Industri Tempe Kinerja Industri Tempe

2 Kelemahan kultural adalah kelemahan dalam budaya perusahaan yang kurang mencerminkan perusahaan sebagai Corporate Culture. Kelemahan kultural mengakibatkan kurangnya akses informasi dan lemahnya berbagai persyaratan lain guna memperoleh akses permodalan, pemasaran dan bahan baku.

2.2. Industri Tempe

Tempe adalah sejenis makanan khas Indonesia, yang dijadikan lauk-pauk pada saat makan nasi. Rasanya yang gurih, dengan kandungan gizi yang tinggi, menjadikan makanan ini digemari banyak orang. Bahkan saat ini tempe telah diterima oleh masyarakat internasional, lebih-lebih oleh kaum vegetarian. Tempe terbuat dari kacang kedelai yang difermentasi dengan kapang Rhizopus Oligosporus atau ragi tempe. Harga satu potong tempe goreng di rumah-rumah makan saat ini Rp. 500 – Rp. 1.000. Harga yang relatif murah dengan rasa yang enak, menjadikan tempe disukai banyak orang. Namun pasar yang masih cukup terbuka tidak menjadikan industri tempe dapat berkembang dengan pesat. Kedelai yang dipakai untuk membuat tempe harus memiliki mutu yang baik, kedelai jenis ini masih harus di impor dari Amerika, untuk meringankan para pengrajin tempe, pemerintah melalui KOPTI memberi subsidi, sehingga pengrajin dapat membeli dengan harga yang lebih murah. Namun ketika pemerintah mengurangi bahkan menghapus subsidi, banyak industri tempe yang mengalami kesulitan, bahkan banyak yang tidak dapat berproduksi lagi. Hal ini disebabkan terbatasnya modal pengrajin dan lemahnya daya beli masyarakat.

2.3. Faktor Internal Kompetensi Pengrajin Tempe

Faktor internal adalah faktor yang ada di dalam diri seseorang, yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri Syah, 2005. Dengan demikian faktor internal adalah karateristik setiap individu yang dimiliki setiap orang. Menurut Mardikanto 1999 karateristik individu ialah sifat yang melekat pada diri seseorang, dan berhubungan dengan aspek kehidupan, seperti: usia, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial, dan agama. Sedangkan menurut Slamet 1992, bahwa umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan dan sikap, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi, sehingga mempengaruhi seseorang untuk berkembang. Kepribadian wirausaha juga merupakan faktor yang berada di dalam diri seseorang. Menurut Riyanti 2003 kepribadian wirausaha merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam mengelola usaha kecil. Namun demikin keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh kemauan untuk berbuat, yang menurut Alma 2006 disebut motivasi.

2.3.1. Usia

Ronstandt Riyanti, 2003 mengatakan bahwa kebanyakan wirausaha mulai terjun ke dunia usaha pada usia 25-30 tahun. Bervariasinya usia seseorang ketika memasuki dunia usaha tidak terkait langsung dengan keberhasilan. Seperti yang dikemukakan oleh Staw Riyanti, 2003 usia ketika seseorang memulai usaha kurang penting, tetapi apabila telah mengikuti pelatihan dan persiapan yang baik maka semakin awal akan semakin baik. Menurut Staw Riyanti, 2003 usia akan mempengaruhi keberhasilan bila dihubungkan dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha. Dengan asumsi bahwa usia kronologis seseorang sesuai dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha. Bertambahnya usia seseorang, akan semakin banyak dan mendalam liku-liku usaha yang diketahui, dengan demikian mempengaruhi tingkat keberhasilan seorang wirausaha dalam mengelola usahanya. Menurut Hurlock Riyanti, 2003, ciri-ciri perkembangan karier seseorang dapat dikelompokkan berdasarkan usia, sebagai berikut: 1 Usia dewasa awal 18-40 tahun Pada periode ini seseorang sedang memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat, serta mencoba untuk berkarier. Itulah sebabnya usia bisa berpengaruh terhadap tinggi rendah prestasi kerja. 2 Usia dewasa Madya 40-60 tahun pada periode ini dicirikan dengan keberhasilan dalam pekerjaan, pada usia ini kebanyakan orang mencapai prestasi puncak. Prestasi yang dicapai merupakan hasil dari kemantapan dalam meniti karier dan pengalaman yang telah dimiliki. 3 Usia dewasa akhir usia di atas 60 tahun Kebanyakan pada usia ini orang mulai mengurangi kegiatan kariernya. Karena pada periode ini, faktor fisik mulai menjadi kendala untuk terus berkarier. Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa usia mempengaruhi prestasi kerja seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Rogers dan Shoemaker 1986 yang mengatakan bahwa usia mempengaruhi sikap seseorang.

2.3.2. Pengalaman

Pengalaman yang dimiliki pengrajin industri tempe dalam mengelola usaha, memberi dampak positif terhadap perkembangan usaha, karena dengan memiliki pengalaman, membuat seseorang dapat mengendalikan jalannya usaha walaupun menghadapi berbagai kendala. Oleh karena itu semakin banyak memperoleh pengalaman yang bermutu akan semakin tangguh pengrajin menjalankan usahanya. Pengalaman dalam mengelola usaha merupakan modal utama untuk memperoleh kesuksesan, terutama apabila usaha yang dikelolanya sekarang berkaitan dengan pengalaman usaha sebelumnya. Wirausaha yang berpengalaman mengelola usaha, mampu melihat lebih banyak jalan dari pada para pengusaha baru. Menurut Meredith, dkk 2005 seorang wirausaha harus bersedia belajar dari pengalaman dan berubah dari waktu ke waktu, serta sadar akan cara-cara baru untuk meningkatkan produktivitas. Menurut Haswell Riyanti, 2003 pentingnya memiliki pengalaman dalam mengelola usaha kecil, karena umumnya kegagalan usaha disebabkan kurangnya pengalaman dan lemahnya kemampuan manajerial. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam mengelola usaha akan memberi pengaruh kepada keberhasilan usaha. Bentuk pengalaman dapat diperoleh melalui bimbingan dari orang tua atau pengalaman mengelola usaha sebelumnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam mengelola usaha akan diperoleh bila seseorang terlibat secara langsung dalam suatu kegiatan usaha. Artinya seseorang yang belum pernah terlibat dalam usaha tidak akan memiliki kompetensi.

