V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Secara geografis, Kabupaten Cianjur terletak antara 106 ,42’ – 107
,25’ BT, dan 6
,21’– 7 ,25’ LS. Berjarak 65 km dari Kota Bandung Ibu Kota Provinsi
Jawa Barat, dan 120 km dari DKI Jakarta, Ibu Kota Negara RI. Secara administratif Kabupaten Cianjur berbatasan dengan:
• Sebelah Utara: Berbatasan dengan Wilayah Kabupaten Bogor dan Purwakarta
• Sebelah Timur: Berbatasan dengan Wilayah Kabupaten Bandung dan Garut • Sebelah Selatan: Berbatasan dengan Samudra Indonesia
• Sebelah Barat: Berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi
Luas wilayah Kabupaten Cianjur adalah 350.148 hektar 3.501,47 km
2
, terdiri dari lahan sawah 62.894 hektar dan lahan darat 287.254 hektar, dengan
jumlah penduduk 2.125.023 jiwa. Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama, penduduk yang bekerja pada sektor ini mencapai 57,49. Sektor industri
sebanyak 4,54. Mata pencaharian penduduk yang berusia di atas 10 tahun tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Mata pencaharian penduduk yang berusia di atas 10 tahun di Kabupaten Cianjur
Uraian Jumlah Persen
1. Pertanian 503.090
57,49 2. Pertambangan galian
4.313 0,49
3. Industri 39.717
4,54 4. Listrik, gas dan air
1.782 0,20
5. Konstruksi 44.763
5,12 6. Perdagangan
153.497 17,54
7. Traspor dan komunikasi 63.483
7,25 8. Keuangan
9.730 1,11
9. Jasa 54.745
6,26
Jumlah 875.120 100
Sumber. BPS. Kab. Cianjur. 2006
Penduduk berusia di atas 10 tahun sebagian besar berpendidikan SDMI 52,39, yang berpendidikan sarjana mencapai 1,81. Tingkat pendidikan
penduduk berusia di atas 10 tahun secara rinci disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat pendidikan penduduk yang berusia di atas 10 tahun
di Kabupaten Cianjur
Uraian Jumlah
Persen
1. Tidak pernah sekolah 39.820
2.34 2. Tidakbelum tamat SD
450.995 26,46
3. SDMI 892.987
52,39 4. SMPMTs
174.878 10,25
5. SMASMKMA 115.008
6,75 6. S1
30.800 1,81
Jumlah 170.448.8 100
Sumber. BPS. Kab. Cianjur. 2006
5.2. Gambaran Umum Usaha Kecil Industri Tempe 5.2.1. Pengrajin Tempe
Pengrajin tempe berusia rata-rata 38,8 tahun, dengan rentang 25-50 tahun, 82 berpendidikan SD dan SMP, dengan rentang tidak tamat SD-SMA.
Proses belajar membuat tempe diperoleh melalui magang atau bekerja pada industri tempe milik orang tua atau orang lain. Lamanya proses belajar, dilakukan
sampai mampu membuat tempe sendiri atau terbukanya kesempatan untuk mempunyai usaha sendiri, biasanya berlangsung selama 1-5 tahun. Selain
sebagai pengrajin tempe sebanyak 5 orang 12,8 memiliki pekerjaan lain yang sifatnya kerja “sampingan”.
Tiga tahun terakhir, sebanyak 7 orang pengrajin 17,9 dari seluruh responden memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan atau penataran yang
berkaitan dengan pengembangan usaha kecil, diselenggarakan oleh dinas terkait. Pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan teknologi pembuatan
tempe belum ada. Kompetensi pengrajin tempe dalam penelitian ini adalah kemampuan
atau kecakapan yang dimiliki dalam bentuk 1 pengetahuan, 2 sikap mental, dan 3 keterampilan, dalam bidang: membuat rencana usaha, memproduksi
dan memasarkan hasil produksi, melakukan evaluasi kinerja usaha, dan melakukan perbaikan mutu. Kompetensi pengrajin tempe termasuk dalam
kategori baik Tabel 12 Tujuan pengrajin tempe menjadi anggota KOPTI adalah memperoleh
kedelai dengan harga murah dibandingkan dengan harga di pasar. Dicabutnya subsidi harga kedelai oleh pemerintah menjadikan harga kedelai di KOPTI relatif
sama dengan harga di pasar. Kondisi ini berdampak kepada mengendurnya hubungan pengrajin tempe dengan KOPTI, juga hubungan antar anggota.
Kurangnya komunikasi antar anggota KOPTI dan sifat wirausaha yang dimiliki pengrajin tempe termasuk dalam kategori cukup Tabel 7, serta belum
adanya penyuluhan untuk usaha industri tempe, diduga menjadi penyebab kurangnya kesadaran pengrajin tempe akan kebutuhan
terhadap informasi inovasi baru. Kondisi ini dapat dilihat dari teknologi pembuatan tempe dan
strategi pemasaran yang tidak mengalami perubahan nyata dan tidak adanya diversifikasi produk.
Menurut Rogers dan Shoemaker 1986 jika seseorang sadar akan kebutuhannya, maka akan berusaha mencari informasi-informasi mengenai hal-
hal baru, inovasi baru, guna memenuhi kebutuhannya, selanjutnya dengan informasi yang didapat digunakan untuk memperbaiki hal-hal yang perlu
diperbaharui. Kesadaran pengrajin tempe terhadap perlunya peningkatan kualitas
individu, sebagai insan yang dianugrahi Tuhan akal budi perlu didorong. Menurut Susanto Yustina dan Sudradjat, 2008 penumbuh-kembangan akal budi dan
pengendalian kehendak bebas hanya dapat terjadi dan tercapai jika individu- individu terpanggil dan terdorong secara sadar untuk senantiasa berada di dalam
nuansa belajar. Selanjutnya Susanto menjelaskan pengertian ‘belajar’ tidak selalu harus diartikan sebagai menimba pengetahuan di bangku sekolah atau
bangku kuliah, belajar dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan belajar apa saja yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Belum maksimalnya kesadaran pengrajin tempe terhadap perlunya belajar untuk meningkatkan kompetensinya, selain disebabkan belum adanya program
penyuluhan juga dapat disebabkan oleh faktor individu. Menurut Susanto Yustina dan Sudradjat, 2008 hal ini umumnya disebabkan: 1 lemahnya
dorongan subyek untuk melakukan perubahan , antara lain karena subyek telah merasa puas dengan status quo-nya, walaupun mungkin kualitas sumber daya
manusianya tergolong rendah, dan 2 lemahnya dorongan atau minat subyek untuk melibatkan diri dalam proses ‘belajar’.
5.2.2. Industri Tempe
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 1995, pasal 5, maka usaha industri tempe yang menjadi obyek penelitian ini termasuk dalam kategori
usaha kecil, karena memiliki omset hasil penjualan tahunan tidak lebih 1 miliar rupiah kisaran omset usaha industri tempe per tahun antara Rp. 7.200.000 –
Rp. 820.000.000. Setiap industri tempe memiliki tenaga kerja yang jumlahnya 1- 3
orang, dengan hasil produksi 1.200 kg – 11.400 kgbulan. Mutu tempe yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah industri tempe berdasarkan
mutu tempe yang diproduksi
Mutu Tempe Jumlah
Industri Persen
1. Grade I Sangat baikSuper 2
5,13 2. Grade II Baik
27 69,23
3. Grade III Cukup baik 7
17,95 4. Grade IV Kurang baik
3 7,69
Jumlah 39 100
Sebanyak 69,23 industri tempe memproduksi tempe mutu grade II baik, grade I sangat baiksuper, diproduksi oleh dua industri 5,13. Tempe
grade II adalah tempe yang kandungan kedelainya 100, dan kedelainya direbus sebanyak satu kali, sedangkan tempe grade I, kandungan kedelainya
sama dengan tempe grade II namun kedelainya direbus sebanyak dua kali. Perebusan kedelai yang dilakukan sebanyak dua kali akan menambah
biaya produksi untuk bahan bakar, sedangkan rasa tempe grade I dengan grade II tidak berbeda nyata. Tempe grade I dapat simpan selama 3 hari,
sedangkan tempe grade II selama 2 hari, lebih dari itu tempe akan mengalami proses pembusukan. Jumlah industri tempe yang
melakukan perebusan kedelai sebanyak satu kali, mencapai 94,87. Proses produksi yang dilakukan pengrajin
tempe disajikan pada Gambar 3.
