jika barang tersebut mempunyai biaya atau harga yang murah dapat menunjukan bahwa mutu barang tersebut relatif lebih rendah.
2.2 Proses Kemunduran Mutu Ikan
Ikan dikenal sebagai salah satu bahan makanan yang cepat mengalami kemunduran mutu hingga menjadi busuk. Sejak ikan ditangkap dari perairan,
serangkaian perubahan-perubahan yang mengarah kepada pembusukan mulai terjadi. Hal ini karena segera setelah ikan mati, ikan akan mengalami proses
enzimatis, bakteriologis, kimiawi dan fisik. Menurut Seagrant 2007, sewaktu ikan tuna meronta pada saat di tangkap,
ikan akan membentuk asam laktat yang menyebabkan ikan kelelahan sehingga dapat merusak jaringan. Rusaknya jaringan pada daging ikan tuna akan
menyebabkan warna daging yang semula cemerlang menjadi kusam, tekstur daging yang melunak, dan daging akan menjadi pahit. Bukan hanya pada saat ikan
tuna mengalami kelelahan, setelah mati suhu tubuh ikan tuna akan mengalami kenaikan. Hal ini dapat mempercepat kemunduran mutu ikan dan memacu
terjadinya pembusukan. Nitibaskara 1979, mengemukakan tahap-tahap pembusukan ikan secara
berurutan, yaitu hyperaemia, rigor mortis, autolisis dan penyerangan oleh bakteri. Phase rigor mortis akan diawali oleh proses pre-rigor, yaitu keadaan melemasnya
otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan tersebut mudah dilenturkan, kemudian akan mengerut dan menjadi kaku phase rigor atau rigor mortis, lalu
melemas lagi phase post rigor. Masalah pembinaan mutu sangat penting untuk dilakukan sebab ikan
merupakan salah satu bahan makanan yang sangat cepat mengalami kemunduran mutu dan busuk. Mengingat hal tersebut, maka setiap usaha meningkatkan
produksi hasil perikanan harus disertai pula dengan upaya mempertahankan mutu ikan sebaik mungkin agar hasilnya dapat memberikan keuntungan baik bagi
produsen nelayan maupun konsumen atau masyarakat.
2.3 Faktor Penyebab Kerusakan Ikan
Penyebab utama kerusakan ikan dilihat dari sumbernya meliputi penyebab dari keadaan ikan itu sendiri pada saat ditangkap dan penyebab dari kondisi diluar
tubuh ikan. penyebab kerusakan oleh keadaan ikannya sendiri meliputi kondisi fisik dan komposisi kimiawi ikan, berdasarkan Anonymous 1972, faktor
penyebab kemunduran mutu yang ditimbulkan karena kondisi dari pada ikan itu sendiri.
2.3.1 Mekanisme perubahan fisik ikan setelah kematiannya
Menurut Kushardiyanto 2010, Perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air atau tercekik adalah:
1 Saat proses kematian akan keluar lendir dipermukaan tubuh ikan dengan jumlah yang berlebihan dan ikan akan mengelepar mengenai benda
disekelilingnya. Apabila benda yang terkena benturan ikan cukup keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan menjadi memar dan luka-luka.
2 Selanjutnya setelah ikan mati secara perlahan-lahan akan mengalami kekakuan tubuh rigormortis yang diawali dari ujung ekor menjalar kearah bagian
kepalanya. Lama kekakuan ini tergantung dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Setelah proses rigormortis selesai, kerusakan ikan akan mulai
terlihat berupa perubahan-perubahan: berkurangnya kekenyalan perut dan daging ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan dan warna
mata ikan, untuk ikan bersisik menjadi lebih mudah lepas sisiknya dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, bau berubah dari segar menjadi asam.
3 Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya tingkat penurunan mutu ikan, sampai yang terakhir ikan menjadi tidak layak
untuk dikonsumsi manusia atau busuk. Menilai kesegaran ikan yang paling mudah adalah menggunakan metode
indrawi atau organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap perubahan mutu dagingnya, seperti warnarupa, rasa, kekenyalan dan
kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut, bau atau aroma. Berikut ini ciri-ciri indrawi ikan segar dan penyimpangan dari ciri tersebut
menunjukkan telah terjadinya penurunan atau perubahan mutunya. Ciri-ciri indrawi ikan segar:
1 Rupa dan warna: mata masih jernih, warna merah insang, kecemerlangan kulitsisik dan warna putih-merah dagingnya spesifik jenis ikan dalam keadaan
segar dan bersih; 2 Bau: segar spesifik jenis dan mempunyai bau rumput laut segar; dan
3 Daging elastis kenyal, padat dan kompak, apabila dicicip berasa netral dan sedikit manis.
2.3.2 Prinsip mencegah kerusakan
Menurut Kushardiyanto 2010, prinsip mencegah atau menghambat kerusakan ikan oleh faktor komposisi fisik dan kimiawi ikan adalah:
1 Memberi perlakuan suhu rendah terhadap ikan segera setelah ditangkap atau dipanen, karena proses enzimatis dan aktifitas mikroba pengurai daging akan
sangat dihambat pada suhu mendekati 0°C 3 sd 5°C. Suhu rendah ikan ini harus dipertahankan selama pencucian, penyiangan, pengemasan, penyimpanan
dan distribusinya. 2 Mempercepat dan mempermudah kematian ikan segera setelah diangkat dari air
dengan cara mendinginkannya dalam air es dingin atau segera memukul kepalanya tepat dibagian otak khusus untuk ikan berukuran besar seperti tuna.
3 Khusus untuk ikan berukuran besar diikuti dengan pembuangan darah ikan bleeding, karena darah merupakan media penyebaran mikroba pembusuk dari
insang ke daging ikan melalui pembuluh darah ikan. 4 Menyiangi dengan membuang insang dan isi perut ikan sebagai pusat
konsentrasi mikroba alami. 5 Mencuci ikan segera setelah ditangkap, mati dan disiangi, dengan tujuan
membersihkan lendir dipermukaan tubuhnya yang merupakan salah satu pusat konsentrasi mikroba pembusuk yang secara alami ada di tubuh ikan, dan sisa-
sisa darah selama proses penyiangan.
2.3.3 Kontaminasi
Menurut kushardiyanto 2010, kontaminasi adalah penularan kotoran, mikroba pembusuk atau pathogen penyebab penyakit dan bahan kimia
berbahaya ke tubuh ikan yang berasal dari lingkungan disekelilingnya saat masih hidup, saat ditangani di atas kapal dan di darat, sehingga ikan yang tertular
menjadi tercemar dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi meskipun kondisinya segar.
Jasad renik bakteri dan kapang, serangga dan binatang hama merupakan pencemar mikrobiologi yang dapat mempengaruhi mutu ikan Soekarto, 1978
dalam Pramono,1980. Pencemaran oleh bakteri baru berpengaruh terhadap mutu jika menyebabkan kerusakan atau kebusukan, mempengaruhi potensi penyebab
penyakit pathogen dan mengandung bakteri yang digunakan sebagai indeks sanitasi atau indeks pencemaran.
