruhi derajat gelatinisasi dan pengembangan produk. Selain itu, air berpengaruh terhadap struktur seluler produk (Harper, 1981) dan sifat mekanis produk. Struktur yang berongga didapat dengan membentuk gel koloid pada suhu dan tekanan tinggi di dalam ekstruder. Jika gel cukup kuat, pengembangan uap air akan menghembus gel membentuk sel-sel yang berongga.

Untuk melakukan pemasakan ekstrusi, digunakan ekstruder yang sesuai dengan kebutuhan produk yang akan dihasilkan. Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi. Menurut Muchtadi et al., (1988), fungsi ekstruder meliputi gelatinisasi, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, pengembangan, dan pengeringan. Kombinasi satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam proses ekstrusi. Parameter operasi yang paling penting pada sebuah ekstruder adalah suhu, tekanan, diameter lubang die, dan kecepatan peremasan dan peradonan. Kecepatan peradonan berpengaruh terhadap desain bagian dalam barrel – panjang, serta kecepatan dan geometri ulir. Contoh bahan pangan hasil ekstrusi dapat dilihat di Tabel 7.

Tabel 7. Contoh pangan ekstrusi

Jenis Produk Contoh

Produk berbasis serealia

Makanan camilan yang dikembangkan

Sereal sarapan yang dikembangkan dan siap makan Sup, minuman, dan minuman instan

Weaning food

Pati pra-gelatinisasi yang termodifikasi, dekstrin Crispbread dan crouton

Pasta

Tepung pra-pemasakan

Produk berbasis gula

Permen karet Liquorice

Tofee, karamel, dan serpihan kacang Gum buah

Produk berbasis protein

Texturized Vegetable Protein (TVP)

Makanan hewan semi-basah yang dikembangkan, makanan hewan, dan suplemen protein

Produk sosis, frankfurter, hot dog Surimi

Kaseinat Keju Sumber: Harper (1981)


(26)

G.

PERUBAHAN SIFAT FISIKO-KIMIA SELAMA EKSTRUSI

1.

Pati

Pati merupakan sumber karbohidrat yang paling penting dalam gizi manusia. Molekul pati tersimpan dalam granula dengan kekuatan ikatan yang berbeda-beda dengan diameter 2-150µm. Pada irisan melintang dapat dilihat bahwa pati membentuk granula dengan posisi cincin melingkar seperti sepotong bahan. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun jumlah air yang terserap dan pembengkakkannya terbatas dan setelah pembengkakkan ini pati dapat kembali pada kondisi semula (Smith, 1981).

Menurut Linko et al. (1981), jika pati membengkak beratnya akan meningkat beberapa kali lipat dibandingkan berat kering pati. Peningkatan berat tersebut disebut swelling power yang nilainya berbeda-beda pada setiap jenis pati. Suhu dimana pati menjadi bengkak serta terjadi kerusakan struktur internal yang tetap disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi ini bervariasi tergantung pada jenis dan sumber pati. Suhu gelatiniasasi dipengaruhi oleh konsentrasi, pH suspensi, konsentrasi gula dan garam (Smith, 1981).

Pada proses ekstrusi, komponen pati mengalami gelatinisasi yang disebabkan oleh suhu, tekanan, dan gesekan (Smith, 1981). Tingkat gelatinisasi pati selama proses ekstrusi tergantung pada asal bahan baku dan kondisi operasi (Linko et al., 1981). Tingkat gelatinisasi meningkat, seiring dengan semakin rendahnya kadar air, waktu dan suhu proses yang semakin tinggi (Smith, 1981).

2.

Protein

Proses ekstrusi yang menggunakan suhu menyebabkan protein terdenaturasi (Smith, 1981). Bila susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekul protein berubah, maka dikatakan protein terdenaturasi (Winarno, 1997). Jika ikatan yang membentuk konfigurasi rusak, molekul akan mengembang. Winarno (1997) menjelaskan protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya karena lapisan molekul bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke dalam.