• Kedelai yang rusak atau busuk dibuang.
• Kedelai dibersihkan dari kotoran yang
menempelkerikil. •
Kedelai direbus selama 1-2 jam, dengan air bersih seluruh air yang digunakan dalam proses pembuatan
tempe tidak mengandung garam dan kaporit. •
Perebusan dilakukan untuk mematangkan dan mengembangkan kedelai.
• Kedelai yang sudah direbus direndam di dalam air
bersih selama 12 -15 jam. •
Kedelai ditekan-tekan menggunakan mesin pemisah kulit.
• Kedelai yang kulitnya sudah terlepas direndam dalam
air agar kulitnya mengambang •
Kulit yang telah mengambang dibuang. •
Kedelai ditiriskan selama 1-2 jam, di atas tampah, dengan cara meletakkan kacang kedelai secara
merata dan tipis.
• Kacang kedelai yang sudah dingin dan kering
diinokulasi dengan ragi kapang rhizopus. •
Jumlah ragi yang diberikan 2 dari berat kacang kedelai.
• Tempe dicetak dan dibungkus menggunakan daun pisangpelastik. pembungkus harus dibuat berlubang-
lubang agar ragi memperoleh udara selama fermentasi.
• Ukuran cetakan sesuai permintaan pasar.
• Kacang kedelai yang telah dibungkus disimpan selama
36-38 jam di rak-rak. •
Penyimpanan tidak dilakukan dengan cara ditumpuk. •
Pada poses peragian tangan pekerja dan peralatan harus steril, terutama dari garam.
• Dicari tempe yang tidak jadirusak disisihkan, agar
tidak turut terjual.
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan tempe grade II.
Kacang Kedelai Mensortir dan membersihkan
kacang kedelai Merebus kacang kedelai
Merendam kacang kedelai Mengupas dan memisahkan
kulit kacang kedelai
Meniriskan kacang kedelai
Melakukan inokulasi
Mencetak dan membungkus
Melakukan fermentasi
Memanen dan mensortir tempe sebelum dijual
Tempe siap dijual
Secara umum masalah yang dihadapi usaha industri tempe adalah: • Harga kedelai terus naik hingga 110 dari harga normal Rp 3.500 – Rp 4.000
menjadi Rp 8.000 per kg. Lonjakan kenaikan harga kedelai terjadi sejak bulan November 2007 Mustofa, 2008.
• Adanya persaingan yang kurang sehat antar pengrajin, yang dilakukan dengan cara menurunkan harga jual tempe.
• Belum adanya program penyuluhan dari instansi terkait.
5.3. Identifikasi Faktor Internal Pengrajin Tempe
Menurut Rogers dan Shoemaker 1986 karateristik individu adalah bagian dari diri pribadi dan melekat pada diri seseorang, karateristik mendasari tingkah
laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi yang lain. Karateristik individu disini merupakan
faktor internal pengrajin tempe yang berhubungan dengan kompetensi . Kelima faktor tersebut disajikan pada
Tabel 7. Tabel 7 Identifikasi faktor internal pengrajin tempe
No Faktor Internal
Rataan Kisaran Kategori
Persen
1. Usia 38,8
tahun sedang
25 – 50 tahun
sangat muda ≤ 31 tahun
muda 31,1- 37 tahun sedang 37,1 - 43 tahun
tua 43 tahun 10,3
33,3 48,7
7,7 2. Pengalaman
15,1 tahun
cukup 5 – 30
tahun kurang
≤ 12 tahun cukup 12,1 - 18 tahun
lama 18,1 - 24 tahun sangat lama 24 tahun
25,6 38,2
28,5 7,7
3. Pendidikan formal
SMP tamat
SMP Tidak tamat
SD-SMA tidak tamat SD
tamat SD tamat SMP
tamat SMA 10,1
35,9 46,1
7,9 4. Sifat
wirausaha Skor 91,1
cukup Skor
82 – 107 kurang skor
≤ 89 cukup skor 89,1 - 95
baik skor 95,1 - 101 sangat baik skor 101
18,0 61,5
17,9 2,6
5. Motivasi Skor
24,3 tinggi
Skor 15 – 28
kurang skor ≤ 18,3
cukup skor 18,4 - 21,6 tinggi skor 21,7 - 25,0
sangat tinggi skor 25,0 12,8
23,1 56,4
7.7
Keterangan: n = 39. persen dari jumlah responden
5.3.1. Usia
Tabel 7 menunjukkan pada umumnya usia pengrajin tempe termasuk dalam kategori sedang, dengan usia rata-rata 38,8 tahun. Kisaran usia tersebut
termasuk dalam kelompok usia produktif atau usia kerja. Tenaga kerja atau manpower umumnya adalah mereka yang berusia antara 15 – 65 tahun, di
mana pada usia tersebut seseorang sedang memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat, serta mencoba untuk berkarier Syahyuti,
2006. Aktivitas dan tujuan hidup orang-orang yang berada pada kelompok usia produktif, menjadikan usia berpengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi kerja
Hurlock dalam Riyanti, 2003. Pengrajin tempe yang berusia di bawah atau sama dengan 31 tahun
sebanyak 10,3, hal ini menunjukkan bahwa usaha industri tempe diduga kurang menarik bagi orang-orang yang berusia sangat muda, karena usaha ini
dinilai kurang menguntungkan. Banyak industri kecil yang menggunakan
kedelai sebagai bahan baku, tidak mampu beroperasi Mustofa, 2008. Naiknya harga kedelai dan biaya produksi secara terus menerus, tidak dapat diimbangi
dengan menaikkan harga jual tempe, hal ini disebabkan lemahnya daya beli masyarakat, data BPS 2004-2007 menunjukkan kenaikan harga sembako
melampaui kenaikan daya beli masyarakat.
5.3.2. Pengalaman
Pengalaman yang dimiliki pengrajin tempe rata-rata mencapai 15,1 tahun, dengan kisaran 5-30 tahun. Pengalaman hampir merata pada setiap kelompok
dengan penyebaran kategori sebagai berikut: kurang 25,6, cukup 38,2, lama 28,5 dan sangat lama 7,7.
Pengalaman mengelola usaha memberi dampak positif terhadap perkembangan usaha, karena dengan pengalaman seseorang akan dapat
mengendalikan jalannya usaha walaupun menghadapi berbagai kendala. Semakin banyak memiliki pengalaman, akan semakin tangguh dalam
menjalankan usaha. Menurut Haswell Riyanti, 2003 pentingnya memiliki pengalaman dalam mengelola usaha kecil disebabkan umumnya kegagalan
usaha disebabkan kurangnya pengalaman, terutama pada saat menghadapi berbagai masalah.
5.3.3. Pendidikan Formal
Pendidikan formal pengrajin tempe pada umumnya adalah tamatan SMP 46,1, dan SD 35,9. Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak pengrajin tempe dalam mengelola usahanya. Pendidikan yang pernah diperoleh seseorang akan mempengaruhi pandangan dan
tindakannya. Dillon dan Hardaker 1985 berpendapat bahwa pendidikan dapat mengubah pola pikir dan daya nalar seseorang. Slamet 1992 mengemukakan
bahwa pendidikan seseorang mempengaruhi perilaku individu, baik dari segi pengetahuan, sikap maupun keterampilan.