Menurut Kushardiyanto 2010, prinsip untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara lain:
1 Menangkapmemelihara ikan di perairan yang tidak tercemar oleh kotoran, mikroba pembusuk atau pathogen penyebab penyakit dan bahan kimia
berbahaya. 2 Menggunakan air bersih dengan standar air bahan baku untuk diminum untuk
mencuci dan mengemas ikan, mencuci peralatan dan bangunan di tempat- tempat melakukan penanganan ikan.
3 Menggunakan es yang dibuat dari air bersih, disimpan, diangkut dan dihancurkan dengan peralatan yang bersih.
4 Menggunakan bahan pengemas, peralatan dan bangunan yang bersih, dimana permukaannya yang bersentuhan langsung dengan ikan harus cukup halus dan
bersih, serta mudah dibersihkan. 5 Melindungi ikan dengan menempatkannya dalam wadah yang terlindung dari
serangga, binatang pengerat. 6 Memisahkan wadah ikan yang berbeda jenis dan mutunya.
7 Menyiapkan wadah-wadah untuk penampung limbah cair atau padat sesuai dengan rencana pengelolaannya. Wadah-wadah yang digunakan untuk
menampung limbah padat dan saluran-saluran penampung limbah cair harus
dalam keadaan tertutup agar tidak dihinggapi serangga pencemar lalat, kecoa dsb..
8 Mencuci semua peralatan dan bangunan permukaan lantai, dinding, wastafel tempat menangani ikan setiap kali pekerjaan penanganan ikan akan dimulai dan
setelah diakhiri.
2.3.4 Tekanan dan benturan fisik
Menurut Kushardiyanto 2010, tekanan dan benturan fisik yang dialami ikan selama penangkapan dan penanganannya di atas kapal dan di pangkalan
pendaratan ikan dapat menyebabkan kerusakan fisik pada tubuh ikan seperti dagingnya memar, tubuhnya luka, perutnya pecah dsb. Tekanan dan benturan
fisik atas ikan harus dihindari pada tahapan-tahapan kegiatan penanganan ikan di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Prinsip
cara menghindarinya antara lain: 1 Memahami tahapan kegiatan penanganan ikan di kapal penangkap ikan dan di
pangkalan pendaratan ikan PPI atau pelabuhan perikanan. 2 Menyiapkan peralatan dan perlengkapan handling yang cocok dengan jenis-
ukuran ikan dan kondisi tempat penanganan dengan jumlah cukup antara lain meliputi wadah dan peralatan bongkar muat ikan yang memudahkan
pelaksanaan pekerjaan pemindahan, pengangkutan dan penyimpanan ikan. 3 Setiap saat melakukan pemindahan ikan agar selalu berusaha mencegah atau
melindungi ikan dari perlakuan kasar atau tekanan fisik yang dapat melukai ikan atau membuat dagingnya memar. Oleh karena itu harus diusahakan
seminimal mungkin melakukan pemindahan ikan.
2.3.5 Pendinginan ikan dengan es
Menurut Kushardiyanto 2010, ikan dipertahankan kesegarannya dengan perlakuan sebaik-baiknya dengan cara pendinginan. Cara memperlakukan ikan
yang sudah ditangkap, sangat mempengaruhi kecepatan pembusukan ikan tersebut. Ikan yang dari semula diperlakukan dengan tidak baik akan
menghasilkan ikan yang tidak bermutu pula.
Perlu disadari bahwa untuk menjaga mutu hasil perikanan produksi nelayan sejak ditangkap sampai dengan konsumen ikan segarbasah diperlukan
penanganan dengan prinsip “rantai dingin cold-chain”. Lebih lanjut berdasarkan kondisi sosial ekonomi nelayan, petani ikan dan pedagang ikan segar
menunjukkan, bahwa penggunaan es dalam bentuk bongkahanbalokpecahan, curai atau dicampur dengan air laut paling cocok sebagai upaya penanganan.
Kondisi ideal perbandingan es minimal yang digunakan dan ikan selama penanganan adalah dijaga agar selalu satu dibanding satu.
2.4 Proses Penanganan Ikan Tuna
Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang mudah membusuk hal ini dapat dilihat pada ikan-ikan yang baru ditangkap dalam beberapa jam saja kalau
tidak diberi perlakuan atau penanganan yang tepat maka ikan tersebut mutunya menurun. Terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan ikan tuna
mempunyai mutu terbaik atau bagus bila cara penangkapan dan pengangkatan serta penanganan di atas kapal berjalan efektif. Kualitas produk tuna dapat
dipertahankan apabila penanganan yang diterapkan sesudah ikan di atas kapal sampai ke penyimpanan maupun pengangkatan ke negara tujuan dilakukan
dengan tepat, cepat dan ekstra hati-hati.
2.4.1 Penanganan tuna di atas kapal
Penanganan di kapal penangkapan merupakan tahap awal dari perlakuan tuna segar, yang dimana bertujuan untuk memperlambat proses kemunduran mutu
ikan tuna yang ditangkap. Menurut bahar 1991, cara penanganan tuna di atas kapal yaitu sebagai berikut :
1 Persiapkan peralatan penanganan untuk menyiangi ikan, seperti alat
pembunuh killing tool, pisau, gunting sirip semuanya harus dalam kondisi siap pakai, bersih dan tajam.
2 Cara pengangkatan ikan ke atas geladak dilakukan dengan memakai ganco.
Cara mengganco tidak boleh sembrono, untuk menjaga agar tidak merobek kulit ikan atau menyebabkan luka besar ditubuhnya, karena melalui luka
tersebut dapat terjadi kontaminasi bakteri dan penampilan keutuhan ikan menjadi jelek.
3 Cara mematikan melumpuhkan ikan yang masih hidup, yaitu dengan
melumpuhkan pusat susunan syaraf otak spiral column yang dapat dilakukan dengan menusukkan jarum pembunuh killing tool melalui
lekukan diantara kedua mata ikan ke arah pusat saraf sehingga ikan akan mati dengan tenang. Pelumpuhan dilakukan dengan waktu 5-10 detik saja. Cara
lain untuk mematikan ikan dapat pula dilakukan dengan memukul kepala ikan dengan martil kayu yang dilapisi karet.
4 Pengeluaran darah ikan dapat dilakukan dengan cara menusukkan ujung pisau
sedalam 2 cm untuk memotong pembuluh darah di belakang sirip dada. 5
Penyiangan untuk mengeluarkan isi perut dan insang dengan cara membuka tutup insang, memotong sekat antara jantung dan rongga perut, memotong
pangkal insang sampai putus. 6
Mensortir ikan tuna yang tertangkap menurut jenis, ukuran dan kondisi ikan ke dalam palka-palka yang telah disediakan di kapal.
Menurut Poernomo 2002, cara penanganan tuna di kapal yaitu sebagai
berikut:
1 Pada saat proses penangkapan, usahakan ikan tetap dalam keadaan hidup dan
tidak terlalu banyak berontak ketika ditarik ke arah kapal maupun diangkat ke atas kapal. Bila hal ini dapat dilaksanakan, maka ikan tidak terlalu banyak
mengalami stress, tidak mengeluarkan banyak energi dan tidak segera
mengalami rigor mortis.