Adanya komponen protein dalam bahan pangan yang digunakan dalam pengolahan suatu produk mempengaruhi sifat produk yang dihasilkan, yaitu produk akan semakin rendah pengembangannya. Pengaruh protein ini tergantung pada tipe dan konsentrasi ptotein (Gutcho, 1977).

3.

Lemak

Selama proses ekstrusi, lemak bersama pati akan membentuk struktur yang baru, yaitu kompleks antara amilosa dan asam oleat. Struktur baru yang terbentuk ini dapat menghambat pengembangan produk ekstrusi (Gutcho, 1977). Asam lemak akan memasuki granula-granula pati dan membentuk kompleks dengan amilosa. Lemak tersebut akan menurunkan swelling power dan kelarutan pati. Adanya lemak dan minyak dalam produk-produk ekstrusi akan mengubah tekstur, rasa, dan aroma produk (Harper, 1981).

H.

BAKSO

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Bakso atau meat ball diartikan sebagai daging giling yang dicampur dengan tepung atau konsentrat protein, susu bubuk tak berlemak, dan bahan-bahan sejenis maksimum 12%. Sedangkan menurut Wilson et al. (1981), bakso merupakan


(27)

pencampuran antara hancuran daging yang belum dimasak dengan tepung pati pada jumlah tertentu.

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang dikonsumsi oleh berbegai lapisan masyarakat Indonesia. Bakso tergolong dalam produk emulsi minyak dalam air (O/W). Lemak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi dengan protein sebagai emusifiernya (Wilson et al., 1981).

Definisi bakso daging menurut SNI 01-3818-1995 (Tabel 8) adalah makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak dan pati atau serelia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Hasil survey yang dilakukan oleh Pandisurya (1983) menyebutkan bahwa karakteristik bakso sapi yang disukai konsumen adalah agak asin, berwarna abu-abu pucat atau muda beraroma daging rebus, teksturnya empuk dan agak kenyal, berbentuk bulat dengan ukuran sedang (diameter 3-5 cm). Bahan tambahan yang umum digunakan adalah titanium dioksida, benzoate, tawas, sodium tripolifosfat (Pandisurya, 1983).

Tabel 8. SNI bakso (SNI 01 – 3818 – 1995)

Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Keadaan :

Bau - Normal khas daging

Rasa - Gurih

Warna - Normal

Tekstur - Kenyal

Air % b/b Maks. 70%

Abu % b/b Maks.3%

Protein % b/b Min. 9%

Lemak % b/b Maks. 2%

Boraks - Tidak boleh ada

Bahan Tambahan Makanan SNI 01-0222-1995 Cemaran Logam :

Timbal (Pb) mg/ kg Maks. 2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20,0 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 1,0 Sumber: BSN (1995)

Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari empat tahap yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan. Menurut Pisula (1984) penghancuran daging bertujuan untuk memecahkan dinding sel serabut otot daging sehingga protein larut garam (aktin dan miosin) terekstrak keluar.

Penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara mencacah atau menggiling sampai lumat atau halus (chopping) (Wilson et al., 1981). Selain itu, penghancuran daging dapat dilakukan dengan mencacah (mincing), menggiling (grinding) atau mencincang sampai lumat/halus (chopping) (Wilson et al., 1973). Selama pembuatan dan pencampuran adonan, protein terlarut membentuk matriks yang menyelubungi butiran lemak dan membentuk emulsi yang stabil. Selain sebagai pengikat lemak, protein juga berfungsi mengikat air sehingga diperoleh emulsi daging yang baik.

Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan kemudian menghancurkannya sehingga membentuk suatu adonan kemudian mencampurkannya dengan seluruh bahan lainnya. Pencetakan bakso umumnya dilakukan dengan cara membentuk adonan menjadi bulatan-bulatan sebesar kelereng atau lebih besar dengan menggunakan tangan. Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan merebusnya dalam air mendidih (Tarwotjo et al., 1971). Bakso dikatakan matang atau masak apabila telah mengapung dalam air mendidih. Bakso merupakan salah satu end product yang menggunakan Texturized Soy Protein/TSP sebagai salah satu ingredientnya sebagai bahan pengganti daging (Wolf dan Cowan, 1971).


