Kegiatan-Kegiatan PEKKA di Desa Dayah Tanoh 1

Tahap sosialisasi merupakan kegiatan yang sangat sulit bagi PL karena mereka harus menghadapi dan membujuk perempuan kepala keluarga untuk mau bergabung dan menerima program pemberdayaan ini. PL harus menjelaskan secara detail maksud dan tujuan program dimanapun bertemu dengan sasaran. Karenanya dibutuhkan usaha keras dan kesabaran yang tinggi untuk membuat calon sasaran mengerti dan bersedia mengikuti program, apalagi individu-individu yang dihadapi adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah dan sebagian besar lanjut usia sehingga sulit dalam berkomunikasi. “Pada awal masuk program ke desa ini, selain faktor keamanan, kesulitan lain adalah bagaimana saya mendekati dan menjelaskan kepada janda-janda tentang maksud dari program ini. Cara yang saya lakukan pertama adalah buat pertemuan di Meunasah dengan Ibu-ibu janda, saya datangi ke rumah mereka satu-satu untuk saya jelaskan maksud program, bertemu di warung-warung juga saya ajak ngobrol, pelan-pelan lah. Saya harus menjelaskan dengan bahasa saya supaya mereka mengerti, apalagi mereka banyak yang udah tua-tua, banyak gak sekolah jadi agak susah kita ngomong. Tetapi dengan kesabaran dan kerja keras saya, akhirnya mereka mau bergabung dalam program walaupun belum sepenuhnya mengerti tentang program tersebut. Saya pikir nanti kan bisa dijelaskan lagi dalam setiap pertemuan kelompok. Yang penting mereka udah mau dulu bergabung. MD ” Pertemuan pertama kegiatan sosialisasi dilaksanakan di meunasah yang dihadiri oleh perempuan kepala keluarga, PL, perwakilan PEKKA Provinsi, tuha peut dan aparat Desa Dayah Tanoh. Dalam pertemuan tersebut semua perempuan kepala keluarga 25 orang hadir. Pertemuan dimulai dan dibuka oleh kepala desa dengan memperkenalkan tamu-tamu perwakilan dari PEKKA, kemudian dilanjukan dengan penyampaian maksud, tujuan dan manfaat program oleh perwakilan PEKKA. Setelah itu, PL memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk bertanya dan menyampaikan pendapatnya mengenai program yang akan dilaksanakan. Dalam pertemuan tersebut belum semua perempuan kepala keluarga mau bertanya atau menyampaikan pendapatnya, hanya beberapa orang saja yang bersedia bertanya. “Pertemuan pertama sekali itu waktu sosialisasi program ya, kita undang semua perempuan kepala keluarga yang ada di desa ini ke meunasah. Waktu itu yang hadir kalau gak salah sekitar 25 orang. Waktu itu hadir perwakilan PEKKA dari provinsi untuk menjelaskan maksud, tujuan dan manfaat program kepada perempuan-perempuan ini. Ada pak Geuchik juga, ada tuha peut juga. Dalam pertemuan itu, terlihat perempuan kepala keluarga itu masih malu-malu ya, masih takut-takut. Waktu dipersilakan untuk bertanya atau kasih pendapat, mereka malu-malu hanya beberapa orang saja yang berani bertanya, kayak ibu NT, Am yang lain pada diam. MD ” Seperti Bapak MD, Ibu NC juga menyampaikan: “Pada mula masuk program ini kan kami gak tau apa-apa, tujuannya apa, manfaat untuk kami apa kan gak tau. Jadi pertama kali dulu, kami yang janda-janda di kampung ini disuruh datang ke Meunasah ya oleh pak geuchik dipanggil melalui mix, katanya ada program untuk kami. Iya kami datang ya, di sana sudah hadir pak geuchik, pak MD selaku PL, ada orang dari Banda Aceh juga. Pertama-tama pak geuchik membuka rapat, cerita keinginan dan tujuan mereka datang ke kampung ini, kemudian pak MD bicara dan perwakilan dari Banda Aceh. Mereka menjelaskan tentang program PEKKA ini. Setelah mereka bicara kemudian mereka menyuruh kami untuk bicara, kalau ada yang bertanya silakan. Tapi waktu itu hanya dua orang dari kami yang bertanya kalau gak salah, mungkin gak berani ya, saya sendiri juga gak berani ya, takut salah ngomong, jadi kami hanya diam saja. Dan ketika ditanya mau ikut program ini, semua juga diam. Waktu itu yang hadir sekitar 20 orang ya lebih kurang lah buk...NC ” Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, keengganan untuk mau bertanya atau menyampaikan pendapatnya pada saat pertemuan sosialisasi karena banyak dari mereka tidak berani dan malu, apalagi