Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur

(1)

KOPTI KABUPATEN CIANJUR

EKA YOSA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Eka Yosa NIM I352060101


(3)

Tempe Industrial Performance: Case study of Tempe Small Industry is the Members of KOPTI in Cianjur Regency. Under direction of Ma’mun Sarma and Djoko Susanto

Nowadays, tempe Industrial is facing difficulty, caused by increasing the price of soybean that reach 110%, while the selling price of tempe is hardly occurred. For the tempe producers, if they producing tempe, they will not get profit, but if they stop producing, they will loose their customers. The tempe producers who are able to continue producing tempe in such un-conducive situation ere those who have acceptable competencies. To proof it, it is necessary to carry out study on factors related to such competencies, and also the relation between the competencies and the performance of tempe industry. The aims of this research are to analyze factors which deal with competencies, and the relation between competencies and tempe industrial performance. The populations of this research are 39 persons of tempe producers who are active members of KOPTI in Cianjur Regency. Data collecting was conducted by census that designed as descriptive co-relational research. The instruments tested by constructional validation, and the reliability is tested by Spearman Brownian method. Test of Hypothesis used non parametric statistic, the measurement of relation among variables was used coefficient of rank Spearman method. The results of the research showed that: (1) Competencies of tempe producers categorized as “Good”, (2) The performance according to tempe quality and size of productivity categorized as “Good” and “Low”. The general conclusions of this research: (1) The competencies of tempe producers have positive correlation internal and external factors, and (2) The level of tempe industrial performance has significant correlation with competencies of tempe producer.


(4)

Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh MA’MUN SARMA, dan DJOKO SUSANTO.

Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997, usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia telah membuktikan ketangguhannya. UKM telah memberikan kontribusi yang sangat besar, dimana pada saat itu perusahaan-perusahaan berskala besar berjatuhan, yang dilanjutkan dengan pemutusan hubungan kerja.

Sumbangan UKM terhadap lapangan kerja nasional mencapai 99,44% (sekitar 70 juta orang). Sumbangan usaha kecil kepada GDP mencapai 41,9%. Dari angka-angka tersebut di atas sudah selayaknya UKM memperoleh perhatian, bimbingan dan dorongan dari pemerintah. Apabila UKM dapat berkembang dengan baik maka akan banyak tenaga kerja yang terserap, dengan demikian jumlah pengangguran akan berkurang, dan pertumbuhan ekonomi secara nyata akan meningkat.

Kabupaten Cianjur adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat, memiliki banyak industri atau usaha kecil yang potensial untuk dikembangkan, salah satunya adalah industri tempe sejenis makanan yang terbuat dari kacang kedelai. Sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan tempe sebagai makanan sehari-hari. Tempe disukai oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, karena rasanya yang enak, proses pengolahannya mudah, dan kandungan gizinya tinggi, serta murah harganya.

Pada saat ini industri tempe sedang mengalami kesulitan, disebabkan naiknya harga kedelai yang mencapai 110%, sedangkan harga jual tempe sulit dinaikan. Bagi pengrajin tempe, tetap berproduksi tidak memberi keuntungan nyata, berhenti produksi akan kehilangan pelanggan.

Dampak dari kenaikan harga kedelai, berakibat kepada berkurangnya kemampuan pengrajin tempe untuk terus berproduksi, terutama pengrajin yang memiliki modal terbatas. Di Kabupaten Cianjur, pengrajin yang menjadi anggota Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (KOPTI) sebanyak 186 orang, yang terdiri dari 56 orang (30%) pengrajin tahu, dan 130 orang (70%) pengrajin tempe, dari sejumlah pengrajin tempe tersebut hanya tinggal 39 orang yang masih aktif, sedangkan sisanya mengalami kesulitan berproduksi.

Pengrajin tempe yang masih dapat bertahan dalam kondisi usaha yang sulit diasumsikan adalah pengrajin yang memiliki kompetensi. Untuk itu menarik untuk diteliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan hubungan kompetensi dengan kinerja industri tempe. Berdasarkan kondisi pengrajin tempe tersebut dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut (1) faktor-faktor apa yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan (2) bagimana hubungan faktor-faktor tersebut dengan kompetensi pengrajin tempe, dan antara kompetensi dengan kinerja industri tempe.

Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka ditetapkan tujuan penelitian ini adalah mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan hubungan kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe, dengan hipotesis penelitian sebagai berikut (1) kompetensi pengrajin tempe berhubungan nyata dengan faktor internal dan eksternal, dan (2) tingkat kinerja industri tempe berhubungan secara nyata dengan kompetensi pengrajin industri tempe.

Penelitian dilakukan pada bulan September-November 2008 di Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah


(5)

Populasi penelitian adalah semua pengrajin industri tempe yang menjadi anggota aktif KOPTI Kabupaten Cianjur, yang berjumlah 39 orang, berdomisili di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan secara sensus, kepada 39 orang tersebut.

Penelitian dirancang sebagai penelitian diskriptif korelasional dengan dua peubah bebas, yaitu faktor internal (X1) dan faktor eksternal (X2). Sebagai

peubah tak bebas adalah kompetensi pengrajin tempe (Y1) dan kinerja industri

tempe (Y2). Instrumen di uji dengan menggunakan validasi konstruk, dan uji

reliabilitas menggunakan teknik belah dua Spearman Brown.

Pengujian hipotesis menggunakan statistik non parametrik, untuk mengukur kuatnya hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas, dilakukan analisis Koefisien Rank Spearman pada pada taraf kepercayaan 0,05 dan 0,01. Pengolahan data menggunakan program SPSS 14.0

Seluruh industri tempe yang diteliti termasuk dalam kategori usaha kecil, dengan kisaran omset per tahun Rp. 7.200.000 – Rp. 820.000.000. Jumlah tenaga kerja berkisar 1-3 orang, dengan volume produksi per bulan 1.200 kg – 11.400 kg tempe. Grade mutu tempe yang diproduksi sebagian besar (69,2%) termasuk dalam kategori baik, berdasarkan kriteria kandungan kedelai 100%, dengan perebusan satu kali.

Kompetensi pengrajin tempe dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari 5 aspek, dengan deskripsi sebagai berikut: usia 37,8 tahun, pengalaman 15.1 tahun, tingkat pendidikan formal SMP, sifat wirausaha cukup, dan motivasi tinggi.

Faktor eksternal terdiri dari 5 aspek, dengan deskripsi sebagai berikut, peluang pasar, ketersedian bahan baku, kebijakan pemerintah dan modal termasuk dalam kategori cukup, serta tenaga kerja termasuk dalam kategori berkompeten.

Berdasarkan tujuan dan hipotesis penelitian dapat disimpulkan bahwa kompetensi pengrajin tempe yang terdiri dari (1) pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan, dalam bidang: membuat rencana usaha, memproduksi, memasarkan, mengevaluasi kinerja industri, dan perbaikan mutu, termasuk dalam kategori baik, dengan rincian: pengetahuan cukup, sikap dan keterampilan baik.

Kinerja industri tempe yang dinilai berdasarkan mutu tempe dan omset hasil penjualan per bulan, termasuk dalam kategori baik dan rendah. Secara umum kompetensi pengrajin tempe berhubungan positif nyata dengan faktor internal dan eksternal, dan kinerja industri tempe berhubungan nyata dengan kompetensi pengrajin tempe.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang.

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

KOPTI KABUPATEN CIANJUR

EKA YOSA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(8)

Nama : Eka Yosa NIM : I 352060101

Menyetujui :

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec Prof. (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, karena atas izin Nya-lah penulis dapat menyusun tesis yang berjudul: Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur. Tesis ini adalah sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi penulis untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Program Pascasarjana IPB.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec dan Bapak Prof. (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM. selaku pembimbing yang telah banyak memberi petunjuk, saran dan dorongan yang sangat berarti, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada staf pengajar Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah banyak memberi ilmu yang berharga kepada penulis dan para pengrajin industri tempe yang telah memberi data dan informasi yang berkaitan dengan usaha yang dikelolanya.

Terakhir penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang peduli kepada para pengrajin usaha kecil, khususnya industri tempe.

Wassalam.

Bogor, Januari 2009


(10)

Penulis dilahirkan dan dibesarkan di Tanah Abang Jakarta pada tanggal 29 April 1961 dari Ayah Suhandani (Alm) dan Ibu N. Suhainingsih. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Penulis telah menikah dengan Erna Widjanarti dan telah dikaruniakan seorang puteri bernama Mutiara Hanifah yang kini berusia 14 tahun, dan seorang putera bernama Cahya Muhammad berusia 10 tahun.

Tahun 1981 penulis lulus dari SMA Negeri 7 Jakarta, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan strata satu (S1) di UPN “Veteran” Yogyakarta, dengan memilih Program Studi Ekonomi Pertanian.

Sejak tahun 1990 sampai sekarang penulis bekerja di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian (P4TK) Pertanian Cianjur, Departemen Pendidikan Nasional, dengan jabatan widyaiswara. Pada tahun 1992 penulis memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan AKTA IV di IKIP Negeri Jakarta, sekarang Universitas Negeri Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2006 penulis mengikuti pendidikan Pascasarjana di IPB dengan mengambil Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan.


(11)

KOPTI KABUPATEN CIANJUR

EKA YOSA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Eka Yosa NIM I352060101


(13)

Tempe Industrial Performance: Case study of Tempe Small Industry is the Members of KOPTI in Cianjur Regency. Under direction of Ma’mun Sarma and Djoko Susanto

Nowadays, tempe Industrial is facing difficulty, caused by increasing the price of soybean that reach 110%, while the selling price of tempe is hardly occurred. For the tempe producers, if they producing tempe, they will not get profit, but if they stop producing, they will loose their customers. The tempe producers who are able to continue producing tempe in such un-conducive situation ere those who have acceptable competencies. To proof it, it is necessary to carry out study on factors related to such competencies, and also the relation between the competencies and the performance of tempe industry. The aims of this research are to analyze factors which deal with competencies, and the relation between competencies and tempe industrial performance. The populations of this research are 39 persons of tempe producers who are active members of KOPTI in Cianjur Regency. Data collecting was conducted by census that designed as descriptive co-relational research. The instruments tested by constructional validation, and the reliability is tested by Spearman Brownian method. Test of Hypothesis used non parametric statistic, the measurement of relation among variables was used coefficient of rank Spearman method. The results of the research showed that: (1) Competencies of tempe producers categorized as “Good”, (2) The performance according to tempe quality and size of productivity categorized as “Good” and “Low”. The general conclusions of this research: (1) The competencies of tempe producers have positive correlation internal and external factors, and (2) The level of tempe industrial performance has significant correlation with competencies of tempe producer.


