Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Kondisi Geografi dan Topografi Ukuran Ikan Tuna yang Tertangkap

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan data lapang penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010. Tempat penelitian dilakukan di PPP Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Tujuan studi kasus adalah memberikan gambaran secara mendetail mengenai latar belakang, sifat-sifat serta karakteritik dari hal-hal yang diamati oleh penulis di lapangan Nazir, 1988. Kasus yang dikaji adalah ikan tuna hasil tangkapan pancing tonda di PPP sadeng untuk tujuan ekspor. Penelitian ini difokuskan pada aspek mutu hasil tangkapan ikan tuna tersebut. 3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Pengumpulan data primer Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh penulis di lapangan. Data primer diperoleh dengan cara mengamati langsung hal-hal yang berhubungan dengan penelitian, dengan cara mengambil sampel dan melakukan wawancara terhadap nelayan, juragan dan pegawai pelabuhan di PPP Sadeng. Pengambilan sampel ikan tuna untuk penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan pegamatan organoleptik. Ikan tuna yang dijadikan dalam penelitian ini berjumlah 150 ekor, dengan 10 kapal motor penangkap tuna yang dimana jumlah kapal di PPP Sadeng berkisar 50 kapal, tiap 1 kapal diambil 3 keranjang, tiap 1 keranjang diambil 5 ekor ikan tuna untuk diteliti.

3.3.2 Pengumpulan data sekunder

Data sekunder diperoleh dari kantor Dinas PPP Sadeng, meliputi data-data sebagai berikut gambaran umum kegiatan perikanan tangkap di Sadeng, diperlukan data sekunder dari PPP Sadeng. 3.4 Analisis Kendali Mutu 3.4.1 Analisis peta kendali Pengujian suatu produk sering dilakukan untuk memantau bagian yang ditolak atau proporsi produk yang cacat fraction defective, yaitu rasio antara produk yang cacat terhadap populasinya. Proporsi cacat bisa dinyatakan dalam desimal maupun persen. Dalam bagan kendali mutu, proporsi dinyatakan dalam persen. Prinsip statistik yang mendasari bagan kendali untuk proporsi ketidaksesuaian didasarkan atas distribusi binomial. Bagan kendali yang digunakan untuk memantau proporsi ketidaksesuaian yang dihasilkan dari suatu proses ialah bagan p. jika dikehendaki pengamatan berdasarkan jumlah ketidaksesuaian atau jumlah bagian yang ditolak, maka digunakan bagan np. Dalam penelitian ini menggunkan bagan p, sebab ingin mengetahui seberapa jauh ikan tuna yang bermutu atau tidak. Selain untuk pengukuran dalam bentuk proporsi, bagan p juga dipergunakan bila ukuran subgrup tidak sama. Prosedur umum dalam menyusun bagan kendali ketidaksesuaian Ishikawa, 1989, sebagai berikut: 1 Memilih karakteristik mutu. 2 Kumpulkan data. Sampel diambil berdasarkan subgrup, dengan ukuran subgrup n, sebaiknya lebih dari 50. 3 Hitung persen ketidaksesuaian dari setiap subgrup p i dan masukkan ke dalam lembar data. p i = Jumlah ketidaksesuaian np i x 100 Jumlah unit dalam subgrup n i 4 Tentukan garis tengah central line, CL, batas kendali atas upper control limit, UCL dan batas kendali bawah lower control limit, LCL dengan menggunakan rumus sebagai berikut: CL = p = ∑ p i = ∑ np m mn CL = p + z . σ p CL = p - z . σ p Dimana: p = rata-rata persen ketidaksesuaian dalam sampel m = jumlah sampel subgrup n = ukuran subgrup z = deviasi standar normal σ p = deviasi standar dari distribusi sampling σ p = p 1- p n 5 Buat bagan p dengan memasukkan data observasi kedalamnya