selama ini mereka tidak pernah menghadiri rapat-rapat desa dan berbicara di muka umum. Berikut adalah kutipan wawancara dengan Ibu Rh: “Iya pada saat pertama kali rapat dulu itu, kan dijelaskan apa itu program PEKKA, setelah itu kami disuruh bertanya, sampaikan pendapat atau sekedar bersuara tapi banyakan dari kami gak berani dan malu untuk ngomong apalagi saat itu banyak orang, ada PL, ada orang dari Banda Aceh, Pak Geuchik dan lain-lain. Selama ini aja kami gak pernah ikut rapat-rapat desa apalagi ngomong depan orang banyak ya gak berani lah. Ada yang bertanya cuma beberapa orang saja, kalau gak salah yang tanya itu Ibu Am yang sekretaris sekarang ama NT bendahara sekarang. Rh ” Menurut salah satu informan yang diam ketika rapat sosialisasi ketika ditanya kenapa tidak bertanya atau memberi pendapat adalah menganggap dirinya kurang cakap dalam berbicara karena tingkat pengetahuan yang rendah dan juga sungkan untuk berbicara langsung didepan orang laki-laki yang hadir saat itu karena masih berpegang pada budaya patriarkhi yang menganggap dirinya lebih rendah dari laki- laki. Seperti yang diutarakan Ibu Hmm yang tidak pernah bersekolah berikut ini: “Pada pertama kali rapat program itu saya gak berani ngomong ya karena takut salah kan saya gak pernah sekolah jadi gak tau mau ngomong apa gimana caranya, apalagi di depan ada pak geuchik, tuha peut, PL kan banyak laki- laki jadi saya gak berani ngomong biar mereka-mereka yang pintar- pintar saja yang ngomong. Hmm ” Berbeda dengan informan yang tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mereka menganggap kesempatan yang diberikan kepada mereka untuk berbicara atau menyampaikan pendapat dalam rapat sosialisasi tersebut merupakan kesempatan yang berharga karena dengan berdiskusi mereka dapat memperoleh lebih banyak informasi mengenai program yang akan dilaksanakan. Mereka tidak merasa takut dan malu untuk bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Seperti yang diungkap Ibu NT, satu-satunya anggota PEKKA lulusan perguruan tinggi: ”Pada rapat awal itu saya ikut sama-sama dengan yang lain juga. Ooo...saya ada berbicara, kalau gak salah saya bertanya waktu itu mengenai siapa saja yang boleh ikut program, saya berani kok bicara kan udah disuruh ngomong, saya tanyakan aja kan kita jadi lebih tau gimana itu program, saya gak malu walaupun ada hadir pak geuchik, tuha peut, dan yang lain kan saya udah biasa kalau ngomong-ngomong gitu, saling diskusi. NT ” Melihat kondisi perempuan kepala keluarga yang masih tertutup dan malu- malu dalam menyampaikan pendapat ketika pertemuan tersebut, PL mencoba pendekatan interpersonal dengan mendatangi rumah mereka satu persatu,tempat- tempat mereka sering berkumpul seperti tempat pengajian ibu-ibu dan ketika bertemu di warung. PL berkomunikasi secara langsung tatap muka untuk mendapatkan feedback dari mereka. Dalam kunjungan ke rumah dan berdialog dengan perempuan kepala keluarga, PL selalu ditemani oleh anggota keluarga perempuan dan dilakukan di teras rumah. Hal ini dilakukan untuk menghindari fitnah, karena dalam nilai-nilai budaya Aceh jika seorang laki-laki mengunjungi dan berbicara dengan seorang perempuan dianggap tidak pantas. Untuk kemudahan dan kelancaran proses komunikasi, bahasa lokal bahasa Aceh adalah bahasa utama yang digunakan karena umumnya mereka tidak paham dan fasih berbahasa Indonesia. “Iya waktu kita buat rapat awal dulu di meunasah, cuma beberapa orang saja yang mau ngomong. Udah kita kasih kesempatan untuk bertanya tapi hanya berapa orang aja yang berani. Mungkin mereka masih malu atau takut ngomong karena rame orang. Jadi lihat kondisi gitu, saya coba datangi rumah mereka satu-satu atau datang ke tempat pengajian ibu-ibu, ternyata mereka lebih berani ngomong kalau di rumah, mereka mau bercerita, juga tanya-tanya tentang program. Ketika saya tanya kenapa waktu di rapat dulu gak mau ngomong, hampir semua mereka jawab gak berani, malu, takut salah ngomong kan rame orang. Tapi setiap berkunjung ke rumah saya selalu minta ditemani oleh anggota keluarga lain, baik itu anaknya, ibunya atau