(14)

Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh MA’MUN SARMA, dan DJOKO SUSANTO.

Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997, usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia telah membuktikan ketangguhannya. UKM telah memberikan kontribusi yang sangat besar, dimana pada saat itu perusahaan-perusahaan berskala besar berjatuhan, yang dilanjutkan dengan pemutusan hubungan kerja.

Sumbangan UKM terhadap lapangan kerja nasional mencapai 99,44% (sekitar 70 juta orang). Sumbangan usaha kecil kepada GDP mencapai 41,9%. Dari angka-angka tersebut di atas sudah selayaknya UKM memperoleh perhatian, bimbingan dan dorongan dari pemerintah. Apabila UKM dapat berkembang dengan baik maka akan banyak tenaga kerja yang terserap, dengan demikian jumlah pengangguran akan berkurang, dan pertumbuhan ekonomi secara nyata akan meningkat.

Kabupaten Cianjur adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat, memiliki banyak industri atau usaha kecil yang potensial untuk dikembangkan, salah satunya adalah industri tempe sejenis makanan yang terbuat dari kacang kedelai. Sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan tempe sebagai makanan sehari-hari. Tempe disukai oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, karena rasanya yang enak, proses pengolahannya mudah, dan kandungan gizinya tinggi, serta murah harganya.

Pada saat ini industri tempe sedang mengalami kesulitan, disebabkan naiknya harga kedelai yang mencapai 110%, sedangkan harga jual tempe sulit dinaikan. Bagi pengrajin tempe, tetap berproduksi tidak memberi keuntungan nyata, berhenti produksi akan kehilangan pelanggan.

Dampak dari kenaikan harga kedelai, berakibat kepada berkurangnya kemampuan pengrajin tempe untuk terus berproduksi, terutama pengrajin yang memiliki modal terbatas. Di Kabupaten Cianjur, pengrajin yang menjadi anggota Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (KOPTI) sebanyak 186 orang, yang terdiri dari 56 orang (30%) pengrajin tahu, dan 130 orang (70%) pengrajin tempe, dari sejumlah pengrajin tempe tersebut hanya tinggal 39 orang yang masih aktif, sedangkan sisanya mengalami kesulitan berproduksi.

Pengrajin tempe yang masih dapat bertahan dalam kondisi usaha yang sulit diasumsikan adalah pengrajin yang memiliki kompetensi. Untuk itu menarik untuk diteliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan hubungan kompetensi dengan kinerja industri tempe. Berdasarkan kondisi pengrajin tempe tersebut dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut (1) faktor-faktor apa yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan (2) bagimana hubungan faktor-faktor tersebut dengan kompetensi pengrajin tempe, dan antara kompetensi dengan kinerja industri tempe.

Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka ditetapkan tujuan penelitian ini adalah mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan hubungan kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe, dengan hipotesis penelitian sebagai berikut (1) kompetensi pengrajin tempe berhubungan nyata dengan faktor internal dan eksternal, dan (2) tingkat kinerja industri tempe berhubungan secara nyata dengan kompetensi pengrajin industri tempe.

Penelitian dilakukan pada bulan September-November 2008 di Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah


(15)

Populasi penelitian adalah semua pengrajin industri tempe yang menjadi anggota aktif KOPTI Kabupaten Cianjur, yang berjumlah 39 orang, berdomisili di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan secara sensus, kepada 39 orang tersebut.

Penelitian dirancang sebagai penelitian diskriptif korelasional dengan dua peubah bebas, yaitu faktor internal (X1) dan faktor eksternal (X2). Sebagai

peubah tak bebas adalah kompetensi pengrajin tempe (Y1) dan kinerja industri

tempe (Y2). Instrumen di uji dengan menggunakan validasi konstruk, dan uji

reliabilitas menggunakan teknik belah dua Spearman Brown.

Pengujian hipotesis menggunakan statistik non parametrik, untuk mengukur kuatnya hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas, dilakukan analisis Koefisien Rank Spearman pada pada taraf kepercayaan 0,05 dan 0,01. Pengolahan data menggunakan program SPSS 14.0

Seluruh industri tempe yang diteliti termasuk dalam kategori usaha kecil, dengan kisaran omset per tahun Rp. 7.200.000 – Rp. 820.000.000. Jumlah tenaga kerja berkisar 1-3 orang, dengan volume produksi per bulan 1.200 kg – 11.400 kg tempe. Grade mutu tempe yang diproduksi sebagian besar (69,2%) termasuk dalam kategori baik, berdasarkan kriteria kandungan kedelai 100%, dengan perebusan satu kali.

Kompetensi pengrajin tempe dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari 5 aspek, dengan deskripsi sebagai berikut: usia 37,8 tahun, pengalaman 15.1 tahun, tingkat pendidikan formal SMP, sifat wirausaha cukup, dan motivasi tinggi.

Faktor eksternal terdiri dari 5 aspek, dengan deskripsi sebagai berikut, peluang pasar, ketersedian bahan baku, kebijakan pemerintah dan modal termasuk dalam kategori cukup, serta tenaga kerja termasuk dalam kategori berkompeten.

Berdasarkan tujuan dan hipotesis penelitian dapat disimpulkan bahwa kompetensi pengrajin tempe yang terdiri dari (1) pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan, dalam bidang: membuat rencana usaha, memproduksi, memasarkan, mengevaluasi kinerja industri, dan perbaikan mutu, termasuk dalam kategori baik, dengan rincian: pengetahuan cukup, sikap dan keterampilan baik.

Kinerja industri tempe yang dinilai berdasarkan mutu tempe dan omset hasil penjualan per bulan, termasuk dalam kategori baik dan rendah. Secara umum kompetensi pengrajin tempe berhubungan positif nyata dengan faktor internal dan eksternal, dan kinerja industri tempe berhubungan nyata dengan kompetensi pengrajin tempe.


(16)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang.

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(17)

KOPTI KABUPATEN CIANJUR

EKA YOSA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(18)

Nama : Eka Yosa NIM : I 352060101

Menyetujui :

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec Prof. (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(19)

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, karena atas izin Nya-lah penulis dapat menyusun tesis yang berjudul: Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur. Tesis ini adalah sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi penulis untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Program Pascasarjana IPB.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec dan Bapak Prof. (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM. selaku pembimbing yang telah banyak memberi petunjuk, saran dan dorongan yang sangat berarti, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada staf pengajar Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah banyak memberi ilmu yang berharga kepada penulis dan para pengrajin industri tempe yang telah memberi data dan informasi yang berkaitan dengan usaha yang dikelolanya.

Terakhir penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang peduli kepada para pengrajin usaha kecil, khususnya industri tempe.

Wassalam.

Bogor, Januari 2009


(20)

Penulis dilahirkan dan dibesarkan di Tanah Abang Jakarta pada tanggal 29 April 1961 dari Ayah Suhandani (Alm) dan Ibu N. Suhainingsih. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Penulis telah menikah dengan Erna Widjanarti dan telah dikaruniakan seorang puteri bernama Mutiara Hanifah yang kini berusia 14 tahun, dan seorang putera bernama Cahya Muhammad berusia 10 tahun.

Tahun 1981 penulis lulus dari SMA Negeri 7 Jakarta, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan strata satu (S1) di UPN “Veteran” Yogyakarta, dengan memilih Program Studi Ekonomi Pertanian.

Sejak tahun 1990 sampai sekarang penulis bekerja di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian (P4TK) Pertanian Cianjur, Departemen Pendidikan Nasional, dengan jabatan widyaiswara. Pada tahun 1992 penulis memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan AKTA IV di IKIP Negeri Jakarta, sekarang Universitas Negeri Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2006 penulis mengikuti pendidikan Pascasarjana di IPB dengan mengambil Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan.


(21)

I.. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Masalah Penelitian... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.4. Kegunaan Penelitian... 4

1.5. Definisi Istilah... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Kecil... 6

2.2. Industri Tempe... 8

2.3. Faktor Internal Kompetensi Pengrajin Tempe... 8

2.4. Faktor Eksternal Kompetensi Pengrajin Tempe ... 15

2.5. Kompetensi ... ... 20

2.6. Kinerja Industri Tempe ... 27

III. KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir... 29

3.2. Hipotesis ... 30

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Populasi dan Sampel ... 31

4.2. Rancangan Penelitian... 31

4.3. Data dan Instrumentasi... 31

4.4. Pengumpulan Data... 33

4.5. Analisis Data... 34

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 35

5.2. Gambaran Umum Usaha Kecil Industri Tempe... 36

5.3. Identifikasi Faktor Internal Pengrajin Tempe... 40

5.4. Identifikasi Faktor Eksternal Pengrajin Tempe... 43

5.5. Identifikasi Kompetensi Pengrajin Tempe ... 47

5.6. Hubungan Faktor Internal dengan Kompetensi Pengrajin Tempe ... 55

5.7. Hubungan Faktor Eksternal dengan Kompetensi Pengrajin Tempe ... 59

5.8. Identifikasi Kinerja industri Tempe ... 62

5.9. Hubungan Kompetensi Pengrajin dengan Kinerja Industri Tempe... 63

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 65

6.2. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA... 66 LAMPIRAN ... 69-92


(22)

1. Ciri-ciri tempe yang baik dan buruk ... 28 2. Pembagian grade mutu tempe ... 28 3. Koefisien korelasi dan tingkat hubungan ... 34 4. Mata pencaharian penduduk yang berusia di atas 10 tahun di

Kabupate Cianjur ... 35 5. Tingkat pendidikan penduduk yang berusia di atas 10 tahun di

Kabupate Cianjur ... 36 6. Jumlah industri tempe berdasarkan mutu tempe yang diproduksi 38 7. Identifikasi faktor internal pengrajin tempe... 40 8. Identifikasi faktor eksternal pengrajin tempe... 44 9. Skor kompetensi dalam bentuk pengetahuan ... 50 10. Skor kompetensi dalam bentuk sikap ... 51 11. Skor kompetensi dalam bentuk keterampilan ... 54 12. Skor kompetensi pengrajin tempe ... 55 13. Hubungan faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe ... 55 14. Hubungan faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe. 59 15. Skor kinerja industri tempe ... 62 16. Hubungan kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe.. 63


(23)

1. Diagram alir proses pembuatan tempe grade I... 24 2. Kerangka berpikir peneliti ... ... 30 3. Diagram alir proses pembuatan tempe grade I I... 39


(24)

1. Kuesioner penelitian ... 69 2. Hasil uji korelasi Rank Spearman ... 85


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997, usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia telah membuktikan ketangguhannya. UKM telah memberikan kontribusi yang sangat besar, dimana pada saat terjadi krisis ekonomi, perusahaan-perusahaan berskala besar berjatuhan, yang dilanjutkan dengan pemutusan hubungan kerja, pada saat itu UKM tetap dapat berjalan.