Riyanti 2003 berpendapat bahwa pendidikan memainkan peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah, dan mengoreksi
penyimpangan. Meskipun pendidikan formal bukan syarat untuk dapat mengelola usaha, namun pengetahuan yang diperoleh pada saat mengikuti pendidikan
formal, memberi dasar yang baik untuk mengelola usaha. Menurut Soekanto 2002 pendidikan mengajarkan kepada individu berbagai macam kemampuan.
Pendidikan memberi nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru yang lebih baik dan juga bagaimana cara
berpikir ilmiah Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas maka pengrajin yang
memiliki pendidikan lebih tinggi memiliki peluang untuk berhasil lebih besar dari pada pengrajin yang berpendidikan lebih rendah. Karena pengrajin yang
berpendidikan lebih tinggi lebih memiliki berbagai pengetahuan yang dapat membantunya dalam mengelola usaha, dan lebih mudah serta lebih kritis dalam
memahami persoalan usaha yang dihadapi. Pengrajin yang berpendidikan lebih tinggi akan lebih mudah belajar untuk menjadi lebih baik.
5.3.4. Sifat Wirausaha
Seorang wirausahawan mampu melihat dan menilai peluang-peluang usaha, serta mampu mengoptimalisasikan sumberdaya yang dikuasai, serta
mengambil tindakan dan bermotivasi tinggi dalam mengambil risiko untuk mencapai tujuan usaha Syahyuti, 2006
Sifat wirausaha yang dimiliki pengrajin tempe termasuk dalam kategori cukup, data tersebut mununjukkan bahwa dalam mengelola usaha pengrajin
tempe belum didukung oleh sifat wirausaha yang sangat baik, yang secara nyata mempengaruhi keberhasilan dalam mengelola usaha. Menurut Riyanti 2003
sebagian besar keberhasilan usaha khususnya usaha kecil, sangat ditentukan oleh kepribadian wirausaha yang dimiliki pengrajin.
Kadarisman 2007 berpendapat bahwa kegiatan usaha kecil yang bergerak di bidang apapun, sesungguhnya adalah proses pembelajaran bagi
pengusaha untuk memperoleh sifat dan semangat wirausaha. Pendapat ini, mengandung arti bahwa kegiatan usaha kecil dapat menumbuhkan dan
mengembangkan sifat dan semangat wirausaha, serta berpengaruh secara positif terhadap kompetensi pengrajin dalam mengelola usaha industri tempe.
Dengan demikian pengrajin tempe yang rata-rata telah mengelola usaha selama 15,1 tahun belum
menjadikan kegiatan usahanya sebagai tempat menumbuh kembangkan sifat-sifat wirausaha.
5.3.5. Motivasi
Kinerja usaha tempe sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan semangat kerja pimpinan beserta pekerjanya. Agar semangat kerja dapat ditingkatkan
diperlukan suatu motivasi. Keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh
kemauannya untuk berubah, yang menurut Alma 2006 disebut motivasi. Motivasi pengrajin tempe rata-rata termasuk dalam kategori tinggi, dengan skor
rata-rata 24,3 pada rentang skor 15-28. Motif utama pengrajin mendirikan usaha industri tempe adalah 1 kebutuhan akan pekerjaan untuk mendapatkan
uang, 2 pasar tempe relatif stabil dan 3 tidak memiliki pilihan profesi selain sebagai pengrajin tempe.
Bila dilihat dari motif pengrajin memiliki usaha industri tempe, maka berdasarkan teori Maslow pengrajin tempe masih berada pada kategori
pemenuhan kebutuhan fisiologis Physiological needs dan keamanan safety needs. Berkaitan dengan teori Maslow, Alma 2006 berpendapat bila suatu
tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka akan muncul tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, namun ini tidak berarti tingkat kebutuhan yang lebih rendah harus
terpenuhi seratus persen, baru muncul kebutuhan yang lebih tinggi lagi. Berdasarkan teori Maslow dapat diketahui bahwa motivasi seseorang sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapainya.
5.4. Identifikasi Faktor Eksternal Pengrajin Tempe
Faktor eksternal pengrajin tempe yang berhubungan dengan kompetensi dalam penelitian ini adalah: 1 peluang pasar, 2 bahan baku, 3 modal,
4 tenaga kerja, dan 5 kebijakan pemerintah. Secara umum faktor eksternal termasuk dalam kategori cukup, kecuali faktor tenaga kerja termasuk dalam
kategori berkompeten. Kelima faktor tersebut masing-masing memiliki karateristik yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Identifikasi faktor eksternal pengrajin tempe
No Faktor Eksternal
Rataan Kisaran
Kategori
Persen
1. Peluang pasar
Skor 29,3 cukup
Skor 21 – 41
kurang skor ≤ 25
cukup skor 25,1– 30 besar skor 30,1 – 35
sangat besar skor 35 23,1
43,6 25,6
7,7 2. Bahan
baku Skor 22,0
cukup Skor
18 – 34 kurang skor
≤ 22 cukup skor 22,1 – 26
tersedia skor 26,1 – 31 sangat tersedia skor 31
23,1 48,7
23,1 5,1
3. Modal Skor
6,9 cukup
Skor 4 -12
kurang skor ≤ 6
cukup skor 6,1 – 8 kuat skor 8,1 – 10
kangat kuat 10 43,7
48,6 5,1
2,6 4. Tenaga
kerja Skor 11,0
berkompe ten
Skor 5 - 14
kurang berkompeten skor ≤ 7,25
cukup berkompeten skor 7,26-9,5 berkompeten skor 9,6-11,75
sangat berkompeten skor 11,75 7,7
31,3 53,3
7,7 5. Kebijakan
pemerintah Skor 4,5
kurang setuju
Skor 2 - 8
tidak setuju skor ≤ 3,5
kurang setuju skor 3,6-5,0 setuju skor 5,1-6,5
sangat setuju skor 6,5 2,6
61,5 28,2
7,7
Keterangan: n = 39 persen dari jumlah responden
5.4.1. Peluang Pasar
Peluang pasar rata-rata termasuk dalam kategori cukup 43,6, sedangkan yang termasuk dalam kategori berpeluang besar sebanyak 25,6.
Data tersebut menunjukkan bahwa pasar tempe masih terbuka, walaupun peluangnya tidak besar. Potensi pasar dapat ditingkatkan dengan
memproduksi tempe mutu super atau diversifikasi produk, seperti keripik tempe dan formula tempe.
Mendapatkan peluang pasar bagi pengrajin tempe tidak mudah, yang menjadi kendala adalah tidak memiliki teknologi yang dapat meningkatkan nilai
tambah dari produk tempe atau mengurangi biaya produksi. Harga kedelai dan bahan bakar yang terus naik, dan menurunnya daya beli masyarakat, menjadikan
pengrajin tidak aktif mencari peluang pasar. Berdasarkan pendapat Zimmerer Suryana, 2003 dapat diketahui bahwa
peluang pasar tidak dapat diperoleh pengrajin tempe apabila 1 tidak aktif mencari peluang pasar, 2 tidak memiliki teknologi tepat guna yang menjadikan
usaha atau hasil produksi mempunyai nilai kompetitif, dan 3 tidak mempunyai strategi dalam memasarkan tempe.
5.4.2. Bahan Baku
Ketersediaan kedelai sebagai bahan baku tempe secara umum termasuk dalam kategori cukup 48,7, berdasarkan jumlah, mutu, dan waktu sesuai
kebutuhan. Dengan harga berfluktuasi setiap saat secara tajam. Kelancaran produksi dapat terjamin apabila pengrajin tempe berupaya
menjaga ketersediaan dan kesinambungan kedelai dengan cara tidak bergantung hanya kepada satu pemasok. Selain kepada KOPTI, pengrajin
membina hubungan baik dengan pedagang kedelai yang banyak terdapat di Pasar Induk Cianjur. Menurut Meredith, dkk 2005 untuk menjamin proses
produksi berjalan lancar, pengusaha harus memelihara hubungan baik dengan para pemasok, dan harus mampu membeli bahan dalam jumlah yang cukup,
sehingga proses produksi terjamin kesinambungannya.
