yang dimulai dengan adanya konflik pernikahan sebelum perceraian dan melibatkan perubahan hidup yang kompleks ketika pernikahan tesebut berakhir
dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus mengatur kembali hidup mereka.
2. Penyebab Perceraian
DeGenova 2008 menyatakan adanya faktor sosial dan demografi yang mempengaruhi peningkatan dan penurunan kemungkinan perceraian. Faktor-
faktor tersebut dapat berupa usia pada saat menikah, agama, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, suku bangsa, area geografis, dan perceraian orangtua.
Lowenstein dalam DeGenova, 2008: 405 menyatakan penyebab perceraian dapat berupa kemandirian wanita, menikah di usia awal, faktor
ekonomi, rendahnya intelektual, pendidikan, dan kemampuan sosial, hukum perceraian yang bebas, faktor seksual, konflik peran, penggunaan alkohol dan zat-
zat terlarang, perilaku beresiko, perbedaan pendapat yang menyebabkan hubungan menjadi hambar, faktor agama, sikap terhadap perceraian, dan alasan lainnya.
Newman Newman 2006 menyatakan empat variabel berkaitan dengan terjadinya perceraian, yaitu:
a. Usia pada saat menikah
Bramlett Mosher dalam Newman Newman, 2006 menyatakan bahwa wanita yang menikah pada usia di bawah 18 tahun, 48 mengalami
masalah pernikahan dalam kurun waktu 10 tahun pernikahan. Sebaliknya, wanita yang menikah pada usia 25 tahun atau lebih, hanya 24 yang mengalami masalah
pernikahan dalam kurun waktu 10 tahun pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk pasangan yang menikah muda ataupun menikah pada usia tua, ketidakpuasan terhadap performansi peran berpengaruh pada ketidakstabilan
pernikahan. Untuk pasangan muda, ketidakpuasan bersumber pada ketidaksetiaan seksual dan kecemburuan. Untuk pasangan yang lebih tua, ketidakpuasan
bersumber pada konflik interpersonal, gaya dominasi, dan kurangnya ikatan dalam Newman Newman, 2006.
b. Tingkat sosioekonomi
Tingkat sosioekonomi mencakup pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Masing-masing dari komponen ini berkaitan dengan angka perceraian White
Rogers dalam Newman Newman, 2006. Individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi umumnya memiliki angka perceraian yang lebih rendah. Glick
dalam Newman Newman, 2006 menunjukkan suatu efek Glick yaitu pria dan wanita yang dikeluarkan dari sekolah atau perguruan tinggi memiliki angka
perceraian yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menyelesaikan sekolah mereka. Glick menjelaskan pola ini sebagai bukti dari kurangnya kekonsistenan.
Mereka yang tidak berkomitmen untuk menyelesaikan pendidikan mungkin juga kurang berkomitmen dalam mencari penyelesaian masalah yang muncul dalam
pernikahan. Selain itu, jumlah pendapatan keluarga juga berkaitan dengan kestabilan
pernikahan dalam beberapa hal. Pendapatan yang tidak tetap lebih berkaitan dengan retaknya pernikahan dibandingkan pendapatan yang rendah dan menetap.
Bagi pria, pendapatan yang tinggi dikaitkan dengan rendahnya angka perceraian.
Universitas Sumatera Utara
Bagi wanita, ketika istri berkontribusi sebesar 50 sampai 60 dari jumlah pendapatan keluarga dan ketika mereka menunjukkan rendahnya kebahagiaan
pernikahan maka perceraian lebih mungkin terjadi. Penjelasan ini menunjukkan bahwa ketika kedua pasangan memiliki sumber keuangan yang sama atau
seimbang maka kurang ada kewajiban untuk bertahan dalam hubungan yang tidak membahagiakan Rogers dalam Newman Newman, 2006.
c. Perkembangan sosioemosional dari pasangan