Hasil penelitian Urata (Riyanti, 2003) diperoleh angka-angka sebagai berikut, pada tahun 1999, sumbangan UKM terhadap lapangan kerja nasional mencapai 99,44% (sekitar 70 juta orang) dan sumbangannya kepada GDP mencapai 59,36%, di mana sumbangan usaha kecil saja mencapai 41,9%, dari angka-angka tersebut di atas sudah selayaknya UKM memperoleh perhatian, bimbingan dan dorongan dari pemerintah. Berkembangnya UKM akan banyak tenaga kerja yang terserap, dengan demikian jumlah pengangguran akan berkurang, dan pertumbuhan ekonomi secara nyata akan meningkat.

Perubahan yang mendasar telah terjadi di era reformasi, dimana pemerintah tidak lagi mengambil pendekatan dari atas ke bawah (top-down).

Peran pemerintah pusat yang dominan, yang dicirikan dengan penggunaan pendekatan tersebut, menjadikan kurang aspiratifnya program-program yang bersifat menstimulasi dan memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat di daerah-daerah. Saat ini pemerintah menyikapi pelaksanaan pembangunan dengan memberi peran yang lebih besar kepada daerah dan masyarakat secara luas (bottom-up).

Perubahan peran dan pendekatan yang diambil pemerintah saat ini dapat dilihat pada Undang-Undang No: 32, tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, di mana pemerintah pusat memberikan dorongan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, iniberarti (1) adanya tekanan yang lebih besar kepada masyarakat setempat untuk mengambil keputusan, sehingga keputusan yang diambil akan lebih sesuai dengan kebutuhan mereka, (2) meningkatkan partisipasi penduduk dalam pembangunan, yang diwujudkan melalui keterlibatan pada setiap kegiatan, mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan.


(26)

Kabupaten Cianjur adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat, memiliki banyak industri atau usaha kecil yang potensial untuk dikembangkan, seperti industri tempe tahu, manisan buah, tauco, aneka kripik, gula merah, peci haji, sangkar burung, dan lampu hias. Produk-produk ini memiliki mutu yang baik, dan mampu bersaing dengan produk-produk daerah lain.

Tekad untuk memacu pertumbuhan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat, dapat dilakukan dengan menghilangkan berbagai faktor yang menghambat tumbuhnya UKM, dan mengembangkan usaha-usaha kecil yang sudah ada, sehingga usaha kecil dapat berperan sebagai asset nasional, bukan sebagai liability, apalagi bila para pengrajin diberi bantuan dan bimbingan yang tepat.

Salah satu usaha kecil yang banyak terdapat di Kabupaten Cianjur adalah industri tempe, sejenis makanan yang terbuat dari kacang kedelai. Sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan tempe sebagai makanan sehari-hari. Tempe disukai oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, karena rasanya yang enak, proses pengolahannya mudah, dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi, serta murah harganya. Tempe adalah salah satu makanan asli Indonesia, yang sudah diterima masyarakat dunia, karena berbagai kelebihan yang dikandungnya. Masyarakat Eropa mengenal tempe melalui orang-orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia. Dari Eropa tempe terus berkembang sampai ke Benua Amerika.

Tempe sebagai bahan makanan telah diketahui sejak lama, informasi ini diperoleh dari sebuah manuskrip Serat Centhini seting Jawa abad ke-16 (Rayandi, 2008). Berdasarkan informasi ini dapat diduga pada awalnya tempe berasal dari Jawa, khususnya pada masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Seiring dengan banyaknya orang Jawa yang bertransmigrasi keseluruh penjuruh tanah air, dan banyaknya orang dari luar pulau Jawa yang datang kepulau Jawa, menjadikan tempe dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia.

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia, dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai digunakan oleh industri tempe, 40% industri tahu, dan 10% industri tauco dan kecap. Konsumsi tempe di Indonesia rata-rata per orang per tahun diduga mencapai 6,45 kg (Rayandi, 2008).


(27)

Industri tempe saat ini sedang mengalami kesulitan, disebabkan oleh harga kedelai yang terus naik, sedangkan harga jual tempe sukar untuk dinaikan. Bagi pengrajin tempe, tetap berproduksi tidak memberi keuntungan nyata, berhenti produksi akan kehilangan pelanggan.

Dampak dari kenaikan harga kedelai secara terus menerus, berakibat kepada berkurangnya kemampuan pengrajin untuk terus berproduksi, terutama pengrajin yang memiliki modal terbatas. Di Kabupaten Cianjur, pengrajin yang menjadi anggota Koperasi Produsen Tempe -Tahu Indonesia (KOPTI) sebanyak 186 orang, yang terdiri dari 56 orang (30%) pengrajin tahu, dan 130 orang (70%) pengrajin tempe, dari sejumlah pengrajin tempe tersebut hanya tinggal 39 orang yang masih aktif, sedangkan sisanya mengalami kesulitan berproduksi.

Sebelum adanya kenaikan harga kedelai, industri tempe sudah menghadapi berbagai kendala. Hasil penelitian Murhardjani (2004) menyimpulkan kendala yang dihadapi pengrajin tempe adalah (1) kurangnya fasilitas permodalan, (2) pemasaran terbatas, (3) produktivitas rendah, (4) kualitas sumber daya pengrajin rendah, dan (5) peran kelembagaan dalam mendukung pengembangan usaha belum optimal.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa sebelum harga kedelai naik para pengrajin tempe telah menghadapi berbagai kendala. Naiknya harga kedelai terus menerus, maka pengrajin menghadapi permasalahan yang lebih komplek. Pengrajin tempe yang masih dapat bertahan dalam kondisi yang tidak kondusif diasumsikan adalah pengrajin yang memiliki kompetensi, untuk itu menarik untuk diteliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan hubungan kompetensi dengan kinerja industri tempe.

1.2. Masalah Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dirumuskan bahwa masalah penelitian adalah sebagai berikut:

1) Faktor internal dan eksternal apa yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe?

2) Bagaimana hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe?

3) Bagaimana hubungan antara kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe?


(28)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi faktor internal dan eksternal pengrajin tempe

2) Menganalisis hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe.

3) Menganalisis hubungan antara kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang terkait dengan pembinaan usaha kecil industri tempe, dalam bentuk:

1) Masukan kepada Pemerintah Daerah TK II. Kabupaten Cianjur dalam upaya pengembangan usaha kecil, kaitannya dengan bantuan dan pembinaan yang dibutuhkan para pengrajin tempe.

2) Memberi masukan kepada para pengrajin tempe tentang hal-hal yang perlu ditingkatkan untuk dapat tumbuh dan berkembang.

3) Memberi sumbangan kepada ilmu penyuluhan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan usaha kecil, khususnya industri tempe.

1.5. Definisi Istilah

Definisi istilah dalam kegiatan penelitian ditetapkan agar terdapat batasan yang jelas dan memudahkan pengukuran dalam pengumpulan data. Definisi dan istilah yang dipergunakan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kompetensi dalam penelitian ini adalah kemampuan atau kecakapan yang dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk (1) pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan dalam bidang: pembuatan rencana usaha, proses produksi, pemasaran hasil produksi, evaluasi kinerja usaha, dan perbaikan mutu.

2) Kinerja Industri Tempe, merupakan tingkat pencapaian hasil atau tingkat pencapaian tujuan organisasi, diukur berdasarkan (1) jumlah omset, dan (2) mutu tempe yang dihasilkan. Omset adalah hasil penjualan yang diterima pengrajin dalam satu bulan, sedangkan grade mutu tempe dinilai berdasarkan cara pembuatan dan persentase kandungan kedelai.


(29)

3) Usaha kecil adalah usaha yang memiliki kriteria sebagai berikut:

• Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha).

• Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 miliar.

• Milik Warga Negara Indonesia.

• Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.

• Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

4) Industri tempe, adalah usaha kecil yang memproduksi tempe.

5) Pengrajin tempe adalah pemilik sekaligus sebagai pekerja dan pengelola atau manajer industri tempe.

6) Usia, yaitu umur responden pada saat penelitian dilakukan, yang dinyatakan dalam tahun.

7) Pengalaman berusaha, adalah lamanya pemilik industri secara aktif mengelola usaha, yang dinyatakan dalam tahun.

8) Pendidikan formal, yaitu proses belajar formal yang pernah ditempuh responden, dinyatakan dalam tingkatan-tingkatan pendidikan formal, yaitu: tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SMA.

9) Sifat wirausaha adalah sifat atau jiwa bisnis yang dimiliki pengrajin tempe, meliputi sifat: meningkatkan prestasi, keluwesan bergaul, kerja keras, percaya diri, pengambil risiko, inovatif, dan mandiri.