2 Sesudah ikan berada di sisi kapal, siapkan papan peluncur yang licin untuk
sarana mengangkat ikan dari air. 3
Sesampai di atas kapal, bila ikan tetap berontak maka ikan harus ditenangkan dengan menutup atau menekan mata dengan telapak tangan dan diselimuti
ikan dengan karung goni basah. Selanjutnya ikan dapat di pingsankan dengan memukul kepalanya menggunakan palu berkepala karet.
4 Ikan tuna dibunuh dengan menusuk pusat syaraf otak dari belakang mata
menggunakan paku pembunuh killing spike sedalam 5-10 cm kemudian paku diputar-putar untuk merusak otak.
5 Selanjutnya, ikan didarahi dengan menusukkan pisau tepat di belakang sirip
dada Pectoral fin dengan kemiringan kurang lebih - 45° sedalam 5-10 cm, disusul pemotongan urat nadi ditulang belakang bagian ekor. Pemotongan urat
nadi tersebut dilakukan dengan menyisipkan pisau ke daging antara sirip kecil ekor finlet nomor dua dan tiga.
6 Selanjutnya sisipkan pisau di belakang penutup insang kedua dan dorong ke
arah depan sepanjang kurang lebih 5 cm sampai dipenutup insang yang pertama.
7 Untuk memotong sirip perut, tidurkan ikan pada punggungnya dan potong
sirip perut sedekat mungkin ke daging jangan sampai kena dagingnya. 8
Perut kemudian dapat dibelah menggunakan pisau, tarik dari daerah diantara bekas sirip perut ke arah dubur. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan hati-hati
agar isi perut tidak tersayat. Selanjutnya keluarkan isi perut, potong ujung usus pada dubur, dan ikan dibalik dengan posisi perut di bawah agar sisa-sisa darah
dari rongga perut keluar. Bila pekerjaan ini sudah selesai, sirip dubur, sirip punggung pertama dan kedua dapat dipotong. Pemotongan harus dilakukan
dengan hati-hati dan rapi, jangan sampai ada sisa sirip duringtulang sirip, karena hal ini dapat melukai ikan yang lain sehingga dapat menurunkan mutu
ikan lainnya. 9
Bukalah penutup insang dan putuskan isthimus joint sambungan antara dua insang dan badan yang terletak di bagian bawah ikan. Lakukan tahap ini
dengan sempurna sehingga sambungan tersebut benar-benar terpotong dengan sempurna. Selaput insang bagian bawah kemudian dapat dipotong.
Pemotongan ini juga harus dikerjakan dengan hati-hati jangan sampai ada daging yang ikut tersayat.
10 Sirip dada selanjutnya dipotong dengan hati-hati sedekat mungkin dengan
daging. Penarikan sirip pada waktu dipotong tidak boleh terlalu kuat karena ini dapat meninggalkan lubang pada daging.
11 Tahap selanjutnya adalah memotong penutup insang dengan cara menyayat
dari arah bawah perut menggunakan pisau gergaji, diikuti dengan pemotongan insang bagian depan sehingga insang segera dapat dikeluarkan.
12 Ikan kemudian sudah dapat dicuci kembali. Gunakan sikat alus dan air dingin
untuk membersihkan rongga perut maupun rongga insang atau sikat plastikijuk untuk membersihkan permukaan badan ikan.
13 Sesuai dengan permintaan negara pengimpor atau untuk ikan berukuran besar
di atas 90 kg, kepala dan ekor selanjutnya dapat dipotong. Pemotongan kepala menggunakan kampak khusus, sedangkan pemotongan ekor dapat
menggunakan pisau gergaji. 14
Setelah bersih, ikan segera dibawa keruang pendingin 0°c selama kurang lebih 3 jam untuk selanjutnya dibekukan bila kapal memiliki sarana
pembekuan. 15
Penyusunan ikan dalam palka pendingin diatur sedemikian rupa sehingga ikan selalu tidak bersentuhan dengan dinding palka sekat, selalu tertutup es curai,
dan ekor ikan selalu mengarah ke lubang palka. Hal ini akan memudahkan saat pembongkaran nantinya. Ikan di dalam palka dikelompokkan menurut
mutu saat dan atau tangkapan. 16
Isi perut, insang maupun sirip harus segera disingkirkan dari tempat penyiapan dan dikumpulkan di tempat tersendiri, tidak boleh dibuang ke laut.
2.4.2 Pembongkaran palka pendingin
Pembongkaran palka dilakukan pada saat kapal telah sampai di pelabuhan. Sebelum pembongkaran dilakukan, tali-tali bongkar sling tali dan derek crane
harus sudah disiapkan. Sisa es harus dibuang dan air laut dingin dari palka dipompa keluar agar mudah melakukan pembongkaran Sabar, 1991. Cara
pembongkaran palka pendingin ikan tuna menurut Poernomo 2002, yaitu
sebagai berikut:
1 Pembongkaran ikan dari palka pendingin dapat dilakukan menggunakan katrol
dengan mengikat ekor ikan. Pada saat ikan dikeluarkan dari palka, sangat disarankan ikan dibungkus dengan kain pendingin biasanya kain terpal atau
karung tebal yang selalu dalam keadaan basah yang dikaitkan pada mata katrol. Di atas lubang palka dipasang semacam tenda untuk melindungi ikan
dan isi palka dari sinar matahari. Ikan harus dijaga agar tidak menyentuh
lubang palka, harus diusahakan sehalus mungkin tanpa tonjolan-tonjolan yang
mungkin dapat merusak kulit atau tubuh ikan.
2 Ikan dapat diturunkan dari kapal ke dermaga secara manual, namun sebaiknya
menggunakan papan peluncur. Di atas papan peluncur, sebaiknya juga diberi tenda pelindung dari sinar matahari. Permukaan dan sudut-sudut papan
peluncur harus halus dan selalu dalam keadaan basah oleh air yang terus mengalir dengan suhu sekitar 0°C. Bila papan ini cukup panjang lebih dari
2,5 m maka ikan harus diberi pelindung dengan plastikkainkarung tebal.
2.4.3 Pengangkutan ikan ke darat atau darmaga
Setelah proses pembongkaran dilakukan, langkah selanjutnya adalah pengangkutan ikan ke darat atau darmaga. Cara pengangkutan ikan tuna di darat
atau dermaga menurut Poernomo 2002 yaitu sebagai berikut:
1 Di darmaga di ujung bawah papan peluncur harus selalu siap seorang
petugas untuk menerima ikan yang diluncurkan dari atas kapal. Letakkan ikan diatas kereta dorong yang dipermukaannya telah dibatasi dengan air.
Pelindung ikan palstikkainkarung tebal juga harus selalu dalam keadaan basah.
2 Bila akan mengangkut ikan lebih dari satu, maka ikan tidak boleh saling
bertumpuk. Kereta pengangkut ikan dapat dibuat sedemikian rupa sehingga setiap ikan menempati ruang tersendiri dan tidak saling menumpuk atau
menindih dengan yang lain. 3
Pengangkutan ke pabrik harus dilakukan secepat mungkin, ikan tidak boleh menunggu lebih dari 8 menit, dan dalam waktu 10 menit sudah mencapai
pabrik.
