membahasnya, gak ada yang malu-malu bercerita karena kan perempuan semua. FJ
” Selain itu, PL juga memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti
pelatihan kesehatan yang dilaksanakan di Center PEKKA. Berikut adalah kutipan wawancara dengan salah satu anggota kelompok:
“Kalau masalah kesehatan, kami banyak dikasih informasi oleh PL waktu dalam rapat bulanan, khususnya masalah kesehatan wanita. Saya
juga pernah ikut pelatiahan dan diskusi tentang kesehatan di center yang jadi pembicara itu kalau gak salah dokter dari banda aceh.
Kadang-kadang ada juga bidan desa yang kasih penyuluhan kepada kami. Alhamdulillah sekarang saya jadi lebih tau dan tau bagaimana
cara menjaga kesehatan saya. Am
”
7.3 Faktor Sosial Budaya 1. Peran Lembaga KemasyarakatanNorma
Partisipasi anggota kelompok PEKKA dan kualitas komunikasi partisipatif merupakan sarana pemberdayaan perempuan kepala keluarga yang turut ditentukan
oleh peran kelembagaan termasuk norma baik kelembagaan masyarakat, maupun kelembagaan eksternal pemerintah dan non pemerintah. Norma merupakan aturan
sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai.
Dalam norma termuat hal-hal tentang keharusan, dianjurkan, dibolehkan, atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma
tersebut, dalam setiap kehidupan bermasyarakat diselenggarakan penegendalian sosial atau social control Soekanto 2006.
Norma dalam masyarakat sangat berpengaruh menentukan kualitas komunikasi partisipatif di masyarakat. Norma yang berlaku dalam masyarakat desa
Dayah Tanoh masih kental dengan budaya patriarki. Patriarki adalah sistem yang selama ini meletakkan perempuan terdominasi dan tersubordinasi. Di mana
hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan dominan sedangkan perempuan sebagai sub-
ordinat, “laki-laki menentukan sementara perempuan ditentukan”. Kondisi ini juga terlihat dalam
aktivitas keseharian mereka. Dalam pekerjaan sehari-hari misalnya umumnya laki- laki terlihat lebih dominan dalam mengontrol, menentukan serta melakukan
pekerjaan utama dibandingkan perempuan. Umumnya perempuan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi pekerjaan domestik saja. Kondisi
masyarakat ini tentu saja sangat tidak memihak kepada kehidupan perempuan kepala keluarga yang ada di Desa Dayah Tanoh, dimana mereka harus bekerja di
luar rumah untuk mencari nafkah dan sekaligus harus mengerjakan pekerjaan domestiknya, makanya kehidupan perempuan kepala keluarga di desa ini sebelum
mengikuti PEKKA berada pada tingkatan rendah. Dimana mereka tidak mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki.
Kehidupan mereka terkekang oleh adanya norma tersebut. Karena mereka tidak bisa melakukan pekerjaan produktif yang biasanya dilakukan oleh laki-laki
sementara mereka adalah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Mereka juga sering tidak diikutkan dalam kegiatan desa, misalnya dalam rapat desa mereka
hanya sebagai pelengkap saja, mereka tidak pernah dimintai pendapat ataupun saran sehingga mereka sering tidak hadir dalam kegiatan di desa. Karena semua kegiatan
hanya mendengar dan berdasarkan aspirasi kaum laki-laki saja. Seperti yang dituturkan Ibu Hmm:
“Di sini kan kedudukan perempuan dan laki-laki itu jauh berbeda ya. Perempuan dianggap menjadi nomor dua dalam berbagai hal apalagi
kami janda-janda ini. Perempuan itu kerjaannya di rumah, ngasuh anak, masak, nyuci dan lain-lain. Kalau cari uang itu ya suami. Tapi
gimana dengan kami janda ini, kalau gak kerja mau makan apa coba, orang saya jadi kepala keluarga anak saya mau makan apa, jadi saya
harus tetap kerja jualan kue ke pasar walaupun banyak masyarakat lain yang cemoohin saya, saya gak peduli. Yang penting kerjaan saya
halal dan tidak mengganggu orang lain. Tapi setelah ada program ini semuanya jadi berubah, saya menjadi lebih paham kedudukan dan hak
saya sebagai kepala keluarga. Masyrakat disini juga udah berubah, udah banyak yang mengerti setelah melihat keberhasilan kami setelah
mengikuti program ini. Hmm
” Pun demikian seperti juga diungkapkan Ibu NC:
“...Gak ya, kalau ada rapat di meunasah itu kan penguman atau undangan dengan cara diumumkan di mix mikrofon yang dipakai
untuk azan, agar semua warga disuruh hadir ada rapat. Ya saya malas ikut rapat karena kita disana gak pernah dimintai pendapat,
kita perempuan hadir hanya sebagai pendengar saja dan biasanya ngurusin nyediain kue dan minum buat bapak-bapak. Keputusan rapat
kan ditangan bapak-bapak. Jadi saya sering gak datang. Tapi sekarang ada sedikit perubahan setelah saya ikut program ini. Kalau
di undang rapat, saya sengaja hadir dan jika kita-kita gak dimintai pendapat dan kalau hasil rapat tidak memuaskan perempuan, saya
sudah berani untuk bersuara supaya pendapat dan kebutuhan perempuan juga didengarkan oleh bapak-bapak. Jadi sekarang kami
ini sudah dianggap lah kedudukannya di desa ini. BR
” Budaya patriarkhi merupakan salah satu penyebab terhambatnya
pelaksanaan kegiatan PEKKA pada awal program. Apalagi sasaran dari program ini adalah perempuan kepala keluarga yang selama ini kehidupan mereka jarang
bahkan tidak pernah mendapat perhatian dari pihak manapun. Namun usaha PL
dalam melakukan pendekatan secara interpersonal dan dialogis, kesadaran dan minat masyarakat untuk berubah semakin tinggi. Lebih lanjut, keberhasilan anggota
PEKKA dalam menjalankan usaha serta kehidupan sosial mereka membuat pemikiran masyarakat lain di sekitar mereka menjadi lebih terbuka dan budaya
patriarki mulai perlahan-lahan tersamarkan. Sekarang perempuan di sini telah memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar, ekonomi dan politik serta
dapat mengakses aset-aset produktif sama dengan laki-laki.