2.3.3. Pendidikan Formal

Tingkat pendidikan, sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang dalam menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat yang memiliki berbagai aktivitas dan tanggungjawab. Pendidikan yang pernah diperoleh seseorang akan mempengaruhi pandangan dan tindakkannya. Dillon dkk 1985 menyatakan bahwa pendidikan dapat mengubah pola pikir dan daya nalar seseorang. Slamet 1992 mengemukakan bahwa pendidikan seseorang akan mempengaruhi perilaku individu, baik dari segi pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Kompetensi yang diperoleh pada saat mengikuti pendidikan, membekali seseorang untuk berkembang dan menghadapi berbagai masalah dalam hidupnya. Staw Riyanti, 2003 mengatakan bahwa pendidikan berperan penting, karena memberi bekal pengetahuan yang dibutuhkan, dimana setelah seseorang memutuskan terjun ke dunia usaha, maka orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi, cenderung lebih berhasil dari pada orang yang berpendidikan lebih rendah. Diduga orang yang berpendidikan lebih tinggi, lebih memiliki berbagai pengetahuan dan sistem manajemen yang dapat membantu dalam mengelola usaha. Orang yang berpendidikan lebih tinggi lebih sadar akan realitas dunia usaha, dan menggunakan kemampuan belajarnya untuk mengelola usaha sehingga menjadi lebih baik. Menurut Riyanti 2003 pendidikan berperan penting karena memberi bekal pengetahuan yang dibutuhkan, lebih-lebih ketika menemui masalah di tengah jalan. Sedangkan Tilaar 1997 menjelaskan bahwa fungsi pendidikan adalah proses eksplorasi potensi individu dan cara manusia mampu mengontrol potensinya yang telah dikembangkan agar dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidupnya. Riyanti 2003 berpendapat bahwa pendidikan memainkan peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah-masalah, dan mengoreksi penyimpangan dalam praktek usaha. Meskipun pendidikan formal bukan syarat untuk memulai usaha baru, pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal memberi dasar yang baik apabila pendidikan formal tersebut terkait langsung dengan bidang usaha yang di kelola . Menurut para ahli tersebut, pendidikan formal yang pernah diperoleh seseorang mempengaruhi cara mengelola usaha. Namun hasil penelitian Balton Partomo dan Soejoedono, 2004 untuk pimpinan UKM pada umumnya kurang atau tidak mengenyam pendidikan formal, atau mempunyai pendapat yang lemah terhadap pentingnya pendidikan atau pelatihan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa pendidikan formal dapat mempengaruhi keberhasilan usaha kecil menengah, dengan asumsi bahwa pendidikan yang baik akan mempengaruhi cara seseorang memahami dan mengelola persoalan-persoalan yang dihadapi.