(28)

I.

SIFAT FISIKOKIMIA TVP DAN BAKSO

1.

Bulk Density

(

ρA)

Densitas merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan. Sebagian besar partikel makanan memiliki densitas padat sekitar 1.4-1.5 g/cm3. Densitas produk berbentuk bubuk (food powder) dipengaruhi oleh komposisinya (Wirakartakusumah et al., 1992). Menurut Wirakartakusumah et al. (1992), nilai densitas dari berbagai makanan berbentuk bubuk umumnya antara 0.3-0.8 g/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa makanan berbentuk bubuk memiliki porositas yang tinggi, yaitu sekitar 40-80%.

Densitas bulk adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas bulk ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian dari berat bubuk dengan volume wadah. Porositas merupakan bagian yang tidak ditempati oleh partikel atau bahan padatan. Bubuk bersifat compressible sehingga densitas bulknya diberi sifat-sifat tambahan, seperti loose bulk density, tapped bulk density (setelah getaran), atau densitas yang kompak/ compact density (densitas setelah dimampatkan) (Wirakartakusumah et al., 1992).

Sebagian besar makanan berbentuk bubuk akan menjadi kohesif, yaitu gaya tarik-menarik antar partikelnya relatif tinggi terhadap berat partikel. Densitas bulk dari jenis pangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berhubungan, yaitu intensitas gaya tarik-menarik antar partikel, ukuran partikel, dan jumlah dari titik yang berhubungan. Perubahan densitas bulk dapat menyebabkan perubahan dari sifat-sifat bubuk (Wirakartakusumah et al., 1992).

2.

Daya Serap Air (WHC)

Daya serap air (water holding capacity) adalah jumlah air yang terperangkap dalam matriks protein pada kondisi tertentu. Daya serap air berhubungan dengan jumlah gugus asam amino polar yang terdapat dalam molekul protein. Gugus asam amino polar, seperti hidroksil, amino, karboksil, dan sulfihidril memberikan sifat hidrofilik bagi molekul protein sehingga dapat menyerap atau mengikat air (Suwarno, 2003).

Kemampuan protein menyerap air berperan dalam pembentukan tekstur produk pangan. Semakin banyak air yang diserap, maka semakin baik tekstur dan mouthfeel bahan pangan tersebut. Pengikatan air bergantung pada komposisi dan konformasi antara molekul-molekul protein. Interaksi antara air dan gugus hidrofilik dari rantai samping protein dapat terjadi melalui ikatan hidrogen. Jumlah air yang dapat ditahan oleh protein bergantung pada komposisi asam amino, hidrofobisitas permukaan, dan proses pengolahan. Jumlah air yang diikat akan meningkat jika kepolaran protein meningkat (Suwarno, 2003).

Adapun beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi daya serap air, yaitu pH, suhu, dan kekuatan ion. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan konformasi dan polaritas molekul protein (Hutton dan Campbell, 1981). Selain itu, daya serap protein juga dipengaruhi oleh konsentrasi protein dan adanya komponen lain, seperti polisakarida hidrofilik, lemak, garam, serta dipengaruhi pula oleh lamanya pemanasan dan kondisi penyimpanan (Zayas, 1997). Semakin tinggi konsentrasi protein dalam suatu bahan pangan, maka daya serap airnya pun semakin baik.