2.5 Sumber Daya Ikan Tuna 2.5.1 Deskripsi umum ikan tuna
Ikan tuna Thunnus sp merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang secara umum memiliki bentuk tubuh seperti cerutu memilki 2 sirip punggung, sirip
depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Memiliki sirip tambahan finlet di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke
atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hyperal, tubuhnya tertutup oleh sisik berwarna
biru dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Sebagian memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap.
Ikan tuna juga merupakan komoditas ekspor utama sektor perikanan setelah udang. Daerah usaha penangkapannya terutama terpusat di perairan Indonesia
bagian timur dan daerah lain yang berlangsung berhadapan dengan samudera hindia maupun yang termasuk perairan ZEEI Subani dan Barus, 1989.
Menurut DKP 2005, pergerakan migrasi kelompok ikan tuna di wilayah perairan Indonesia mencakup wilyarah perairan pantai, teritorial, dan zona
ekonomi ekslusif ZEE indonesia. Migrasi ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak
pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial
terjadi akibat perairan tersebut berhubungan langsung dengan pengaruh perairan kedua samudera tersebut sehingga beberapa wilayah perairan pantai dan teritorial
memiliki sumberdaya perikanan tuna yang besar.
2.5.2 Klasifikasi ikan tuna
Menurut Saanin 1984, ikan tuna diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Animalia
Sub Kingdom: Metazoa Filum: Chordata
Sub filum: Vertebrata Kelas: Pisces
Sub Kelas: Teleostei Ordo: Percomorphi
Sub Ordo: Scombridea Famili: Scombridae
Genus: Thunnus Spesies: Thunnus obesus
Thunnus albacores
Berdasarkan klasifikasi Collette 1983, ikan tuna dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1 Yellowfin
Yellowfin tuna termasuk jenis ikan berukuran besar, mempunyai dua sirip dorsal dan sirip anal yang panjang. Sirip dada pectoral fin melampui awal sirip
punggung dorsal kedua, tetapi tidak melampui pangkalnya. Ikan tuna jenis ini bersifat pelagic, oceanic, berada di atas dan di bawah termoklin. Termoklin adalah
suatu lapisan di perairan di mana dapat terjadi perubahan suhu secara drastis terhadap kedalaman. Ikan jenis yellowfin biasanya membentuk scholling
gerombolan di bawah permukaan air pada kedalaman kurang dari 100 meter. Ukuran panjang dari yellowfin dapat mencapai lebih dari 200 cm dengan rata-rata
150 cm. 2
Bigeye Thunnus obesus Bigeye merupakan salah satu jenis ikan dengan ukuran besar, sirip dada
cukup panjang pada individu yang besar dan dapat menjadi sangat panjang pada ukuran tuna yang masih kecil. Warna bagian bawah perut putih, garis-garis sisi
pada ikan hidup seperti sabuk biru yang membujur disepanjang badan. Ikan tuna jenis bigeye ini memilki dua sirip punggung D1 berwarna kuning terang
sedangkan sirip punggung dua D2 berwarna Kuning muda, jari-jari sirip tambahan kuning terang dan sedikit hitam pada ujungnya. Penyebaran bigeye dari
perairan tropis ke sub tropis yang biasanya berada pada kedalaman hingaa 200 meter.
3 Southern bluefin Thunnus maccoyii
Tuna jenis soutern bluefin merupakan salah satu jenis ikan terbesar, sirip dadanya sangat pendek kurang dari 80 panjang kepala, dan tidak pernah
mencapai jarak antara kedua sirip punggung. Warna bagian bawah perut putih keperakan dengan garis melintang yang tidak berwarna berselang-selang dengan
deretan bintik yang tidak berwarna, hal ini akan terlihat pada southern bluefin dalam keadaan segar.
Southern bluefin menyebar diseluruh bagian selatan dan samudera Hindia pada suhu 5°-10° C
. Ikan ini bersifat epipelagic dan oceanic di air bersuhu dingin.
Ikan ini bertelur dan berlarva pada suhu 20°- 30° c. Ikan dewasa secara musiman
beruaya ke daerah hangat pada kedalaman hinnga 50 meter di bawah permukaan air. Panjang maksimal ikan ini mencapai 160-200 cm.
4 Albacore
Termasuk ikan tuna jenis besar, ke arah belakang ikan ini membentuk unsur kuat dibanding dengan ikan jenis ikan tuna jenis lain. Sirip dada sangat panjang
biasanya mencapai 30 panjang tubuh atau berkisar lebih dari 50 cm. Albacore tersebar disemua perairan tropik dan di perairan-perairan bersuhu sedang biasanya
bersifat epilagik, mesopelagik, dan oceanik. Ke dalam perairan tempat penyebarannya antara 300 m dan maksimal pada kedalaman 600 m. Ukuran
panjang badan maksimal tuna ini 120 cm. 5 Pacific bluefin
Panjang cagak maksimal pacific bluefin hingga 300 cm dengan berat maksimal 198 kg, bersifat pelagis dan oceanodramus, namun pada musim-musim
tertentu mendekat ke pesisir pada perairan pasifik utara Teluk Alaska-selatan California, dan dari pulau Saklir hingga selatan laut filiphina. Ikan tuna jenis ini
tidak terdapat di perairan Indonesia. Feeding habit dari ikan pacific bluefin adalah sebagai predator dengan
memangsa bermacam scholing kecil ikan atau cumi-cumi, juga kepiting dan organisme kecil.
6 Northern bluefin Thunnus thynnus sp Panjang total noutern bluefin maksimal hingga 458 cm dengan berat badan
maksimal 684 kg. Ikan ini bersifat pelagis dan oceanodramus biasanya berada pada lapisan kedalaman antara 0-100 m. Pada perairan sebelah barat Atlantik,
Northern bluefin ditemukan di perairan Kanada, Teluk Meksiko, dan Laut Karibia hingga Venezuala dan Brasil. Ikan ini juga ditemukan menyebar pada perairan
Timur Atlantik, termasuk Mediterania dan sebelah laut hitam, namun ikan tuna jenis ini tidak terdapat di perairan Indonesia.
Sirip punggung kedua dari noutern bluefin lebih tinggi dari sirip punggung yang pertama. Sirip dada sangat pendek kurang dari 80 panjang kepala, sisi
bawa h perut berwarna putih dewasa ”keel”hitam.
7 Long tail Thunnus tonggol Panjang cagak long tail tuna maksimal 145 cm dengan berat total 259 kg.
Ikan ini bersifat oceanic dan oceanodromus dengan kedalaman 10 m. Diperkirakan menyebar di sekitar perairan tropis hingga Indopacific, selat Jepang,
Filiphina, Papua New Guinea, dan Austarlia, Timur India dan pesisir Somalia, tidak terdapat di perairan Indonesia. Sirip dorsal ke dua ikan ini lebih panjang dari
dorsal pertamanya. Sisi bawah dan bagian perut berwarna putih keperakkan dengan totol-totol berbentuk oval yang teratur secara horizontal, sirip punggung,
dada, dan pelvis kehitaman. 8 Blakcfin tuna Thunnus atlanticus
Blacfin tuna bersifat dioceus, fertilisasi eksternal, bentuk tubuh fusiform. Ikan ini termasuk jenis predator berburu makrofauna. Jenis mangsa ini adalah
ikan-ikan kecil dipermukaan perairan dan perairan dalam zooplankton cumi, dan decapoda larva.
