BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
“Selama 10 tahun saya menjanda, tidak ada pikiran untuk menikah lagi, karena pengalaman yang tidak menyenangkan dengan perkawinan saya.
Tapi anak sudah besar, saya memikirkan hidup tua nanti. Saya juga berpikiran kalo nanti anak perempuan saya menikah, saya ingin ada bapak
yang menjadi walinya walaupun ayah kandungnya masih hidup ato sudah mati, kami tak menganggapnya lagi.”
Komunikasi Personal, 10 Mei 2011
Dari kutipan cerita di atas, dapat dilihat bahwa seorang wanita yang telah bercerai pada awalnya merasa takut untuk menikah lagi. Namun seiring dengan
waktu, wanita bercerai ini memiliki keinginan untuk menikah lagi dengan tujuan untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak
anaknya menikah. Saat ini, perceraian memang tidak lagi dipandang sebagi sesuatu hal yang
memalukan namun sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat. Penelitian pada masyarakat Minangkabau yang didukung dengan data BPS 2002 bahkan
menunjukkan bahwa kecenderungan gugatan cerai lebih banyak dilakukan oleh wanita di Sumatera Barat. Hal ini dapat disebabkan karena pasangan atau wanita
yang melakukan gugatan cerai melihat perceraian sebagai solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pernikahan yang tidak dapat diatasi lagi oleh
kedua pasangan. Meskipun demikian, perceraian seringkali diartikan sebagai
Universitas Sumatera Utara
kegagalan yang dialami suatu keluarga Holmes dan Rahe dalam DeGenova, 2008.
Suatu perceraian yang ditandai dengan adanya proses kehilangan secara tiba-tiba tentu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi bagi kedua belah pihak. Di
satu sisi, dengan bercerai individu dapat bebas dari tekanan, mengurangi konflik batin yang dialami selama pernikahan serta membuka kesempatan untuk
membangun kehidupan baru yang lebih baik. Di sisi lain, perceraian juga menimbulkan konsekuensi berupa timbulnya masalah-masalah pasca perceraian
seperti masalah ekonomi, masalah praktis kegiatan rumahtangga sehari-hari, masalah psikologis, masalah emosional, masalah sosial, masalah kesepian,
masalah pembagian tanggung jawab pengasuhan anak, masalah seksual, dan masalah perubahan konsep diri DeGenova, 2008.
Melihat pada konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari perceraian, maka masalah utama yang perlu dihadapi setelah perceraian dapat berupa penyesuaian
kembali readjustment dengan status hidup sendiri tanpa pasangan, atau yang disebut dengan duda atau janda. Dengan status baru sebagai janda apalagi yang
memiliki anak, wanita harus berperan sebagai orangtua tunggal dan harus bisa mengatur ekonomi keluarga secara mandiri. Sebagai orangtua tunggal, wanita
harus bisa berperan ganda yaitu sebagai ayah yang fungsinya mencari nafkah dan sebagai ibu yang berperan membesarkan dan mendidik anak. Hal ini dikarenakan
bahwa kondisi keuangan wanita hampir selalu memburuk setelah perceraian, terutama jika dia memiliki anak Rice dalam Matlin, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, setelah perceraian individu akan mulai menyadari bahwa kini mereka hidup seorang diri dan kesepian DeGenova, 2008. Hidup seorang diri,
dalam arti, dulu semua hal dikerjakan dan dibahas bersama pasangan, namun setelah perceraian semua hal dikerjakan dan dipikirkan sendiri. Hal ini sesuai
dengan penuturan salah seorang wanita bercerai yang mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi karena membutuhkan pasangan untuk menjalani
hidup. “Gue pasti pengen nikah lagi tapi dengan alasan yang tepat, gue pengen
nikah lagi karena gue menyadari bahwa hidup ini terlalu berat untuk dijalani sendirian, gue pengen nikah lagi karena gue menyadari gue
membutuhkan seseorang yang bisa saling mendukung dalam segi spiritual dan material, gue pengen nikah lagi karena gue butuh menyayangi
seseorang dan butuh untuk disayangi, dan masih banyak lagi tapi yang jelas gak bisa ditentuin kapan waktunya, bisa cepet bisa juga lama, kalo
soal waktu kan terserah sama Tuhan, yang penting gue tetap usaha kok.” dari artikel http:umum.kompasiana.com20100430menikahlah-
dengan-ku-vie-mau-donkhmmaybe-aja-dehtapiga-ah-lain-kali-aja
Menikah lagi menjadi solusi yang dapat membantu individu untuk menyesuaikan diri, tidak hanya untuk mendapatkan teman yang bisa dipercaya
dan diajak berbagi serta pasangan dalam hubungan seksual, tetapi menikah lagi juga dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi A.D. Shapiro dalam DeGenova,
2008. Menikah lagi dapat mengarahkan individu pada penyesuaian diri yang lebih baik dan mendapatkan makna hidup yang lebih positif Marks dan Lambert,
Wang dan Amato dalam DeGenova, 2008. Beberapa alasan yang mendorong individu untuk menikah lagi antara lain
untuk mendapatkan cinta dan persahabatan, pemenuhan kebutuhan biologis, faktor kebutuhan ekonomikeuangan, etika, moral, dan norma sosial, faktor
Universitas Sumatera Utara
pemeliharaan atau pendidikan anak serta untuk memperoleh status sosial Dariyo, 2002. Dari segi pemenuhan faktor biologis, menikah lagi dianggap sebagai jalan
terbaik untuk menyalurkan kebutuhan seksual secara sah dengan pasangan hidup yang baru apalagi untuk individu yang masih berada dalam usia reproduktif.