5.4.3. Modal
Pada umumnya permodalan usaha kecil masih lemah, modal yang dikelola biasanya adalah milik pribadi atau keluarga. Bagi pengrajin usaha kecil
untuk memperoleh tambahan modal melalui lembaga keuangan seperti bank bukan sesuatu yang mudah. Selama ini usaha kecil dituntut untuk memenuhi
kriteria layak bank bankable, yakni mengharuskan usaha kecil memiliki kelayakan usaha sesuai kriteria perbankan. Di sisi lain tidak semua pengrajin
tempe menginginkan memperoleh bantuan modal, menurut Alma 2006 terdapat pengusaha yang tidak mau berhutang, karena takut hutang tersebut
menjadi beban hidup. Seperti disajikan pada Tabel 8,
bahwa modal rata-rata yang dimiliki pengrajin tempe termasuk dalam kategori cukup 48,6, dengan demikian
sebagian besar pengrajin tempe tidak memiliki masalah dengan modal.
Tingginya persentase pengrajin tempe yang tidak mempunyai kendala dengan modal, bukan berarti pengrajin tidak membutuhkan tambahan modal, tetapi lebih
pada pertimbangan: • Penambahan kapasitas produksi pada saat ini belum menguntungkan, karena
harga kedelai yang terus berfluktuasi, sedangkan harga tempe sulit dinaikan. • Proses untuk memperoleh kredit masih dirasakan tidak sederhana.
• Kurang tersedia informasi fasilitas perbankan yang mudah dan murah.
Menurut Dani dan Triyono 1994, masih banyak usaha kecil menghadapi kendala dalam memperoleh fasilitas modal yang disediakan lembaga perbankan,
disebabkan: 1 tidak memiliki informasi yang cukup tentang fasilitas modal yang tersedia, 2 kendala memenuhi persyaratan teknis dan administrasi yang
ditetapkan lembaga keuangan terutama perbankan dan 3 tidak dapat membuat proposal dengan baik.
5.4.4. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan partner bagi pengrajin tempe, oleh karena itu tidak boleh terjadi pertentangan kepentingan antara pekerja dengan pengrajin
sebagai pemilik usaha, sebab mereka saling membantu dan membutuhkan dalam menghasilan tempe Alma, 2006
Kompetensi rata-rata tenaga kerja pada industri tempe, termasuk dalam kategori berkompeten. Kompetensi yang dimiliki tenaga kerja dalam penelitian
ini adalah kemampuan atau kecakapan yang dimiliki dalam bentuk 1 pengetahuan, 2 sikap, dan 3 keterampilan dalam bidang produksi.
Tenaga kerja yang termasuk dalam kategori cukup dan kurang mencapai 39; hal ini disebabkan tenaga kerja yang sudah menguasai cara membuat
tempe, umumnya akan berhenti untuk mencoba membuka usaha sendiri. Dengan demikian pengrajin tempe harus mencari tenaga kerja pengganti yang
tentunya harus mengajarkan kembali .
Memiliki tenaga kerja yang mau mencurahkan kemampuannya secara total harus diciptakan, dikondisikan dan diajarkan oleh pemilik usaha. Kebebasan
dan wewenang perlu diberikan kepada tenaga kerja agar termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Keterlibatan tenaga kerja secara menyeluruh,
akan menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab, serta mendorong keinginan untuk meningkatkan kompetensi.
Menurut Suardi 2004 proses pembelajaran dapat dilakukan dengan cara memberdayakan dan memberi kesempatan kepada tenaga kerja untuk
merencanakan, menerapkan dan mengendalikan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Namun demikian setiap orang mempunyai hak untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Pengrajin sebagai pimpinan usaha tidak dapat menahan tenaga kerjanya yang ingin mandiri.
5.4.5. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah rata-rata termasuk dalam kategori kurang setuju. Unsur-unsur yang menjadi kebijakan pemerintah adalah penghapusan subsidi
harga kedelai dan ketergantungan pada kedelai impor. Kebijakan pemerintah tentang penghapusan subsidi harga kedelai di
tengah naiknya harga BBM dan menurunnya daya beli masyarakat, sulit dipahami oleh pengrajin tempe. Penghapusan subsidi kedelai telah memicu
kenaikan harga kedelai sampai 110. Kebijakan pemerintah mengimpor kedelai untuk menutupi kebutuhan dalam negeri, tidak disertai peningkatan produksi
kedelai lokal Astuti, 2008. Harga kedelai yang berfluktuasi setiap hari merupakan beban berat bagi
industri tempe. Kondisi ini menjadi semakin sulit karena terbatasnya pasokan kedelai lokal yang diharapkan bisa mengganti penggunaan kedelai impor.
Menurut Mulyo 2008 sejak awal tahun 1990, produksi kacang kedelai lokal terus menurun sampai hilang dari pasar, hal ini disebabkan masuknya
kedelai impor hingga mencapai 80. Pada saat ini harga 1 kg kedelai mencapai Rp 8.000, sedangkan harga normal Rp 3.500 - Rp 4.000. Tingginya kenaikan
harga kedelai menyebabkan bertambahnya biaya produksi, sehingga pengrajin tempe dengan modal terbatas yang pada umumnya hanya dapat membeli
kedelai sekitar 25 kg, menghentikan usahanya. Menurut Mustofa 2008 lonjakan kenaikan harga kedelai yang terjadi sejak bulan Nopember 2007,
mengakibatkan industri tempe yang menggunakan kedelai kurang dari 25 kg tidak mampu lagi berproduksi.
5.5. Identifikasi Kompetensi Pengrajin Tempe
Kata kompetensi digunakan untuk menunjukkan tekanan pada kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
‘dimiliki’ Suparno, 2001. Menurut Spencer dan Spencer 1993 kompetensi
merupakan karateristik mendasar seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif, sesuai dengan kinerja yang ditentukan dalam
suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja seseorang dalam situasi dan peran yang bermacam-macam. Tingkat
kompetensi seseorang dapat digunakan untuk memprediksi seseorang akan kemampuannya menyelesaikan pekerjaan dengan benar.
Menurut Suparno 2001 kompetensi adalah kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas dengan persyaratan yang ditentukan. Seorang
pengrajin tempe dengan tugas dan fungsi sebagai pemilik, tenaga kerja dan pengelola usaha, melakukan perencanaan plan usaha, membuat dan
memasarkan tempe do, melakukan evaluasi check, dan melakukan perbaikan mutu action.
Berdasarkan definisi kompetensi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan kewenangan yang
dimiliki seseorang untuk melakukan sesuatu, yang didasari pada pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikuasai dan telah menjadi bagian dari dirinya,
sesuai dengan prosedur untuk menghasilkan produk yang baik. Kompetensi dalam penelitian ini adalah kemampuan atau kecakapan yang
dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk 1 pengetahuan, 2 sikap, dan 3 keterampilan, dalam bidang: perencanaan usaha, proses produksi, pemasaran,
evaluasi kinerja usaha, dan perbaikan mutu.
5.5.1. Kompetensi dalam bentuk pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu unsur kompetensi, menurut Purwanto 2002 mutu dan jumlah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan jenis
pengetahuan yang dikuasai memegang peran penting dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Menurut Sumardjo Yustina dan Sudrajat, 2008 pengetahuan
adalah informasi yang dimiliki seseorang pada bidang tertentu. Bruner Suparno, 2001 mengemukakan bahwa pengetahuan selalu dapat
diperbaharui, dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan intelektual individu. Pengetahuan bukan produk, melainkan suatu proses, yang
menurut Bruner proses tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu: 1 proses mendapatkan informasi baru yang sering kali merupakan pengganti yang telah
diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya,
2 proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, 3 proses mengevaluasi cara pengolahan informasi.