Panjang maksimal untuk tuna jenis blackfin tuna ini adalah 108 cm dengan berat maksimal 20,8 kg, hidup sebagai ikan pelagis, oceanodramus pada
kedalaman 50 m.
2.6 Ikan Tuna yang Layak Ekspor Berdasarkan SNI 2.6.1 Tuna segar untuk
sashimi
Menurut KKP 2010, tuna segar untuk sashimi berdasarkan SNI 01-2693.1- 2006 meliputi 3 tahap bagian, yaitu: spesifikasi, persyaratan bahan baku, serta
penanganan dan pengolahan. 2.6.1.1 Spesifikasi SNI 01-2693.1-2006
Tuna segar untuk sashimi yaitu produk hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, pencucian 1,
pemotongan sirip, pencucian 2, sortasi mutu grading, penimbangan, penyimpangan dingin atau tanpa penyimpanan dingin, pengusapan swabbing,
pengepakan dan pelabelan. Ruang lingkup: Standar ini menetapkan klasifikasi, syarat bahan baku,
bahan penolong dan bahan tambahan makanan, cara penanganan, teknik sanitasi dan hygiene, syarat mutu dan keamanan pangan, cara pengambilan contoh, cara
uji, serta syarat penandaan dan pengemasan untuk tuna segar untuk sashimi. Standar ini berlaku untuk tuna segar sashimi dan tidak berlaku untuk produk yang
mengalami pengolahan lebih lanjut. Tabel 1 Syarat mutu dan keamanan pangan untuk tuna segar sashimi
Jenis uji Satuan
Persyaratan 1 Organoleptik
Angka 1-9 Minimal 7
2 Cemaran mikroba 1 ALT
Kolonig Maksimal 5,0 x 10
5
2 Escherichia coli APMg
maksimal 2 3 Salmonella
APMg Negatif
4 Vibrio choleraea APMg
Negatif 3 Cemaran kimia
1 Raksa Hg mgkg
maksimal 1 2 Timbal Pb
mgkg maksimal 0,4
3 Histamin mgkg
maksiaml 100 4 Kadmium Cd
mgkg maksimal 0,5
4 Fisika 1 Suhu pusat
C Maksimal 4,4
5 Parasit Ekor
Catatan bila diperlukan
Sumber: BSN, 2006
2.6.1.2 Persyaratan bahan baku SNI 01-2693.2-2006 Ruang lingkup: standar ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan
baku, asal bahan baku, mutu bahan baku dan penyimpanan bahan baku untuk tuna segar untuk sashimi.
1 Bahan baku tuna segar untuk sashimi: tuna segar yang telah disiangin dengan
membuang isi perut dan insang. 2
Jenis bahan baku: bahan baku yang digunakan adalah ikan tuna madidihang yellowfin tunathunnus albacores, tuna mata besar bigeye tuna thunnus
obesus, tuna sirip biru bluefin tuna thunnus thynnus dan thunnus maccoyii. 3
Bentuk bahan baku: Tuna segar yang sudah disiangin. 4
Asal bahan baku: bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar. 5
Mutu bahan baku: bahan baku bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-
sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara organoleptik bahan baku mempunyai karakterisitik
kesegaran sebagai berikut: kenampakan: bersih, warna daging spesifik jenis ikan tuna; tekstur: elastis, padat dan kompak; bau: segar; rasa: netral agak
manis. 6
Penyimpanan bahan baku: bahan baku yang terpaksa menunggu proses lebih lanjut, disimpan dalam wadah yang baik dan tetap dipertahankan suhunya
dengan menggunakan es curai sehingga suhu pusat bahan baku mencapai suhu maksimal 4,4 C, saniter dan higienis.
2.6.1.3 Penanganan dan pengolahan SNI 01-2693.3-2006 Penanganan dan pengolahan tuna segar untuk sashimi terdiri dari:
1 Penerimaan
- Potensi bahaya: mutu bahan baku kurang baik, ukuran dan jenis tidak
sesaui, kontaminasi bakteri pathogen dan terdapatnya mata pancing. -
Tujuan: mendapatkan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu dan terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen serta bebas dari mata pancing.
- Petunjuk: tuna segar yang diterima pada unit pengolahan ditangani secara
cepat, cermat dan bersih serta suhu pusat ikan diperhatikan maksimal 4,4 C. Pemeriksaan terhadap mata pancing dilakukan terhadap setiap ikan
dengan membuka insang dan mulut. 2 Pencucian 1
- Potensi bahaya: kotoran dan kontaminasi bakteri.
- Tujuan: membersihkan kotoran dan mencegah kontaminasi bakteri.
- Petunjuk: pencucian dilakukan searah dengan susunan sisik mulai dari
kepala sampai ekor. Proses dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta suhu pusat ikan dipertahankan maksimal 4,4 C.
3 Pemotongan sirip -
Potensi bahaya: kemunduran mutu, kontaminasi bakteri. -
Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih dari sirip serta bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: sirip ikan dipotong secara manual dari arah ekor ke kepala.
Pemotongan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat ikan
maksimal 4,4 C.
4 Sortasi mutu grading -
Potensi bahaya: kemunduran mutu. -
Tujuan: mendapatkan mutu yang sesuai dengan yang telah ditentukan. -
Petunjuk: sortasi dilakukan terhadap mutu grading. Selama sortasi ikan ditangani secara cepat, cermat dan bersih serta suhu pusat ikan
dipertahankan maksimal 4,4 C. 5 Pencucian 2
- Potensi bahaya: kotoran dan kontaminasi bakteri.
- Tujuan: membersihkan kotoran dan mencegah kontaminasi bakteri.
- Petunjuk: pencucian dilakukan dengan cara mengusap pada bagian tubuh
ikan dengan air dingin. Pengusapan dilakukan searah dengan susunan sisik mulai dari kepala sampai ekor. Proses dilakukan dengan cepat, cerrmat
dan saniter serta suhu pusat ikan dipertahankan maksimal 4,4 C. 6 Penimbangan
- Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi
bakteri pathogen. -
Tujuan: mendapatkan berat tuna yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: ikan ditimbang satu persatu menggunakan timbangan yang telah
dikalibrasi. Penimbangan dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat ikan maksimal 4,4 C.
7 Penyimpanan dingin atau tanpa penyimpanan dingin -
Potensi bahaya: histamin. -
Tujuan: mencegah terjadinya peningkatan histamin. -
Petunjuk: apabila tuna segar menunggu waktu untuk dipasarkan maka dilakukan penampangan dalam ruang pendingin atau dengan es kering dan
tetap mempertahankan suhu pusat ikan maksimal 4,4 C. 8 Pengusapan swabbing bila dilakukan penyimpanan dingin
- Potensi bahaya: kotoran dan kontaminasi bakteri.