2.3.4. Sifat Wirausaha

Meredith, dkk 2005 mendefinisikan wirausaha sebagai orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan daripadanya, dan mengambil tindakan yang tepat, guna memastikan kesuksesan. Sedangkan Suryana 2003 mendefinisikan kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Sejalan dengan dua definisi tersebut, Swasono Riyanti, 2003 menyatakan di dalam ilmu ekonomi dikenal empat faktor produksi, yaitu tanah land, tenaga kerja labour, modal capital, dan keahlian skill. Selain empat faktor tersebut, masih ada faktor lain, yaitu kewirausahaan entrepreneurship yang merupakan modal sosial kultural, semacam “tenaga dalam” manusia untuk merangkum ke empat faktor produksi lainnya dalam suatu proses produksi, dengan alternaif-alternatif kombinasi baru new combination untuk menghasilkan berbagai economic performances yang berbeda. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat dinilai bahwa para pengrajin industri tempe adalah wirausahawan karena telah menyatukan berbagai sumber daya, seperti teknologi, tenaga kerja, peralatan, ragi dan kedelai, sehingga menghasilkan tempe, yaitu sejenis makanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kadarisman 2007 berpendapat bahwa kegiatan usaha kecil yang bergerak di bidang apa pun, sesungguhnya adalah proses pembelajaran bagi pengusaha untuk memperoleh sifat dan semangat wirausaha. Pendapat ini, mengandung arti bahwa kegiatan usaha kecil dapat menumbuhkan sifat dan semangat wirausaha, dan berpengaruh secara positif terhadap kompetensi seseorang dalam mengelola usaha. Pentingnya sifat wirausaha dikemukakan oleh Riyanti 2003 bahwa sebagian besar keberhasilan usaha khususnya usaha kecil, sangat ditentukan oleh kepribadian wirausaha yang dimiliki pengrajin. Secara komprehensif Meredith, dkk 2005 merangkum ciri-ciri wirausahawan sebagai berikut 1 Percaya diri, 2 Berorientasi tugas dan hasil, 3 Pengambil risiko, 4 kepemimpinan, 5 keorisinilan, dan 6 berorientasi ke masa depan. Sedangkan Sukardi Riyanti, 2003 menunjukkan sembilan sifat unggul yang dimiliki wirausahawan, adalah: 1 Sifat instrumental, yaitu tanggap terhadap peluang dan kesempatan berusaha yang berkaitan dengan perbaikan kerja. 2 Sifat prestatif, yaitu selalu berusaha memperbaiki prestasi, menggunakan umpan balik, menyenangi tantangan, dan berupaya agar hasil kerja selalu lebih baik dari sebelumnya. 3 Sifat keluwesan bergaul, yaitu selalu aktif bergaul dengan siapa saja, membina kenalan-kenalan baru, dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. 4 Sifat kerja keras, yaitu berusaha terlibat dalam situasi kerja, tidak menyerah sebelum pekerjaan selesai. Tidak pernah memberi dirinya kesempatan untuk berpangku tangan, mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada pekerjaan, memiliki tenaga untuk terlibat secara terus menerus dalam kerja. 5 Sifat keyakinan diri dalam segala kegiatan, penuh optimisme bahwa usahanya akan berhasil. Percaya diri dan bergairah, langsung terlibat dalam kegiatan nyata, jarang terlihat ragu-ragu. 6 Sifat mengambil risiko yang diperhitungkan, yaitu tidak khawatir akan menghadapi situasi yang serba tidak pasti, dimana usahanya belum tentu membuahkan hasil. Berani mengambil risiko kegagalan, dan selalu antisipatif terhadap kemungkinan-kemungkinan gagal. Segalatindakannya diperhitungkan secara cermat. 7 Sifat swakendali, yaitu benar-benar menentukan apa yang harus dilakukan dan bertanggungjawab pada diri sendiri. 8 Sifat inovatif, yaitu selalu bekerja keras mencari cara-cara baru untuk memperbaiki kinerjanya. Terbuka untuk gagasan, pandangan, penemuan- penemuan baru yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja. Tidak terpaku pada masa lampau, berpandangan ke depan dan mencari ide-ide baru. 9 Sifat mandiri, yaitu apa yang dilakukan merupakan tanggungjawab pribadi. Keberhasilan dan kegagalan dikaitkan dengan tindakan-tindakan pribadi. Menyenangi kebebasan dalam mengambil keputusan untuk bertindak, dan tidak mau tergantung pada orang lain. Berdasarkan pendapat para ahli yang telah diuraikan di muka, terdapat ciri umum yang selalu terdapat dalam diri seorang wirausaha, yaitu kemampuan untuk tumbuh dan berkembang melalui usaha mengubah sesuatu menjadi lebih baik dan berharga. Menurut Kirton Riyanti, 2003 kemampuan tersebut sebagai perilaku “kreatif” dan “inovatif” sebagai sifat yang terdapat pada seorang wirausaha. Pengrajin industri tempe dapat dikatakan memiliki sifat-sifat wirausaha, karena melalui suatu tahapan yang panjang kacang kedelai diproses menjadi tempe, sejenis makanan yang yang memiliki nilai gizi dan ekonomi tinggi. Berdasarkan alasan tersebut penelitian ini akan mengkaji sifat-sifat wirausaha yang melekat pada pengrajin tempe, sebagaimana yang telah diuraikan sebagai berikut: 1 Sifat meningkatkan prestasi 2 Sifat keluwesan bergaul 3 Sifat kerja keras 4 Sifat percaya diri 5 Sifat pengambil risiko 6 Sifat inovatif 7 Sifat Mandiri

2.3.5. Motivasi

Kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh semangat kerja pimpinan beserta para pekerjanya. Agar semangat kerja dapat ditingkatkan diperlukan suatu motivasi. Menurut Alma 2006 motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan atau impuls. Motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motifnya. Motif dengan kekuatan yang sangat besar akan menentukan perilaku seseorang, dengan demikian motif merupakan motivator atau penggerak motivasi. Herzberg Alma, 2006 mengemukakan bahwa motivasi seseorang akan ditentukan oleh motivatornya, sedangkan yang dapat menjadi motivator bagi seseorang adalah: 1 Keinginan berprestasi 2 Penghargaan atau pengakuan atas pekerjaan 3 Tantangan atas pekerjaan 4 Bertambah tanggungjawab 5 Ada kesempatan untuk maju Menurut teori motivasi Maslow, hirarki kebutuhan manusia dapat dipakai untuk melukiskan dan meramalkan motivasi seseorang. Teori ini didasarkan kepada asumsi, bahwa kebutuhan seseorang tergantung dari apa yang telah dimilikinya, dan kebutuhan merupakan hirarki dilihat dari nilai pentingnya. Menurut Maslow Alma, 2006 ada lima kategori kebutuhan manusia, yaitu: 1 Fisiologis Physiological needs 2 Keamanan safety needs 3 Sosial affiliation needs 4 Penghargaan recognition needs 5 Perwujudan diri self actualization needs Berkaitan dengan teori Maslow, Alma 2006 berpendapat bila suatu tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka akan muncul tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Namun ini tidak berarti tingkat kebutuhan yang lebih rendah harus terpenuhi seratus persen atau memuaskan, baru muncul kebutuhan yang lebih tinggi lagi.

