Pemogokan Buruh Fakta Sejarah dalam Novel Saman karya Ayu Utami

110 para buruh yang berdemonstrasi dan menuntut kenaikan gaji dan tunjangan hari raya THR.

5. Penangkapan Aktivis

Hak Asasi Manusia HAM begitu banyak diucapkan dan ditulis sejak masa reformasi, kulit tanpa isi. dalam kenyataannya seperti dirumuskan oleh pakar hukum dan ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara pada 2006, Indonesia punya pengalaman dalam melanggar hak asasi manusia rakyatnya, tetapi tidak punya pengalaman menyelesaikan kasus pelanggaran itu ketika rezim represif tumbang dan muncul pemerintahan demokratis. Ketika tanggung jawab dituntut, yang ada kegamangan. Itulah kenyataan yang kita alami sampai saat ini. Pelanggaran HAM termasuk penyiksaan dan penculikan yang dialami para aktivis rezim Soeharto kasusnya cukup banyak. Kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa, menimpa para aktivis, pemuda dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi dimasa pemerintahan Orde Baru. Mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dianggap sebagai kelompok yang membahayakan dan merongrong kewibawaan Negara. Gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat jalannya roda pemerintahan. Dalam novel Saman, tokoh Wisanggeni Saman merupakan seorang aktivis yang membantu warga Transmigran Sei Kumbang yang sedang memperjuangkan hak-haknya dari Perusahaan yang hendak mengambil lahan pohon karet. Dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. Ia merasa telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. Kristus tidak menebusnya sebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah lorong gelap yang sunyi mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur yang tak berdasar dengan kecepatan tinggi. Ngilu di sekujur badannya. Tangannya digerakkan seperti telah lama terbujur kaku, meski tak dapat terbelenggu. 95 Pada kutipan di atas dapat kita lihat bahwa penyiksaan terhadap Saman yang disini sebagai aktivis yang sedang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil 95 Ibid.,h. 105 111 disiksa begitu pedih. Penyiksaan diatas terjadi ketika dia memperjuangkan hak- hak dari warga Sei Kumbang yang tidak mau menyerahkan lahnnya kepada pihak PT ALM. Dapat kita lihat bagaimana pada rezim Soeharto, kekerasan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai pembangkang atau aliran kiri akan menerima perlakuan kasar dari pihak keamanan. Ada banyak kasus yang dapat kita temukan, misalnya kasus penculikan, kekerasan, penyiksaan serta pembunuhan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak dikenal. Kasus penculikan aktivis rezim Soeharto serta pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia cukup banyak. Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997 –1998, peristiwa ini terjadi tidak terlepas dari konteks politik peristiwa 27 Juli, yakni menjelang Pemilihan Umum PEMILU 1997 dan Sidang Umum SU MPR 1998. di masa ini wacana pergantian Soeharto kerap disuarakan. Setidaknya 23 aktivis pro demokrasi dan masyarakat yang dianggap akan bergerak melakukan penurunan Soeharto menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa. Komando Pasukan Khusus, KOPASSUS menjadi eksekutor lapangan, dengan nama operasi “Tim Mawar” 9 orang dikembalikan, 1 orang meninggal dunia dan 13 orang masih hilang. Buruh merupakan kaum marjinal dulunya. Marsinah salah satunya yang merupakan buruh yang proaktif menyuarakan hak-hak buruh yang harus dipenuhi oleh pemerintah pada waktu itu. Dalam novel Saman disinggung sedikit bagaimana penyiksaan yang dilakukan terhadapnya karena protes yang dilakukan bersama teman-teman aktivis. Dapat dilihat pada kutipan dibawah ini. Barangkali mereka tak bisa membayangkan bagaimana seorang buruh dianiaya habis-habisan dan akhirnya dibunuh hanya karena mempersoalkan upah … 96 Kutipan di atas dapat kita tahu penyiksaan terhadap Marsinah. Marsinah adalah buruh perempuan yang menjadi korban kekerasan aparat militer dalam catatan sejarah perburuhan di Indonesia. Ia ditemukan mati secara mengenaskan pada Mei 1993 dalam usia 24 tahun setelah “Hilang” selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Hasil otopsi yang 96 Utami, op.cit., 171 112 dilakukan RSUD Dr.Soetomo, Surabaya menyebutkan bahwa penyebab kematiannya diakibatkan penganiayaan berat terhadap dirinya. Marsinah bekerja sejak tamat SMA. Tuntutan hidup menyebabkannya melepas cita-cita melanjutkan studi di Fakultas Hukum. Sebagai buruh, Marsinah harus beberapa kali pindah tempat kerja dari satu pabrik ke pabrik satunya. Gajinya jauh dari cukup. Pada 1990 ia bekerja di PT Catur Putra Surya CPS Rangkut, Surabaya. Di tempat inilah nalar kritik Marsinah mulai muncul. Ia tidak pernah menjadi aktivis buruh. Bersama teman-temannya, Marsinah menuntut pembentukan unit serikat pekerja formal SPSI. Keterlibatannya dalam aksi itu menjadikan alasan pemindahannya ke pabrik PT CPS di Porong, Sidoarjo pada 1992. …atau orang-orang yang disiksa dan direndahkan martabatnya di markas intelijen agar mengaku membunuh marsinah demi menutupi pembantaian sesungguhnya. 97 Kutipan di atas menyinggung soal penyiksaan terhadap orang-orang yang dipaksa untuk mengaku membunuh Marsinah. Di Sidoarjo Marsinah aktif membela hak buruh yang terlibat pemogokan. Ia mengirim surat ke pihak perusahaan atas pemanggilan oleh pihak Kodim yang berujung pemecatan secara paksa terhadap 11 orang buruh. Ia berencana mengadukan kasus itu kepada pamannya yang berprofesi sebagai jaksa di Surabaya. Tetapi rencananya tidak sempat terwujud karena pembunuhan terhadap dirinya. Kematian marsinah meninggalkan misteri. Yudi Susanto sebagai pemilik perusahaan tempat Marsinah bekerja dan beberapa orang staf yang dituduh membunuhnya, divonis bebas murni dari hukuman oleh Pengadilan tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung. Hasil penyidikan menyebutkan bahwa tiga hari sebelum dinyatakan tewas, Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan- rekannya yang ditahan pihak Kodim. Sekitar pukul 10 malam tanggal 6 Mei 1993, Marsinah Hilang sampai kemudian ditemukan dalam keadaan tewas. Kasus Marsinah menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yag terjadi selama pemerintahan Orde Baru. 97 Ibid. 113 Tidak hanya kasus kematian Marsinah yang ada dalam novel Saman. Peristiwa 15 Januari 1974 atau yang kita kenal dengan peristiwa Malari menyisakan begitu banyak pertanyaan. Mahasiswa turun ke jalan. Mereka berdemonstrasi menentang kedatangan Perdana Menteri Kakuei Tanaka dari Jepang. Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang mesti dienyahkan. Aksi berupa long march dari Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, itu mengusung tiga tuntutan: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Ratusan ribu orang ikut turun ke jalan. Tetapi aksi ini kemudian berujung pada kerusuhan. Hal itu juga disinggung dalam novel Saman seperti terlihat dalam kutipan dibawah ini. Bukankah sudah sering kita mengatakan bahwa itu yang terjadi dalam peristiwa Malari? Ada yang berteriak bakar toko-toko cina atau hancurkan mobil-mobil Jepang dan ratusan orang ramai-ramai melakukannya. Kita memang bekerja dalam suasana yang sulit, sebab kita tidak menyukai kekerasan. Dan kita pun tak punya alat pembenar untuk melakukannya, sehingga kekerasan hanya akan menjadi senjata makan tuan. 98 Kutipan di atas menggambarkan peristiwa Malari yang diceritakan oleh Saman kepada Yasmin tentang penyiksaan terhadap banyak aktifis semasa Orde Baru. Peristiwa Malari awalnya adalah peristiwa terhadap penolakan kedatangan PM Jepang yang kemudian berujung pada kekerasan serta pembakaran gedung yang memakan korban jiwa dan kerugian. Kekerasan di Indonesia hanya dapat dirasakan, tidak untuk diungkap tuntas. Berita di koran hanya mengungkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Pada kasus 15 ja nuari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari” tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusakdibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah took perhiasan. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri PM Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta 14-17 Januari 1974. Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim 98 Ibid.,h. 173