Pers Pemerintahan Orde Baru
45
Kebijaksanaan pemerintah terhadap pers di Zaman Indonesia merdeka mengalami beberapa kali perubahan. Hal itu disebabkan terjadi perubahan dalam
corak pemerintahan. Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda terhadap pers yang tertuang dalam
“Persbreidel Ordonnantie”, secara formal belum diganti pada awal pemerintahan Republik Indonesia. Baru pada tahun 1954, tanggal 2
Agustus, berlakulah pencabutan Presbredel ordonantie itu. UU No.23 tahun 1954, Lembaran Negara 54-77.
28
Mengutip dari Tjipta Lesmana dalam Abar, pers kemudian dianggap bukan lagi sebagai
bagian dari “koalisi” kekuasaan Orde Baru yang bisa mendukung konsolidasi dan perluasan kekuasaannya. Kenyataan ini dapat dilihat dari
serentetan tindakan yang anti pers dilakukan penguasa sejak tahun tersebut. “Penjinakan” dengan melakukan pencabutan surat izin ini sebenarnya
dimaksudkan untuk menumbuhkan pers yang tidak kritis, tidak bebas, serta tidak anti kekuasaan. Targetnya, menciptakan pers yang tidak usil atau cerewet pada
kekuasaannya. Hal ini dilakukan pemerintah semata-mata untuk mendapatkan dukungan penuh dari pers. Pemerintahan Orde Baru menganggap kekuasaan
negara perlu dukungan pers sebagai perpanjangan tangan kekuasaan itu sendiri. Pemerintah pada masa Orde Baru tersebut, tampaknya menyadari bahwa
media massa mampu membuat dan membentuk bingkai. Bingkai yang dibentuk oleh media massa inilah yang ditakuti oleh pemerintahan Orde Baru, karena frame
yang dibentuk oleh media massa, dianggap mampu mempengaruhi pemikiran masayarakat tentang pemerintah yang ada, sehingga dikhawatirkan timbulnya
gerakan menentang pemerintahan yang ada. Melihat keotoriteran pemerintahan Orde Baru terhadap media massa maupun pada pers, sesuai dengan tipe pers
otoriter. Pers otoriter dilaksanakan oleh pemerintah guna mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara. Para penerbit kemudian diawasi melalui
paten-paten, izin-izin terbit, dan sensor. Bila aparat keamanan dan intelijen rezim orde baru telah sejak beberapa tahun
anggaran sibuk meneliti gerak-gerik wartawan, dan bahkan telah sampai pada
28
Abdurrahman Surjomiharjo, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta : Kompas, 2002, h.176
46
tahap menangkap beberapa diantaranya seperti yang dialami sejumlah aktivis Asosiasi Jurnalis Independen, maka tidak demikian halnya dengan pakar politik
pemerhati Indonesia. Baru segelintir pakar yang menangkap potensi kelas menengah wartawan itu dalam kajian mereka mengenai prospek demokratisasi di
Indonesia.
29
Mengenai izin terbit pada tahun 1960 lebih terperinci lagi syarat-syaratnya. Para peminta izin terbit harus menyetujui dan menandatangani kesanggupan 19
pasal. Sementara ketentuan izin terbit tahun 1958 hanya menyatakan bahwa izin semacam ini perlu, agar bisa dicegah publikasi yang sensasional dan yang dinilai
bertentangan dengan moralitas. Kesembilan belas pasal itu mencerminkan kebijaksanaan pemerintah waktu itu. Peraturan Peperti No. 101960 ini bersama
dengan Penpers No.61963 bisa disebut tulang punggung kebijaksanaa pemerintah di bidang pers sesuah tahun 1959 sampai dengan lahirnya
UU.No.111966 tentang ketentuan pokok pers.
30
Ada sejumlah alasan mengapa media massa dan kelompok jurnalis, memperoleh tempat marjinal dalam analisis seputar demokratisasi atau reformasi.
Media massa dalam berbagai pendekatan, cenderung diamati hanya sekedar medium bagi beroperasinya berbagai faktor pendorong demokratisasi. Bila
pendekatan struktural menonjolkan peran kelas menengah sebagai kelompok yang mampu mendesakkan tuntunan demokratisasi. Bila pendekatan struktural
menonjolkan peran kelas menengah sebagai kelompok yang mampu mendesakkan tuntunan demokratisasi, dan pendekatan kultural menekankan
kontribusi ide-ide demokrasi, maka media massa hanyalah medium di mana tuntunan kelas menengah dan ide-ide demokrasi tersebut disampaikan kepada
penguasa dan publik yang luas.
31
Selain itu, sejarah panjang pembredelan atau pencabutan lisensi, budaya telepon serta hegemoni ide-ide sem
acam “pers partner pemerintah” atau “kebebasan yang bertanggungjawab” dan semakin kuatnya dominasi kroni
29
Selo Soemardjan, Kisah Perjuangan Reformasi Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, h.347
30
Surjomiharjo, op. cit., h.181-183
31
Soemardjan, op. cit., h. 348.
47
Soeharto dalam sekktor industri media terutama televisi, kesemuanya telah menurunkan bobot faktor peran media massa dalam analisis-analisis mengenai
prospek demokrasi di Indonesia ataupun kajian tentang kemungkinan jatuhnya rezim orde baru dalam dasawarsa 1990-an.
Pada awalnya, dalam proses penciptaan kondisi yang mendorong Soeharto memutuskan untuk lengser bulan Mei 1998, media massa nasional memang
bersikap amat hati-hati. Bahkan banyak di antaranya yang bertiarap sampai pada titik yang membuat banyak anggota masyrakat sedemikian gemas, frustasi dan
melarikan diri mencari berbagai media alternatif, mulai dari selebaran gelap, mailing list dan website di Internet, media asing, ataupun memburu informasi
alternatif semacam rumor tentang berbagai perkembangan politik dan gosip tentang kehidupan pribadi figur-figur elite penguasa.
32
Sekurangnya pada waktu itu, khususnya sebelum krisis moneter muncul, tidak ada satupun media massa yang cukup berani secara lugas mengolah topik-
topik tertentu menjadi komoditi informasi. Berbagai ulasan dan penilaian kritis seputar bisnis keluarga cendana, kepemimpinan soeharto serta kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkannya, perpecahan atau fraksi di kalangan elite penguasa, serta kontroversi seputar dwifungsi ABRI, merupakan area pemberitaan yang
banyak memuat taboo topics, yang sejauh mungkin dihindari media massa. Nasib yang menimpa Tempo, detik, dan Editor
ketika “era keterbukaan” yang dianugerahkan soeharto melalui pidato kenegaraan bula agustus 1990 tiba-tiba
dicabut bulan juni 1994, agaknya telah membuat para jurnalis di tanah air semakin ketat menerapkan self censorship dan menghindar jauh-jauh dari topik-topik tabu.
Keadaan ini terus berlanjut hingga menjelang revolusi mei 98.
33