SIFAT FISIKOKIMIA TVP DAN BAKSO

12

I. SIFAT FISIKOKIMIA TVP DAN BAKSO

1. Bulk Density ρ

A Densitas merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan. Sebagian besar partikel makanan memiliki densitas padat sekitar 1.4-1.5 gcm 3 . Densitas produk berbentuk bubuk food powder dipengaruhi oleh komposisinya Wirakartakusumah et al., 1992. Menurut Wirakartakusumah et al. 1992, nilai densitas dari berbagai makanan berbentuk bubuk umumnya antara 0.3-0.8 gcm 3 . Hal ini menunjukkan bahwa makanan berbentuk bubuk memiliki porositas yang tinggi, yaitu sekitar 40-80. Densitas bulk adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas bulk ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian dari berat bubuk dengan volume wadah. Porositas merupakan bagian yang tidak ditempati oleh partikel atau bahan padatan. Bubuk bersifat compressible sehingga densitas bulk nya diberi sifat-sifat tambahan, seperti loose bulk density, tapped bulk density setelah getaran, atau densitas yang kompak compact density densitas setelah dimampatkan Wirakartakusumah et al., 1992. Sebagian besar makanan berbentuk bubuk akan menjadi kohesif, yaitu gaya tarik- menarik antar partikelnya relatif tinggi terhadap berat partikel. Densitas bulk dari jenis pangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berhubungan, yaitu intensitas gaya tarik-menarik antar partikel, ukuran partikel, dan jumlah dari titik yang berhubungan. Perubahan densitas bulk dapat menyebabkan perubahan dari sifat-sifat bubuk Wirakartakusumah et al., 1992. 2. Daya Serap Air WHC Daya serap air water holding capacity adalah jumlah air yang terperangkap dalam matriks protein pada kondisi tertentu. Daya serap air berhubungan dengan jumlah gugus asam amino polar yang terdapat dalam molekul protein. Gugus asam amino polar, seperti hidroksil, amino, karboksil, dan sulfihidril memberikan sifat hidrofilik bagi molekul protein sehingga dapat menyerap atau mengikat air Suwarno, 2003. Kemampuan protein menyerap air berperan dalam pembentukan tekstur produk pangan. Semakin banyak air yang diserap, maka semakin baik tekstur dan mouthfeel bahan pangan tersebut. Pengikatan air bergantung pada komposisi dan konformasi antara molekul- molekul protein. Interaksi antara air dan gugus hidrofilik dari rantai samping protein dapat terjadi melalui ikatan hidrogen. Jumlah air yang dapat ditahan oleh protein bergantung pada komposisi asam amino, hidrofobisitas permukaan, dan proses pengolahan. Jumlah air yang diikat akan meningkat jika kepolaran protein meningkat Suwarno, 2003. Adapun beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi daya serap air, yaitu pH, suhu, dan kekuatan ion. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan konformasi dan polaritas molekul protein Hutton dan Campbell, 1981. Selain itu, daya serap protein juga dipengaruhi oleh konsentrasi protein dan adanya komponen lain, seperti polisakarida hidrofilik, lemak, garam, serta dipengaruhi pula oleh lamanya pemanasan dan kondisi penyimpanan Zayas, 1997. Semakin tinggi konsentrasi protein dalam suatu bahan pangan, maka daya serap airnya pun semakin baik. Garam dapat berkompetisi dengan protein dalam mengikat air. Konsentrasi garam tinggi dapat menyebabkan dehidrasi protein karena adanya kompetisi antara garam dan protein sehingga terjadi penekanan lapisan elektrik di sekeliling molekul protein dan terjadi perubahan konformasi protein, penurunan hidrasi protein, dan pengendapan Suwarno, 2003. Suhu tinggi dapat mengurangi daya serap air oleh protein. Adanya pemanasan, pemekatan, pengeringan, atau pembentukan tekstur ini dapat mengakibatkan denaturasi protein dan transisi konformasi sehingga terjadi pembukaan rantai polipeptida dan jumlah asam amino polar pada protein berkurang Zayas, 1997. Namun, pemanasan, agregasi, dan denaturasi tersebut dapat juga menyebabkan perubahan konformasi tertentu sehingga daya serap air meningkat Hutton dan Campbell, 1981. Kelarutan dan daya serap air terendah terjadi pada saat titik isoelektrik protein pH 4,5 dan meningkat sejauh menjauhi titik tersebut Wolf dan Cowan, 1971. 13

3. Daya Serap Minyak

Daya serap minyak adalah kemampuan protein untuk menyerap dan menahan lemak serta untuk berinteraksi dengan komponen lemak dalam sistem emulsi yang amat penting dalam formulasi produk pangan. Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat tambahan lain, suhu, dan derajat denaturasi protein. Ukuran dan tekstur yang lebih halus, lebih seragam, dan lebih porous memudahkan menyerap dan mengikat minyak. Denaturasi protein dapat meningkatkan daya serap minyak karena terbukanya struktur protein sehingga asam amino non polarnya terpapar. Namun, denaturasi yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan protein menyerap air karena rusaknya rantai hidrofilik protein Suwarno, 2003. Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi lipid-lipid. Ikatan yang ikut berperan dalam interaksi tersebut adalah ikatan hidrofobik, elektrostatik, ikatan hidrogen, dan ikatan non kovalen. Ikatan hidrofobik penting untuk stabilitas kompleks lipid-protein. Interaksi antara protein dengan anion asam lemak dapat mengubah struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul. Struktur yang bersifat lipolitik, karena kandungan cabang protein nonpolar yang lebih dominan, berkontribusi terhadap meningkatnya daya serap minyak Lin et al., 1974. Daya serap minyak ini bermanfaat dalam aplikasi protein pada produk daging sintetis dan berperan penting dalam memperbaiki karakteristik cita rasa Suwarno, 2003.