10) Motivasi adalah tindakan yang mendasari pengrajin melakukan sesuatu yang berhubungan dengan industri tempe.

11) Peluang pasar, adalah sejumlah permintaan tempe oleh pembeli potensial. 12) Modal, adalah sumber daya yang digunakan untuk biaya produksi dan

operasional.

13) Tenaga kerja, adalah orang yang menerima gaji atas jasanya membantu pengrajin tempe dalam proses pembuatan tempe, terlibat secara langsung dan penuh.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Kecil

Upaya memahami industri rumah tangga sebagai usaha kecil di Indonesia, tidak mudah, hal ini disebabkan banyaknya kriteria yang ada sebagai akibat dari banyaknya instansi atau lembaga yang terlibat dalam pengembangan usaha kecil.

Di dunia setiap negara memiliki kriteria dalam pengelompokan usaha kecil. Inggris menetapkan usaha kecil bila jumlah pekerja antara 1–2000 orang, Jepang antara 1–300 orang, dan Amerika 1-500 orang, sedangkan di Francis jika kurang dari 10 orang termasuk dalam kategori usaha kecil (Partomo dan Soejoedono, 2004)

Kriteria usaha kecil menurut Biro Pusat Statistik (BPS) adalah usaha yang memiliki pekerja berjumlah 5-19 orang, jika kurang dari 5 orang, digolongkan kedalam usaha rumah tangga (Partomo dan Soejoedono, 2004). Anderson (Partomo dan Soejoedono, 2004) membagi usaha kecil berdasarkan jumlah pekerja, yaitu usaha kecil kategori I memiliki jumlah pekerja 1–9 orang, usaha kecil kategori II memiliki jumlah pekerja 10 – 19 orang.

Kriteria pengelompokan usaha kecil selain menggunakan batasan tenaga kerja, juga menggunakan nilai omset atau nilai aset, sebagaimana Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 1995, pasal 5 tentang usaha kecil, adalah sebagai berikut:

1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau

2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 miliar. 3) Milik Warga Negara Indonesia.

4) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.

5) Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

6) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, nilai nominalnya, dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian, yang diatur dengan peraturan pemerintah.


(31)

Selain usaha kecil, dikenal juga istilah usaha mikro, yang secara spesifik didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional serta informal dalam arti belum terdaftar, belum tercatat dan berbadan hukum. hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.100 juta dan milik Warga Negara Indonesia (Adi, 2007).

Selain beberapa Kriteria di atas, UKM juga memiliki ciri-ciri umum yang menurut Partomo dan Soejoedono (2004) adalah:

1) Struktur organisasi yang sangat sederhana 2) Tanpa staf yang berlebihan

3) Pembagian kerja yang “kendur”

4) Memiliki hirarki manajerial yang pendek

5) Aktivitas sedikit yang formal, dan sedikit menggunakan proses perencanaan 6) Kurang membedakan antara aset pribadi dan aset perusahaan.

Berdasarkan kriteria di atas, sedikitnya terdapat dua aspek yang dapat dijadikan kriteria usaha kecil, pertama aspek penyerapan tenaga kerja, ke dua aspek omset hasil penjualan. Berdasarkan uraian di atas, maka kriteria usaha kecil yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria yang ditetapkan oleh Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 1995.

Menurut Suryana (2003), usaha kecil memiliki kekuatan dan kelemahan sendiri, beberapa kekuatan yang dimiliki adalah:

1) Kebebasan untuk bertindak. Bila ada perubahan produk, teknologi, atau alat, usaha kecil dapat melakukan penyesuaian dengan cepat.

2) Fleksibel, usaha kecil sangat luwes dapat menyesuaikan diri dengan keadaan atau kondisi setempat.

3) Tidak mudah goncang, karena sumber daya yang digunakan kebanyakan lokal, yang harganya relatif lebih murah, dan tidak banyak terpengaruh oleh nilai dolar.

Sedangkan kelemahan usaha kecil dapat dibagi dua:

1) Kelemahan struktural, adalah kelemahan usaha kecil dalam bidang manajemen seperti pengendalian mutu, organisasi, teknologi, modal, dan pasar. Kelemahan struktural yang satu dengan yang lainnya saling terkait, yang kemudian membentuk lingkaran ketergantungan.


(32)

2) Kelemahan kultural adalah kelemahan dalam budaya perusahaan yang kurang mencerminkan perusahaan sebagai Corporate Culture. Kelemahan kultural mengakibatkan kurangnya akses informasi dan lemahnya berbagai persyaratan lain guna memperoleh akses permodalan, pemasaran dan bahan baku.

2.2. Industri Tempe

Tempe adalah sejenis makanan khas Indonesia, yang dijadikan lauk-pauk pada saat makan nasi. Rasanya yang gurih, dengan kandungan gizi yang tinggi, menjadikan makanan ini digemari banyak orang. Bahkan saat ini tempe telah diterima oleh masyarakat internasional, lebih-lebih oleh kaum vegetarian.

Tempe terbuat dari kacang kedelai yang difermentasi dengan kapang

Rhizopus Oligosporus atau ragi tempe. Harga satu potong tempe goreng di

rumah-rumah makan saat ini Rp. 500 – Rp. 1.000. Harga yang relatif murah dengan rasa yang enak, menjadikan tempe disukai banyak orang. Namun pasar yang masih cukup terbuka tidak menjadikan industri tempe dapat berkembang dengan pesat.

Kedelai yang dipakai untuk membuat tempe harus memiliki mutu yang baik, kedelai jenis ini masih harus di impor dari Amerika, untuk meringankan para pengrajin tempe, pemerintah melalui KOPTI memberi subsidi, sehingga pengrajin dapat membeli dengan harga yang lebih murah. Namun ketika pemerintah mengurangi bahkan menghapus subsidi, banyak industri tempe yang mengalami kesulitan, bahkan banyak yang tidak dapat berproduksi lagi. Hal ini disebabkan terbatasnya modal pengrajin dan lemahnya daya beli masyarakat.

2.3. Faktor Internal Kompetensi Pengrajin Tempe

Faktor internal adalah faktor yang ada di dalam diri seseorang, yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri (Syah, 2005). Dengan demikian faktor internal adalah karateristik setiap individu yang dimiliki setiap orang.

Menurut Mardikanto (1999) karateristik individu ialah sifat yang melekat pada diri seseorang, dan berhubungan dengan aspek kehidupan, seperti: usia, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial, dan agama. Sedangkan menurut Slamet (1992), bahwa umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan


(33)

dan sikap, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi, sehingga mempengaruhi seseorang untuk berkembang.

Kepribadian wirausaha juga merupakan faktor yang berada di dalam diri seseorang. Menurut Riyanti (2003) kepribadian wirausaha merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam mengelola usaha kecil. Namun demikin keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh kemauan untuk berbuat, yang menurut Alma (2006) disebut motivasi.

2.3.1. Usia

Ronstandt (Riyanti, 2003) mengatakan bahwa kebanyakan wirausaha mulai terjun ke dunia usaha pada usia 25-30 tahun. Bervariasinya usia seseorang ketika memasuki dunia usaha tidak terkait langsung dengan keberhasilan. Seperti yang dikemukakan oleh Staw (Riyanti, 2003) usia ketika seseorang memulai usaha kurang penting, tetapi apabila telah mengikuti pelatihan dan persiapan yang baik maka semakin awal akan semakin baik.

Menurut Staw (Riyanti, 2003) usia akan mempengaruhi keberhasilan bila dihubungkan dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha. Dengan asumsi bahwa usia kronologis seseorang sesuai dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha. Bertambahnya usia seseorang, akan semakin banyak dan mendalam liku-liku usaha yang diketahui, dengan demikian mempengaruhi tingkat keberhasilan seorang wirausaha dalam mengelola usahanya.

Menurut Hurlock (Riyanti, 2003), ciri-ciri perkembangan karier seseorang dapat dikelompokkan berdasarkan usia, sebagai berikut:

1) Usia dewasa awal (18-40 tahun) Pada periode ini seseorang sedang memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat, serta mencoba untuk berkarier. Itulah sebabnya usia bisa berpengaruh terhadap tinggi rendah prestasi kerja.

2) Usia dewasa Madya (40-60 tahun)

pada periode ini dicirikan dengan keberhasilan dalam pekerjaan, pada usia ini kebanyakan orang mencapai prestasi puncak. Prestasi yang dicapai merupakan hasil dari kemantapan dalam meniti karier dan pengalaman yang telah dimiliki.


(34)

3) Usia dewasa akhir (usia di atas 60 tahun)

Kebanyakan pada usia ini orang mulai mengurangi kegiatan kariernya. Karena pada periode ini, faktor fisik mulai menjadi kendala untuk terus berkarier.

Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa usia mempengaruhi prestasi kerja seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Rogers dan Shoemaker (1986) yang mengatakan bahwa usia mempengaruhi sikap seseorang.

2.3.2. Pengalaman

Pengalaman yang dimiliki pengrajin industri tempe dalam mengelola usaha, memberi dampak positif terhadap perkembangan usaha, karena dengan memiliki pengalaman, membuat seseorang dapat mengendalikan jalannya usaha walaupun menghadapi berbagai kendala. Oleh karena itu semakin banyak memperoleh pengalaman yang bermutu akan semakin tangguh pengrajin menjalankan usahanya.

Pengalaman dalam mengelola usaha merupakan modal utama untuk memperoleh kesuksesan, terutama apabila usaha yang dikelolanya sekarang berkaitan dengan pengalaman usaha sebelumnya. Wirausaha yang berpengalaman mengelola usaha, mampu melihat lebih banyak jalan dari pada para pengusaha baru. Menurut Meredith, dkk (2005) seorang wirausaha harus bersedia belajar dari pengalaman dan berubah dari waktu ke waktu, serta sadar akan cara-cara baru untuk meningkatkan produktivitas. Menurut Haswell (Riyanti, 2003) pentingnya memiliki pengalaman dalam mengelola usaha kecil, karena umumnya kegagalan usaha disebabkan kurangnya pengalaman dan lemahnya kemampuan manajerial.

Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam mengelola usaha akan memberi pengaruh kepada keberhasilan usaha. Bentuk pengalaman dapat diperoleh melalui bimbingan dari orang tua atau pengalaman mengelola usaha sebelumnya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam mengelola usaha akan diperoleh bila seseorang terlibat secara langsung dalam suatu kegiatan usaha. Artinya seseorang yang belum pernah terlibat dalam usaha tidak akan memiliki kompetensi.


(35)

2.3.3. Pendidikan Formal

Tingkat pendidikan, sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang dalam menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat yang memiliki berbagai aktivitas dan tanggungjawab. Pendidikan yang pernah diperoleh seseorang akan mempengaruhi pandangan dan tindakkannya. Dillon dkk (1985) menyatakan bahwa pendidikan dapat mengubah pola pikir dan daya nalar seseorang. Slamet (1992) mengemukakan bahwa pendidikan seseorang akan mempengaruhi perilaku individu, baik dari segi pengetahuan, sikap maupun keterampilan.

Kompetensi yang diperoleh pada saat mengikuti pendidikan, membekali seseorang untuk berkembang dan menghadapi berbagai masalah dalam hidupnya. Staw (Riyanti, 2003) mengatakan bahwa pendidikan berperan penting, karena memberi bekal pengetahuan yang dibutuhkan, dimana setelah seseorang memutuskan terjun ke dunia usaha, maka orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi, cenderung lebih berhasil dari pada orang yang berpendidikan lebih rendah. Diduga orang yang berpendidikan lebih tinggi, lebih memiliki berbagai pengetahuan dan sistem manajemen yang dapat membantu dalam mengelola usaha. Orang yang berpendidikan lebih tinggi lebih sadar akan realitas dunia usaha, dan menggunakan kemampuan belajarnya untuk mengelola usaha sehingga menjadi lebih baik.

Menurut Riyanti (2003) pendidikan berperan penting karena memberi bekal pengetahuan yang dibutuhkan, lebih-lebih ketika menemui masalah di tengah jalan. Sedangkan Tilaar (1997) menjelaskan bahwa fungsi pendidikan adalah proses eksplorasi potensi individu dan cara manusia mampu mengontrol potensinya yang telah dikembangkan agar dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidupnya.

Riyanti (2003) berpendapat bahwa pendidikan memainkan peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah-masalah, dan mengoreksi penyimpangan dalam praktek usaha. Meskipun pendidikan formal bukan syarat untuk memulai usaha baru, pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal memberi dasar yang baik apabila pendidikan formal tersebut terkait langsung dengan bidang usaha yang di kelola .

Menurut para ahli tersebut, pendidikan formal yang pernah diperoleh seseorang mempengaruhi cara mengelola usaha. Namun hasil penelitian Balton (Partomo dan Soejoedono, 2004) untuk pimpinan UKM pada umumnya kurang


(36)

atau tidak mengenyam pendidikan formal, atau mempunyai pendapat yang lemah terhadap pentingnya pendidikan atau pelatihan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa pendidikan formal dapat mempengaruhi keberhasilan usaha kecil menengah, dengan asumsi bahwa pendidikan yang baik akan mempengaruhi cara seseorang memahami dan mengelola persoalan-persoalan yang dihadapi.

2.3.4. Sifat Wirausaha

Meredith, dkk (2005 ) mendefinisikan wirausaha sebagai orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan daripadanya, dan mengambil tindakan yang tepat, guna memastikan kesuksesan. Sedangkan Suryana (2003) mendefinisikan kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan.

Sejalan dengan dua definisi tersebut, Swasono (Riyanti, 2003) menyatakan di dalam ilmu ekonomi dikenal empat faktor produksi, yaitu tanah (land), tenaga kerja (labour), modal (capital), dan keahlian (skill). Selain empat faktor tersebut, masih ada faktor lain, yaitu kewirausahaan (entrepreneurship) yang merupakan modal sosial kultural, semacam “tenaga dalam” manusia untuk merangkum ke empat faktor produksi lainnya dalam suatu proses produksi, dengan alternaif-alternatif kombinasi baru (new combination) untuk menghasilkan berbagai economic performances yang berbeda.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat dinilai bahwa para pengrajin industri tempe adalah wirausahawan karena telah menyatukan berbagai sumber daya, seperti teknologi, tenaga kerja, peralatan, ragi dan kedelai, sehingga menghasilkan tempe, yaitu sejenis makanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Kadarisman (2007) berpendapat bahwa kegiatan usaha kecil yang bergerak di bidang apa pun, sesungguhnya adalah proses pembelajaran bagi pengusaha untuk memperoleh sifat dan semangat wirausaha. Pendapat ini, mengandung arti bahwa kegiatan usaha kecil dapat menumbuhkan sifat dan semangat wirausaha, dan berpengaruh secara positif terhadap kompetensi seseorang dalam mengelola usaha. Pentingnya sifat wirausaha dikemukakan


(37)

oleh Riyanti (2003) bahwa sebagian besar keberhasilan usaha khususnya usaha kecil, sangat ditentukan oleh kepribadian wirausaha yang dimiliki pengrajin.

Secara komprehensif Meredith, dkk (2005) merangkum ciri-ciri wirausahawan sebagai berikut (1) Percaya diri, (2) Berorientasi tugas dan hasil, (3) Pengambil risiko, (4) kepemimpinan, (5) keorisinilan, dan (6) berorientasi ke masa depan. Sedangkan Sukardi (Riyanti, 2003) menunjukkan sembilan sifat unggul yang dimiliki wirausahawan, adalah:

1) Sifat instrumental, yaitu tanggap terhadap peluang dan kesempatan berusaha yang berkaitan dengan perbaikan kerja.

2) Sifat prestatif, yaitu selalu berusaha memperbaiki prestasi, menggunakan umpan balik, menyenangi tantangan, dan berupaya agar hasil kerja selalu lebih baik dari sebelumnya.

3) Sifat keluwesan bergaul, yaitu selalu aktif bergaul dengan siapa saja, membina kenalan-kenalan baru, dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.

4) Sifat kerja keras, yaitu berusaha terlibat dalam situasi kerja, tidak menyerah sebelum pekerjaan selesai. Tidak pernah memberi dirinya kesempatan untuk berpangku tangan, mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada pekerjaan, memiliki tenaga untuk terlibat secara terus menerus dalam kerja.

5) Sifat keyakinan diri dalam segala kegiatan, penuh optimisme bahwa usahanya akan berhasil. Percaya diri dan bergairah, langsung terlibat dalam kegiatan nyata, jarang terlihat ragu-ragu.

6) Sifat mengambil risiko yang diperhitungkan, yaitu tidak khawatir akan menghadapi situasi yang serba tidak pasti, dimana usahanya belum tentu membuahkan hasil. Berani mengambil risiko kegagalan, dan selalu antisipatif terhadap kemungkinan-kemungkinan gagal. Segalatindakannya diperhitungkan secara cermat.

7) Sifat swakendali, yaitu benar-benar menentukan apa yang harus dilakukan dan bertanggungjawab pada diri sendiri.

8) Sifat inovatif, yaitu selalu bekerja keras mencari cara-cara baru untuk memperbaiki kinerjanya. Terbuka untuk gagasan, pandangan, penemuan-penemuan baru yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja. Tidak terpaku pada masa lampau, berpandangan ke depan dan mencari ide-ide baru.


(38)

9) Sifat mandiri, yaitu apa yang dilakukan merupakan tanggungjawab pribadi. Keberhasilan dan kegagalan dikaitkan dengan tindakan-tindakan pribadi. Menyenangi kebebasan dalam mengambil keputusan untuk bertindak, dan tidak mau tergantung pada orang lain.

Berdasarkan pendapat para ahli yang telah diuraikan di muka, terdapat ciri umum yang selalu terdapat dalam diri seorang wirausaha, yaitu kemampuan untuk tumbuh dan berkembang melalui usaha mengubah sesuatu menjadi lebih baik dan berharga. Menurut Kirton (Riyanti, 2003) kemampuan tersebut sebagai perilaku “kreatif” dan “inovatif” sebagai sifat yang terdapat pada seorang wirausaha.

Pengrajin industri tempe dapat dikatakan memiliki sifat-sifat wirausaha, karena melalui suatu tahapan yang panjang kacang kedelai diproses menjadi tempe, sejenis makanan yang yang memiliki nilai gizi dan ekonomi tinggi. Berdasarkan alasan tersebut penelitian ini akan mengkaji sifat-sifat wirausaha yang melekat pada pengrajin tempe, sebagaimana yang telah diuraikan sebagai berikut:

1) Sifat meningkatkan prestasi 2) Sifat keluwesan bergaul 3) Sifat kerja keras 4) Sifat percaya diri 5) Sifat pengambil risiko

6) Sifat inovatif 7) Sifat Mandiri

2.3.5. Motivasi

Kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh semangat kerja pimpinan beserta para pekerjanya. Agar semangat kerja dapat ditingkatkan diperlukan suatu motivasi. Menurut Alma (2006) motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan atau impuls. Motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motifnya. Motif dengan kekuatan yang sangat besar akan menentukan perilaku seseorang, dengan demikian motif merupakan motivator atau penggerak motivasi.


(39)

Herzberg (Alma, 2006) mengemukakan bahwa motivasi seseorang akan ditentukan oleh motivatornya, sedangkan yang dapat menjadi motivator bagi seseorang adalah:

1) Keinginan berprestasi

2) Penghargaan atau pengakuan atas pekerjaan 3) Tantangan atas pekerjaan

4) Bertambah tanggungjawab 5) Ada kesempatan untuk maju

Menurut teori motivasi Maslow, hirarki kebutuhan manusia dapat dipakai untuk melukiskan dan meramalkan motivasi seseorang. Teori ini didasarkan kepada asumsi, bahwa kebutuhan seseorang tergantung dari apa yang telah dimilikinya, dan kebutuhan merupakan hirarki dilihat dari nilai pentingnya. Menurut Maslow (Alma, 2006) ada lima kategori kebutuhan manusia, yaitu: 1) Fisiologis (Physiological needs)

2) Keamanan (safety needs) 3) Sosial (affiliation needs)

4) Penghargaan (recognition needs) 5) Perwujudan diri (self actualization needs)

Berkaitan dengan teori Maslow, Alma (2006) berpendapat bila suatu tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka akan muncul tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Namun ini tidak berarti tingkat kebutuhan yang lebih rendah harus terpenuhi seratus persen atau memuaskan, baru muncul kebutuhan yang lebih tinggi lagi.