Garam dapat berkompetisi dengan protein dalam mengikat air. Konsentrasi garam tinggi dapat menyebabkan dehidrasi protein karena adanya kompetisi antara garam dan protein sehingga terjadi penekanan lapisan elektrik di sekeliling molekul protein dan terjadi perubahan konformasi protein, penurunan hidrasi protein, dan pengendapan (Suwarno, 2003). Suhu tinggi dapat mengurangi daya serap air oleh protein. Adanya pemanasan, pemekatan, pengeringan, atau pembentukan tekstur ini dapat mengakibatkan denaturasi protein dan transisi konformasi sehingga terjadi pembukaan rantai polipeptida dan jumlah asam amino polar pada protein berkurang (Zayas, 1997). Namun, pemanasan, agregasi, dan denaturasi tersebut dapat juga menyebabkan perubahan konformasi tertentu sehingga daya serap air meningkat (Hutton dan Campbell, 1981). Kelarutan dan daya serap air terendah terjadi pada saat titik isoelektrik protein (pH 4,5) dan meningkat sejauh menjauhi titik tersebut (Wolf dan Cowan, 1971).


(29)

3.

Daya Serap Minyak

Daya serap minyak adalah kemampuan protein untuk menyerap dan menahan lemak serta untuk berinteraksi dengan komponen lemak dalam sistem emulsi yang amat penting dalam formulasi produk pangan. Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat tambahan lain, suhu, dan derajat denaturasi protein. Ukuran dan tekstur yang lebih halus, lebih seragam, dan lebih porous memudahkan menyerap dan mengikat minyak. Denaturasi protein dapat meningkatkan daya serap minyak karena terbukanya struktur protein sehingga asam amino non polarnya terpapar. Namun, denaturasi yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan protein menyerap air karena rusaknya rantai hidrofilik protein (Suwarno, 2003).

Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi lipid-lipid. Ikatan yang ikut berperan dalam interaksi tersebut adalah ikatan hidrofobik, elektrostatik, ikatan hidrogen, dan ikatan non kovalen. Ikatan hidrofobik penting untuk stabilitas kompleks lipid-protein. Interaksi antara protein dengan anion asam lemak dapat mengubah struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul.

Struktur yang bersifat lipolitik, karena kandungan cabang protein nonpolar yang lebih dominan, berkontribusi terhadap meningkatnya daya serap minyak (Lin et al., 1974). Daya serap minyak ini bermanfaat dalam aplikasi protein pada produk daging sintetis dan berperan penting dalam memperbaiki karakteristik cita rasa (Suwarno, 2003).

4.

Daya dan Kapasitas Emulsi

Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, dimana molekul kedua cairan ini tidak saling berbaur, tetapi saling antagonis. Tiga bagian utama dalam suatu sistem emulsi adalah bagian pendispersi juga dikenal sebagai continous phase yang biasanya berupa air, bagian terdispersi yang biasanya terdiri dari butiran-butiran lemak, serta bagian emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir-butir lemak tetap tersuspensi dalam air (Winarno, 1997).

Daya kerja emulsifier terutama dipengaruhi oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat, baik pada air (polar) dan pada minyak (non polar). Emulsi minyak dalam air (O/W)

terjadi bila emulsifier lebih terikat pada air (polar), sedangkan emulsi air dalam minyak (W/O)

terjadi bila emulsifier lebih terikat pada minyak (non polar) (Winarno, 1997).

Sifat emulsifikasi protein dipengaruhi oleh laju adsorbsi antarmuka minyak-air, jumlah protein teradsorbsi, serta kemampuan untuk membentuk sebuah film yang kental, kohesif, dan kontinyu melalui interaksi kovalen dan non kovalen (Widowati et al., 1998). Selain itu, sifat emulsi suatu protein juga dipengaruhi oleh desain peralatan yang digunakan, suhu minyak, dan suhu larutan protein (Zayas, 1997).

Suhu rendah merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan emulsi yang stabil. Peningkatan suhu dapat menyebabkan emulsi menjadi tidak stabil karena peningkatan energi panas yang menyebabkan penurunan viskositas dan kekakuan permukaan (Suwarno, 2003).