Dengan menikah lagi, individu dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan tetap memenuhi norma sosial. Seseorang juga memilih untuk menikah lagi untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi baik untuk diri sendiri maupun untuk anak- anaknya. Selain itu, bagi individu yang memiliki anak dari pernikahan
sebelumnya akan mendapatkan bantuan dalam mengurus, memelihara ataupun mendidik anak-anaknya dengan menikah lagi. Wanita bercerai yang memiliki
status baru sebagai janda dapat mengurangi tekanan sosial yang dialaminya dengan menikah lagi dengan pasangan baru Dariyo, 2002.
Menikah lagi sebagai solusi untuk menyesuaikan diri setelah perceraian dan segala manfaat atau hal yang dirasakan dengan menikah lagi menumbuhkan
harapan individu untuk menikah lagi. Harapan muncul karena mereka menginginkan suatu perubahan yang lebih baik. Individu yang bercerai, tanpa
melihat bagaimana perceraian yang dialaminya tentu memiliki harapan untuk bisa membangun pernikahan yang lebih baik dari sebelumnya. Harapan untuk menikah
lagi juga dapat menjadi dasar untuk perubahan kehidupannya ke arah yang lebih baik. Berdasarkan teori harapan Snyder 1994, harapan adalah sesuatu yang dapat
dibentuk dan dapat digunakan sebagai langkah untuk perubahan. Perubahan yang menguntungkan dapat mendorong individu mencapai hidup yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan tersebut membutuhkan pembentukan dan pemeliharaan kekuatan pribadi dalam konteks hubungan yang suportif.
Snyder 2002 mengemukakan harapan sebagai sebuah pola pemikiran yang dipelajari, seperangkat kepercayaan dan pemikiran mencakup agentic
thinking yaitu pemikiran mengenai tujuan: mengenai keberhasilan seseorang mencapai tujuan misalnya ‘saya mencapai tujuan yang saya buat sendiri’, dan
pathway thinking yaitu pemikiran mengenai kemampuan efektif seseorang untuk mengusahakan berbagai cara untuk mencapai tujuan misalnya ‘saya dapat
memikirkan banyak cara untuk mendapatkan apa yang saya inginkan’. Harapan juga merupakan kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai
tujuan. Kepercayaan ini mengarah langsung pada perilaku hopeful, yang kemudian memperkuat pemikiran hopeful Shorey, Snyder, dkk, 2002.