3.4.2 Analisis diagram pareto

Diagram pareto digunakan untuk menggambarkan tingkat kepentingan relatif antar berbagai faktor. Dengan diagram ini dapat diketahui faktor yang dominan dan yang tidak. Faktor yang dominan ialah faktor-faktor yang secara bersama-sama menguasai sekitar 70 sampai 80 dari nilai akumulasi tetapi biasanya hanya terdiri dari sedikit faktor critical. Faktor dominan ini juga sering disebut sebagai variabel kelas A dalam konsep klasifikasi ABC. Variabel kelas B ialah faktor-faktor yang secara bersama-sama menguasai sekitar 10 sampai 20 dari total nilai. Sedangkan variabel kelas C ialah faktor-faktor yang secara bersama-sama hanya menguasai sekitar 10 sampai 15 dari total nilai tetapi terdiri dari banyak faktor non dominan trivial Ishikawa, 1989. Dengan menggunakan diagram pareto, perhatian bisa dikonsentrasikan kepada faktor yang dominan kelas A, dan tidak perlu membuang waktu, tenaga, dan biaya untuk menangani faktor-faktor yang tidak dominan. Berikut disajikan tahapan pembuatan diagram pareto, yaitu: 1 Pilih beberapa faktor penyebab dari suatu masalah bisa diketahui dari hasil analisis sebab dan akibat; 2 Kumpulkan data dari masing-masing faktor dan hitung persentase kontribusi dari masing-masing faktor; 3 Susun faktor-faktor dalam urutan baru dimulai dari yang memilki persentase terbesar dan hitung nilai akumulasinya; 4 Bentuk kerangka diagram dengan aksis sebelah kanan dalam bentuk kumulatif. Tinggi aksis sebelah kiri dan kanan sama; 5 Berpedoman pada aksis vertikal sebelah kiri, buat kolom secara berurutan pada aksis horisontal yang menggambarkan kontribusi masing-masing faktor; 6 Berpedoman pada aksis vertikal sebelah kanan, buat garis yang menggambarkan persen kumulatif, dimulai dari ujung bawah aksis sebelah kiri sampai di ujung atas aksis sebelah kanan; Tujuan utama dari checksheet lembar pengecekan ialah untuk menjamin bahwa data dikumpulkan secara hati-hati dan akurat oleh personal operasi untuk mengontrol proses dan untuk pengambilan keputusan. Data dipresentasikan dalam sutau format yang dapat secara cepat dan mudah digunakan dan dianalisa. Pengisian data dalam checksheet biasanya menggunakan cara tally, seperti yang biasa dipergunakan dalam pertandingan bulutangkis atau bola voley. Checksheet seringkali digunakan untuk mengetahui ketidaksesuaian, baik dari jumlah, lokasi, ataupun penyebabnya. Checksheet sebaiknya dapat memuat kapan pengecekan dilakukan, dimana, oleh siapa, dan terhadap produkprosesbagian yang mana.

3.4.3 Analisis diagram sebab akibat diagram tulang ikan

Masalah mutu dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Untuk mempermudah menganalisis penyebab dari suatu permasalahan mutu, Kaoru Ishikawa telah mengembangkan suatu alat pengendali mutu yang disebut sebagai diagram sebab akibat. Diagram ini merupakan suatu grafik yang mengambarkan hubungan antara suatu efek masalah dengan penyebab potensialnya. Diagram sebab dan akibat digunakan untuk mengembangkan variasi yang luas atas suatu topik dan hubungannya, termasuk untuk pengujian suatu proses maupun perencanaan suatu kegiatan. Proses dalam membangun diagram membantu menstimulasi pemikiran mengenai suatu isu, membantu berpikir secara rasional, dan mengundang diskusi. Proses tersebut memerlukan brainstorming pengungkapan pendapat dari para karyawan terkait untuk memperoleh dan menggali penyebab potensial sebanyak mungkin. Diagram sebab akibat membuat analisis terhadap mutu dapat dilakukan secara teliti untuk semua kemungkinan penyebab, dan memberikan suatu proses untuk diikuti. Format diagram sebab dan akibat secara umum ditunjukan dalam gambar dibawah ini Gambar 7 Format diagram sebab akibat. Tahapan yang dilakukan dalam menyusun diagram sebab akibat Ishikawa, 1989, meliputi: 1 Tentukan masalah atau akibat yang akan dicari penyebabnya. Tuliskan dalam kotak yang menggambarkan kepala ikan yaitu yang berada di ujung tulang utama garis horisontal; 2 Tentukan grupkelompok faktor-faktor penyebab utama yang mungkin menjadi penyebab masalah itu dan tuliskan masing-masing pada kotak yang berada pada cabang. Pada umumnya, pengelompokan didasarkan atas unsur material, peralatan mesin, metode kerja manusia, dan pengukuran inspeksi. Namun, pengelompokkan dapat juga dilakukan atas dasar analisis proses; 3 Pada setiap cabang, tulis faktor-faktor penyebab yang lebih rinci yang dapat menjadi faktor penyebab masalah yang di analisis. Faktor-faktor penyebab Cabang Ranting …………………………………………………… ………………….. Sebab Akibat ini berupa ranting, yang bila diperlukan bisa dijabarkan lebih lanjut kedalam anak ranting; dan 4 Lakukan analisis dengan membandingkan datakeadaan dengan persyaratan untuk setiap faktor dalam hubungannya dengan akibat, sehingga dapat diketahui penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya masalah mutu yang diamati. 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografi dan Topografi

