berpikir bahwa dia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan, T harus bangkit dan menata kembali hidupnya.
“Kalau dulu, kita masih ada tekanan ya karna punya suami yang rewel, dia rewel orangnya. Punya suami yang rewel, kita kan tertekan rasanya,
tertekan juga ada. Setelah kita gak sama dia, rasanya lebih..lebih nyaman..gak lagi. Memang sakit, pertamanya sakit lama-lama kita harus
berpikir, kita gak boleh terlarut seperti itu.” W.T.W.130511.1; baris 159-168
c. Harapan Responden Untuk Menikah Lagi
Setelah melewati masa-masa bersedih dan sakit hati di masa awal perceraian, T mulai berpikir untuk bangkit dan berpikiran untuk menikah lagi.
Timbul harapan dalam diri T untuk mendapatkan seseorang yang lebih baik dari suaminya yang dulu, agar T memiliki pendamping hidup lagi yang bisa
memberikan perhatian padanya, sebagai teman di masa tua nanti. Harapan T untuk menikah lagi muncul satu tahun setelah T bercerai.
“...Harapannya seperti ini ‘aku kepingin kalau seandainya aku sudah tua, aku punya kawan’ harapan kita punya pendamping. Misalnya udah sakit
ini gak ada yang sayang sama aku lagi. Kalau seandainya kita punya suami kan, seandainya kita sakit ada perhatian dari suami kan gitu kan...”
W.T.W.110611.3; baris 405-412
T juga menyampaikan harapannya untuk menikah lagi kepada sang anak saat anaknya berumur tujuh tahun. Namun anak T yang masih kecil pada saat itu
tidak menyetujui, anak T tidak ingin T menikah lagi dan tidak ingin memiliki ayah baru. Ucapan anak T saat kecil terus diingat oleh T hingga T memendam
harapannya untuk menikah lagi.
Universitas Sumatera Utara
“...Dia kecil itu umur kelas 3 SD, sekitar 8 tahunan, 7 tahun, itulah jawabannya. “Een mau mamak, Een mau papa, jangan kawin lagi ya. Een
gak mau punya papa lagi”. Makanya kakak pertahankan sama dia sampe sekarang gara-gara omongan dia itu. Gara-gara omongan itu, sampe
sekarang kakak jaga...” W.T.W.130511.1; baris 544-552
Lama-kelamaan T kembali berbicara dengan anaknya ketika anaknya mulai beranjak dewasa. T mengutarakan kembali harapannya untuk menikah
karena T berharap memiliki teman di hari tuanya nanti dan menjelaskan kepada anaknya bahwa tidak mungkin anaknya dapat mengurus T selamanya. Setelah
berpikir, akhirnya anak mengizinkan T untuk menikah lagi asalkan T bisa mendapatkan seorang laki-laki yang baik dan sayang pada T, yang lebih baik dari
mantan suami T. “...Jadi lama-lama dia berpikir, cuman ini kata-katanya ‘terserahlah kalo
memang mau seperti itu’ kan gitu. Dia pokoknya terserahlah tapi cari yang bagus-bagus ya itu aja, cari yang bagus ya. Jangan seperti eh papa, kan
gitu, jangan seperti papa. Kalopun dia kalo harapan anaknya, mamaknya bole kawin lagi tapi yah jangan ada istrinya lah, kalo bisa duda...”
W.T.W.130511.1; baris 575-585
T juga memperoleh dukungan dari keluarga dan teman-temannya agar segera menikah lagi. Bahkan kadang-kadang dari keluarga maupun dari teman-
temannya, mau mengenalkan laki-laki kepada T. Dukungan yang diperoleh T ini memperbesar harapannya untuk menikah lagi.
“kalo keluarga sebenarnya dia mendukung karna seperti ada, ada istilahnya keluarga gak mau lihat adiknya susah. Orang itu sebenarnya mendukung
ya, bahkan orang itu ngomong begini ‘kalopun kau kawin lagi kami senang, kamipun sebenarnya gak mau kau susah kan gitu. Kalau bisa ya
yang lebih dari suami kau itu’ kan gitu...” W.T.W.130511.1; baris 740-749
Universitas Sumatera Utara
“Yah seperti kita jualan gini aja, kalo kawan-kawan ini yah ‘kawin aja kenapa sih, manatau kita senang’ kan gitu.”
W.T.W.130511.1; baris 778-781
1. Goal