2.4. Faktor Eksternal Kompetensi Pengrajin Tempe

Seperti telah diketahui bahwa usaha kecil di Indonesia memiliki berbagai keunggulan, terutama kemampuannya di dalam menyerap tenaga kerja bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar. Namun demikian menurut Kadarisman (2007) UKM memiliki kendala untuk berkembang menjadi perusahaan besar dan untuk meningkatkan kinerjanya, ini disebabkan keterbatasan dalam hal kemampuan produksi, akses ke pasar dan permodalan. Menurut Urata (Riyanti, 2003) usaha-usaha kecil di Indonesia banyak menghadapi kendala untuk bermain aktif di pasar, karena mereka kurang


(40)

memiliki kemampuan manajemen dan teknologi yang memadai, juga kurang memiliki informasi pasar.

Menurut Partomo dan Soejoedono (2004) UKM menghadapi kendala dalam mempertahankan atau mengembangkan usahanya, antara lain kurangnya pengetahuan dalam mengelola usaha, kekurangan modal, dan lemah di bidang pemasaran, untuk itu pembinaan UKM pertama-tama harus ditujukan kepada upaya meningkatkan kemampuan manajemen di bidang pemasaran, keuangan dan personalia. Demikian juga menurut Haswell (Riyanti, 2003) salah satu penyebab kegagalan usaha kecil adalah lemahnya kemampuan manajerial.

Menurut Ravianto (1986) manajemen merupakan landasan utama bagi peningkatan produktivitas, dengan berlandaskan manajemen yang baik, akan terkondisi tenaga kerja, modal, teknologi dan bahan baku yang tepat sesuai kinerja yang diinginkan, dengan cara mengelola masukan yang terbatas untuk menghasilkan lebih banyak produk dan jasa. Di sini terjadi hubungan antara masukan berupa sumber daya dan keluaran berupa produk dan jasa.

2.4.1. Peluang Pasar

Pasar adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk dipuaskan, mempunyai uang untuk dibelanjakan dan mempunyai kemauan untuk membelanjakannya. Pasar juga dapat berarti sejumlah permintaan barang dan jasa oleh pembeli potensial (William, 1991).

Sedangkan pemasaran menurut Meredith, dkk (2005), adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk mengenal siapa yang menjadi konsumen, apa yang mereka butuhkan, serta bagaimana cara memuaskan mereka dengan memperoleh keuntungan daripadanya. Pertanyaan (1) siapa yang menjadi konsumen, (2) apa yang mereka butuhkan, dan (3) apa yang harus diberikan kepada konsumen, untuk menjawabnya diperlukan suatu penelitian pasar.

Pemasaran mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan pelanggan yang belum terpenuhi, dengan mengukur besarnya permintaan, serta cara yang diinginkan pelanggan. Menurut Kotler (1990) untuk meningkatkan keberhasilan jual beli, seorang pengusaha harus melakukan analisis keinginan pelanggan, dan apa yang dapat diberikannya. Prinsip ini adalah mengetahui informasi tentang permintaan dan kondisi pasar, atau disebut penelitian pasar.

Penelitian diperlukan untuk memperoleh informasi pasar tentang (1) tujuan pelanggan membeli, (2) untuk apa pelanggan membeli, dan (3) apa


(41)

yang diinginkan pelanggan. Data yang dibutuhkan, sumber data dan cara memperolehnya merupakan hal yang harus diketahui oleh pengrajin industri tempe. Menurut Kartasapoetra (1992) dengan diperolehnya informasi pasar maka dapat diramalkan mutu produk yang diinginkan, strategi meningkatkan permintaan, dan cara penjualan yang efektif.

Hasil penelitian pasar dapat memberi informasi kepada pengrajin ada tidaknya peluang pasar. Peluang pasar dapat diidentifikasi melalui (1) permintaan barang lebih besar dari yang ditawarkan, dan (2) mutu barang yang ditawarkan atau pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan harga yang harus dibayar oleh pelanggan. Menurut Zimmerer (Suryana, 2003) peluang pasar dapat terjadi apabila (1) pesaing tidak aktif, (2) pesaing tidak memiliki teknologi tepat guna, dan (3) pesaing tidak memiliki strategi pemasaran. Kondisi demikian terbuka peluang pasar bagi pengrajin untuk memanfaatkannya, menurut Scarborough (Suryana, 2003) ciri wirausaha adalah selalu mencari peluang.

2.4.2. Bahan baku

Tempe dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi. Kedelai yang digunakan untuk pembuatan tempe masih harus diimpor dari Amerika. Kedelai jenis ini memiliki mutu lebih baik dibandingkan dengan kedelai lokal. Menurut Mustofa (2008) para pengrajin tempe lebih menyukai kedelai impor yang bungkilnya berukuran lebih besar dibandingkan kedelai lokal.

Pengrajin tempe berupaya menjaga ketersediaan dan kesinambungan kedelai, hal ini dilakukan untuk menjamin kelancaran produksi. Sebagai anggota KOPTI, pengrajin memperoleh prioritas untuk mendapatkan kedelai, namun untuk menjamin kelancaran pasokan, pengrajin tidak bergantung hanya kepada satu pemasok. Selain KOPTI, pengrajin membina hububungan baik dengan pedagang kedelai yang berada di pasar. Menurut Meredith, dkk (2005) untuk menjamin bahwa operasi bisnis berjalan lancar, pengusaha harus memelihara hubungan baik dengan para pemasok, dan harus mampu membeli bahan dalam jumlah yang cukup sehingga dapat menjamin berlangsungnya produksi secara berkesinambungan dan menguntungkan.

Bahan baku menentukan mutu produk, untuk itu bahan baku yang akan digunakan harus dijamin telah memenuhi persyaratan mutu, selain itu volume dan waktu harus sesuai kebutuhan. Menurut Suardi (2004) untuk keperluan


(42)

tersebut, pengusaha harus menilai dan memilih pemasok atas dasar kemampuannya menyediakan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu.

2.4.3. Modal

Di dalam ilmu ekonomi, modal adalah salah satu faktor produksi. Menurut Suardi (2004) modal merupakan sumber daya industri yang harus ditetapkan dan disediakan. Penggunaan sumber daya harus direncanakan dan dipertimbangkan efisiensinya, termasuk untuk kebutuhan di masa yang akan datang.

Pada umumnya permodalan usaha kecil masih lemah, modal yang dikelola biasanya adalah milik pribadi atau keluarga. Bagi usaha kecil untuk memperoleh tambahan modal melalui lembaga keuangan seperti bank tidak mudah. Namun tidak semua pengusaha mengharapkan bantuan modal, menurut Alma (2006) terdapat pengusaha yang tidak mau berhutang, karena takut hutang tersebut menjadi beban hidupnya. Sebaliknya ada yang berpendapat tanpa hutang, usaha akan sulit berkembang, karena penambahan modal sendiri melalui tabungan memerlukan waktu yang lama, sedangkan peluang usaha yang menguntungkan cepat berlalu.

Menurut Dani dan Triyono (1994), masih banyak usaha kecil menghadapi kendala dalam memperoleh fasilitas modal yang disediakan lembaga perbankan, disebabkan: (1) tidak memiliki informasi yang cukup tentang fasilitas modal yang tersedia, (2) kendala pemenuhan persyaratan teknis dan administrasi yang ditetapkan lembaga keuangan terutama perbankan, dan (3) tidak dapat membuat proposal dengan benar.

2.4.4. Tenaga kerja

Tenaga kerja yang memiliki kompetensi, merupakan aset utama bagi industri dan pemilik usaha. Meredith, dkk (2005) menyatakan bahwa tenaga

kerja terampil merupakan sumberdaya langka yang biasanya kurang tersedia. Memiliki tenaga kerja yang mau mencurahkan kemampuannya secara

total harus diciptakan dan dikondisikan oleh pemilik usaha. Menurut Suardi (2004) hal ini dapat dilakukan dengan cara memampukan dan memberi kesempatan kepada tenaga kerja untuk merencanakan, menerapkan, dan mengendalikan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Kebebasan dan wewenang perlu diberikan kepada tenaga kerja agar termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Keterlibatan tenaga kerja secara menyeluruh,


(43)

akan menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab, serta mendorong keinginan meningkatkan kompetensi.

Tenaga kerja yang memiliki kompetensi untuk mendapatkannya diperlukan suatu analisis berdasarkan (1) pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan, yang dibutuhkan sesuai sifat dari pekerjaan tersebut. Tempe adalah sejenis makanan yang terbuat dari kedelai, yang dalam proses pembuatannya membutuhkan perhatian khusus yang berkaitan dengan ketaatan kepada ketentuan-ketentuan dalam pembuatan makanan. Jumlah tenaga kerja dan kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri tempe harus disesuaikan dengan jam kerja dan kompetensi yang diperlukan dalam proses pembuatan tempe, sehingga seluruh proses dapat selesai tepat waktu dengan mutu tempe yang baik.

2.4.5. Kebijakan Pemerintah

Menurut Astuti (2008) kenaikan harga kedelai yang mencapai 110% telah menyebabkan kelangkaan bahan baku kedelai di pasaran, dan menggoyahkan usaha kecil. Naiknya harga bahan baku kedelai disebabkan kebijakan pemerintah yang bergantung kepada kedelai impor untuk memenuhi 60% kebutuhan kedelai dalam negeri dan tidak disertai peningkatan produksi di dalam negeri.