saudaranya agar tidak ada fitanh. MD ” Penjelasan di atas dipertegas oleh Ibu BR berikut ini: “Iya dalam rapat pertama kami takut dan malu untuk ngomong karena banyak orang. Tapi ketika PL datang kerumah dan ngomong-ngomong dengan kami, kami lebih berani. Saya berani bercerita dan tanya-tanya masalah program itu. Sehingga saya bisa paham apa itu program PEKKA. BR ” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tahap penumbuhan ide terlihat bahwa semua perempuan kepala keluarga memiliki akses yang sama untuk menghadiri pertemuan sosialisasi melalui undangan yang disampaikan melalui pengeras suara di meunasah. Pada tahap ini bentuk komunikasi cenderung monolog, karenanya tidak semua perempuan kepala keluarga memberikan feedback terhadap apa yang disampaikan oleh petugas, lebih banyak diam dan mendengarkan. Melihat kondisi demikian, PL mencoba melakukan komunikasi dengan media interpersonal di mana pengirim pesan PL bertatap muka face to face dengan penerima pesan perempuan kepala keluarga. Pendekatan ini lebih efektif karena terjadinya persamaan makna antara penyampai pesan dan penerima pesan sehingga muncul kesepahaman. Melalui tatap muka perempuan kepala keluarga lebih berani dan terbuka dalam menyampaikan pendapat.

6.2 Tahap Perencanaan Program

Perencanaan program merupakan kegiatan komunikasi partisipatif dalam PEKKA untuk merancang, menentukan dan menyusun kegiatan yang akan dilakukan. Aspek perencanaan melibatkan perempuan kepala keluarga meliputi pembentukan kelompok, lokakarya, perencanaan kegiatan simpan pinjam kelompok dan dana bantuan langsung masyarakat. Pembentukan kelompok bertujuan mengefektifkan dan mengefisienkan kegiatan pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Proses pembentukan kelompok dilakukan melalui pertemuan yang difasilitasi oleh PL di meunasah. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, mereka memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Mereka mengaku selalu diundang untuk menghadiri pertemuan-pertemuan yakni pembentukan kelompok, pemilihan pengurus, penentuan visi misi kelompok, dan perencanaan kegiatan kelompok kedepan. Dalam rapat tersebut semua anggota diberikan kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya mengenai siapa pantas dan memiliki kemampuan untuk menjadi ketua, sekretaris dan bendahara kelompok. Semua anggota juga diberi kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi pengurus. Melalui diskusi bersama, mereka memutuskan pengurus adalah orang-orang yang aktif, muda dan memiliki pendidikan lebih tinggi. Karena mereka percaya dengan demikian kelompok akan maju di kemudian hari. Matriks komunikasi pada tahap perencanaan program dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap perencanaan program Kegiatan Isi pesan Bentuk komunikasi Partisipan yang berperan Akses Cara berkomunikasi 1. Pertemuan pembentukan kelompok Informasi mengenai maksud dan tujuan pembentukan kelompok, pemilihan pengurus dan nama kelompok Semua perempuan kepala keluarga diundang dan hadir Dialog PL dan Ibu NT, Am, AA yang berpendidikan tinggi, muda serta aktif 2. Lokakarya peningkatan kapasitas anggota Membangun visi, misi, mengidentifikasi masalah, posisi, status dan kondisi mereka, potensi yang di miliki, membangun harapan bersama Semua anggota diundang dan hadir Monolog dan dialog Hampir semua anggota kecuali anggota yang berumur lanjut 3. Pertemuan perencaan kegiatan simpan pinjam Informasi mengenai besar simpanan pokok, wajib, sukarela, dan tatacara simpan pinjam Semua anggota diundang dan hadir Dialog PL dan semua anggota kecuali anggota yang berumur lanjut 4. Pertemuan perencanaan usulan dana BLM Informasi mengenai cara mengakses, menyusun proposal dan cara pengembalian dana BLM Semua anggota diundang dan hadir Monolog dan dialog PL, bendahara dan semua anggota kecuali anggota yang berumur lanjut Berikut pernyataan Ibu BR: “Pada rapat pembentukan kelompok kami juga diundang. Dan saat itu kami sudah mulai berani ngomong ya, walaupun masih malu-malu. Tapi PL menyuruh kami untuk berbicara jangan takut katanya. Kita semuanya