2.4. Faktor Eksternal Kompetensi Pengrajin Tempe

Seperti telah diketahui bahwa usaha kecil di Indonesia memiliki berbagai keunggulan, terutama kemampuannya di dalam menyerap tenaga kerja bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar. Namun demikian menurut Kadarisman 2007 UKM memiliki kendala untuk berkembang menjadi perusahaan besar dan untuk meningkatkan kinerjanya, ini disebabkan keterbatasan dalam hal kemampuan produksi, akses ke pasar dan permodalan. Menurut Urata Riyanti, 2003 usaha-usaha kecil di Indonesia banyak menghadapi kendala untuk bermain aktif di pasar, karena mereka kurang memiliki kemampuan manajemen dan teknologi yang memadai, juga kurang memiliki informasi pasar. Menurut Partomo dan Soejoedono 2004 UKM menghadapi kendala dalam mempertahankan atau mengembangkan usahanya, antara lain kurangnya pengetahuan dalam mengelola usaha, kekurangan modal, dan lemah di bidang pemasaran, untuk itu pembinaan UKM pertama-tama harus ditujukan kepada upaya meningkatkan kemampuan manajemen di bidang pemasaran, keuangan dan personalia. Demikian juga menurut Haswell Riyanti, 2003 salah satu penyebab kegagalan usaha kecil adalah lemahnya kemampuan manajerial. Menurut Ravianto 1986 manajemen merupakan landasan utama bagi peningkatan produktivitas, dengan berlandaskan manajemen yang baik, akan terkondisi tenaga kerja, modal, teknologi dan bahan baku yang tepat sesuai kinerja yang diinginkan, dengan cara mengelola masukan yang terbatas untuk menghasilkan lebih banyak produk dan jasa. Di sini terjadi hubungan antara masukan berupa sumber daya dan keluaran berupa produk dan jasa.

2.4.1. Peluang Pasar

Pasar adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk dipuaskan, mempunyai uang untuk dibelanjakan dan mempunyai kemauan untuk membelanjakannya. Pasar juga dapat berarti sejumlah permintaan barang dan jasa oleh pembeli potensial William, 1991. Sedangkan pemasaran menurut Meredith, dkk 2005, adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk mengenal siapa yang menjadi konsumen, apa yang mereka butuhkan, serta bagaimana cara memuaskan mereka dengan memperoleh keuntungan daripadanya. Pertanyaan 1 siapa yang menjadi konsumen, 2 apa yang mereka butuhkan, dan 3 apa yang harus diberikan kepada konsumen, untuk menjawabnya diperlukan suatu penelitian pasar. Pemasaran mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan pelanggan yang belum terpenuhi, dengan mengukur besarnya permintaan, serta cara yang diinginkan pelanggan. Menurut Kotler 1990 untuk meningkatkan keberhasilan jual beli, seorang pengusaha harus melakukan analisis keinginan pelanggan, dan apa yang dapat diberikannya. Prinsip ini adalah mengetahui informasi tentang permintaan dan kondisi pasar, atau disebut penelitian pasar. Penelitian diperlukan untuk memperoleh informasi pasar tentang 1 tujuan pelanggan membeli, 2 untuk apa pelanggan membeli, dan 3 apa yang diinginkan pelanggan. Data yang dibutuhkan, sumber data dan cara memperolehnya merupakan hal yang harus diketahui oleh pengrajin industri tempe. Menurut Kartasapoetra 1992 dengan diperolehnya informasi pasar maka dapat diramalkan mutu produk yang diinginkan, strategi meningkatkan permintaan, dan cara penjualan yang efektif. Hasil penelitian pasar dapat memberi informasi kepada pengrajin ada tidaknya peluang pasar. Peluang pasar dapat diidentifikasi melalui 1 permintaan barang lebih besar dari yang ditawarkan, dan 2 mutu barang yang ditawarkan atau pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan harga yang harus dibayar oleh pelanggan. Menurut Zimmerer Suryana, 2003 peluang pasar dapat terjadi apabila 1 pesaing tidak aktif, 2 pesaing tidak memiliki teknologi tepat guna, dan 3 pesaing tidak memiliki strategi pemasaran. Kondisi demikian terbuka peluang pasar bagi pengrajin untuk memanfaatkannya, menurut Scarborough Suryana, 2003 ciri wirausaha adalah selalu mencari peluang.

2.4.2. Bahan baku

Tempe dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi. Kedelai yang digunakan untuk pembuatan tempe masih harus diimpor dari Amerika. Kedelai jenis ini memiliki mutu lebih baik dibandingkan dengan kedelai lokal. Menurut Mustofa 2008 para pengrajin tempe lebih menyukai kedelai impor yang bungkilnya berukuran lebih besar dibandingkan kedelai lokal. Pengrajin tempe berupaya menjaga ketersediaan dan kesinambungan kedelai, hal ini dilakukan untuk menjamin kelancaran produksi. Sebagai anggota KOPTI, pengrajin memperoleh prioritas untuk mendapatkan kedelai, namun untuk menjamin kelancaran pasokan, pengrajin tidak bergantung hanya kepada satu pemasok. Selain KOPTI, pengrajin membina hububungan baik dengan pedagang kedelai yang berada di pasar. Menurut Meredith, dkk 2005 untuk menjamin bahwa operasi bisnis berjalan lancar, pengusaha harus memelihara hubungan baik dengan para pemasok, dan harus mampu membeli bahan dalam jumlah yang cukup sehingga dapat menjamin berlangsungnya produksi secara berkesinambungan dan menguntungkan. Bahan baku menentukan mutu produk, untuk itu bahan baku yang akan digunakan harus dijamin telah memenuhi persyaratan mutu, selain itu volume dan waktu harus sesuai kebutuhan. Menurut Suardi 2004 untuk keperluan tersebut, pengusaha harus menilai dan memilih pemasok atas dasar kemampuannya menyediakan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu.