Pelabuhan Perikanan Pantai PPP Sadeng terletak di wilayah Gunungkidul. Berjarak sekitar 40 km dari ibukota Gunungkidul, Wonosari. Secara administratif, PPP Sadeng ini terletak di Desa Songbanyu dan Desa Pucung, Kecamatan Girisubo, Gunung Kidul. Secara geografis kabupaten Gunungkidul terletak pada 7º46-8º09 Lintang Selatan dan 110º21-110º50 Bujur Timur dan memiliki luas wilayah 1.485,36 km². Wilayah Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa. Kabupaten Gunungkidul memiliki batas wilayah administrasi, bagian utara dibatasi oleh Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, bagian timur dibatasi oleh Kabupaten Wonogiri, bagian selatan dibatasi oleh Samudera Hindia dan sebelah barat dibatasi oleh Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Kabupaten Gunungkidul merupakan perbukitan dan pegunungan kapur, yakni bagian dari Pegunungan Sewu. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar wilayah Kabupaten Gunungkidul adalah daerah tandus sehingga pada musim kemarau sering terjadi kekeringan Nurani, 2008b.

4.2 Keadaan Perikanan Tangkap di Sadeng

Keadaan perikanan tangkap di Sadeng dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan, memiliki gelombang laut yang besar. Luas PPP Sadeng sekitar 5 hektar yang terletak di teluk Sadeng, Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul dengan koordinat 8º 12 30 Lintang Selatan dan 110º 52 32 Bujur Timur. Jarak tempuh dari ibukota provinsi ± 84 km, dari ibukota kabupaten ± 44 km dan ibukota kecamatan ± 12 km.