sama, sama-sama belajar kalau selalu malu dan tidak berani kapan bisa maju. Dari situ kami mulai ngomong dan berani kasih pendapat. BR ” Bapak MD juga menyatakan: “Pada rapat bentuk kelompok, milih siapa ketua, sekretaris dan bendahara semua anggota disuruh bicara untuk kasih pendapat, pada saat itu sudah mulai ada yang mau ngomong walaupun masih agak malu-malu. Setelah diskusi dan persetujuan bersama terpilih lah Ibu AA sebagai ketua, Ibu AM sebagai sekretaris dan Ibu NT sebagai bendahara. Mereka mengangkat Ibu AA sebagai ketua karena dia seorang yang aktif dan berani di desa, Ibu AM karena dia masih muda paling muda dalam anggota dan pendidikannya yang lumayan tinggi SMA dan Ibu NT sebagai bendahara karena Ibu NT lulusan perguruan tinggi jadi dianggap lebih pintar dalam ngurusin masalah uang dan belum menikah. MD ” Setelah pembentukan kelompok dan terbangun visi dan misinya, kemudian PL juga memfasilatasi anggota untuk membuat kesepakatan bertemu secara rutin yaitu sebulan sekali yang bertempat di meunasah. Informasi pertemuan diumumkan melalui alat pengeras suara dari meunasah agar semua anggota bisa mendengar. Hal ini dinilai lebih efektif karena sebagian besaranggota adalah buta huruf sehingga jika dibuat undangan tertulis merekapun tidak dapat membacanya. Berikut kutipan wawancara dengan Ibu Hmm: “Iya kami sepakat buat rapat anggota sebulan sekali, undangannya melalui mikrofon biar semua dengar. Materi yang dibahas akan ditentukan pada rapat bulan sebelumnya. Waktu rapat awal dulu kan kami setuju yang jadi ketua itu Ibu AA karena kami anggap dia aktif dan berani bicara, sekretaris AM karena dia masih muda, belum menikah dan tamatan SMA dan bendahara NT karena dia ada kuliah jadi kami anggap lebih pintar dari kami-kami yang tidak sekolah ini. Iya semua dikasih kesempatan untuk jadi pengurus tapi kami lebih percaya ke mereka, karena dengan mereka jadi pengurus bisa buat kelompok kami jadi maju nantinya. Hmm ” Aktivitas berikunya PL memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti lokakarya dan pelatihan baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Salah satu lokakarya yang wajib diikuti oleh semua anggota kelompok adalah peningkatan kapasitas anggota dengan membangun visi dan misi mereka. Perempuan kepala keluarga difasilitasi untuk mengidentifikasi masalah, memahami posisi, status dan kondisi mereka dalam tataran masyarakat, mengidentifikasi potensi yang dimiliki, lalu bersama membangun harapan dan impian yang ingin diraih. Aktivitas diakhiri dengan membangun kesepakatan bersama dalam kelompok. Proses ini juga memberikan kesempatan pada mereka untuk berfikir secara kritis melihat posisi dan kondisi mereka serta membangun motivasi untuk berkembang. Dalam proses ini mereka merumuskan kondisi dan karakteristik perempuan kepala keluarga sebelum mengikuti program. Hasilnya, perempuan kepala keluarga identik dengan: miskin, terkucilkan, terdiskriminasi, tidak diperhitungkan, mengalami trauma, akses terbatas dan korban kekerasan. Melalui program pemberdayaan ini mereka memiliki harapan untuk mengubah kondisi tersebut. Kemudian mereka menyusun visi dan misi bahwa setelah mengikuti program ini mereka harus menjadi perempuan kepala keluarga yang kehudupannya lebih sejahtera, dihormati, setara dengan masyarakat lainnya, sebagai motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. “Waktu awal-awal setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kayak lokakarya untuk peningkatan kapasitas anggota. Disitu kita fasilitasi mereka untuk mengenal dirinya, kehidupannya dalam masyarakat, potensi yang mereka miliki. Setelah itu kita sama-sama bangun harapan untuk berubah dan menjadi lebih baik dengan mengikuti program pemberdayaan ini. Mereka menganggap dirinya miskin, terkucilkan, terdiskriminasi, tidak dihitung, trauma, akses terbatas dan korban kekerasan sebelum mengikuti program. Dan kemudian kita juga rumuskan harapan dan impian ke depannya dimana mereka harus lebih sejahtera, dihormati, setara dengan yang lainnya, jadi motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. Dengan