2.4.3. Modal

Di dalam ilmu ekonomi, modal adalah salah satu faktor produksi. Menurut Suardi 2004 modal merupakan sumber daya industri yang harus ditetapkan dan disediakan. Penggunaan sumber daya harus direncanakan dan dipertimbangkan efisiensinya, termasuk untuk kebutuhan di masa yang akan datang. Pada umumnya permodalan usaha kecil masih lemah, modal yang dikelola biasanya adalah milik pribadi atau keluarga. Bagi usaha kecil untuk memperoleh tambahan modal melalui lembaga keuangan seperti bank tidak mudah. Namun tidak semua pengusaha mengharapkan bantuan modal, menurut Alma 2006 terdapat pengusaha yang tidak mau berhutang, karena takut hutang tersebut menjadi beban hidupnya. Sebaliknya ada yang berpendapat tanpa hutang, usaha akan sulit berkembang, karena penambahan modal sendiri melalui tabungan memerlukan waktu yang lama, sedangkan peluang usaha yang menguntungkan cepat berlalu. Menurut Dani dan Triyono 1994, masih banyak usaha kecil menghadapi kendala dalam memperoleh fasilitas modal yang disediakan lembaga perbankan, disebabkan: 1 tidak memiliki informasi yang cukup tentang fasilitas modal yang tersedia, 2 kendala pemenuhan persyaratan teknis dan administrasi yang ditetapkan lembaga keuangan terutama perbankan, dan 3 tidak dapat membuat proposal dengan benar.

2.4.4. Tenaga kerja

Tenaga kerja yang memiliki kompetensi, merupakan aset utama bagi industri dan pemilik usaha. Meredith, dkk 2005 menyatakan bahwa tenaga kerja terampil merupakan sumberdaya langka yang biasanya kurang tersedia. Memiliki tenaga kerja yang mau mencurahkan kemampuannya secara total harus diciptakan dan dikondisikan oleh pemilik usaha. Menurut Suardi 2004 hal ini dapat dilakukan dengan cara memampukan dan memberi kesempatan kepada tenaga kerja untuk merencanakan, menerapkan, dan mengendalikan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Kebebasan dan wewenang perlu diberikan kepada tenaga kerja agar termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Keterlibatan tenaga kerja secara menyeluruh, akan menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab, serta mendorong keinginan meningkatkan kompetensi. Tenaga kerja yang memiliki kompetensi untuk mendapatkannya diperlukan suatu analisis berdasarkan 1 pengetahuan, 2 sikap, dan 3 keterampilan, yang dibutuhkan sesuai sifat dari pekerjaan tersebut. Tempe adalah sejenis makanan yang terbuat dari kedelai, yang dalam proses pembuatannya membutuhkan perhatian khusus yang berkaitan dengan ketaatan kepada ketentuan-ketentuan dalam pembuatan makanan. Jumlah tenaga kerja dan kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri tempe harus disesuaikan dengan jam kerja dan kompetensi yang diperlukan dalam proses pembuatan tempe, sehingga seluruh proses dapat selesai tepat waktu dengan mutu tempe yang baik.

2.4.5. Kebijakan Pemerintah

Menurut Astuti 2008 kenaikan harga kedelai yang mencapai 110 telah menyebabkan kelangkaan bahan baku kedelai di pasaran, dan menggoyahkan usaha kecil. Naiknya harga bahan baku kedelai disebabkan kebijakan pemerintah yang bergantung kepada kedelai impor untuk memenuhi 60 kebutuhan kedelai dalam negeri dan tidak disertai peningkatan produksi di dalam negeri. Menurut Mustofa 2008, 80 bahan baku tempe masih diimpor. Harga 1 kg kedelai saat ini mencapai Rp. 8.000; sedangkan harga normal Rp. 3.500-Rp. 4.000. Lonjakan kenaikan harga ini mulai terasa sejak November 2007; sehingga industri kecil yang memiliki modal terbatas yang umumnya menggunakan bahan baku kurang lebih 25 kg tidak mampu beroperasi. Harga kedelai yang berfluktuasi setiap hari dan terbatasnya modal, menambah berat beban industri tempe. Kondisi ini menjadi semakin sulit karena terbatasnya pasokan kedelai lokal yang diharapkan bisa mengganti penggunaan kedelai impor. Menurut Mulyo 2008 sejak awal tahun 1990, produksi kacang kedelai lokal terus menurun, sampai hilang dari pasar. Pada saat ini pengrajin tempe tidak hanya menghadapi kenaikan bahan baku kedelai, tetapi juga bahan bakar yang terus naik dan sukar diperoleh. Kondisi yang tidak menguntungkan ini, membuat pengrajin tempe berharap kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk dapat mengendalikan harga kedelai agar terjangkau. 2.5. Kompetensi 2.5.1. Aspek Kompetensi Menurut Mardikanto Yustina dan Sudrajat, 2008 setiap manusia, sesuai kodratnya, masing-masing memiliki karakteristik perilaku pengetahuan, sikap dan keterampilan serta daya nalar dan kreativitas yang tidak selalu sama dengan orang lain. Karateristik seseorang sangat menentukan kinerja dan produktivitas seseorang. Kompetensi menurut Finch dan Crunkilton Mulyasa, 2005 adalah penguasaan terhadap tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan. Sumardjo Yustina dan Sudrajat, 2008 mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan. McAshan Mulyasa, 2005, mengemukakan bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai seseorang dan telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut Syah 2005 ketiga perilaku tersebut merupakan sifat psikologis seseorang. Kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam program penyuluhan. Menurut Syahyuti 2006 dalam kegiatan penyuluhan ada tiga hal yang menjadi obyek untuk diubah, yaitu pengetahuan aspek kognitif, sikap aspek afektif dan keterampilan aspek psikomotorik. Perubahan perilaku adalah tujuan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan penyuluhan, yaitu bertambahnya informasi, tumbuhnya keterampilan, serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki. Menurut Arikunto 1991 pemisahan antara ranah kognitif, afekif dan psikomotor merupakan sesuatu yang tidak semestinya, karena tindakan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, segala tindakannya merupakan suatu kebulatan, sehingga kompetensi tidak dapat dipisahkan menjadi tiga aspek. Ketiga aspek kompetensi tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan satu sama lain, bahkan ada dalam kebersamaan. Seseorang yang berubah tingkat pengetahuannya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah sikap dan perilakunya. Aspek pengetahuan atau aspek kognitif dijelaskan Syah 2005 bahwa setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Menurut Gafur 1989 yang termasuk aspek pengetahuan ialah semua tingkah laku yang menggunakan kemampuan intelektual. Aspek sikap atau aspek afektif oleh Van den Ban dan Hawkins 2005 didefinisikan sebagai perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang, yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen-komponen sikap adalah perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk bertindak. Sikap adalah kecenderungan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konskuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan obyek sikap. Aspek afektif berkaitan dengan pandangan atau pendapat opinion dan sikap atau nilai attitude, value, dinilai penting oleh Meredith, dkk 2005 dengan menegaskan bahwa prestasi total sebuah usaha terutama ditentukan oleh sikap dan tindakan dari wirausahawan. Keterampilan atau aspek psikomotor menurut Arikunto 1991 menunjukkan pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot dengan gerakan-gerakannya. Ranah psikomotor berhubungan erat dengan kerja otot, yang menyebabkan gerak tubuh atau bagian-bagiannya. Aspek ini meliputi semua tingkah laku yang menggunakan syaraf dan otot badan, menurut Esseff Gafur. 1989 yang termasuk di dalam aspek keterampilan adalah: 1 pendengaran auditory, 2 penglihatan visual, ucapan verbal, mengubah manipulate, menulis, dan meraba. Berdasarkan definisi kompetensi yang telah diuraikan di atas, maka dalam peneltian ini kompetensi diartikan sebagai kemampuan atau kecakapan yang dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk 1 pengetahuan, 2 sikap dan 3 keterampilan dalam bidang: pembuatan rencana usaha, produksi, pemasaran hasil produksi, evaluasi kinerja usaha, dan perbaikan mutu. Kompetensi yang dibutuhkan pengrajin tempe, dapat diidentifikasi melalui pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan pengrajin sebagai pemilik sekaligus sebagai pekerja dan pengelola usaha atau manajer industri tempe. Identifikasi kompetensi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Menurut Hall dan Prihartoro Mulyasa, 2005, sumber yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kompetensi, adalah: 1 Analisis taksonomi taxonomic analysis 2 Masukan dari kalangan profesional input from the profession 3 Membangun teori theoretical contructs 4 Analisis tugas task analysis Semua sumber yang telah dikemukakan satu sama lain saling melengkapi, dengan demikian bila proses pengidentifikasian menggunakan berbagai sumber akan diperoleh hasil yang lebih baik.