Pengetahuan pengrajin tempe telah berproses sesuai perjalanan waktu, dimulai sejak belajar membuat tempe sampai mengelola industri tempe milik
sendiri. Pengetahuan pengrajin tempe yang diperoleh di lapangan
dapat dibagi
menjadi dua, yaitu 1 pengetahuan tentang proses produksi dan 2 pengetahuan tentang pengelolaan usaha industri tempe.
1 Pengetahuan proses produksi tempe meliputi: • Penggunaan peralatan
• Pemilahan bahan yang digunakan kedelai, kapang, air • Teknis pembutan tempe
• Perawatan peralatan kompor, rak fermentasi, tampah, ember, tong,
cetakan, pengaduk kayu, dandang, timbangan 2 Pengetahuan pengelolaan usaha industi tempe meliputi:
• Pengelolaan dan pembukuan keuangan • Pengadaan kedelai
• Tenaga kerja • Pemasaran
Pengetahuan pengrajin tempe berdasarkan data yang diperoleh, sebagaimana diuraikan di atas belum mencakup pengetahuan tentang
kebersihan ruang dan lingkungan kerja, keamanan pangan, keselamatan kerja, perencanaan usaha, pemasaran, evaluasi kinerja usaha, perbaikan mutu, dan
pengembangan mutu. Kondisi ini disebabkan pengrajin tempe masih mengutamakan hal-hal yang berhubungan langsung dengan produksi.
Kompetensi pengrajin tempe dalam bentuk pengetahuan tentang: memproduksi dan memasarkan tempe, melakukan evaluasi kinerja usaha, serta
melakukan perbaikan mutu, termasuk dalam kategori cukup Tabel 9. Hal ini disebabkan rendahnya skor perencanaan usaha, yang masuk dalam kategori
kurang skor 1,45. Ketidak tahuan pengrajin mengenai cara membuat rencana usaha, dan juga anggapan bahwa proses produksi dan pemasaran tidak
membutuhkan perencanaan. Menurut Partomo dan Soejoedono 2004 ciri umum usaha kecil adalah sedikit menggunakan proses perencanaan.
Proses produksi dan pemasaran merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari, dan telah berlangsung bertahun-tahun tanpa mengalami
perubahan nyata, sehingga apabila rencana usaha khususnya yang berbentuk dokumen tidak dibuat, tidak akan mengganggu jalannya usaha. Menurut Gafur
1989 meskipun membuat rencana akan memperoleh banyak keuntungan, namun banyak pengrajin menganggap perencanaan menghabiskan waktu,
tenaga dan biaya. Data skor kompetensi pengrajin tempe dalam bentuk pengetahuan tersaji pada Tabel 9.
Tabel 9 Skor kompetensi dalam bentuk pengetahuan
No Bidang Pengetahuan
Skor Kategori
1. Membuat rencana usaha 1,45
Kurang 2. Memproduksi
3,21 Baik
3. Memasarkan hasil
produksi 2,51
Baik 4.
Melakukan evaluasi kinerja usaha 2,27 Cukup
5. Melakukan perbaikan mutu
2,08 Cukup
Rataan 2.30 Cukup
Keterangan: n = 39 skor
≤ 1,75 = Kurang
1,75 – 2,50 = Cukup
2,50 – 3,26 = Baik
3,26 = Sangat baik
Tabel 9 menunjukkan memproduksi dan memasarkan termasuk dalam kategori baik, evaluasi kinerja usaha dan perbaikan mutu, termasuk dalam
kategori cukup. Pengetahuan pengrajin tentang cara memproduksi tempe termasuk dalam kategori baik, hal ini disebabkan selain sebagai pemilik usaha,
pengrajin juga sebagai pekerja dengan pengalaman berkisar 5 – 30 tahun Tabel 7. Pengetahuan pengrajin tempe tentang pemasaran masuk kategori baik, hal
ini disebabkan selain membuat tempe pengrajin juga berperan sebagai penjual. Pengetahuan pengrajin tempe yang berkaitan dengan evaluasi kinerja
dan perbaikan mutu, termasuk dalam kategori cukup. Kurangnya pengetahuan cara membuat instrumen evaluai dan perbaikan mutu, menjadikan pengrajin tidak
melakukan proses evaluasi dan perbaikan mutu secara terprogram dan terdokumentasi secara benar.
5.5.2. Kompetensi dalam bentuk sikap
Sikap merupakan salah satu unsur kompetensi, sehingga baik buruknya sikap seseorang akan mempengaruhi kompetensi yang dimilikinya. Menurut
Thomas dan Znoniechi Ravianto, 1986 sikap adalah proses mental yang berlaku individu, yang menentukan respons-respons, baik yang nyata ataupun
yang potensial, dari setiap orang yang berada dalam kehidupan sosial. Menurut Rochman Ravianto, 1986 sikap adalah kesediaan mental
individu yang mempengaruhi, mewarnai bahkan menentukan kegiatan individu yang bersangkutan dalam memberi respons terhadap obyek atau situasi yang
dinyatakan dalam perbuatan ataupun perkataan. Sikap adalah kesediaan bereaksi terhadap suatu hal, senantiasa terarah
terhadap suatu obyek, tidak ada sikap tanpa obyek Garungan dalam Ravianto, 1985. Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sikap
adalah suatu kesediaan psikis untuk menanggapi suatu obyek, dalam bentuk benda, orang, peristiwa dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang menjadi
obyek adalah sikap pengrajin tempe terhadap 1 rencana usaha, 2 proses produksi, 3 pemasaran tempe, 4 evaluasi kinerja usaha, dan 5 perbaikan
mutu. Aspek sikap berdasarkan skor dan kategori secara rinci disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Skor kompetensi dalam bentuk sikap
No Aspek Sikap
Skor Kategori
1. Membuat rencana usaha 1,53
Kurang 2. Memproduksi
3,25 Baik
3. Memasarkan hasil
produksi 3,17
Baik 4.
Melakukan evaluasi kinerja usaha 2,81 Baik
5. Melakukan perbaikan mutu
2,29 Cukup
Rataan 2,61 Baik
Keterangan: n = 39 skor
≤ 1,75 = Kurang
1,75 – 2,50 = Cukup
2,50 – 3,26 = Baik
3,26 = Sangat baik
Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa sikap pengrajin tempe termasuk dalam kategori baik, dengan skor rata-rata 2,61. Sikap pengrajin tempe terhadap
proses produksi dan pemasaran, termasuk dalam kategori baik, hal ini
disebabkan pandangan atau pendapat pengrajin yang menganggap bahwa
kedua kegiatan tersebut merupakan kegiatan riil dari suatu usaha industri tempe, sehingga pengrajin memberikan perhatian khusus
. Dari alokasi waktu, pengrajin
lebih banyak menggunakan waktunya untuk kegiatan produksi dan pemasaran dari pada kegiatan lainnya, sehingga ke dua kegiatan ini sangat mendominasi
seluruh kegiatan yang ada pada usaha industri tempe. Sikap pengrajin tempe terhadap perencanaan usaha termasuk dalam
kategori kurang, hal ini disebabkan pengrajin menganggap kemampuan memproduksi dan memasarkan adalah sesuatu yang dapat dilakukan tanpa
harus direncanakan terlebih dahulu, karena proses produksi dan pemasaran merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari, dan sudah berlangsung
bertahun-tahun tanpa pernah mengalami perubahan yang nyata, sehingga apabila rencana usaha khususnya rencana berbentuk dokumen tidak dibuat,
tidak akan mengganggu jalannya usaha. Selain itu pengrajin tempe juga menganggap membuat rencana usaha tidak mudah. Menurut Gafur 1989
meskipun membuat rencana akan memperoleh banyak manfaat, namun banyak pengrajin menganggap perencanaan 1 menghabiskan waktu, tenaga, dan
biaya, 2 keadaan dapat berubah disaat proses sedang berjalan. Evaluasi kinerja usaha termasuk dalam kategori baik, karena pengrajin
memiliki pandangan apabila terjadi ketidaksesuaian target kegagalan produksi atau pemasaran, perlu dilakukan evaluasi untuk mencari penyebab kegagalan
tersebut.