Daya emulsi adalah kemampuan protein untuk membantu membentuk dan menstabilkan emulsi. Kapasitas emulsi dinyatakan sebagai jumlah minyak yang diemulsi oleh satu gram protein pada suatu kondisi spesifik. Kapasitas emulsi tergantung pada kemampuannya membentuk film-film adsorbsi di sekeliling globular dan menurunkan tegangan interfasial pada lapisan antara minyak dan air (Suwarno, 2003).

Daya emulsi bergantung pada bentuk, hidrasi grup polar, hidrofobisitas molekul dan muatan. Emulsi yang stabil terbentuk karena protein yang larut dan dapat teradsorbsi dalam lapisan, serta memiliki grup-grup bermuatan yang terdistribusi merata dan mampu membentuk film yang kohesif dan kuat (Zayas, 1997).

Daya dan stabilitas emulsi suatu protein disebabkan oleh aktivitasnya yang menyerupai surfaktan, yaitu kemampuan untuk mengurangi tegangan permukaan antara komponen hidrofobik dan hidrofilik (Macritche, 1978). Selain itu, protein juga memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan permukaan penyerap yang menyelubungi droplet minyak sehingga dapat menahan minyak dan membentuk emulsi minyak dalam air yang stabil (Philips dan Finley, 1989).


(30)

Kapasitas emulsi suatu protein dipengaruhi oleh jumlah asam amino yang bersifat hidrofobik. Perbandingan jumlah asam amino hidrofilik-lipolitik yang seimbang sangat menentukan kemampuan protein dalam membentuk emulsi karena dapat menurunkan tegangan interfasial. Kapasitas dan stabilitas emulsi merupakan ukuran sifat-sifat protein sebagai emulsifier dalam sistem emulsi pangan. Protein teradsorbsi dapat menurunkan tegangan permukaaan atau interfasial sehingga dapat memfasilitasi pembentukan emulsi. Protein globular dengan hidrofobisitas permukaan tinggi, seperti lisosim, ovalbumin, dan protein whey, akan mengalami peningkatan daya emulsi dengan pemanasan sedang dan strukturnya sedikit terbuka (Zayas, 1997).

Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi antara lain: (1) tegangan permukaan antara dua fase, (2) karakteristik lapisan penyerap antara dua fase, (3) muatan pada globular, (4) perbandingan antara ukuran dan permukaan globular dengan volumenya, (5) perbandingan antara berat dengan volume fase terdispersi dan pendispersi, dan (6) viskositas fase pendispersi. Kapasitas dan stabilitas emulsi suatu protein meningkat dengan meningkatnya konsentrasi protein tersebut yang dipengaruhi oleh pH, kekuatan ion, dan perlakuan panas (Zayas, 1997).

Indikator kapasitas emulsi adalah kelarutan dan hidrofobisitas. Menurut Volkert dan Klein (1979), kapasitas emulsi berhubungan dengan kelarutan protein. Semakin tinggi kelarutan suatu protein, maka kemampuannya untuk membentuk lapisan yang menyelubungi droplet minyak juga semakin tinggi sehingga aktivitas emulsinya meningkat. Konsentrasi protein tidak larut yang tinggi dapat menyebabkan pembentukan partikel yang semakin kecil selama pembentukan emulsi sehingga stabilitas emulsinya meningkat. Protein tidak larut air juga ikut berperan dalam pembentukan emulsi yang stabil.


(31)

III. BAHAN DAN METODOLOGI

A.

BAHAN DAN ALAT

1.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : a) Pembuatan tepung kacang dan tempe komak

Bahan baku yang digunakan adalah kacang komak yang berasal dari para petani di Probolinggo, Jawa Timur. Kacang komak tersebut kemudian dibuat menjadi tempe dengan cara fermentasi dengan penambahan ragi tempe (ragi RAPRIMA yang diproduksi oleh PT. Aneka Fermentasi Industri, Bandung-Indonesia). Setelah menjadi tempe kemudian dilakukan proses penepungan hingga diperoleh tepung tempe kacang komak.

b) Pembuatan THP (Texturized Hyacinth Protein)