2.5.2. Kompetensi Pengrajin Tempe

Pengrajin tempe sebagai pemilik sekaligus pengelola usaha, akan mencapai kinerja yang tinggi bila fungsi-fungsi manajemen berproses dengan benar. Menurut Terry dan Rue 1988 terdapat lima fungsi manajemen, yaitu: perencanaan planning, pengorganisasian organizing, kepegawaian staffing, pengarahan motivating, dan pengawasan controlling. Menurut Herjanto 2004 kegiatan manjemen memerlukan pengetahuan yang luas karena mencakup berbagai fungsi manajemen, seperti sumber daya manusia, material, modal, mesin, manajemen atau metode, enerji, dan informasi, yang diintegrasikan untuk menghasilkan barang atau jasa. Integrasi merupakan penggabungan dua atau lebih sumber daya dalam berbagai kombinasi yang terbaik. Pengrajin sebagai manajer dituntut untuk mempunyai kemampuan kerja secara efisien agar dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan memperkecil limbah. Menurut Ravianto 1986 tugas seorang manajer pada dasarnya adalah plan, do, check, dan action, yaitu merencanakan, mengimplementasikan yang telah direncanakan, melakukan evaluasi dan melakukan perbaikan. Menurut Suardi 2004 sistem manajemen mutu, menempatkan pelanggan sebagai unsur penting dengan cara meletakkan plan, do, check, dan action, sebagai metode perumusan seluruh proses operasi industri. Perencanaan planning menurut Ely Gafur, 1989 adalah suatu proses dan cara berpikir yang dapat membantu menciptakan hasil yang diharapkan. Menurut Siagian 1993 perencanaan pada dasarnya merupakan pengambilan keputusan sekarang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan. Berarti apabila fokusnya pada perencanaan usaha industri tempe, maka langkah- langkah atau kebijakan tertentu yang harus diambil pengrajin tempe guna menjamin proses produksi berjalan sesuai tujuan yang ingin dicapai, untuk itu perencanaan memuat hal-hal yang berkaitan dengan strategi pengadaan bahan baku, penggunaan peralatan, tenaga kerja, modal, tempat usaha dan pemasaran. Dalam mengelola usaha, pengrajin akan menghadapi berbagai ketidak pastian dan keterbatasan sumberdaya, untuk mencapai kinerja yang maksimal atau memperkecil risiko yang harus ditanggung pengrajin, maka membuat rencana usaha merupakan suatu kebutuhan. Menurut Gafur 1989 pentingnya suatu perencanaan adalah: 1 mengganti keberhasilan yang diperoleh secara tidak pasti, 2 sebagai alat untuk menemukan dan memecahkan masalah, dan 3 memanfaatkan sumberdaya secara efektif. Produksi do merupakan implementasi dari rencana yang telah dibuat. Secara umum menurut Herjanto 2004 produksi merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan penciptaanpembuatan barang, jasa, atau kombinasinya, melalui proses transformasi dari masukan sumber daya produksi tenaga kerja, kedelai, modal, peralatan, manajemen atau metode, dan informasi menjadi keluaran yang diinginkan tempe yang bermutu. Evaluasi merupakan pengukuran Check terhadap proses yang sedang dan sudah berjalan serta produk yang dihasilkan. Menurut Suardi 2004 evaluasi kinerja harus memberikan dasar mengenai apa yang seharusnya terjadi dengan usaha pada faktor atau bidang tertentu yang harus diperbaiki efektivitas, efisiensi, dan adaptibilitasnya. Evaluasi pada industri tempe mencakup mutu tempe, omset yang diperoleh. Mutu tempe merupakan pencerminan kedelai dan proses produksi yang baik, sedangkan omset mencerminkan kinerja pemasaran. Hasil evaluasi merupakan informasi yang harus ditindaklanjuti action. Efektivitas tindakan perbaikan merupakan tolak ukur kemauan dan komitmen pengrajin tempe terhadap mutu. Dengan mengidentifikasi pekerjaan pengrajin tempe, dapat diketahui kompetensi yang harus dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan, sebagai pembuat sekaligus sebagai pengelola usaha industri tempe. Identifikasi dilakukan melalui pengkajian proses pembuatan tempe grade I yang dikemukakan Rayandi 2008. Diagram alir proses pembuatan tempe grade I disajikan pada Gambar 1. • Kedelai yang rusak atau busuk dibuang. • Kedelai dibersihkan dari kotoran yang menempelkerikil. • Kedelai direbus selama 1-2 jam. Perebusan