xviii
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 2.1.5.1 Skema Perilaku menurut Notoatmodjo 2010 40
Bagan 2.3 Kerangka Teori 45
Bagan 3.1.1 Kerangka Konsep Penelitian 46
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi Perizinan Lampiran 2. Informed Consent
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Lampiran 4. Hasil Olahan SPSS Uji Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 5. Hasil Olahan SPSS Uji Normalitas Lampiran 6. Hasil Olahan SPSS Univariat
Lampiran 7. Hasil Olahan SPSS Bivariat
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Angka kematian bayi dan anak di dunia masih tinggi. Di negara berkembang hampir 10 juta kematian terjadi setiap tahun pada anak dibawah usia
5 tahun UNICEF, 2008. Laporan United Nations Children’s Fund UNICEF
2013 mengatakan di Indonesia jumlah kematian balita setiap tahun turun dari estimasi 12,6 juta pada tahun 1990 menjadi sekitar 6,6 juta pada tahun 2012,
namun angka ini masih cukup tinggi. Angka kematian bayi adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, sementara angka kematian balita adalah 44 per 1000 kelahiran
hidup. Diharapkan pada tahun 2015 angka kematian bayi turun menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita turun menjadi 32 per 1000
kelahiran hidup. Pencapaian pada 2015 merupakan target komitmen global tujuan
Millennium Development Goals MDGs Kemenkes RI, 2010.
Menurut Liu et al. 2012 di dunia penyakit pneumonia, diare, dan malaria merupakan penyebab tersering kematian pada anak. Upaya yang dilakukan World
Health Organization WHO dan praktisi kesehatan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas anak yaitu dengan mengembangkan Manajemen Terpadu Balita
Sakit MTBS Gove et al. 1997 dalam Rowe et al. 2011. Pada tahun 1990an, WHO dan UNICEF memulai pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas
perawatan di fasilitas kesehatan dengan lima penyakit yang sering mengakibatkan sekitar 70 dari angka kematian anak yaitu pneumonia, diare, malaria, campak,
dan kurang gizi Wilson et al. 2012.
MTBS menurut Depkes RI 2005 merupakan pedoman terpadu yang menjelaskan secara rinci penanganan penyakit yang banyak terjadi pada bayi dan
balita. Penanganan yang dilakukan meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi, dan upaya
promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A, dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian
bayi dan anak, dan menekan morbiditas untuk penyakit tersebut. MTBS adalah standar pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan
tingkat dasar. Tiga komponen dari MTBS ditujukan untuk meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit selain
dokter, petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani pasien apabila sudah dilatih, memperkuat sistem kesehatan, dan meningkatkan
kemampuan perawatan di rumah oleh keluarga dan masyarakat Kesehatan Anak, 2011.
Lebih dari 100 negara telah mengadopsi komponen dari MTBS yang digunakan sebagai pedoman bagi petugas kesehatan dalam menangani penyakit
tersebut dengan menilai dan mengobati anak yang sakit, pencegahan, dan konseling keluarga Nguyen et al. 2013. Menurut Lesley Bamford dari National
Department of Health 2008, dalam Moelyo, 2013 mengatakan bahwa Comprehensive approach to the care of the ill child, which attempts to ensure
appropriate and combined treatment of the five major diseases, dimana MTBS di hampir seluruh negara berkembang merupakan pelayanan kesehatan balita sakit
secara komprehensif karena dapat mengkombinasikan pemeriksaan lima penyakit yang sering diderita.
Perkembangan MTBS di Indonesia dimulai pada tahun 1996, yaitu dengan dibuatnya satu set modul dan pedoman MTBS WHOUNICEF dan pada tahun
2005 MTBS telah dilaksanakan di Indonesia. Hingga tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi Wijaya, 2010. Menurut data laporan rutin
yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Anak 2010, jumlah puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55. Puskesmas
dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria sudah melaksanakan MTBS sebesar 60 dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut.