- Tujuan: membersihkan kotoran dan mencegah kontaminasi bakteri.
- Petunjuk: pengusapan dilakukan dengan cara mengusap pada bagian tubuh
ikan memakai spons yang sudah direndam dengan air dingin. Pengusapan
dilakukan searah dengan susunan sisik mulai dari kepala sampai ekor. Proses dilakukan dengan cepat, cermat, dan saniter.
9 Pengepakan dan pelabelan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri, kerusakan fisik dan kesalahan label. -
Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi bakteri dan kerusakan fisik selama transportasi dan penyimpanan serta ketidaksesuaian label.
- Petunjuk: ikan ditimbang lalu disusun dalam wadah dengan penambahan
es dan pelabelan dilakukan sesuai dengan SNI 01-4858-2006, pengemasan ikan segar melalui sarana angkutan udara.
10 Pengemasan -
Bahan kemasan untuk tuna segar sashimi sesuai dengan SNI 01-4858- 2006, pengemasan ikan segar melalui sarana angkutan udara.
- Teknik pengemasan: produk akhir dikemas sesuai dengan SNI 01-4858-
2006, pengemasan ikan segar melalui sarana angkutan udara. 11 Syarat penandaan
Dalam sistem penandaan dan pemberian kode dilakukan dengan sebaik mungkin. Setiap produk tuna segar untuk sashimi yang akan dipanaskan
diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, menggunakan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut: jenis
produk, berat bersih produk, bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut, nama dan alamat unit pengolahan secara lengkap, tanggal,
bulan, tahun produksi, dan tahun kadaluwarsa.
2.6.2 Tuna steak beku
Menurut KKP 2010, tuna steak beku berdasarkan SNI 01-4485.1-2006 meliputi 3 tahap bagian, yaitu: spesifikasi, persyaratan bahan baku, serta
penanganan dan pengolahan. 2.6.2.1 Spesifikasi SNI 01-4485.1-2006
Tuna steak beku: produk olahan perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai beikut: penerimaan bahan baku,
pencucian, penyiangan, pembuatan loin, pengkulitan dan perapihan, sortir mutu,
pembungkusan wrapping, pembekuan, pembentukan steak, penggelasan atau tanpa penggelasan, penimbangan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan.
Tabel 2 Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna steak beku
Jenis uji Satuan
Persyaratan
1 Sensori Angka 1-9
Minimal 7 2 Cemaran mikroba
1 ALT Kolonig
Maksimal 5,0 x 10
5
2 Escherichia coli APMg
3 3 Salmonella
per 25g Negatif
4 Vibrio choleraea per 25g
Negatif 3 Cemaran kimia
1 raksa Hg mgkg
maksimal 1 2 Timbal Pb
mgkg maksimal 0,4
3 Histamin mgkg
maksiaml 100 4 Kadmium Cd
mgkg maksimal 0,1
4 Fisika 1 Suhu pusat
C Maksimal -18
5 Parasit Ekor
Catatan bila diperlukan
Sumber : BSN, 2006.
2.6.2.2 Persyaratan bahan baku SNI 01-4485.2-2006 Ruang lingkup: standar ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan
baku, asal bahan baku, mutu bahan baku dan penyimpanan bahan baku untuk tuna steak beku.
1 Bahan baku tuna steak beku: ikan tuna segar atau beku
2 Bahan baku yang digunakan adalah ikan tuna madidihang yellowfin
tunathunnus albacores, tuna mata besar bigeye tunathunnus obesus, tuna sirip biru bluefin tunathunnus thynnus dan thunnus maccoyi , tuna albakora
albacorethunnus alalunga. 3
Bentuk bahan baku: bahan baku berupa ikan tuna segar atau beku yang sudah atau belum disiangi.
4 Asal bahan baku: bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar.
5 Mutu bahan baku
- Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan
pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari
sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.
- Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran
sebagai berikut: kenampakan: mata cerah, cemerlang; bau: segar; tekstur: elastis, padat dan kompak.
6 Penyimpanan bahan baku
Bahan baku yang terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut, maka bahan baku yang beku harus disimpan dalam ruang penyimpan cold storage
dengan suhu maksimal -25 C, saniter dan higienis. Untuk bahan baku yang segar harus disimpan dalam wadah yang baik dan tetap dipertahankan
suhunya dengan menggunakan es curai sehingga suhu pusat bahan baku mencapai suhu maksimal 4,4 C, saniter dan higienis.
2.6.2.3 Penanganan dan pengolahan SNI 01-4485.3-2006 Teknik penanganan dan pengolahan terdiri dari:
1 Penerimaan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, mutu bahan baku kurang baiksegar, ukuran dan jenis tidak sesuai.
- Tujuan: mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri pathogen dan
memenuhi persyaratan mutu, ukuran dan jenis. -
Petunjuk: bahan baku yang diterima diunit pengolahan diuji secara oragnoleptik, untuk mengetahui mutunya, bahan baku kemudian ditangani
secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
2 Penyiangan atau tanpa penyiangan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen. -
Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan
disiangin dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan harus dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter sehingga tidak menyebabkan
pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
3 Pencucian -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kemunduran mutu. -
Tujuan: menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang
mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
4 Pembuatan loin -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen. -
Tujuan: mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi
empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat
produk 4,4 C. 5 Pengulitan dan perapihan
- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging
hitam, darah dan kulit. -
Tujuan: mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging merah dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang
hingga bersih. Pengulitan dan perapihan harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4 C.
6 Sortasi mutu -
Potensi bahaya: kemunduran mutu, kontaminasi bakteri pathogen, terdapat daging merah, tulang, duri dan kulit.
- Tujuan: mendapatkan loin dengan mutu yang baik dan serta bebas dari
kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. sortasi
dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
7 Pembentukan steak -
Potensi bahaya: bentuk serta ukuran steak yang tidak sesuai, kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen.
- Tujuan: mendapatkan steak tuna dengan ukuran yang telah ditentukan dan
bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: loin yang sudah rapi dipotong menjadi bentuk steak dengan bentuk dan ukuran yang sesuai. Pembentukan steak harus dilakukan secara
cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
8 Pembungkusan wrapping
- Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurnakurang vakum dan
kontaminasi bakteri. -
Tujuan: mendapatkan steak dalam kemasan yang vacum dan terhindar dari kontaminasi bakteri.
- Petunjuk: steak yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara
individual dan dikemas secara vacum. Proses pembungkusan harus dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dan tetap mempertahankan
suhu pusat produk maksimal 4,4 C. 9
Pembekuan -
Potensi bahaya: pembekuan yang tidak sempurna partial freezing dan kehilangan cairan driploss.
- Tujuan: membekukan produk hingga mencapai suhu pusat -18 C secara
cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk. 10 Pengulitan dan perapihan
- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging
daging merah dan kulit. -
Tujuan: mendapatkan steak yang rapi dan bebas dari tulang, daging merah dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang
hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan harus dilakukan secara cepat, cermat dam saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk -18 C.
11 Pembentukan steak -
Potensi bahaya: bentuk serta ukuran steak yang tidak sesuai, kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen.