4.2.1 Unit penangkapan ikan 1 Kapal

Kapal operasi penangkapan ikan di PPP Sadeng terdiri dari dua jenis, yaitu kapal motor dan perahu motor tempel. Kedua jenis kapal dapat dilihat pada Lampiran 5. Kapal motor mengoperasikan beberapa alat tangkap yaitu pancing ancet, pancing layangan, pancing tonda, pancing umbaran, pancing cuping, pancing renta dan gillnet multifilamen, pancing-pancing itu dapat dilihat pada Lampiran 6, sedangkan perahu motor tempel mengoperasikan alat tangkap gillnet monofilament. Kapal yang digunakan di PPP Sadeng adalah perahu motor dan perahu motor tempel. Perahu motor berukuran panang LOA lebih dari 15 meter, perahu motor tempel kurang dari 10 meter. Data jumlah kapal pelabuhan sadeng tahun 2005-2009 disajikan pada Tabel 4. Kapal motor yang digunakan oleh nelayan di PPP Sadeng berbahan kayu dengan dimensi panjang antara 16-18 meter, lebar 2,5-3 meter dan tinggi 2-2,5 meter. Rata-rata nelayan kapal motor di Sadeng menggunakan dua buah mesin inboard yang terdiri dari mesin utama bermerek Yanmar dan mesin bantu bermerek jandong berkekuatan 30 PK. Mesin inboard ini menggunakan bahan bakar solar dan menghabiskan kurang lebih 330 liter dalam satu kali operasi. Kapal motor tempel yang digunakan oleh nelayan di Pelabuhan Sadeng berbahan fiberlass dengan dimensi panjang antara 9-10 meter, lebar 1 meter, dan tinggi 1-1,5 meter. Rata-rata nelayan perahu motor tempel di Sadeng menggunakan mesin tempel bermerek Suzuki atau Yamaha berkekuatan 15 PK. Mesin tempel ini menggunakan bahan bakar bensin dan menghabiskan kurang lebih 10 liter dalam satu kali operasi. Perahu motor tempel di Sadeng memiliki dua buah katir yang terbuat dari bambu pada sisi kanan dan kiri perahu. Katir ini berfungsi sebagai penyeimbang kapal saat terkena gelombamg pada saat pengoperasian alat tangkap. Tabel 4 Jumlah kapal dan perahu motor tempel di PPP Sadeng tahun 2005-2009 No Tahun Kapal motor unit Perahu motor tempel unit Jumlah unit 1 2005 13 51 64 2 2006 49 68 117 3 2007 55 70 125 4 2008 45 30 75 5 2009 40 35 75 Sumber: Laporan Tahunan PPP Sadeng, 2005-2009 2 Alat Penangkap Ikan Alat tangkap yang digunakan oleh nalayan di Pelabuhan Sadeng yaitu pancing seperti pancing ancet, pancing layangan, pancing tonda, pancing umbaran, pancing cuping, pancing renta dan jaring seperti gillnet multifilament, dan gillnet monofilament. Pancing tonda di PPP Sadeng memiliki dua bagian utama yaitu tali pancing dan mata pancing tanpa pemberat. Jumlah pancing tonda yang dioperasikan dalam satu kapal sebanyak empat sampai lima buah pancing. Pengoperasian pancing ini terletak pada sisi kanan dan kiri kapal. Desain pancing tonda dapat dilihat pada Gambar 8. Sumber: KKP 2010. Gambar 8 Bagian pancing tonda dan pengoperasiannya. Bagian-bagian pancing tonda terdiri dari: 1 Peggulung reel, terbuat dari bahan kayu atau plastik berbentuk bulat. Penggulung berfungsi untuk menggulung tali pancing saat selesai pengoperasian; 2 Tali utama main line, terbuat dari bahan monofilament dengan nomor 100 dengan panjang 100 meter; 3 Kili-kili swivel, terbuat dari bahan stainless steal. Kili-kili berfungsi agar tali pancing tidak terbelit pada saat pengoperasian; 4 Tali cabang branch line, terbuat dari bahan monofilament dengan nomor 70 dengan panjang 6 cm; 5 Umpan, berupa umpan buatan yang terbuat dari serat-serat kain sutra berwarna mencolok sehingga menarik ikan untuk mendekat; dan 6 Mata pancing hook, terbuat dari almunium dengan nomor 7. Mata pancing yang digunakan merupakan rangkaian 3 buah pancing yang membentuk mata pancing segitiga. 3 Nelayan Nelayan Pelabuhan Sadeng terbagi atas dua jenis, yaitu nelayan buruh dan nelayan pemilik. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja kepada nelayan pemilik pekerjaannya langsung terlibat dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki armada penangkapan dan membiayai operasi penangkapan. Nelayan kapal motor di Sadeng terdiri dari lima sampai enam orang, terdiri dari juru mudi dan ABK. Nelayan kapal motor memilki tugas yang berbeda disetiap operasi penangkapan ikan tergantung dari pengalaman dan keahlian setiap nelayan. Juru mudi kapal bertugas sabagai pengendali kapal, sedangkan ABK bertugas sebagai pelaksana teknis. Juru mudi juga berperan sebagai pemancing saat pengoperasian alat tangkap. Nelayan dengan menggunakan kapal motor beroperasi di sekitar rumpon yang di pasang, sedangkan nelayan motor tempel hanya beroperasi di sekitar pantai Sadeng tersebut. Nelayan kapal motor dengan kekuatan mesin 30 PK memiliki jangkauan penangkapan ikan lebih jauh daripada perahu motor tempel. Waktu tempuh nelayan kapal motor ke rumpon sekitar 4-7 jam. Perkembangan jumlah nelayan di pelabuhan Sadeng pada tahun 2005 sampai 2009 disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan di PPP Sadeng tahun 2005-2009 No Tahun Jumlah orang 1 2005 281 2 2006 285 3 2007 450 4 2008 400 5 2009 375 Sumber: laporan Tahunan PPP sadeng, 2005-2009 4 Hasil tangkapan Produksi tangkapan PPP Sadeng diperoleh dari hasil tangkapan nelayan kapal motor dan perahu motor tempel. Ikan hasil tangkapan dari kapal motor meliputi ikan jenis pelagis besar seperti: tuna thunnus albacores, cakalang katsuwonus pelamis, tongkol auxis thazard, lemadang coryphaena hippurus dan tenggiri scomberomorus commersoni, sedangkan ikan hasil tangkapan perahu motor tempel antara lain: lobster panulirus homarus, bawal pampus argentus dan kepiting portunus pelagicus.