adanya harapan demikian, mereka akan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan program. MD ” Selain itu, anggota juga diberi berbagai topik materi yang berkaitan dengan pengembangan diri seperti yang diungkapkan ibu Rh: “Iya dulu kita setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kalau gak salah untuk peningkatan kapasitas anggota namanya. Di situ kita difasilitasi oleh PL untuk mengenal diri kita sebelum mengikuti program saat itu, kita sama-sama susun. Tersusun lah kalau kami itu miskin, terkucilkan, mengalami trauma, tidak ada akses yang sama, dan lain-lain pokoknya yang gak baik. Kemudian kita merumuskan impian atau harapan setelah mengikuti program ini, kita harus menjadi lebih sejahtera, ada akses, sama kedudukan dengan yang lain. Jadi dengan adanya impian itu kita jadi serius dan bertanggungajawab dalam pelaksanaan program, kalo gak benar-benar kita ikuti berarti impian itu gak tercapai nantinya. Dan Alhamdulillah sekarang sudah ada perubahan ya jadi lebih baik sesuai dengan impian yang kita susun dulu meskipun belum seratus persen. Rh ” Seperti telah diungkapkan sebelumnya, kegiatan pemberdayaan ekonomi yang pertama dilaksanakan adalah kegiatan simpan pinjam. Perencanaan kegiatan simpan pinjam dilakukan melalui musyawarah bersama anggota. Dalam pertemuan tersebut, semua anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk hadir dan memiliki kesempatan untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya. Semua anggota diundang dan hadir. Dalam pertemuan ini hampir semua anggota sudah aktif, berani berbicara, memberi pendapat, saran selama rapat berlangsung. Namun, masih ada beberapa yang masih pasif terutama yang sudah berusia lanjut, mereka hanya hadir dan mendengarkan. Seperti yang diungkapkan Bapak MD: “Iya pada musyawarah untuk kegiatan simpan pinjam, menentukan tata cara simpan pinjam, besar dana simpanan, itu semuanya mereka yang putuskan dalam rapat anggota. Saya hanya memfasilitasi saja. Semua keputusan mereka yang tentukan, karena kegiatan ini kan untuk mereka sendiri, saya paling mengarahkan saja. Tapi di sini udah terlihat semua anggota sudah mulai aktif untuk berpendapat, mereka serius dan melaksanakan rapat dengan bagus, kan mereka udah dapat banyak meteri dan pelatihan sehingga mereka udah lebih berani mengeluarkan pendapat. Tidak ada yang mendominasi, gak ada yang memaksakan pendapatnya, kalau ada yang berbicara yang lain mendengarkan ya. Yang masih banyak diam itu ibu-ibu yang sudah tua ya. Sudah mulai bagus lah. MD ” Menurut hasil wawancara Ibu Sb yang berusia lanjut: “Saya lebih banyak diam, dengarkan saja biar mereka yang muda- muda yang berbicara menentukan. Kami yang sudah tua-tua ini ikut saja ama mereka, pasti keputusan mereka baik dan baik juga untuk kami. Kami senang bisa ikut program ini, walaupun kami sering banyak diam ya tapi kami senang bisa gabung sama mereka. Sb ” Sebagian besar informan menyatakan bahwa sudah ada perubahan ketika mengikuti pertemuan membahas tentang rencana kegiatan, mereka menjadi lebih berani dan aktif dalam mengeluarkan pendapat. Keberanian dan kemampuan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat di depan umum muncul setelah mereka mengikuti beberapa pelatihan, sehingga mereka pun sudah bisa mengemukakan pendapat dengan lebih baik. Hal ini seperti yang diungkapkan Ibu Hmm: “Iya ketika rapat mengenai rencana kegiatan simpan pinjam, kami sudah berani untuk bicara ya, gak malu-malu lagi. Kan kami udah banyak dapat pelatihan, materi dari PL jadi pengetahuan kami jadi tambah, kami juga dilatih untuk bisa berbicara di depan orang banyak. Kan program ini untuk kebaikan kami jadi kami harus sungguh-sungguh biar program ini dapat berjalan dengan baik kedepannya. Lagian kegiatan simpan pinjam ini kan bagus, nanti bisa membantu kami dan keluarga jika ada keperluan mendadak kan bisa minjam. Hmm ” Ibu NT mengungkapkan: “Penentuan besar simpanan wajib, simpanan pokok, dan sukarela anggota kita bahas bersama dalam rapat anggota, tata caranya juga. Dalam rapat itu semua dikasih kesempatan untuk bicara apa