- Tujuan: mendapatkan steak dengan ukuran yang telah ditentukan dan
bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: loin yang sudah rapi dipotong menjadi steak dengan bentuk dan ukuran yang sesuai. Pembentukan steak harus dilakukan secara cepat,
cermat dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal - 18 C.
12 Penggelasan atau tanpa penggelasan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen atau kemunduran mutu. -
Tujuan: melapisi ikan dengan air es agar tidak mudah terjadi pengeringan pada saat penyimpanan.
- Petunjuk: steak yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air
dingin. Proses penggelasan harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat ikan maksimal -18 C.
13 Penimbangan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen.
- Tujuan: mendapatkan berat loin steak yang sesuai dengan ukuran yang
telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: steak ditimbang sesuai berat yang telah ditentukan, dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan harus
dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 C.
14 Pengepakan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri dan kesalahan label. -
Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
- Petunjuk steak yang telah ditimbang kemudian dikemas dengan plastik dan
dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat, dan saniter.
15 Pengemasan -
Bahan kemasan untuk tuna steak beku harus bersih, tidak mencemari produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi
persyaratan bagi produk ikan beku. -
Teknik pengemasan: produk akhir harus dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis, pengemasan harus dilakukan dalam kondisi
yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk. Untuk produk yang menggunakan transportasi udara, teknik pengemasan
sesuai SNI 01-4872.1-2006. 16 Syarat penandaan
Dalam sistem pelabelan dan pemberian kode dilakukan dengan sebaik mungkin. Setiap kemasan produk tuna steak beku yang akan diperdagangkan
diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, menggunakan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut: jenis
produk, berat bersih produk, nama dan alamat unit pengolahan secara lengkap, bila ada bahan tambah lain diberi keterangan bahan tersebut,
tanggal, bulan, tahun produksi, tahun kadaluwarsa. 17 Penyimpanan
Penyimpanan tuna steak beku harus dalam gudang beku cold storage dengan suhu maksimum -25 C dengan fluktuasi suhu kurang lebih 2 C.
Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
sirkulasi udara
dapat merata
dan memudahkan
pembongkaran.
2.6.3 Tuna loin segar
Menurut KKP 2010, tuna loin segar berdasarkan SNI 7530.1-2009 meliputi 3 tahap bagian yaitu: spesifikasi, persyaratan bahan baku, serta
penanganan dan pengolahan.
2.6.3.1 Spesifikasi SNI 7530.1-2009 Tuna loin segar yaitu produk hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar
atau beku yang mengalami perlakuan proses dan pendinginan hingga mencapai suhu pusat 0 C-4,4 C
Tabel 3 Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna loin segar
Jenis uji Satuan
Persyaratan 1 Sensori
Angka 1-9 Minimal 7
2 Cemaran mikroba 1 ALT
Kolonig Maksimal 5,0 x 10
5
2 Escherichia coli APMg
3 3 Salmonella
per 25g Negatif
4 Vibrio choleraea per 25g
Negatif 3 Cemaran kimia
1 Kadmium Cd mgkg
Maksimal 0,1 2 Merkuri Hg
mgkg Maksimal 1,0
3 Timbal Pb mgkg
Maksimal 0,4 4 Uji kimia
1 Histamin mgkg
Maksimal 50 5 Fisika
1 Suhu pusat C
Maksimal 4,4 f Parasit
Ekor Catatan bila diperlukan
Sumber: BSN, 2009.
2.6.3.2 Persyaratan bahan baku SNI 7530.2:2009 Ruang lingkup: standar ini menetapkan persyaratan bahan baku tuna loin
segar. 1 Bahan baku tuna loin segar: ikan tuna segar dan beku.
2 Jenis bahan baku yang digunakan: -
tuna madidihang yellowfin tuna thunnus albacares. -
tuna mata besar bigeye tuna thunnus obesus. -
tuna sirip biru bluefin tunathunnus tynnus dan thunnus maccoyi. -
tuna albakora albacore thunnus alalunga. 3 Bentuk bahan baku berupa ikan tuna segar atau beku yang sudah atau belum
disiangi. 4 Asal bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar.
5 Mutu
- Bahan baku bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan,
bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.
- Secara sensori bahan baku mempunyai karakteristik kesegaran seperti
berikut: kenampakan: mata cerah, cemerlang; bau: segar; tekstur: elastis, padat dan kompak.
6 Penyimpanan Bahan baku disimpan dalam wadah yang baik dengan menggunakan es
dengan suhu pusat bahan baku 4,4 C atau lebih rendah untuk bahan baku segar dan -18 C untuk bahan baku beku, secara saniter dan higienis.
2.6.3.3 Penanganan dan pengolahan SNI 7530.3:2009 Teknik penanganan dan pengolahan untuk bahan baku tuna segar terdiri
dari: 1
Penerimaan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, kemunduran mutu dan histamin.
- Tujuan: mendapatkan bahan baku yang bebas dari kontaminasi bakteri
pathogen. -
Petunjuk: bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik dan uji histamin, untuk mengetahui mutunya. Penanganan
dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dengan suhu produk 0 C -4,4 C untuk bahan baku segar dan -18 C atau lebih rendah untuk bahan baku
beku. Bahan baku diindetifikasi dan diberi kode untu kemudahan dalam penelusuran traceability dan dipertahankan sampai tahapan produk akhir.
2 Penyiangan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen. -
Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan
disiangin dengan cara membunag kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan
pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk 0 C- 4,4 C.
3 Pencucian
- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kemuduran mutu
- Tujuan: menghilangkan sisa kotoran darah yang menempel ditubuh ikan
dan bebas dari kontaminsi bakteri pathogen. -
Petunjuk: ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu
pusat produk 0 C-4,4 C. 4
Pembuatan loin -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen. -
Tujuan: mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi
empat bagian secara membujur. Proses pembutan loin dilakukan secara tepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk
0 C-4,4 C. 5
Pembuangan kulit dan perapihan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging hitam dan kulit.
- Tujuan: mendaptakan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging hitam
dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: tulang, daging hitam dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pembuangan kulit dan perapihan dilakukan secara cepat,
cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk. 6
Sortasi mutu -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen. -
Tujuan: mendaptakan loin dengan mutu sesuai spesifikasi. -
Petunjuk: sortasi mutu dilakukan dengan mengelompokkan produk sesuai spesifikasi, secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat
produk. 7
Pembungkusan wrapping -
Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna dan kontaminasi bakteri pathogen.
- Tujuan: mendapatkan loin dalam kemasan yang sempurna dan terhindar
dari kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: loin yang sudah rapi selanjutnya dikemas dalam plastik vacum dan tidak vacum secara individual dengan cepat, cermat dan saniter dan
tetap mempertahankan suhu pusat produk. 8
Penimbangan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen.
- Tujuan: mendapatkan berat loin yang sesauai dengan ukuran yang telah
ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap
mempertahnkan suhu pusat produk. 9
Pengepakan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kesalahan label. -
Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
- Petunjuk: loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas
dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.