Bahan campuran yang digunakan adalah tepung gluten dari tepung terigu lalu ditambah bahan pengikat, pencita rasa dan pengatur tekstur. Sebagai bahan pengikat digunakan tepung tapioka. Bahan pemberi citarasa terdiri dari garam, tepung bawang putih, flavor daging, dan untuk pengatur tekstur digunakan kalsium klorida (CaCl2).

c) Pembuatan bakso subtitusi THP

Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah daging sapi, tapioka, garam, MSG (Monosodium glutamate), STPP (Sodium tripolifosfat), bawang putih giling, bawang merah goreng, merica bubuk, lada bubuk, dan es batu. Kemudian komposisi daging disubtitusi sebagian oleh THP.

d) Analisis

Analisis dilakukan dua tahap yaitu analisis THP dan analisis bakso, yang terdiri dari analisis kimia dan fisik. Bahan untuk analisis THP dan bakso meliputi K2SO4, HgO,

H2SO4 pekat, H3BO3, indikator merah metil serta metil biru, NaOH-Na2S2O3 pekat,

pelarut heksana, HCl 37%, air suling, metanol, NaOH 0.1 N, dan minyak jagung.

2.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Pembuatan tepung kacang dan tempe komak

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe kacang komak adalah keranjang, nampah, plastik pembungkus, jarum pelubang plastik, pisau, pengukus, kain saring, disc mill, oven pengering, dan ayakan 60 mesh.

b) Pembuatan THP (Texturized Hyacinth Protein)

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan THP adalah blender kering, wadah, neraca, mixer, oven pengering, dan ekstruder. Ekstruder yang digunakan adalah ekstruder ulir ganda merk “Berto” yang terdapat di Techno Park, IPB Dramaga.

c) Pembuatan bakso subtitusi THP

Alat-alat utama yang digunakan pada pembuatan bakso antara lain grinder, meat cutter dan blender, sedangkan alat tambahan lainnya adalah pisau, talenan, panci, thermometer, nampah, sendok, centong, saringan, serta alat penggorengan lainnya yang dipakai untuk perebusan bakso.

d) Analisa

Analisis dilakukan dua tahap yaitu analisis THP dan analisis bakso, yang terdiri dari analisis kimia dan fisik. Bahan untuk analisis THP dan bakso meliputi oven, tanur, kjeldahl mikro, alat destilasi, labu lemak, alat ekstraksi Soxhlet, tanur, pompa vakum, sentrifuse, pH meter, neraca, magnetic stirer, tabung sentrifuse, vortex, alumunium foil, shaker, botol gelap, freezer, hot plate, kapas, kertas saring dan alat-alat gelas (pipet tetes, pipet volumetrik, pipet Mohr, tabung reaksi bertutup, gelas piala, gelas arloji, gelas ukur 100 ml, erlenmeyer 125 ml, dan batang gelas).


(32)

B.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan penelitian, yaitu pembuatan THP (Texturized Hyacinth Protein) dan pembuatan bakso subtitusi THP. Diagram alir tahapan penelitian dalam pembuatan THP dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir pembuatan THP (Texturized Hyacinth Protein) Kacang komak

Fermentasi Direbus 30 menit

Tempe komak Komak rebus

Dikukus 15 menit dengan steam jacket

Dikeringkan dengan oven pengering 600C selama ± 6 jam

Ditepungkan dengan pin disc mill 60 mesh

Formulasi tepung komak + gluten 90:10 (F1) dan 75:25 (F2)

Ekstruksi dengan twin screw ekstruder suhu akhir 1300C dan speed 240 rpm

THP


(33)

Adapun diagram alir pembuatan bakso subtitusi THP dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir pembuatan bakso subtitusi THP THP

Pengecilan ukuran dengan hammer mill

Rehidrasi (THP : air = 1:2) selama 3 jam di dalam refrigator

Formulasi antara daging : THP 50:20 (A), 40:30 (B) dan 30:40 (C)

Digiling dengan meat grinder hingga kalis + es batu dan garam

Dimasukkan pati, telur ,STPP dan bumbu

Digiling dengan meat grinder hingga kalis

Adonan dibentuk bulat-bulat dengan tangan

Direndam dalam air 600C + tawas 1 gr/1 lt air hingga mengembang dan mengambang

Direbus dalam air matang ± 10 menit

Ditiris dan diangin-anginkan hingga kering


(34)

1.

