Unsur Instrinsik Novel LANDASAN TEORI

22 menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjukkan pada kualitas pribadi seorang tokoh. 29 Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. 30 2. Tema Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. 31 Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandung serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya. 32 Seperti yang diungkapkan Walter Loban dalam Siswanto, dalam mengungkapkan masalah kehidupan dan kemanusiaan lewat karya prosa, pengarang berusaha memahami keseluruhan masalah itu secara internal dengan jalan mendalami sejumlah masalah itu dalam hubungannya dengan keberadaan suatu individu maupun dalam hubungan antara individu dengan kelompok masyarakatnya. Perolehan nilai itu sendiri umumnya sangat beragam sesuai dengan daya tafsir pembacanya. 33 Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan , nilai ini biasa disebut amanat. Amanat adalah 29 Nugiyanto,op. cit., h. 165. 30 Ibid., h 166. 31 Siswanto, op.cit., h 161. 32 Ibid. 161-162 33 Ibid., h 162. 23 gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat, di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat. 34 Tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema, menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Tema dengan demikian dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. 35 Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Yang menjadi unsur gagasan sentral, yang kita sebut tema tadi adalah topik atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang dengan topiknya tadi. 36 3. Alur plot Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu, jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal waktu dan oleh hubungan kausal sebab-akibat. Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian. 37 Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian- bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian, alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, 34 Ibid. 35 Nugiyanto, op.cit., h 70. 36 Semi, op. cit.,h. 42 37 Siswanto, op.cit., h 159. 24 bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang kesemuanya terikat dalam satu kesatuan waktu. 38 Pada umumnya alur cerita rekaan terdiri dari: a. Alur buka, yaitu situasi mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya. b. Alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang mulai memuncak. c. Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa. d. Alur tutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampakkan pemecahan atau penyelesaian. 39 Selain jenis alur di atas yang menekankan jenis alur berdasarkan urutan kelompok kejadian, kita dapat pula membagi alur berdasarkan fungsinya, yaitu alur utama dan alur sampingan. Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, sedangkan alur sampingan adalah alur yang merupakan bingkai cerita. 40 Unsur alur yang penting adalah konflik dan klimaks. Konflik dalam fiksi terdiri dari konflik internal, yaitu pertentangan dua keinginan di dalam diri seorang tokoh dan konflik eksternal yaitu konflik antara satu tokoh dengan tokoh lain atau antara tokoh dengan lingkungannya. Klimaks dalam sebuah cerita adalah saat-saat konflik menjadi sangat hebat dan jalan keluar harus ditemukan. 41

4. Latar

Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum general locale, waktu kesejarahan historical time dan kebiasaan masyarakat social circumtances dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat. 42 Latar atau landas tumpu setting cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Stanson mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot kedalam fakta cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. 43 38 Semi,op. cit., h. 43-44 39 Ibid., h. 44. 40 Ibid. 41 Ibid., h. 45. 42 Siswanto, op. cit., h.149. 43 Semi, op.cit., h. 46. 25 Leo Hamalian dan Frederick R. Karrel menjelaskan bahwa latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda- benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana serta benda- benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problem tertentu. 44 Unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan dengan sendirinya, akan tetapi pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. 45 a. Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu dengan nama yang jelas. Keberhasilan latar tempat lebih ditentukan oleh ketetapan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi. Keberhasilan penampilan unsur latar itu sendiri antara lain dilihat dari segi koherensinya dengan unsur fiksi lain dan dengan tuntutan cerita secara keseluruhan. 46 b. Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. 47 c. Latar sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. 44 Siswanto,op. cit., h. 149 45 Ibid., h.151 46 Nugiyanto,op. cit., h. 227-230 47 Ibid., h. 230 26 Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. 48 5. Gaya bahasa Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Ada tiga masalah yang erat hubungannya dengan pembicaraan masalah gaya. Pertama, masalah media berupa kata dan kalimat. Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan keindahannya. Terakhir seluk beluk eskspresi pengarangnya sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan, maupun konteks sosial-masyarakat yang melatarbelakanginya. Dari segi kata, karya sastra menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif, sedangkan kalimat- kalimatnya menunjukkan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan nuansa makna tertentu saja. Alat gaya melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, dan majas bunyi. 6. Titik pandangsudut pandang Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. 49 Menurut Aminuddin, titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi; 1. Narrator omniscient, 2. Narrator observer, 3. Narrator observer omniscient, 4. Narrator the third person omniscient. 50 Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas; 1. Sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, 2. Sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan 3. Sudut pandang pribadi yaitu hubungan 48 Ibid., h. 233. 49 Siswanto, op. cit., h.151. 50 Ibid.,h 152. 27 yang dipilih pengarang dalam membawa cerita ; sebagai orang pertama, kedua atau ketiga. Sedangkan sudut pandang pribadi dibagi atas: a. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh. b. Pengarang menggunakan sudut pandang bawahan. c. Pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal. Tiga hal tersebut sama sekali berdiri di luar cerita. Sudut pandang berkaitan dengan unsur-unsur instrinsik prosa rekaan yang lain : tokoh, latar suasana, gaya bahasa, nilai atau amanat.