4.2.2 Daerah penangkapan ikan

Pantai Sadeng memiliki karakteristik gelombang laut selatan yang besar, penduduk setempat memiliki kepercayaan yang tak memperbolehkan melaut dan wilayah pantai yang konon wingit. Tetapi sebagian penduduk percaya bahwa siapa yang dapat bertahan di pantai Sadeng, seperti nelayan-nelayan setempat akan mendapat rezeki Anynomous, 2010. Daerah Penangkapan ikan terletak disekitar pemasangan rumpon. Pemasangan rumpon berjarak sekitar 30-50 mil dari garis pantai perairan selatan. Rumpon yang terdapat di PPP Sadeng berasal dari dua pihak, yaitu oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan pihak nelayan itu sendiri. Unit rumpon yang terdapat di PPP Sadeng yang belum terpasang dapat dilihat pada Lampiran 5. Aktivitas penangkapan di pelabuhan Sadeng dipengaruhi oleh Musim Angin Barat dan Angin Timur. Musim Angin Timur terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus. Musim Angin Barat terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret pada musim ini frekuensi operasi penangkapan dikurangi, karena pada musim ini biasanya terjadi angin kencang, hujan dan ombak besar. Bulan April sampai dengan Mei dan bulan September sampai dengan November merupakan Musim Peralihan.