Salah satu strategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Diare adalah suatu penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses
selain dari frekuensi buang air besar, seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau buang air besar tiga atau lebih, atau buang air
besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam Depkes RI, 2010. Menurut Magdarina et al. 2005 diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa, dan penularannya secara fekal-oral. Tanda dan gejala khas pada diare adalah diare cair
yang mendadak, nyeri perut, mual, muntah, dan sedikit atau tidak adanya demam Nelson, 2000. Diare dapat mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh yaitu
dehidrasi dan akibat fatalnya yaitu kematian Wijaya, 2012. Menurut data WHO 2013 di dunia ada sekitar 1,7 miliar kasus penyakit
diare terjadi setiap tahunnya. Diare merupakan penyebab kedua kematian pada anak di bawah 5 tahun di negara dengan penghasilan ekonomi yang rendah,
sekitar 1,3 juta anak meninggal setiap tahunnya, terutama di Negara Afrika dan Asia Selatan Wilson et al. 2012. Gerald et al. 2009 menyatakan bahwa diare
dapat mengenai semua kelompok umur dan berbagai golongan sosial, baik di negara maju maupun berkembang dan erat hubungannya dengan kemiskinan serta
lingkungan yang tidak higienis. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan
musim penghujan dan kemarau Magdarina et al. 2005. Menurut laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Badan Litbangkes
2007 penyebab terbanyak kematian bayi 29 hari-11 bulan dan anak balita 12 bulan-59 bulan yaitu akibat terserang diare dengan proporsi diare pada bayi
sebesar 31,4 dan anak balita sebesar 25,2. Gambaran berdasarkan survei dan penelitian Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2007 provinsi Banten masih
dalam prevalensi diar e klinis cukup tinggi yaitu ˃10. Berdasarkan laporan
Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Kejadian Luar Biasa KLB tahun 2009-2010 provinsi Banten secara keseluruhan sering mengalami KLB diare
Kemenkes RI, 2011. Kasus diare yang terjadi di provinsi Banten berdasarkan data profil kesehatan kabupatenkota tahun 2010-2011 pada tahun 2011 mencapai
971.269 kasus sedangkan pada tahun 2010 mencapai 816.802 kasus, angka ini masih tergolong tinggi. Angka kejadian diare di kota Cilegon berdasarkan data
rekapitulasi laporan diare Dinas Kesehatan kota Cilegon tahun 2013 menunjukkan pada balita perempuan yaitu sebanyak 2.420 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu
sebanyak 2.511 jiwa. Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya
upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Salah satu upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan kota Cilegon untuk menurunkan angka kejadian diare di kota
Cilegon dengan menerapkan program MTBS yang dilaksanakan puskesmas di
kota Cilegon. Data dari Subdit Pengendaliaan Diare dan Infeksi Pencernaan Kemenkes RI tahun 2006-2009 didapat bahwa persentase petugas kesehatan yang
memiliki pengetahuan yang benar mengenai tata laksana diare masih dibawah 50. Berdasarkan penelitian Hastuti 2010 tentang pengaruh pengetahuan, sikap,
dan motivasi terhadap penatalaksanaan manajemen terpadu balita sakit MTBS pada petugas kesehatan di Puskesmas kabupaten Boyolali membuktikan adanya
pengaruh antara pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan terhadap penerapan standar MTBS di Puskesmas kabupaten Boyolali. Akan tetapi, dalam
pelaksanaanya di kabupaten Bayolali menunjukkan hasil yang masih kurang baik dalam pelaksanaan program MTBS sehingga perlu ditingkatkan dalam segi
pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan. Dari hasil studi pendahuluan melalui observasi didapat bahwa 8
puskesmas yang ada di kota Cilegon hampir seluruhnya sudah memiliki ruang MTBS, dan hasil wawancara diketahui bahwa penerapan dengan standar MTBS
sudah baik, akan tetapi terkadang masih dilakukan tanpa menggunakan formulir MTBS, dikarenakan formulir yang habis dan proses pelayanan MTBS yang cukup
lama. Pada anak dengan kasus diare, pelaksanaan standar operasional prosedur yang masih belum sesuai seperti jarang dilakukan pemberian minum. Petugas
kesehatan mengungkapkan motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare tergantung pada individu masing-masing dalam memberikan
pelayanan, perlu adanya penyegaran dengan petugas kesehatan yang sudah pernah ikut pelatihan, belum adanya reward terhadap keberhasilan atau punishment
terhadap pelanggaran pada petugas kesehatan.