5.5.3. Kompetensi dalam bentuk keterampilan
Aspek keterampilan merupakan salah satu unsur kompetensi, sehingga lemahnya aspek ini dapat mengurangi kompetensi seseorang. menurut
Arikunto 1991 keterampilan berhubungan erat dengan kerja otot yang menyebabkan gerak tubuh. Menurut Esseff Gafur, 1989 yang termasuk dalam
aspek keterampilan adalah: 1 pendengaran auditory, 2 penglihatan visual, ucapan verbal, mengubah manipulate, menulis, dan meraba.
Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot yang lazim tampak dalam aktivitas jasmani seperti menulis,
mengetik, olah raga dan sebagainya Syah, 2005. Keterampilan menekankan pada kemampuan motorik dalam kawasan psikomotorik, yaitu bekerja dengan
benda-benda atau aktivitas yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot,
seseorang dapat dikatakan menguasai kecakapan motorik bukan saja karena dapat melakukan gerakan-gerakan yang telah ditentukan, tetapi juga dapat
melakukannya dengan gerakan yang lancar, benar dan sesuai dengan waktu yang ditentukan Suparno, 2001
Kompetensi pengrajin tempe dalam bentuk keterampilan berdasarkan data yang diperoleh dilapangan adalah:
• Menggunakan dan memelihara peralatan komportungku, rak fermentasi, tampah, ember, tong, cetakan, pengaduk kayu, dandang, timbangan
• Memilih bahan yang akan digunakan kedelai, kapang, air • Membersihkan ruang dan lingkungan kerja
• Menjaga keselamatan kerja • Melayani pelanggan
• Membuat tempe, meliputi:
− Mensortir dan membersihkan kacang kedelai − Merebus kedelai
− Merendam kedelai − Mengupas dan memisahkan kulit kedelai
− Meniriskan kedelai − Melakukan inokulasi
− Mencetak dan membungkus − Melakukan fermentasi
− Memanen dan mensortir tempe sebelum dijual
Kompetensi dalam bentuk keterampilan yang dimiliki pengrajin tempe sebagaimana yang diuraikan di atas, menurut pendapat kalangan profesional
terdapat sejumlah keterampilan yang belum berkembang yaitu: membuat rencana usaha, membukukan keuangan, melakukan evaluasi, menerapkan
manajemen mutu dan melakukan studi pasar, hal ini dikarenakan pengrajin tempe lebih mengutamakan pada keterampilan produksi dari pada
keterampilam yang bersifat manajemen. Kompetensi pengrajin tempe dalam bentuk keterampilan memproduksi
dan memasarkan tempe secara rinci disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Skor kompetensi dalam bentuk keterampilan
No Aspek Keterampilan
Skor Kategori
1. Proses produksi
3,07 Terampil
2. Memasarkan hasil
produksi 2,67
Terampil
Rataan 2,87 Terampil
Keterangan: n = 39 skor
≤ 1,75
= Kurang
1,75 – 2,50
= Cukup
2,50 – 3,26
= Terampil
3,26
= Sangat terampil
Pengalaman pengrajin dalam proses pembuatan tempe pada umumnya telah 5 – 30 tahun, sehingga pengrajin memiliki keterampilan yang tinggi. Hal ini
juga dipengaruhi oleh kurangnya inovasi dalam proses pembuatan tempe, sehingga cara pengrajin membuat tempe dari waktu kewaktu tidak mengalami
perubahan nyata, terutama pada proses produksi dan mutu tempe. Perubahan terjadi pada cara pengupasan kulit kedelai, yang semula menggunakan kaki
dengan cara diinjak-injak, saat ini menggunakan mesin pengupas kulit, dan pembungkus tempe lebih banyak menggunakan plastik dari pada daun pisang.
Faktor lain yang turut membentuk keterampilan yang dimiliki pengrajin tempe adalah pengalaman bekerja sebagai pembuat tempe pada orang lain,
yang dilakukan sebelum memiliki usaha sendiri. Keterampilan pengrajin dalam memasarkan hasil produksi termasuk dalam kategori terampil, keterampilan ini
diperolehnya dari pengalaman mencari dan melayani pembeli.
5.5.4. Kompetensi Pengrajin tempe
Kompetensi pengrajin tempe yang terdiri dari unsur 1 pengetahuan, 2 sikap, dan 3 keterampilan, menurut Arikunto 1991 ke tiga unsur tersebut
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisah-pisahkan, karena tindakan manusia merupakan satu kesatuan yang bulat, namun untuk keperluan pengkajian dalam
penelitian ini, kompetensi pengrajin tempe dibagi ke dalam tiga aspek kompetensi.
Secara umum kompetensi pengrajin tempe termasuk dalam kategori baik, dengan skor 2,60. demikian juga sikap dan keterampilan, kecuali pengetahuan
termasuk dalam kategori cukup. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan pengrajin tempe tentang perencanaan usaha yang harus dirumuskan dalam
bentuk dokumen. Menurut Gafur 1989 membuat rencana usaha akan memperoleh banyak manfaat, namun banyak pengrajin menganggap membuat
rencana usaha hanya akan menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Skor dan kategori kompetensi pengrajin tempe yang secara umum terdiri
dari unsur pengetahuan, sikap dan keterampilan, disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Skor kompetensi pengrajin tempe
No Aspek Kompetensi
Skor Kategori
1. Pengetahuan 2,30
Cukup 2. Sikap
2,61 Baik
3. Keterampilan 2,87
Baik
Rataan 2,60 Baik
Keterangan: n = 39 skor
≤ 1,75 = Kurang
1,75 – 2,50 = Cukup
2,50 – 3,26 = Baik
3,26 = Sangat baik
5.6. Hubungan Faktor Internal dengan Kompetensi Pengrajin Tempe
Terdapat lima peubah yang digunakan untuk melihat hubungan antara faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe. Lima peubah tersebut
adalah: umur, pengalaman, pendidikan formal, sifat wirausaha, dan motivasi. Hubungan faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe disajikan pada
Tabel 13. Tabel 13 Hubungan faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe
No Faktor Internal
Kompetensi Pengrajin Tempe Pengetahuan Sikap Keterampilan
Koef. korelasi
p Koef.
korelasi p
Koef. korelasi
p
1. Usia
0,185 0,260 0,226 0,166 - 0,188 0,251
2. Pengalaman 0,624 0,031 0,634 0,021 0,667
0,019 3. Pendidikan
formal 0,487 0,015 0,436 0,048 0,737
0,041 4.
Sifat wirausaha
0,419 0,301 0,283 0,617 0,398 0,227 5. Motivasi
0,793 0,000 0,610 0,005 0,617 0,007
Keterangan: = berhubungan nyata pada p 0,05 = berhubunan sangat nyata p 0,01
5.6.1. Hubungan Usia dengan Kompetensi
Pada Tabel 7 terdapat 82,0 usia pengrajin tempe termasuk dalam kategori muda dan sedang, dengan usia rata-rata 38,8 tahun. Berdasarkan
analisis korelasi, usia berhubungan positif dengan aspek pengetahuan dan sikap, serta berhubungan negatif dengan keterampilan, dengan tingkat
hubungan rendah dan negatif koefisien korelasi -0,188. Karena pengaruhnya kecil, maka usia tidak dapat digunakan untuk menjelaskan atau memprediksi
kompetensi pengrajin tempe. Rendahnya pengaruh usia terhadap kompetensi, disebabkan seluruh
proses pada industri tempe dilakukan secara sederhana, ditandai oleh perkembangan teknologi pembuatan tempe yang tidak mengalami perubahan
nyata, seluruh proses dijalankan secara tradisional dengan peralatan sederhana, menjadikan pengrajin yang berusia sangat muda maupun tua dapat mengelola
usaha industri tempe. Hubungan negatif antara usia dengan keterampilan, dapat terjadi karena
sebagian besar aktivitas yang terdapat pada industri tempe merupakan kegiatan fisik yang memerlukan kekuatan otot. Arikunto 1991 menjelaskan
bahwa aspek keterampilan lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kerja otot, yang menyebabkan gerak tubuh, aspek ini
meliputi semua tingkah laku yang menggunakan syaraf dan otot badan. Bertambahnya usia seseorang dapat menurunkan kemampuan fisik dan
otot-otot untuk bekerja
.