4.2.3 Fasilitas PPP Sadeng

Pembagian fasilitas PPP Sadeng terdiri dari: 1 Fasilitas pokok, adalah sarana yang diperlukan untuk kepentingan aspek keselamatan pelayaran dan tempat tambat labuh serta bongkar muat yang meliputi: 1 Sarana pelindung, yaitu pemecah gelombang breakwater, penangkap pasir groin, dan tempat penahan tanah revertment; 2 Sarana tambat labuh, yaitu darmaga, tiang tambat border, pelampung tambat bolard, dan kolam pelabuhan, pier; 3 Sarana transportasi, yaitu jembatan, jalan komplek dan area parker; dan 4 Lahan yang dicadangkan untuk kepentingan instansi pemerintah. 2 Fasilitas fungsional, adalah sarana yang langsung dimanfaatkan untuk kepentingan manajemen pelabuhan perikanan dan dapat dimanfaatkan oleh perorangan atau badan hukum yang meliputi: 1 Sarana pemeliharaan kapal dan alat perikanan; 2 Lahan untuk kawasan industry; 3 Sarana pemasokan bahan bakar untuk kapal dan keperluan pengolahan; 4 Sarana pemasaran, biasanya tempat pelelangan ikan TPI, penanganan dan penyimpanan hasil tangkapan; dan 5 Sarana navigasi dan komunikasi. 3 Fasilitas penunjang, adalah sarana yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan memberikan kemudahan bagi masyarakat umum yang meliputi: 1 Sarana kesejahteraan nelayan, yaitu tempat penginapan, kios perbekalan dan alat perikanan, dan tempat ibadah; dan 2 Sarana pengolahan pelabuhan yaitu kantor, pos pemeriksaan, perumahan karyawan dan rumah tamu. Tabel 4 Fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang di PPP Sadeng No. JENIS FASILITAS KAPASITAS KETERANGAN 1. Fasilitas Pokok 1. Luas lahan 2. Breakwater 3. Dermaga 4. Turap 5. Kolam pelabuhan 5 GT 5 GT 6. Beda pasang surut 7. Alur masuk panjang 8. Alur masuk lebar 50.000m² 135 m 485 m 143,5 m 22.900 m² 5.700 m² 4 m 200 m 25 m Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Perlu pelebaran 2. Fasilitas Fungsional 1. Tempat Pelelangan Ikan 2. Kantor PPP 3. Balai Pertemuan Nelayan 4. Bengkel 5. Dockingslipway 6. SPDN 7. Kantor BBM 8. Gudang es 9. Menara air 10. Instalasi listrik PLN 11. Instalasi genset 12. MCK 13. Tempat pengolahan limbah 14. Area parkir 15. Pagar 16. Waserdakios bekal 17. Kios terbuka 18. Saluran air 19. Reklamasi 20. Gudang 21. Jalan lingkungan 22. Pabrik es Mini es Es curah tanpa diesel Es curah dengan diesel 23. Processing room 24. Pos pengawasan SDI 25. Lampu navigasi 26. Rambu suar 27. Kantor pengawasan pelabuhan 225 m² 144 m² 144 m² 60 m² 1 unit, 30 GT kapasitas 16.000 liter 21 m² 200 m² 1 unit 1 unit 25 KVA 2 unit 30 m² 2000 m² 2050 m² 450 m² 1 unit, 30 m² 1 unit, 30 m² 4.000 m² 288,6 m 48 m² 5.337 m² 1,5 tonhari 1,5 tonhari 2 tonhari 25 ton 52 m² 4 buah 2 buah 72 m² 144 m² Baik Baik Baik Baik Belum berfungsi Perlu perbaikan Perlu perbaikan Baik Penyempurnaan Perlu penyempurnaan Baik Perlu penyempurnaan Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Rusak Baik Perlu perbaikan Belum berfungsi Baik Baik Baik Baik Baik Lampiran 4 Lanjutan No. JENIS FASILITAS KAPASITAS KETERANGAN 28. Kantor Pangkalan Angkatan Laut 29. Kantor Dinas Perhubungan Laut 30. Saluran air permanen 31. Balai perbaikan jarring 32. Show chase ikan terbuka 33. Show chase ikan tertutup 144 m² 888,5 m² 96 m² 8 los 10 los Baik Baik Baik Baik Baik 3. Fasilitas Penunjang 1. Mess operator 2. Rumah nelayan andon 3. Rumah andonkampong boro tipe 36 4. Rumah tamu 5. Masjid 6. Gapura masuk pelabuhan 7. Stasiun pasang surut pemantau tsunami 2 unit, 81 m² 13 unit, 660 m² 28 unit 2 unit, 110 m² 80 m² 1 unit 1 unit Baik Baik Baik Baik Perlu perbaikan Baik Batan Sumber: Laporan Tahunan PPP Sadeng, 2009. 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Mutu hasil tangkapan ikan tuna merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, hal ini terkait dengan tujuan pemuasan pelanggan atau pembeli. Sesuai dengan pustaka Assauri 1980, yang menyatakan bahwa mutu dipengaruhi oleh faktor yang menentukan bahwa suatu barang dapat memenuhi tujuannya. Mutu ikan tuna tidak lepas dari peran dari nelayan penangkap ikan tuna, kapal dan alat-alat pendukung yang ada di dalam penanganan ikan tuna tersebut, kapal yang diteliti dalam pengendalian mutu ikan tuna adalah kapal motor yang berukuran berkisar antara 12-22 GT. Tabel 5 Kapal motor yang diteliti dan jumlah produksi hasil tangkapan Masalah pengendalian mutu ikan sangat penting untuk dilakukan sebab ikan merupakan salah satu bahan makanan yang sangat cepat mengalami kemunduran mutu. Setiap usaha peningkatan produksi hasil perikanan harus disertai pula dengan upaya mempertahankan mutu ikan sebaik mungkin, agar hasilnya dapat memberikan keuntungan baik bagi produsen nelayan maupun konsumen atau masyarakat, industri pengolah maupun pemerintah. Ikan tuna merupakan hewan perenang cepat dan mempunyai kemampuan migrasi tinggi, dimana setelah tuna mati akan mengalami kemuduran mutu yang cepat pula. Menurut Zaitzev et al 1969, jenis-jenis ikan yang bergerak cepat, setelah mati akan mengalami kemunduran mutu yang cepat pula. Hal ini karena No Nama kapal Ukuran GT Tipe produk ∑ Produksi tuna kg ∑ Produksi non tuna kg 1 JohanPutra 22 fresh tuna 163,5 97,2 2 Akselerasi 08 17 fresh tuna 202,4 92,1 3 Akselerasi 07 12 fresh tuna 124,2 94,5 4 Handayani 04 12 fresh tuna 280,5 93,6 5 Akselerasi 03 12 fresh tuna 272,1 91,2 6 Handayani 03 15 fresh tuna 128,4 106,2 7 Akselerasi 04 12 fresh tuna 143,4 98,4 8 Akselerasi 09 14 fresh tuna 115,2 112,5 9 Akselerasi 02 12 fresh tuna 98,1 97,8 10 Akselerasi 05 12 fresh tuna 161,1 104,1 umumnya, ikan tuna cepat masa rigornya, sehingga warna, bau dan kekenyalan dagingnya cepat berubah.