Menurut Mustofa (2008), 80% bahan baku tempe masih diimpor. Harga 1 kg kedelai saat ini mencapai Rp. 8.000; sedangkan harga normal Rp. 3.500-Rp. 4.000. Lonjakan kenaikan harga ini mulai terasa sejak November 2007; sehingga industri kecil yang memiliki modal terbatas yang umumnya menggunakan bahan baku kurang lebih 25 kg tidak mampu beroperasi.

Harga kedelai yang berfluktuasi setiap hari dan terbatasnya modal, menambah berat beban industri tempe. Kondisi ini menjadi semakin sulit karena terbatasnya pasokan kedelai lokal yang diharapkan bisa mengganti penggunaan kedelai impor. Menurut Mulyo (2008) sejak awal tahun 1990, produksi kacang kedelai lokal terus menurun, sampai hilang dari pasar.

Pada saat ini pengrajin tempe tidak hanya menghadapi kenaikan bahan baku kedelai, tetapi juga bahan bakar yang terus naik dan sukar diperoleh. Kondisi yang tidak menguntungkan ini, membuat pengrajin tempe berharap kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk dapat mengendalikan harga kedelai agar terjangkau.


(44)

2.5. Kompetensi 2.5.1. Aspek Kompetensi

Menurut Mardikanto (Yustina dan Sudrajat, 2008) setiap manusia, sesuai kodratnya, masing-masing memiliki karakteristik perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) serta daya nalar dan kreativitas yang tidak selalu sama dengan orang lain. Karateristik seseorang sangat menentukan kinerja dan produktivitas seseorang.

Kompetensi menurut Finch dan Crunkilton (Mulyasa, 2005) adalah penguasaan terhadap tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan. Sumardjo (Yustina dan Sudrajat, 2008) mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan.

McAshan (Mulyasa, 2005), mengemukakan bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai seseorang dan telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut Syah (2005) ketiga perilaku tersebut merupakan sifat psikologis seseorang.

Kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam program penyuluhan. Menurut Syahyuti (2006) dalam kegiatan penyuluhan ada tiga hal yang menjadi obyek untuk diubah, yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Perubahan perilaku adalah tujuan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan penyuluhan, yaitu bertambahnya informasi, tumbuhnya keterampilan, serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki.

Menurut Arikunto (1991) pemisahan antara ranah kognitif, afekif dan psikomotor merupakan sesuatu yang tidak semestinya, karena tindakan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, segala tindakannya merupakan suatu kebulatan, sehingga kompetensi tidak dapat dipisahkan menjadi tiga aspek. Ketiga aspek kompetensi tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan satu sama lain, bahkan ada dalam kebersamaan. Seseorang yang berubah tingkat pengetahuannya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah sikap dan perilakunya.


(45)

Aspek pengetahuan atau aspek kognitif dijelaskan Syah (2005) bahwa setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Menurut Gafur (1989) yang termasuk aspek pengetahuan ialah semua tingkah laku yang menggunakan kemampuan intelektual.

Aspek sikap atau aspek afektif oleh Van den Ban dan Hawkins (2005) didefinisikan sebagai perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang, yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen-komponen sikap adalah perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk bertindak. Sikap adalah kecenderungan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konskuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan obyek sikap.

Aspek afektif berkaitan dengan pandangan atau pendapat (opinion) dan sikap atau nilai (attitude, value), dinilai penting oleh Meredith, dkk (2005) dengan menegaskan bahwa prestasi total sebuah usaha terutama ditentukan oleh sikap dan tindakan dari wirausahawan.

Keterampilan atau aspek psikomotor menurut Arikunto (1991) menunjukkan pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot dengan gerakan-gerakannya. Ranah psikomotor berhubungan erat dengan kerja otot, yang menyebabkan gerak tubuh atau bagian-bagiannya. Aspek ini meliputi semua tingkah laku yang menggunakan syaraf dan otot badan, menurut Esseff (Gafur. 1989) yang termasuk di dalam aspek keterampilan adalah: (1) pendengaran (auditory), (2) penglihatan (visual), ucapan (verbal), mengubah

(manipulate), menulis, dan meraba.

Berdasarkan definisi kompetensi yang telah diuraikan di atas, maka dalam peneltian ini kompetensi diartikan sebagai kemampuan atau kecakapan yang dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk (1) pengetahuan, (2) sikap dan (3) keterampilan dalam bidang: pembuatan rencana usaha, produksi, pemasaran hasil produksi, evaluasi kinerja usaha, dan perbaikan mutu.

Kompetensi yang dibutuhkan pengrajin tempe, dapat diidentifikasi melalui pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan pengrajin sebagai pemilik sekaligus sebagai pekerja dan pengelola usaha atau manajer industri tempe. Identifikasi kompetensi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Menurut Hall dan Prihartoro (Mulyasa, 2005), sumber yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kompetensi, adalah:


(46)

1) Analisis taksonomi (taxonomic analysis)

2) Masukan dari kalangan profesional (input from the profession) 3) Membangun teori (theoretical contructs)

4) Analisis tugas (task analysis)

Semua sumber yang telah dikemukakan satu sama lain saling melengkapi, dengan demikian bila proses pengidentifikasian menggunakan berbagai sumber akan diperoleh hasil yang lebih baik.

2.5.2. Kompetensi Pengrajin Tempe

Pengrajin tempe sebagai pemilik sekaligus pengelola usaha, akan mencapai kinerja yang tinggi bila fungsi-fungsi manajemen berproses dengan benar. Menurut Terry dan Rue (1988) terdapat lima fungsi manajemen, yaitu: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), kepegawaian (staffing), pengarahan (motivating), dan pengawasan (controlling).

Menurut Herjanto (2004) kegiatan manjemen memerlukan pengetahuan yang luas karena mencakup berbagai fungsi manajemen, seperti sumber daya manusia, material, modal, mesin, manajemen atau metode, enerji, dan informasi, yang diintegrasikan untuk menghasilkan barang atau jasa. Integrasi merupakan penggabungan dua atau lebih sumber daya dalam berbagai kombinasi yang terbaik. Pengrajin sebagai manajer dituntut untuk mempunyai kemampuan kerja secara efisien agar dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan memperkecil limbah.

Menurut Ravianto (1986) tugas seorang manajer pada dasarnya adalah

plan, do, check, dan action, yaitu merencanakan, mengimplementasikan yang

telah direncanakan, melakukan evaluasi dan melakukan perbaikan. Menurut Suardi (2004) sistem manajemen mutu, menempatkan pelanggan sebagai unsur penting dengan cara meletakkan plan, do, check, dan action, sebagai metode perumusan seluruh proses operasi industri.

Perencanaan (planning) menurut Ely (Gafur, 1989) adalah suatu proses dan cara berpikir yang dapat membantu menciptakan hasil yang diharapkan. Menurut Siagian (1993) perencanaan pada dasarnya merupakan pengambilan keputusan sekarang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan. Berarti apabila fokusnya pada perencanaan usaha industri tempe, maka langkah-langkah atau kebijakan tertentu yang harus diambil pengrajin tempe guna


(47)

menjamin proses produksi berjalan sesuai tujuan yang ingin dicapai, untuk itu perencanaan memuat hal-hal yang berkaitan dengan strategi pengadaan bahan baku, penggunaan peralatan, tenaga kerja, modal, tempat usaha dan pemasaran.

Dalam mengelola usaha, pengrajin akan menghadapi berbagai ketidak pastian dan keterbatasan sumberdaya, untuk mencapai kinerja yang maksimal atau memperkecil risiko yang harus ditanggung pengrajin, maka membuat rencana usaha merupakan suatu kebutuhan. Menurut Gafur (1989) pentingnya suatu perencanaan adalah: (1) mengganti keberhasilan yang diperoleh secara tidak pasti, (2) sebagai alat untuk menemukan dan memecahkan masalah, dan (3) memanfaatkan sumberdaya secara efektif.

Produksi (do) merupakan implementasi dari rencana yang telah dibuat. Secara umum menurut Herjanto (2004) produksi merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan penciptaan/pembuatan barang, jasa, atau kombinasinya, melalui proses transformasi dari masukan sumber daya produksi (tenaga kerja, kedelai, modal, peralatan, manajemen atau metode, dan informasi) menjadi keluaran yang diinginkan (tempe yang bermutu).

Evaluasi merupakan pengukuran (Check) terhadap proses yang sedang dan sudah berjalan serta produk yang dihasilkan. Menurut Suardi (2004) evaluasi kinerja harus memberikan dasar mengenai apa yang seharusnya terjadi dengan usaha pada faktor atau bidang tertentu yang harus diperbaiki efektivitas, efisiensi, dan adaptibilitasnya. Evaluasi pada industri tempe mencakup mutu tempe, omset yang diperoleh. Mutu tempe merupakan pencerminan kedelai dan proses produksi yang baik, sedangkan omset mencerminkan kinerja pemasaran. Hasil evaluasi merupakan informasi yang harus ditindaklanjuti (action). Efektivitas tindakan perbaikan merupakan tolak ukur kemauan dan komitmen pengrajin tempe terhadap mutu.

Dengan mengidentifikasi pekerjaan pengrajin tempe, dapat diketahui kompetensi yang harus dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan, sebagai pembuat sekaligus sebagai pengelola usaha industri tempe. Identifikasi dilakukan melalui pengkajian proses pembuatan tempe grade I yang dikemukakan Rayandi (2008). Diagram alir proses pembuatan tempe grade I disajikan pada Gambar 1.


(48)

• Kedelai yang rusak atau busuk dibuang.

• Kedelai dibersihkan dari kotoran yang menempel/kerikil.

• Kedelai direbus selama 1-2 jam. Perebusan dilakukan untuk mematangkan dan mengembangkan kedelai.

• Kedelai ditekan-tekan menggunakan mesin memisah kulit.

• Kacang kedelai yang telah terlepas dari kulitnya direndam agar kulitnya mengambang.

• Kulit yang telah mengambang dibuang.

• Kedelai yang sudah bersih dari kulitnya, direndam di dalam air bersih selama 12 -15 jam.

• Kedelai direbus selama 1-2 jam. Perebusan bertujuan menghilangkan bau dan bakteri selama perendaman.