Setiap individu memiliki kemampuan untuk membentuk harapan karena mereka memiliki komponen dasar dalam kemampuan kognitif yang diperlukan
untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan harapan. Parsons dalam Hollander, 1981 menambahkan bahwa harapan berperan untuk
mengarahkan tingkah laku dan mencakup dua aspek, yaitu tindakan antisipasi atau ramalan sederhana dan tuntutan seseorang terhadap orang lain untuk melakukan
suatu tindakan tertentu. Dalam hal ini, individu yang memiliki harapan menikah lagi akan mengembangkan usahanya untuk mencapai tujuannya yaitu untuk
membangun pernikahan yang lebih baik daripada pernikahan sebelumnya. Usaha yang dilakukan dapat berupa membangun jalinan hubungan dengan orang lain
atau melibatkan diri dalam jaringan sosial dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Harapan dapat meningkatkan timbulnya keinginan untuk bertahan mengatasi masalah yang dihadapi. Dalam hal ini, individu yang memiliki harapan
menikah lagi dapat bertahan menghadapi masalah-masalah yang timbul pasca perceraian. Selain itu, individu yang memiliki harapan menikah lagi akan lebih
merasakan emosi atau afek positif dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan setelah perceraian. Hal ini dikarenakan harapan selalu berkaitan
dengan afek positif dan perceived control Curry, Snyder dkk, 1997. Harapan juga berperan sebagai energi pada situasi yang penuh dengan tekanan dan
merupakan salah satu cara yang efektif untuk menghadapai situasi tersebut. Penelitian Guisinger, Cowan, Schuldberg dalam Santrock, 2003
menunjukkan bahwa wanita yang lebih muda, menikah lagi lebih cepat daripada wanita yang lebih tua, dan wanita tanpa anak yang bercerai sebelum usia 25
tahun, mempunyai tingkat pernikahan kembali yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang punya anak. Selain itu, semakin banyak uang yang dimiliki laki-laki
yang bercerai, semakin cenderung dia menikah lagi, tapi bagi wanita berlaku kebalikannya. Paparan di atas menunjukkan bahwa tingkat harapan wanita untuk
menikah lagi dipengaruhi oleh faktor usia, anak, dan status ekonomi. Walaupun harapan telah ada dalam diri individu, namun kadangkala
hambatan-hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan individu dapat mempengaruhi harapan yang terbentuk dalam diri individu. Tantangan-tantangan
yang muncul dari pernikahan kedua dapat menjadi hambatan bagi harapan menikah lagi pada individu. Snyder dalam Carr, 2004 menyatakan bahwa orang
dewasa yang memiliki harapan tinggi, mampu berpikir optimis dan
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan kepercayaan bahwa mereka dapat beradaptasi terhadap tantangan dan mengatasi masalah. Sebaliknya, orang dengan harapan rendah
ketika menghadapi hambatan, emosi mereka dapat diprediksikan berpindah dari harapan menjadi rasa marah, dari rasa marah menjadi putus asa, dan dari putus asa
menjadi apathy. Tantangan atau hambatan yang dapat mempengaruhi harapan individu
untuk menikah lagi antara lain adanya ketakutan akan kegagalan seperti pada pernikahan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan kutipan cerita dari seorang wanita
bercerai yang ingin menikah lagi yang mengungkapkan ketakutannya membayangkan bila dia menikah lagi.
“Kadang-kadang saya masih takut untuk berpikir menikah lagi. Ketakutan akan perceraian yang kedua mungkin saja membuat saya berpikir ulang
kembali. Saya takut nantinya pasangan saya tidak dapat menjadi ayah tiri yang baik buat anak saya, atau apakah pernikahan saya nanti bahagia,
direstui oleh keluarga dan masyarakat, ato dapat membahagiakan anak saya.”
Komunikasi Personal 15 Mei 2011
Individu yang berhasil mengatasi tantangan atau hambatan-hambatan ini dapat diprediksikan memiliki harapan yang tinggi untuk menikah lagi. Harapan
mencerminkan kemampuan individu untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan terutama merencanakan jalur-jalur lain ketika menjumpai hambatan dan
untuk memotivasi individu tersebut untuk menggunakan jalur tersebut. Ketika individu memiliki harapan untuk menikah lagi maka individu akan berusaha
memikirkan dan merencanakan usaha-usaha untuk mencapai tujuannya dalam hal
Universitas Sumatera Utara
ini untuk menikah lagi dan serta-merta akan memotivasi diri sendiri untuk menjalankan usaha-usaha tersebut.
Selain itu, individu yang memiliki harapan menikah lagi lebih mungkin memanfaatkan dukungan sosial dari lingkungan dan keluarga untuk
kehidupannya. Snyder 2002 mengatakan bahwa individu dengan tingkat harapan yang tinggi biasanya memiliki dukungan sosial ketika mereka mengalami
kegagalan, sehingga mereka bisa mendapatkan feedback positif atau alternatif cara lain untuk mencapai tujuan mereka. Dukungan sosial juga memungkinkan untuk
membantu menemukan tujuan lain apabila tujuan yang diinginkan memang sudah tidak mungkin tercapai.
Pemikiran hopeful mencerminkan keyakinan bahwa seseorang mampu mencari atau mengembangkan jalur menuju tujuan yang diinginkannya dan
menjadi termotivasi untuk menggunakan jalur-jalur tersebut dalam Snyder, Rand Sigmon, 2002. Harapan juga mempengaruhi emosi dan well-being seseorang.
Snyder menekankan konsep harapan sebagai proses pikiran atau kognitif, dan pemikiran mengenai keberhasilan pencapaian tujuan akan menghasilkan emosi.
Persepsi mengenai keberhasilan mencapai tujuan akan menghasilkan emosi positif, sebaliknya emosi negatif dihasilkan dari persepsi seseorang mengenai
ketidakberhasilan mencapai tujuan atau ketidakmampuannya melaksanakan jalur- jalur yang dikembangkannya dan mengatasi hambatan yang timbul dalam proses
mencapai tujuan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
B. RUMUSAN MASALAH