Pembuatan Tempe Komak (Harnani, 2009)

Kacang komak kering direbus dalam larutan abu 5% dari berat kacang selama 30 menit kemudian direndam selama 36 jam dengan air mendidih. Setelah direndam, lendir dihilangkan dan dikupas kulitnya. Kacang komak tanpa kulit kemudian dikukus selama 15 menit, selanjutnya ditiriskan dan didinginkan selama 3-4 jam pada suhu ruang. Kacang komak yang sudah dingin kemudian diinokulasi dengan ragi tempe RAPRIMA (LIPI, Bandung) sebanyak 0.5% dari berat kacang. Kacang komak yang telah diinokulasi tersebut kemudian dibungkus dalam plastik polietilen (PE) dan diberi lubang dengan jarak 2 cm. Kacang komak yang telah dikemas tersebut kemudian diinkubasi pada suhu kamar (25-30oC) selama 36 jam.

2.

Pembuatan Tepung Tempe dan Kacang Komak (Harnani, 2009)

Kacang komak kontrol dan tempe komak segar yang telah dipotong dengan slicer kemudian dikeringkan selama 5-6 jam dengan oven pengering pada suhu 60oC. Kacang komak kontrol (komak rebus) dan tempe komak kering ini kemudian masing-masing digiling dengan pin dics mill dan diayak dengan ayakan berukuran 60 mesh sehingga dihasilkan tepung kacang komak kontrol dan tepung tempe komak.

3.

Pembuatan THP

/Texturized Hyacinth Protein

(Irawan, 2001)

THP ini dibuat dengan melakukan pencampuran antara gluten : tepung komak (tempe dan kacang komak kontrol) dengan perbandingan, yaitu: F1 = 90:10 dan F2 = 75: 25, selanjutnya diberi penambahan bahan-bahan lainnya (flavor agent, dan air). Bahan tersebut kemudian diekstruksi pada suhu yang terpilih dari perlakuan suhu yang ada, yaitu pada suhu 1100C, 1300C, dan 1500C dengan speed 35 rpm, 12 Hz. Bahan kemudian ditampung dan keringkan dengan oven pengering 60oC selama 5-6 jam. Produk THP yang sudah dibuat kemudian digiling dengan hammer mill.

4.

Pembuatan Bakso Subtitusi THP (Modifikasi Syamsir

et al

., 2009)

THP/ Texturized Hyacinth Protein yang telah didapat kemudian digunakan sebagai salah satu bahan dasar pada pembuatan bakso. Formulasi subtitusi daging dengan THP yang digunakan adalah 20, 30 dan 40% daging. Bahan-bahan tambahan lain yang diperlukan, yaitu daging sapi, tapioka, garam, MSG, STPP, bawang putih giling, bawang merah goreng giling, merica bubuk, lada bubuk, dan es batu.

5.

Analisis THP

/Texturized Hyacinth Protein

dan Bakso Sutitusi THP

a)

Kadar Air (Apriyantono

et al.

, 1989)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan+sampel ditimbang. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Cawan tersebut dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot  0.0003 gram).