F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Secara umum pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam bidang sastra bertujuan agar; 1. Peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; 2. Peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. 51 Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra puisi, prosa, drama baik karya asli maupun saduranterjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya satra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Sedangkan kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati puisi, prosa, drama dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. 52 51 Siswanto, op. cit., h.170-171 52 Ibid. 28 Tujuan umum pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. 53 Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan khusus yaitu; 54 1. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.; menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia, 2. Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif. Sastra adalah sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Penciptaan karya sastra merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual dan imajinatif, 3. Karya sastra hadir untuk dibaca dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif. 55 Penciptaan karya sastra merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual sehingga dengan membaca karya sastra akan memproduksi imajinasi siwa. Karya sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Jadi dengan membaca karya sastra siswa tidak hanya belajar sastra tetapi menikmati sastra sekaligus mengasah kecerdasan dan imajinasi siswa. Pengajaran sastra sebenarnya termasuk pengajaran seni. Pengajar setidaknya adalah pecinta sastra yang sekarang adalah mereka yang belajar bahasa dan sastra. Pada dasarnya pengajar lebih banyak dibentuk sebagai guru bahasa daripada guru sastra. Mengajarkan bahasa barangkali dapat dikerjakan seperti orang 53 Dindin Ridwanuddin, M.Pd. Bahasa Indonesia Ciputat :UIN Press.2015, h.,113 54 Ibid. 55 Ibid. 29 mengajarkan cabang ilmu lain tetapi mengajar kesenian termasuk di dalamnya sastra dan memerlukan persyaratan lain. 56 Pembelajaran Bahasa Indonesia ini bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; Pertama, berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; Kedua, menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; Ketiga, memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; Keempat, menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; Kelima, menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; Keenam, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia kreativitas guru maupun peserta didik justru lebih menentukan isi dan jalannya proses belajar. Materi yang tersaji lebih bersifat sebagai pemandu, maka tetap diperlukan seorang fasilitator maupun motivator. Oleh karena itu, sangatlah diharapkan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Proses pembelajaran tetap berada pada aktivitas peserta didik sebagai subjek. Pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun demikian, pengajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi afektif memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya yang memiliki tujuan akhir menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks individual maupun sosial. Sastra memang tidak bisa dikelompokan ke dalam aspek keterampilan berbahasa karena bukan merupakan bidang yang sejenis tetapi pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca, menyimak, maupun berbicara. Dalam 56 Andy Zoeltomed., Budaya Sastra Jakarta : CV Rajawali,h. 57 30 prakteknya, pembelajaran sastra berupa pengembangan kemampuan menulis sastra, membaca sastra, menyimak sastra, dan berbicara sastra.

G. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni Penelitian berjudul “Representasi Sejarah Sosial Politik Indonesia dalam Novel-Novel Karya Ayu Utami ” yang ditulis oleh Wiyatmi, dari Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menginterpretasikan peristiwa sejarah sosial politik yang ditemukan dalam novel-novel karya Ayu Utami dan wujud representasi peristiwa sejarah sosial politik dalam novel-novel karya Ayu Utami. Metode yang digunakan adalah metode New Historicism. New Historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt tahun 1982 untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkunginya. Karya sastra dalam perspektif New Historicism tidak dapat dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi dan politik karena ikut mengambil bagian di dalamnya. Penelitian penulis berbeda dengan penelitian ini. Perbedaannya terletak dalam metode yang digunakan dalam menganalisis novel Saman. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan New Historism. New Historicism menawarkan pembaharuan dalam melihat hubungan sastra dengan sejarah. Sastra dalam hal ini tidak hanya dilihat sebagai cermin yang secara transparan dan pasif merefleksikan budaya masyarakatnya, tetapi sastra juga ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya. Penelitian penulis menggunakan pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis yang berarti peniruan. Dalam sastra, pendekatan mimesis melihat karya sastra sebagai suatu peniruan, imitasi, refleksi, atau gambaran tentang alam dan kehidupan manusia. Pengarang harus menciptakan kembali pengalaman manusia dengan menggunakan kata-kata. Sastra dikaitkan dengan realita atau kenyataan, budaya, sosial, politik, bahkan