dilakukan untuk mematangkan dan mengembangkan kedelai. • Kedelai ditekan-tekan menggunakan mesin memisah kulit. • Kacang kedelai yang telah terlepas dari kulitnya direndam agar kulitnya mengambang. • Kulit yang telah mengambang dibuang. • Kedelai yang sudah bersih dari kulitnya, direndam di dalam air bersih selama 12 -15 jam. • Kedelai direbus selama 1-2 jam. Perebusan bertujuan menghilangkan bau dan bakteri selama perendaman. • Kedelai ditiriskan selama 1-2 jam, di atas tampah, dengan cara meletakkan kacang kedelai secara merata dan tipis. • Kacang kedelai yang sudah dingin dan kering diinokulasi dengan ragi kapang rhizopus. • Jumlah ragi yang diberikan 2 dari berat kacang kedelai. • Tempe dicetak dan dibungkus menggunakan daun pisangpelastik. pembungkus harus dibuat berlubang- lubang agar ragi memperoleh udara selama fermentasi. • Ukuran cetakan sesuai permintaan pasar. • Kacang kedelai yang telah dibungkus disimpan selama 36 jam di rak-rak. • Penyimpanan tidak dilakukan dengan cara ditumpuk. • Selanjutnya tempe ditutup dengan karung goni yang tidak pernah dibuka selama proses fermentasi. • Pada poses peragian tangan pekerja dan peralatan harus steril, terutama dari garam. • Dicari tempe yang tidak jadirusak disisihkan, agar tidak turut terjual. Gambar 1: Diagram alir proses pembuatan tempe grade I Kacang Kedelai Mensortir dan membersihkan kacang kedelai Merebus kacang kedelai I Mengupas dan memisahkan kulit kacang kedelai Merendam kacang kedelai Merebus kacang kedelai II Meniriskan kacang kedelai Melakukan inokulasi Mencetak dan membungkus Melakukan fermentasi Memanen dan mensortir tempe sebelum dijual Tempe siap jual Berdasarkan proses pembuatan tempe yang tersaji pada Gambar I, maka seorang pengrajin tempe harus memiliki kompetensi sebagai berikut: 1 Kompetensi dalam bentuk pengetahuan: • Penggunaan peralatan • Pemilahan bahan yang digunakan kedelai, kapang, air • Teknis pembutan tempe • Kebersihan ruang dan lingkungan kerja • Keamanan pangan • Keselamatan kerja • Perawatan peralatan kompor, rak fermentasi, tampah, ember, tong, garpu, cetakan, pengaduk kayu, dandang, karung goni Pengetahuan yang berkaitan dengan pengelolaan usaha industi tempe meliputi: • Perencanaan usaha • Studi pasar • Pelayanan terhadap pelanggan • Evaluasi kinerja usaha • Perbaikan mutu • Pengembangan mutu • Pengelolaan dan pembukuan keuangan • Pengadaan kedelai • Pengelolaan tenaga kerja 2 Kompetensi dalam bentuk sikap terhadap: • Kebersihan peralatan kompor, rak fermentasi, tampah, ember, tong, garpu, cetakan, pengaduk kayu, dandang, karung goni • Penggunaan bahan kedelai, kapang, air • Prosedur standar pembuatan tempe • Kebersihan ruang dan lingkungan kerja • Keamanan pangan • Keselamatan kerja • Pelayanan kepada pelanggan 3 Kompetensi dalam bentuk keterampilan: • Menggunakan dan memelihara peralatan kompor, rak fermentasi, tampah, ember, tong, garpu, cetakan, pengaduk kayu, dandang, karung goni • Memilih bahan yang akan digunakan kedelai, kapang, air • Membersihkan ruang dan lingkungan kerja • Menjaga keselamatan kerja • Membuat rencana usaha • Membukukan keuangan • Melakukan evaluasi dan perbaikan mutu • Menerapkan sistem manajemen mutu • Melakukan studi pasar • Melayani pelanggan • Membuat tempe, meliputi: − Mensortir dan membersihkan kacang kedelai − Merebus kedelai ke 1 − Mengupas dan memisahkan kulit kedelai − Merendam kedelai − Merebus kedelai ke 2 − Meniriskan kedelai − Melakukan inokulasi − Mencetak dan membungkus − Melakukan fermentasi − Memanen dan mensortir tempe sebelum dijual Tingkat kompetensi pengrajin industri tempe, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu aspek internal dan eksternal. Aspek internal adalah faktor yang melekat pada diri pengrajin sebagai pelaku industri, sedangkan aspek eksternal adalah faktor yang berada di luar diri pengrajin. Faktor internal yang mempengaruhi kompetensi adalah: usia, pengalaman, pendidikan formal, sifat wirausaha dan motivasi. Sedangkan faktor eksternal adalah peluang pasar, bahan baku, modal, tenaga kerja, dan kebijakan pemerintah daerah.