5.1 Ukuran Ikan Tuna yang Tertangkap

Dari hasil penelitian yang dilakukan pengamat, ikan tuna yang tertangkap di perairan Sadeng, kebanyakan masih berukuran dibawah 5 kg dengan jenis bigeye tuna, dan beberapa ikan tuna dengan ukuran diatas 20 kg dengan jenis yellowfin tuna. Ukuran ikan tuna yang tertangkap ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Ikan tuna yang diteliti berdasarkan berat dan panjang Berdasarkan pengujian organoleptik pada bigeye tuna yang diteliti, kisaran nilainya dari mata yaitu 6-9, insang yaitu 5-9, daging dan perut yaitu 7-9, sedangkan konsistensi masih berada pada nilai 9. Pada yellowfin tuna nilai 9 untuk mata, daging dan perut, konsistensi, sedangkan insang tidak diuji karena insang telah dibuang pada saat proses penanganan di atas kapal. Pengujian organoleptik pada bigeye tuna dan yellowfin tuna dapat dilihat pada Lampiran 4. Dilihat dari ukuran ikan-ikan tuna pada tabel 6, sebagian besar tidak dapat diekpsor langsung seperti tuna segar sashimi, melainkan dengan pengolahan terlebih duhulu seperti loin, sesuai dengan ketentuan ukuran layak ekspor yang diterapkan oleh Jepang adalah diatas 15 kg, ukuran dibawah dari itu tdak dapat diekspor. Bigeye tuna No Berat Panjang Ekor 1 5 kg 35,5-60 cm 148 2 5-10 kg 76 cm 1 3 10-20 kg 87 cm 1 4 20-30 kg - - 5 30 kg - - Yellowfin tuna No Berat Panjang Ekor 1 5 kg - - 2 5-10 kg - - 3 10-20 kg 103 cm 1 4 20-30 kg 116-124 cm 2 5 30 kg 127-153 cm 4 Kelayakan mutu ikan tuna untuk ekspor sangat baik, terlihat dari nilai organoleptik, rata-rata kondisi fisik per ikan tuna bernilai yaitu 8,25 sampai 9. Hal ini sesuai dengan spesifikasi SNl 2693.1-2006 mengenai tuna segar sashimi yaitu nilai uji organoleptik minimal 7. Ikan tuna di PPP Sadeng yang masuk kategori untuk tuna segar sashimi adalah yelowfin tuna dilihat dari ukuran diatas 15 kg, dan mutu ikan tuna masih sangat baik. Sesuai dengan spesifikasi SNI 7530.1-2009 mengenai tuna loin segar yaitu nilai uji organoleptik minimal 7. Ikan tuna di PPP Sadeng yang masuk kategori tuna loin segar adalah bigeye tuna, karena dari ukuran masih dibawah 15 kg, tetapi mutu masih sangat baik sehingga masih dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut.

5.2 Penanganan Ikan Tuna di PPP Sadeng