Kadar air (basis kering) = b – (c-a) x 100 % c-a

Keterangan : b = bobot sampel (g)


(1)

Ranks

Mean Rank

Rank_Tempe 2.40

Rank_Kacang 3.57

Rank_TSP 3.30

Rank_Daging 3.40

Test Statisticsa

N 30

Chi-Square 16.507

df 4

Asymp. Sig. .002

a. Friedman Test

Lampiran 28. Tabulasi hasil analisis kadar air bakso subtitusi THP Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Skor

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 34397.157a 4 8599.289 5.800E4 .000

Ulangan .198 1 .198 1.336 .367

Sampel 9.477 2 4.738 31.959 .030

Error .297 2 .148

Total 34397.454 6

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

Skor Duncan

Sampel N

Subset

1 2

Bakso TSP 2 74.0450

Bakso kacang 2 75.9850


(2)

Lampiran 29. Tabulasi hasil analisis kadar abu bakso subtitusi THP Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Skor

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 13.726a 4 3.431 2.451E3 .000

Ulangan .000 1 .000 .107 .775

Sampel .790 2 .395 282.048 .004

Error .003 2 .001

Total 13.729 6

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)

Skor Duncan

Sampel N

Subset

1 2

Bakso tempe 2 1.1450

Bakso kacang 2 1.2850

Bakso TSP 2 1.9750

Sig. .065 1.000

Lampiran 30. Tabulasi hasil analisis kadar protein bakso subtitusi THP Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Skor

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 3476.488a 4 869.122 5.735E3 .000

Ulangan .194 1 .194 1.283 .375

Sampel 10.687 2 5.343 35.258 .028

Error .303 2 .152

Total 3476.791 6


(3)

Skor Duncan

Sampel N

Subset

1 2

Bakso kacang 2 23.0450

Bakso TSP 2 23.1350

Bakso tempe 2 25.9200

Sig. .839 1.000

Lampiran 31. Tabulasi hasil analisis kadar lemak bakso subtitusi THP

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Skor

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 1364.187a

4 341.047 1.491E4 .000

Ulangan .010 1 .010 .456 .569

Sampel 63.812 2 31.906 1.395E3 .001

Error .046 2 .023

Total 1364.233 6

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

Skor Duncan

Sampel N

Subset

1 2

Bakso kacang 2 12.1750

Bakso tempe 2 12.6650


(4)

Lampiran 32. Tabulasi hasil analisis kadar karbohidrat bakso subtitusi THP Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Skor Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 20707.914a 4 5176.978 2.527E4 .000

Ulangan .295 1 .295 1.439 .353

Sampel 72.203 2 36.101 176.219 .006

Error .410 2 .205

Total 20708.324 6

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

Skor Duncan

Sampel N

Subset

1 2 3

Bakso TSP 2 54.0750

Bakso tempe 2 59.3850

Bakso kacang 2 62.4750

Sig. 1.000 1.000 1.000

Lampiran 33. Tabulasi hasil analisis kadar serat kasar bakso subtitusi THP

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Skor

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 6072.035a

4 1518.009 7.116E3 .000

Ulangan .000 1 .000 .001 .975

Sampel 19.849 2 9.924 46.524 .021

Error .427 2 .213

Total 6072.461 6


(5)

Skor Duncan

Sampel N

Subset

1 2

Bakso kacang 2 29.8350

Bakso tempe 2 31.2450

Bakso TSP 2 34.2000

Sig. .093 1.000

Lampiran 34. Tabulasi hasil analisis WHC bakso subtitusi THP

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Skor

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 103731.000a 6 17288.500 2.593E4 .000

Ulangan .667 2 .333 .500 .630

Sampel 128.250 3 42.750 64.125 .000

Error 4.000 6 .667

Total 103735.000 12

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

Skor Duncan

Sampel N

Subset

1 2 3 4

Bakso kacang 3 88.6667

Bakso TSP 3 91.6667

Bakso tempe 3 93.6667


(6)

Lampiran 35. Tabulasi hasil analisis kapasitas emulsi bakso subtitusi THP Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Skor

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 3492.625a 5 698.525 5.588E3 .000

Ulangan .125 1 .125 1.000 .391

Sampel 6.375 3 2.125 17.000 .022

Error .375 3 .125

Total 3493.000 8

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

Skor Duncan

Sampel N

Subset

1 2

Bakso kacang 2 19.7500

Bakso tempe 2 20.7500

Bakso TSP 2 20.7500

Bakso daging 2 22.2500