2.6. Kinerja Industri Tempe

Menurut Riyanti 2003 salah satu langkah untuk mengukur keberhasilan usaha kecil adalah melakukan penilaian kinerja. Rue dan Byars Riyanti, 2003 mendefinisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil atau tingkat pencapaian tujuan organisasi. Menurut Ghost Riyanti, 2003 pencapaian tujuan dari suatu industri atau usaha kecil, dapat diukur dari perolehan laba bersih. Laba bersih memberi gambaran kinerja suatu perusahan, namun bagi usaha kecil angka-angka yang pasti bukan sesuatu yang mudah. Oleh sebab itu untuk mengukur kinerja industri tempe, dalam penelitian ini menggunakan omset hasil penjualan selama satu bulan. Penggunaan parameter ini karena omset mempunyai korelasi positif dengan laba. Omset juga mempunyai korelasi dengan mutu produk, maka dalam penelitian ini aspek mutu juga dijadikan alat untuk menilai kinerja industri tempe. Menurut Prawirosentono 2007 produk bermutu prima akan lebih atraktif bagi konsumen, bahkan akhirnya dapat meningkatkan volume penjualan. Lebih dari itu, produk bermutu mempunyai aspek penting lain, yakni: 1 Konsumen yang membeli produk berdasarkan mutu, umumnya mempunyai loyalitas yang besar dibandingkan dengan konsumen yang membeli produk berdasarkan orientasi harga. 2 Memproduksi produk bermutu tidak harus lebih mahal, karena bagaimana cara yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas. 3 Menjual produk yang tidak bermutu, pengusaha akan banyak menerima keluhan, dan citra terhadap produknya tidak baik. Berdasarkan ketiga faktor tersebut di atas, memproduksi tempe bermutu lebih menguntungkan dibandingkan dengan memproduksi tempe bermutu rendah. Industri yang dapat menghasilkan tempe bermutu akan memperoleh banyak pembeli, yang berarti meningkatnya omset. Mutu kedelai dan proses pembuatan menentukan mutu tempe yang dihasilkan. Tempe yang bermutu baik dapat dilihat dari proses pembuatan, persentase kedelai dan mutu kedelai yang digunakan. Mutu tempe juga dipengaruhi oleh waktu simpan sejak dipanen sampai dimasak. Menurut kalangan profesional ciri-ciri tempe yang masih baik dan sudah buruk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Ciri-ciri tempe yang baik dan buruk Aspek Mutu Baik Buruk 1. Visual • Putih merata • Putih ada banyak bercak hitam 2. Tekstur • Sedang • Lembek 3. Aroma • Khas tempe baru seperti aroma kedelai rebus • Khas tempe hampir busuk berbau amoniak Mutu tempe dibagi berdasarkan persentase kandungan kedelai, dan proses perebusannya. Pembagian mutu tempe disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Pembagian grade mutu tempe Mutu Tempe Persentase Kedelai Proses Perebusan 1. Grade I Sangat baikSuper 100 2 X 2. Grade I Baik 100 1 X 3. Grade III Cukup baik ± 90 1 X 4. Grade IV Kurang baik ± 80 1 X

III. KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Berpikir

Setelah menelaah tinjauan pustaka yang diuraikan pada Bab 2, dapat diketahui bahwa kompetensi pengrajin tempe berhubungan dengan keberhasilan dalam mengelola usaha, sedangkan kompetensi berhubungan dengan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi 1 usia, 2 pengalaman, 3 pendidikan formal, 4 sifat kewirausahaan, dan 5 motivasi. Sedangkan faktor eksternal meliputi 1 peluang pasar, 2 ketersedian bahan baku, 3 modal, 4 tenaga kerja, dan 5 kebijakan pemerintah. Sejauh mana keberhasilan usaha industri tempe, untuk mengetahuinya digunakan parameter kinerja yang dicapai. Rue dan Byars Riyanti, 2003 mendefinisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil atau tingkat pencapaian tujuan organisasi. Berdasarkan hubungan antara kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe, dapat dirancang kerangka berpikir yang terdiri dari dua peubah tak bebas yakni, kompetensi pengrajin tempe Y 1 , dan kinerja industri tempe Y 2 , untuk peubah bebas dibagi menjadi dua yaitu faktor internal X 1 dan eksternal X 2 . Kompetensi pengrajin tempe Y 1 memuat aspek: membuat rencana usaha, memproduksi, memasarkan hasil produksi, melakukan evaluasi kinerja usaha, dan melakukan perbaikan mutu. Sedangkan untuk kinerja industri tempe Y 2 memuat aspek: omset dan mutu tempe. Faktor internal X 1 terdiri dari, usia X 1.1 , pengalaman X 1.2 , pendidikan formal X 1.3 , sifat wirausaha X 1.4 , dan motivasi X 1.5 . Faktor eksternal X 2 terdiri dari: peluang pasar X 2 . 1 , bahan baku X 2.2 , modal X 2.3 , tenaga kerja X 2.4 , dan kebijakan pemerintah X 2 . 5 . Berdasarkan uraian kerangka berpikir tersebut, maka penelitian “Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur” disajikan dalam diagram Gambar 2.