Kondisi ini sesuai dengan pendapat Mappiare 1993 yang menyatakan bahwa puncak kekuatantenaga seseorang berada pada usia
20-30 tahun, dan mulai menurun pada usia 40-45 tahun, pada usia selanjutnya akan terjadi penurunan fisik yang semakin cepat.
5.6.2. Hubungan Pengalaman dengan Kompetensi
Pengalaman adalah lamanya pemilik industri tempe secara aktif mengelola usahanya. Pengalaman rata-rata pengrajin tempe adalah 15,1 tahun,
dengan kisaran 5 – 30 tahun. Berdasarkan analisis korelasi, pengalaman berhubungan nyata dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan,
dengan tingkat hubungan kuat koefisien korelasi 0,600. Kuatnya hubungan antara pengalaman dengan kompetensi, menjadikan pengalaman dapat
digunakan untuk menjelaskan atau memprediksi kompetensi pengrajin tempe.
Kuatnya hubungan ke dua peubah ini menjelaskan bahwa pengalaman yang dimiliki pengrajin tempe dalam mengelola usaha, memberi dampak positif
terhadap perkembangan usaha, karena dengan memiliki pengalaman, membuat seseorang dapat mengendalikan jalannya usaha walaupun menghadapi
berbagai kendala. Semakin banyak memperoleh pengalaman yang bermutu akan semakin tangguh pengrajin mengelola usahanya. Menurut Haswell Riyanti,
2003 pentingnya memiliki pengalaman dalam mengelola usaha kecil, karena umumnya kegagalan usaha disebabkan kurangnya pengalaman dan lemahnya
kemampuan manajerial.
5.6.3. Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi
Pada umumnya pendidikan formal pengrajin tempe adalah tamat SMP 46,1, dan SD 35,9. Riyanti 2003 berpendapat pendidikan memainkan
peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah dan mengoreksi penyimpangan. Meskipun pendidikan formal bukan syarat untuk
dapat mengelola usaha, namun pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal, memberi dasar yang baik untuk mengelola usaha.
Berdasarkan hasil analisis korelasi, pendidikan formal berhubungan nyata dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hubungan positif antara
pendidikan formal dengan kompetensi karena pendidikan sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak pengrajin tempe dalam mengelola usahanya.
Pendidikan yang pernah diperoleh seseorang akan mempengaruhi pandangan dan tindakannya
. Dillon dan Hardaker 1985 berpendapat bahwa
pendidikan dapat mengubah pola pikir dan daya nalar seseorang. Hubungan antara pendidikan formal dengan pengetahuan dan sikap
berada pada tingkat sedang koefisien korelasi 0,487 dan 0,436. Tingkat hubungan dengan keterampilan berada pada tingkat kuat koefisien korelasi
0,737. Hubungan antara pendidikan formal dengan aspek keterampilan lebih kuat dari pada dengan aspek pengetahuan dan sikap, hal ini dikarenakan
pengrajin tempe lebih banyak melakukan kegiatan produksi dan pemasaran yang lebih menuntut kemampuan keterampilan. Hal ini sesuai dengan skor aspek
keterampilan untuk proses produksi dan pemasaran, termasuk dalam kategori terampil Tabel 11 dan 12
5.6.4. Hubungan Sifat Wirausaha dengan Kompetensi
Sifat wirausaha adalah sifat atau jiwa bisnis yang dimiliki pengrajin tempe, yang meliputi sifat: meningkatkan prestasi, keluwesan bergaul, kerja
keras, percaya diri, pengambil risiko, inovatif, dan mandiri. Berdasarkan hasil analisis korelasi, sifat wirausaha berhubungan tidak nyata dengan aspek
pengetahuan, sikap dan keterampilan, dengan tingkat hubungan rendah. Hubungan antara sifat wirausaha dengan aspek pengetahuan berada
pada tingkat sedang koefisien korelasi 0,419. Hubungan dengan aspek sikap dan keterampilan termasuk dalam kategori rendah koefisien korelasi 0,283 dan
0,398. Tingkat hubungan yang rendah menjadikan sifat wirausaha tidak dapat digunakan untuk menjelaskan atau memprediksi kompetensi pengrajin tempe.
Rendahnya hubungan sifat wirausaha dengan kompetensi sesuai dengan skor sifat wirausaha yang termasuk dalam kategori cukup Tabel 7.
Menurut Partomo dan Soejoedono 2004 pandangan umum bahwa semua pengrajin UKM memiliki sifat dan jiwa entrepreneurship adalah kurang
tepat, karena terdapat sekelompok pengrajin UKM yang tidak memiliki sifat dan jiwa entreprenurship. Berdasarkan kriteria kepemilikan sifat entrepreneurship,
UKM dapat dibagi menjadi empat kelompok sebagai berikut: • Livelihood Activities, yang masuk kategori ini pada umumnya bertujuan hanya
mencari mencari nafkah, tidak memiliki sifat wirausaha. • Micro Enterprice, kelompok ini memiliki sifat pengrajin, tetapi tidak memiliki
sifat wirausaha. • Small Dynamic Enterprises, kelompok ini cukup memiliki sifat wirausaha
• Fast Moving Enterprises, kelompok ini memiliki sifa wirausaha.
5.6.5. Hubungan Motivasi dengan Kompetensi
Motivasi adalah tindakan yang mendasari pengrajin tempe melakukan sesuatu yang berhubungan dengan industri tempe.
Berdasarkan hasil analisis korelasi, motivasi berhubungan sangat nyata dengan aspek pengetahuan, sikap
dan keterampilan, dengan tingkat hubungan kuat koefisien korelasi 0,600Tabel 13. Hubungan yang bersifat positif menjadikan semakin tinggi
motivasi, semakin tinggi kompetensi yang dimiliki pengrajin tempe. Menurut Alma 2006 keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh kemauan atau motivasi
untuk berbuat.
Motif utama pengrajin mendirikan usaha industri tempe adalah 1 kebutuhan akan pekerjaan untuk mendapatkan uang, 2 pasar tempe relatif
stabil dan 3 tidak memiliki pilihan profesi selain sebagai pengrajin tempe. Dengan demikian apabila kebutuhan uang dan pasar semakin besar maka dapat
diprediksi kompetensi pengrajin tempe akan semakin meningkat. Hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata positif
antara faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe diterima untuk faktor: pengalaman, pendidikan formal dan motivasi, serta ditolak untuk faktor: usia dan
sifat wirausaha.
5.7. Hubungan Faktor Eksternal dengan Kompetensi Pengrajin Tempe
Terdapat lima peubah yang digunakan untuk menilai hubungan antara faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe. Lima peubah tersebut
adalah: peluang pasar, bahan baku, modal, tenaga kerja, dan kebijakan pemerintah. Hubungan faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe,
disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Hubungan faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe
No Faktor
Eksternal Kompetensi Pengrajin Tempe
Pengetahuan Sikap Keterampilan Koef.
korelasi p Koef.
korelasi p Koef.
korelasi p
1. Peluang
pasar 0,518 0.001 0,459 0.002 0,517 0,001 2.
Bahan baku
0,544 0,034 0,638 0,044 0,500 0,021 3.