Penanganan dan pengolahan untuk bahan baku tuna beku terdiri dari: 1
Penerimaan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu, bakteri pathogen, parasit. -
Tujuan: memperoleh bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: bahan baku diuji secara oraganoleptik kemudian ditangani
sacara cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk -18 C atau lebih rendah. Bahan baku diidentifikasi dan diberi kode untuk kemudahan
dalam penelurusan traceability dan diperlukan sampai produk akhir. 2
Pelelehan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri. -
Tujuan: mendapatkan tuna segar dengan mutu baik.
- Petunjuk: tuna beku direndam dengan air pada suhu 10 C- 15 C hingga
suhu pusat ikan 0 C-4,4 C. 3
Penyiangan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen. -
Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan
disiangin dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan
pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk. 4
Pembuatan loin -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen. -
Tujuan: mendapatkan bentuk loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan
secara cepat, cermat, dan saniter serta dengan suhu pusat produk. 5
Pengulitan dan perapihan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging hitam dark meat dan kulit.
- Tujuan: mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging hitam
dark meat dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: tulang, daging hitam dark meat dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat,
cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk. 6
Sortasi mutu -
Potensi bahaya: kemunduran mutu, kontaminasi bakteri pathogen, terdapat daging merah, tulang, duri dan kulit.
- Tujuan: mendapatkan loin dengan mutu yang baik dan serta bebas dari
kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. sortasi
dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
7 Pembungkusan wrapping
- Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna dan kontaminasi bakteri
pathogen. -
Tujuan: mendapatkan loin dalam kemasan yang sempurna dan terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.
- Petunjuk: loin yang sudah rapi selanjutnya dikemas dalam plastik secara
individual vacum dan tidak vacum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan
suhu pusat produk. 8
Penimbangan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen.
- Tujuan: mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah
ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. -
Petunjuk: loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan
saniter serta tetap mempertahnkan suhu pusat produk. 9
Pengepakan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kesalahan label. -
Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
- Petunjuk: loin segar, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan
dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. 10
Pengemasan -
Bahan kemasan untuk tuna loin segar bersih, tidak mencemari produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan
bagi produk ikan segar. -
Teknik pengemasan: produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis. Pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat
mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk akhir. -
Pelabelan dan pemberian kode: setiap kemasan produk tuna loin segar yang akan diperdagangkan diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca,
mencatumkan bahasa yang dipersayaratkan disertai keterangan sekurang- kurangnya sebagai berikut: nama produk, berat bersih atau isi bersih,
daftar bahan yang digunakan, nama dan alamat produsen pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia,
tanggal, bulan, tahun produksi, tahun kadaluwarsa. 11
Penyimpanan Penyimpanan tuna loin segar dalam gudang segar cool room dengan
suhu maksimal 4,4 C. Penataan produk dalam gudang segar diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan
memudahkan pembongkaran.
2.7 Kegiatan Ekspor Produk Tuna
Produksi tuna Indonesia sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor. Tujuan utama ekspor produk tuna adalah ke pasar Jepang, Uni Eropa dan Amerika
Serikat. Pasar jepang khusus untuk produk tuna segar dan tuna beku sashimi. Pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk produk-produk olahan tuna.
Bagi perusahaan tuna pemula yang akan melakukan ekspor, dapat mengakses pasar melalui berbagai media, diantaranya dapat melalui internet,
berhubungan langsung dengan eksportir atau media promosi ekspor lainnya. Perusahaan dapat juga mengikuti pameran dagang khusus produk perikanan, yang
secara berkala diadakan setiap satu tahun sekali. Pameran dagang untuk pasar Uni Eropa diadakan di Brussels, sementara itu untuk pasar Amerika Serikat diadakan
di Boston. Dalam pameran dagang poduk perikanan akan dilakukan promosi dagang, dan disini dapat terjadi transaksi ekspor.
Ekspor merupakan kegiatan perdagangan baik itu barang maupun jasa yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, melalui prosedur yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak. Kegiatan ekspor semakin terasa penting dengan adanya tantangan golabalisasi, dimana barang dan jasa dapat dengan
mudah keluar dan masuk dari dan ke suatu negara. Kegiatan ekspor suatu barang dari Indonesia merupakan kegiatan
mengeluarkan barang dari Pabean Indonesia. Daerah Pabean adalah Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah daratan, perairan dan ruang udara
diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang No. 10 tahun 1995 tentang
Kepabeanan. Kegiatan ekspor boleh dilakukan tidak hanya oleh perusahaan, namun dapat juga dilakukan oleh perorangan yang telah memiliki: 1 Tanda
Daftar Usaha Perdagangan TDUP atau Surat Izin Usaha Perdagangan SIUP, 2 Izin usaha dari Departemen Teknis Lembaga Pemerintah Non Departemen
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan 3 Tanda Daftar Perusahaan TDP Kadarwiyati, 2006 vide Nurani dan Sugeng, 2007.
Barang yang akan diekspor harus didaftarkan ke Bea Cukai agar dapat dikeluarkan dari kepabeanan Indonesia. Pejabat bea cukai akan melakukan
pengecekan kelengkapan dokumen ekspor dan pemeriksaan fisik barang. Jika semua telah lengkap, pejabat Bea Cukai akan mengeluarkan Surat Persetujuan
Ekspor. Petunjuk pelaksanaan tatalaksana kepabeanan di bidang ekpsor secara lengkap telah di atur melalui keputusan dirjen bea dan cukai NoKep-
151BC2003. Dalam memulai kegiatan ekspornya, suatu perusahaan perikanan harus
melakukan persiapan-persiapan, berupa 1 persiapan administratif, 2 persiapan legalitas, 3 persiapan fisik barang, 4 persiapan operasional. Persiapan
administratif mencakup persiapan sarana untuk melakukan hubungan dagang, meliputi letter head yang menarik dan informatif, personal computer dan internet,
Fax serta P.O. Box atau alamat kantor yang jelas. Persiapan legalitas merupakan persiapan dari aspek hukum, diantaranya yaitu memiliki izin usaha, NPWP dan
izin khusus eksportir tertentu. Persiapan fisik barang digunakan untuk mulai melakukan perdagangan, diantaranya meliputi kontrak dengan produsen,
pembuatan brosur, pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang eksportir untuk memulai ekspor, diantaranya meliputi proses ekspor, peraturan ekspor, produser
ekspor dan strategi ekspor. Terdapat sepuluh langkah strategis yang dapat dilakukan oleh perusahaan
perikanan untuk dapat memasuki pasar ekspor, yaitu: 1 keputusan manajemen untuk melalukan ekspor, 2 menentukan jenis atau spesifikasi komoditas yang
akan diekspor, 3 mengumpulkan dan menganalisis kondisi negara tujuan, 4 menetapkan pasar potensial dan segmen pasar, serta menentukan mitra usaha
sebagai saluran pemasaran, 5 menentukan strategi operasional bersama mitra usaha, 6 menentukan sistem promosi dan pemilihan mass media, 7
mempelajari peta pemasaran komoditas ikan tertentu, 8 mempelajari nama dan alamat lengkap badan-badan promosi international sebagai sarana mencari calon
pembeli, 9 menyiapkan brosur dan daftar harga price list, serta 10 menyiapkan surat perkenalan kepada calon pembeli.
2.8 Unit Penangkapan Pancing Tonda