• Kedelai ditiriskan selama 1-2 jam, di atas tampah, dengan cara meletakkan kacang kedelai secara merata dan tipis.

• Kacang kedelai yang sudah dingin dan kering diinokulasi dengan ragi (kapang rhizopus).

• Jumlah ragi yang diberikan 2% dari berat kacang kedelai.

• Tempe dicetak dan dibungkus menggunakan daun pisang/pelastik. pembungkus harus dibuat berlubang-lubang agar ragi memperoleh udara selama

fermentasi.

• Ukuran cetakan sesuai permintaan pasar.

• Kacang kedelai yang telah dibungkus disimpan selama 36 jam di rak-rak.

• Penyimpanan tidak dilakukan dengan cara ditumpuk.

• Selanjutnya tempe ditutup dengan karung goni yang tidak pernah dibuka selama proses fermentasi.

• Pada poses peragian tangan pekerja dan peralatan harus steril, terutama dari garam.

• Dicari tempe yang tidak jadi/rusak disisihkan, agar tidak turut terjual.

Gambar 1: Diagram alir proses pembuatan tempe grade I

Kacang Kedelai

Mensortir dan membersihkan kacang kedelai

Merebus kacang kedelaiI

Mengupas dan memisahkan kulit kacang kedelai

Merendam kacang kedelai

Merebus kacang kedelai II

Meniriskan kacang kedelai Melakukan inokulasi Mencetak dan membungkus Melakukan fermentasi

Memanen dan mensortir tempe sebelum dijual


(1)

Korelasi Hubungan antara Sifat Wirausahan dengan Sikap

SIFAT_WIRAUSAHA SIKAP

Spearman's rho SIFAT_WIRAUSAHA Correlation Coefficient 1.000 0.283

Sig. (2-tailed) . 0.617

N 39 39

SIKAP Correlation Coefficient 0.283 1.000

Sig. (2-tailed) 0.617 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Sifat Wirausaha dengan Keterampilan

SIFAT_WIRAUSAHA KETERAMPILAN

Spearman's rho

SIFAT_WIRAUSAHA Correlation Coefficient 1.000 0.398

Sig. (2-tailed) . 0.227

N 39 39

KETERAMPILAN Correlation Coefficient 0.398 1.000

Sig. (2-tailed) 0.227 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Motivasi dengan Pengetahuan

PENGETAHUAN MOTIVASI

Spearman's rho PENGETAHUAN Correlation Coefficient 1.000 0.793(**)

Sig. (2-tailed) . 0.000

N 39 39

MOTIVASI Correlation Coefficient 0.793(**) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.000 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Motivasi dengan Sikap

MOTIVASI SIKAP

Spearman's rho MOTIVASI Correlation Coefficient 1.000 0.610(**)

Sig. (2-tailed) . 0.005

N 39 39

SIKAP Correlation Coefficient 0.610(**) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.005 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Motivasi dengan Keterampilan

MOTIVASI KETERAMPILAN

Spearman's rho MOTIVASI Correlation Coefficient 1.000 0.617(**)

Sig. (2-tailed) . 0.007

N 39 39

KETERAMPILAN Correlation Coefficient 0.617(**) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.007 .


(2)

Korelasi Hubungan antara Peluang Pasar dengan Pengetahuan

PELUANG_PASAR PENGETAHUAN

Spearman's rho PELUANG_PASA R

Correlation Coefficient 1.000 0.518(**)

Sig. (2-tailed) . 0.001

N 39 39

PENGETAHUAN Correlation Coefficient 0.518(**) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.001 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Peluang Pasar dengan Sikap

PELUANG_PASAR SIKAP

Spearman's rho PELUANG_PASAR Correlation Coefficient 1.000 0.459(**)

Sig. (2-tailed) . 0.002

N 39 39

SIKAP Correlation Coefficient 0.459(**) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.002 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Peluang Pasar dengan Keterampilan

PELUANG_PASAR KETERAMPILAN

Spearman's rho PELUANG_PASA R

Correlation

Coefficient 1.000 0.517(**)

Sig. (2-tailed) . 0.001

N 39 39

KETERAMPILAN Correlation

Coefficient 0.517(**) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.001 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Pengetahuan dengan Bahan Baku

BAHAN_BAKU PENGETAHUAN

Spearman's rho BAHAN_BAKU Correlation Coefficient 1.000 0.544(*)

Sig. (2-tailed) . 0.034

N 39 39

PENGETAHUAN Correlation Coefficient 0.544(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.034 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Bahan Baku dengan Sikap

BAHAN_BAKU SIKAP

Spearman's rho BAHAN_BAKU Correlation Coefficient 1.000 0.638(*)

Sig. (2-tailed) . 0.044

N 39 39

SIKAP Correlation Coefficient 0.638(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.044 .


(3)

Korelasi Hubungan antara Bahan Baku dengan Keterampilan

BAHAN_BAKU KETERAMPILAN

Spearman's rho BAHAN_BAKU Correlation Coefficient 1.000 0.500(*)

Sig. (2-tailed) . 0.021

N 39 39

KETERAMPILAN Correlation Coefficient 0.500(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.021 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Pengetahuan dengan Modal

PENGETAHUAN MODAL

Spearman's rho PENGETAHUAN Correlation Coefficient 1.000 0.495(*)

Sig. (2-tailed) . 0.031

N 39 39

MODAL Correlation Coefficient 0.495(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.031 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Modal dengan Sikap

MODAL SIKAP

Spearman's rho MODAL Correlation Coefficient 1.000 0.699(*)

Sig. (2-tailed) . 0.025

N 39 39

SIKAP Correlation Coefficient 0.699(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.025 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Modal dengan Keterampilan

MODAL KETERAMPILAN

Spearman's rho MODAL Correlation Coefficient 1.000 0.535(*)

Sig. (2-tailed) . 0.035

N 39 39

KETERAMPILAN Correlation Coefficient 0.535(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.035 .

N 39 39

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi Hubungan antara Tenaga Kerja dengan Pengetahuan

TENAGA_KERJA PENGETAHUAN

Spearman's rho

TENAGA_KERJA Correlation Coefficient

1.000 0.589

Sig. (2-tailed) . 0.133

N 39 39

PENGETAHUAN Correlation Coefficient 0.589 1.000

Sig. (2-tailed) 0.133 .


(4)

Korelasi Hubungan antara Tenaga Kerja dengan Sikap

TENAGA_KERJA SIKAP

Spearman's rho TENAGA_KERJA Correlation Coefficient 1.000 0.512

Sig. (2-tailed) . 0.943

N 39 39

SIKAP Correlation Coefficient 0.512 1.000

Sig. (2-tailed) 0.943 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Tenaga Kerja dengan Keterampilan

TENAGA_KERJA KETERAMPILAN

Spearman's rho TENAGA_KERJA Correlation Coefficient 1.000 0.407

Sig. (2-tailed) . 0.205

N 39 39

KETERAMPILAN Correlation Coefficient 0.407 1.000

Sig. (2-tailed) 0.205 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Kebijakan Pem dengan Pengetahuan

KEBIJAKAN_PEM PENGETAHUAN

Spearman's rho KEBIJAKAN_PEM Correlation Coefficient 1.000 0.240

Sig. (2-tailed) . 0.141

N 39 39

PENGETAHUAN Correlation Coefficient 0.240 1.000

Sig. (2-tailed) 0.141 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Kebijakan Pem dengan Sikap

KEBIJAKAN_PEM SIKAP

Spearman's rho KEBIJAKAN_PEM Correlation Coefficient 1.000 0.274

Sig. (2-tailed) . 0.654

N 39 39

SIKAP Correlation Coefficient 0.274 1.000

Sig. (2-tailed) 0.654 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Kebijakan Pem dengan Keterampilan

KEBIJAKAN_PEM KETERAMPILAN

Spearman's rho KEBIJAKAN_PEM Correlation Coefficient 1.000 0.268

Sig. (2-tailed) . 0.681

N 39 39

KETERAMPILAN Correlation Coefficient 0.268 1.000

Sig. (2-tailed) 0.681 .


(5)

Korelasi Hubungan antara Pengetahuan dengan Omzet

PENGETAHUAN OMZET

Spearman's rho PENGETAHUAN Correlation Coefficient 1.000 0.420(*)

Sig. (2-tailed) . 0.048

N 39 39

OMZET Correlation Coefficient 0.420(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.048 .

N 39 39

Korelasi Hubungan antara Pengetahuan dengan Mutu Tempe

PENGETAHUAN MUTU_TEMPE Spearman's rho PENGETAHUAN Correlation Coefficient 1.000 0.665(*)

Sig. (2-tailed) . 0.021

N 39 39

MUTU_TEMPE Correlation Coefficient 0.665(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.021 .

N 39 39

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi Hubungan antara Mutu Tempe dengan Sikap

MUTU_TEMPE SIKAP

Spearman's rho MUTU_TEMPE Correlation Coefficient 1.000 0.682(*)

Sig. (2-tailed) . 0.016

N 39 39

SIKAP Correlation Coefficient 0.682(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.016 .

N 39 39

* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Korelasi Hubungan antara Sikap dengan Omzet

SIKAP OMZET

Spearman's rho SIKAP Correlation Coefficient 1.000 0.330(*)

Sig. (2-tailed) . 0.040

N 39 39

OMZET Correlation Coefficient 0.330(*) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.040 .

N 39 39

* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Korelasi Hubungan antara Keterampilan dengan Mutu Tempe

KETERAMPILAN MUTU_TEMPE

Spearman's rho KETERAMPILAN Correlation Coefficient 1.000 0.675(**)

Sig. (2-tailed) . 0.008

N 39 39

MUTU_TEMPE Correlation Coefficient 0.675(**) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.008 .


(6)

Korelasi Hubungan antara Keterampilan dengan Omzet

KETERAMPILAN MUTU_TEMPE

Spearman's rho KETERAMPILAN Correlation Coefficient 1.000 0.723(**)

Sig. (2-tailed) . 0.000

N 39 39

MUTU_TEMPE Correlation Coefficient 0.723(**) 1.000

Sig. (2-tailed) 0.000 .