4. Daya dan Kapasitas Emulsi

Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, dimana molekul kedua cairan ini tidak saling berbaur, tetapi saling antagonis. Tiga bagian utama dalam suatu sistem emulsi adalah bagian pendispersi juga dikenal sebagai continous phase yang biasanya berupa air, bagian terdispersi yang biasanya terdiri dari butiran-butiran lemak, serta bagian emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir-butir lemak tetap tersuspensi dalam air Winarno, 1997. Daya kerja emulsifier terutama dipengaruhi oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat, baik pada air polar dan pada minyak non polar. Emulsi minyak dalam air O W terjadi bila emulsifier lebih terikat pada air polar, sedangkan emulsi air dalam minyak W O terjadi bila emulsifier lebih terikat pada minyak non polar Winarno, 1997. Sifat emulsifikasi protein dipengaruhi oleh laju adsorbsi antarmuka minyak-air, jumlah protein teradsorbsi, serta kemampuan untuk membentuk sebuah film yang kental, kohesif, dan kontinyu melalui interaksi kovalen dan non kovalen Widowati et al., 1998. Selain itu, sifat emulsi suatu protein juga dipengaruhi oleh desain peralatan yang digunakan, suhu minyak, dan suhu larutan protein Zayas, 1997. Suhu rendah merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan emulsi yang stabil. Peningkatan suhu dapat menyebabkan emulsi menjadi tidak stabil karena peningkatan energi panas yang menyebabkan penurunan viskositas dan kekakuan permukaan Suwarno, 2003. Daya emulsi adalah kemampuan protein untuk membantu membentuk dan menstabilkan emulsi. Kapasitas emulsi dinyatakan sebagai jumlah minyak yang diemulsi oleh satu gram protein pada suatu kondisi spesifik. Kapasitas emulsi tergantung pada kemampuannya membentuk film-film adsorbsi di sekeliling globular dan menurunkan tegangan interfasial pada lapisan antara minyak dan air Suwarno, 2003. Daya emulsi bergantung pada bentuk, hidrasi grup polar, hidrofobisitas molekul dan muatan. Emulsi yang stabil terbentuk karena protein yang larut dan dapat teradsorbsi dalam lapisan, serta memiliki grup-grup bermuatan yang terdistribusi merata dan mampu membentuk film yang kohesif dan kuat Zayas, 1997. Daya dan stabilitas emulsi suatu protein disebabkan oleh aktivitasnya yang menyerupai surfaktan, yaitu kemampuan untuk mengurangi tegangan permukaan antara komponen hidrofobik dan hidrofilik Macritche, 1978. Selain itu, protein juga memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan permukaan penyerap yang menyelubungi droplet minyak sehingga dapat menahan minyak dan membentuk emulsi minyak dalam air yang stabil Philips dan Finley, 1989. 14 Kapasitas emulsi suatu protein dipengaruhi oleh jumlah asam amino yang bersifat hidrofobik. Perbandingan jumlah asam amino hidrofilik-lipolitik yang seimbang sangat menentukan kemampuan protein dalam membentuk emulsi karena dapat menurunkan tegangan interfasial. Kapasitas dan stabilitas emulsi merupakan ukuran sifat-sifat protein sebagai emulsifier dalam sistem emulsi pangan. Protein teradsorbsi dapat menurunkan tegangan permukaaan atau interfasial sehingga dapat memfasilitasi pembentukan emulsi. Protein globular dengan hidrofobisitas permukaan tinggi, seperti lisosim, ovalbumin, dan protein whey, akan mengalami peningkatan daya emulsi dengan pemanasan sedang dan strukturnya sedikit terbuka Zayas, 1997. Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi antara lain: 1 tegangan permukaan antara dua fase, 2 karakteristik lapisan penyerap antara dua fase, 3 muatan pada globular, 4 perbandingan antara ukuran dan permukaan globular dengan volumenya, 5 perbandingan antara berat dengan volume fase terdispersi dan pendispersi, dan 6 viskositas fase pendispersi. Kapasitas dan stabilitas emulsi suatu protein meningkat dengan meningkatnya konsentrasi protein tersebut yang dipengaruhi oleh pH, kekuatan ion, dan perlakuan panas Zayas, 1997. Indikator kapasitas emulsi adalah kelarutan dan hidrofobisitas. Menurut Volkert dan Klein 1979, kapasitas emulsi berhubungan dengan kelarutan protein. Semakin tinggi kelarutan suatu protein, maka kemampuannya untuk membentuk lapisan yang menyelubungi droplet minyak juga semakin tinggi sehingga aktivitas emulsinya meningkat. Konsentrasi protein tidak larut yang tinggi dapat menyebabkan pembentukan partikel yang semakin kecil selama pembentukan emulsi sehingga stabilitas emulsinya meningkat. Protein tidak larut air juga ikut berperan dalam pembentukan emulsi yang stabil. 15

III. BAHAN DAN METODOLOGI