Modal 0,495 0,031 0,699 0,025 0,535 0,035
4. Tenaga
kerja 0,589 0,133 0,512 0,943 0,407 0,205
5. Kebijakan pemerintah
0,240 0,141 0,274 0,654 0,268 0,681
Keterangan: = berhubungan nyata pada p 0,05 = berhubunan sangat nyata p 0,01
5.7.1. Hubungan Peluang Pasar dengan Kompetensi
Peluang pasar, adalah sejumlah permintaan tempe oleh pembeli potensial, Berdasarkan hasil analisis korelasi, peluang pasar berhubungan sangat nyata
dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan, artinya semakin tinggi peluang pasar, semakin tinggi kompetensi yang dimiliki pengrajin tempe. Tingkat
hubungan antara peluang pasar dengan unsur-unsur kompetensi adalah sedang koefisien korelasi 0,400-0,599.
Tabel 8 menunjukkan peluang pasar rata-rata termasuk dalam kategori cukup 43,6, data tersebut menunjukkan bahwa peluang pasar tempe tidak
cukup besar. Berdasarkan pendapat Zimmerer Suryana, 2003 peluang pasar tidak dapat diperoleh pengrajin tempe apabila pengrajin tempe 1 tidak aktif
mencari peluang pasar, 2 tidak memiliki teknologi tepat guna yang menjadikan usaha atau hasil produksi mempunyai nilai kompetitif, dan 3 tidak mempunyai
strategi dalam memasarkan tempe. Berdasarkan pendapat Zimmerer maka peluang pasar dapat diperoleh
apabila pengrajin tempe memiliki kompetensi, dengan demikian besar kecil peluang pasar berhubungan dengan tinggi rendahnya kompetensi.
5.7.2. Hubungan Bahan Baku dengan Kompetensi
Kedelai sebagai bahan baku tempe, mempunyai hubungan nyata dengan unsur-unsur Kompetensi pengetahuan, sikap, keterampilan,
tingkat hubungan sedang dengan pengetahuan dan keterampilan, dan berhubungan kuat dengan
sikap. Kedelai sebagai bahan baku tempe harganya terus naik dan berfluktuasi
setiap saat, ditambah dengan terbatasnya pasokan kedelai lokal yang diharapkan dapat mengganti penggunaan kedelai impor. Menurut Mulyo 2008
sejak awal tahun 1990, produksi kacang kedelai lokal terus menurun, sampai hilang dari pasar.
Harga kedelai yang terus naik dan keharusan menjaga ketersediaan kedelai, menuntut pengrajin mampu mencari berbagai solusi untuk
mempertahankan usahanya, untuk itu pengrajin berusaha mengelola pengadaan dan penggunaan kedelai. Dengan demikian semakin baik pengrajin mengelola
bahan baku akan semakin baik kompetensi yang dimiliki pengrajin.
5.7.3. Hubungan Modal dengan Kompetensi
Di dalam ilmu ekonomi, modal adalah salah satu faktor produksi. Menurut Suardi 2004 modal merupakan sumber daya industri yang harus ditetapkan
dan disediakan. Penggunaan sumber daya harus direncanakan dan dipertimbangkan efisiensinya, termasuk untuk kebutuhan di masa yang akan
datang. Perencanaan dan penggunaan modal yang efisien membutuhkan kompetensi. Modal yang cukup dan pengelola yang berkompeten, akan
meningkatkan kinerja industri tempe, oleh karena itu terdapat hubungan positif antara modal dan kompetensi pengrajin tempe.
Berdasarkan hasil analisis korelasi, modal mempunyai hubungan nyata dengan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan, sehingga apabila modal
semakin kuat, kompetensi yang dimiliki pengrajin tempe juga akan semakin tinggi.
Tingkat hubungan sedang antara modal dengan aspek pengetahuan dan keterampilan koefisien korelasi 0,495 dan 0,535, berhubungan kuat dengan
aspek sikap koefisien korelasi 0,699. Dengan demikian modal dapat meningkatkan kompetensi dalam bentuk sikap pengrajin tempe terhadap
pengelolaan usaha industri tempe.
5.7.4. Hubungan Tenaga Kerja dengan Kompetensi
Tenaga kerja adalah orang yang bekerja pada industri tempe secara langsung dan penuh waktu, mereka menerima gaji atas jasanya tersebut.
Berdasarkan hasil analisis korelasi, tenaga kerja mempunyai hubungan tidak nyata dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hal ini diduga
kurangnya motivasi tenaga kerja karena kurang sesuainya antara volume pekerjaan dan gaji yang diterima. Selain itu pada industri tempe sudah menjadi
tradisi dimana tenaga kerja yang sudah menguasai cara membuat tempe,
umumnya akan berhenti untuk mencoba membuka usaha sendiri. Dengan demikian pengrajin tempe harus mencari tenaga kerja pengganti, yang tentunya
belum memiliki kompetensi yang baik.
5.7.5. Hubungan Kebijakan Pemerintah dengan Kompetensi
Berdasarkan hasil analisis korelasi kebijakan pemerintah mempunyai hubungan tidak nyata dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Tingkat hubungan antara kebijakan pemerintah dengan kompetensi adalah rendah koefisien korelasi 0,200-0,399.
Unsur-unsur yang menjadi kebijakan pemerintah adalah penghapusan subsidi harga kedelai impor dan ketergantungan pada kedelai impor.
Menurut Astuti 2008 kenaikan harga kedelai yang mencapai 110 telah menyebabkan
kelangkaan kedelai di pasaran, dan menggoyahkan usaha kecil. Naiknya bahan baku kedelai disebabkan kebijakan pemerintah yang menggantungkan kedelai
impor untuk memenuhi 60 kebutuhan pasokan kedelai dalam negeri dan tidak disertai peningkatan produksi di dalam negeri.
Hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata positif antara faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe diterima untuk faktor:
peluang pasar, bahan baku dan modal, serta ditolak untuk faktor: tenaga kerja dan kebijakan pemerintah.
5.8. Identifikasi Kinerja Industri Tempe
Kinerja industri tempe dalam penelitian ini adalah tingkat pencapaian hasil atau tingkat pencapaian tujuan organisasi, yang diukur berdasarkan 1
omset dan 2 mutu tempe yang dihasilkan. Omset adalah hasil penjualan yang diterima pengrajin dalam satu bulan, sedangkan mutu tempe dinilai berdasarkan
grade mutu tempe yang ditetapkan berdasarkan cara pembuatan dan persentase kandungan kedelai. Tingkat kinerja industri tempe disajikan pada
Tabel 15. Tabel 15 Skor kinerja industri tempe
No Aspek Kinerja Skor
Kategori
1. Omset 1,61 Rendah
2. Mutu Tempe 2,85
Baik
Keterangan : n = 39 Skor:
≤ 1,75 = Rendah Kurang
1,75 – 2,50 = Cukup
2,50 – 3,26 = Tinggi Baik
3,26 = Sangat tinggi baik
Dari Tabel 15 diketahui bahwa kinerja industri tempe berdasarkan aspek omset termasuk dalam kategori rendah, dengan skor 1,61. Sedangkan
berdasarkan aspek mutu, tempe termasuk dalam kategori baik, dengan skor 2,85 Rendahnya omset industri tempe, disebabkan pengrajin mengurangi
volume produksi, hal ini disebabkan nilai modal yang dimiliki pengrajin terbatas, sehingga mengurangi kemampuan pengrajin membeli kedelai, yang harganya
terus naik hingga 110. Kenaikan harga kedelai yang terus menerus, tidak disertai dengan naiknya harga jual tempe, menyebabkan berkurangnya
kemampuan pengrajin untuk meningkatkan volume produksi. Mutu tempe termasuk dalam kategori baik, dan merupakan grade mutu
yang ditetapkan pengrajin, tidak diproduksinya tempe dengan grade mutu super, bertujuan untuk menekan biaya produksi, karena untuk memproduksi
tempe dengan mutu super, diperlukan biaya tambahan untuk perebusan, karena dalam proses pembuatannya
membutuhkan perebusan dua kali.
5.9. Hubungan Kompetensi Pengrajin dengan Kinerja Industri Tempe