Selain faktor norma, kelembagaan masyarakat juga memepengaruhi perilaku komunikasi partisipatif. Adapun Kelembagaan masyarakat tersebut seperti
Pemerintahan Desa, Tuha Peut, PKK, Posyandu, dan kelompok pengajian. Namun yang memiliki peran dan dukungan besar dalam program PEKKA adalah
Pemerintahan Desa dan Tuha Peut. 1
Pemerintahan Desa Pemerintahan desa merupakan faktor pendorong percepatan keberhasilan
pembangunan di tingkat desa. Perangkat desa Dayah Tanoh sangat mendukung program pemberdayaan PEKKA ini. Sosialisasi dan pengenalan program oleh pihak
PEKKA difasilitasi oleh pihak aparat desa. Ini adalah bentuk dukungan pemerintahan desa dalam membangun kapasitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Desa
menyambut baik rencana dan kehadiran program serta siap membantu mensukseskannya. Meskipun pada awalnya ada sedikit salah paham mengingat saat
masuknya program ini, kondisi Aceh dalam keadaan darurat militer sehingga pemerintah desa harus berhati-hati dalam menjalankan tugasnya agar tidak ada
kecurigaan dari pihak-pihak yang sedang bertikai. Diterimanya kehadiran Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh diperkuat oleh penuturan Kepala Desa:
“Saya sebagai geuchik kepala desa di desa ini sangat mendukung program PEKKA ini karena bisa memajukan para janda-janda di desa
ini dan juga bisa membawa dampak baik untuk kemajuan desa kami. Meskipun dulu pada awal masuk saya sempat salah paham dengan PL,
karena dulu masa konflik kan jadi saya sangat hati-hati dalam menerima orang apalagi ini program untuk janda kan sangat takut kita
apa ini dari pihak GAM atau RI. Jadi setelah dijelaskan oleh PL saya ngerti dan memberi izin untuk pelaksanaan program ini. MYH
” Lebih lanjut diungkapkan:
“Peran aparat desa atau saya sebagai geuchik hanya memfasilitasi pelaksanaan program, memotivasi kepada anggota agar serius dalam
mengikuti program karena program ini sangat bagus. Saya juga membantu PL memberi informasi mana-mana saja keluarga janda di
desa ini. Saya juga memberi izin berupa tandatangan jika ada anggota yang mengikuti pelatihan ke luar desa dan saya juga memberi izin
ketika mereka dulu mengajukan proposal untuk dapat dana usaha kan saya harus tanda tangan juga. Saya juga pernah diundang kalau
mereka buat rapat ya, ya saya hadir tapi saya tidak mencampuri keputusan mereka saya hanya mendengar dan memberi nasehat saja,
sejauh ini saya melihat program ini sangat baik dan keputusan- keputusan mereka juga sangat saya dukung. MYH
” Sebelum melaksanakan program, pihak penyelenggara harus terlebih dahulu
mendapatkan izin dari pemerintahan desa. Karena selanjutnya, kegiatan ini akan menjadi merupakan tanggung jawab dari desa ini. Tanggung jawab yang diberikan
pihak aparat desa terhadap kegiatan di wilayahnya adalah dengan mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan, melakukan kontrol serta koordinasi terhadap
kegiatan yang ada. Seperti penjelasan salah satu anggota kelompok berikut ini:
“Iya pak geuchik sangat mendukung program ini. Dia juga hadir ketika kami mengundangnya untuk rapat walaupun hanya sebagai
penasehat, dia juga bersedia memberi izin dengan tanda tangan kalau kami butuh izin untuk ikut pelatihan, menandatangani proposal kami,
mengizinkan kami untuk melakukan kegiatan di balai desa. Am
” 2
Tokoh masyarakat Tuha Peut kelembagaan perwakilan masyarakat adalah sebutan masyarakat
Aceh kepada tokoh masyarakat yang ada di desanya, terdiri dari empat orang tokoh masyarakat yang diangkat oleh masyarakat. Tokoh masyarakat adalah pengayom
masyarakat, tempat berbagi cerita serta pengalamandan menjadi suri tauladan masyarakat. Tuha Peut adalah orang yang dituakan, disegani, dihormati, memiliki
status sosial yang prestise di lingkungan masyarakat, berkepribadian baik serta merupakan orang terpandang di dalam masyarakatnya.
Dalam pelaksaan program PEKKA, tuha Peut berperan sebagai penasehat memberi masukan dan saran serta membantu menyelesaikan masalah yang terjadi
dalam kegiatan pemberdayaan ini. Tuha peut juga berperan sebagai fasilitator pada saat sosialisasi program bersama-sama dengan PL. PL meminta mereka untuk
membantu dirinya dalam memberikan penyadaran dan motivasi kepada perempuan kepala keluarga untuk dapat berpartisipasi aktif dan mau menerima program ini.
Tuha Peut juga kadang sering diundang dalam rapat anggota PEKKA serta dimintai saran. Seperti yang diungkapkan salah seorang Tuha Peut berikut ini:
“Saya cuma memantau program ini. Saya beri nasehat kalau mereka minta nasehat kepada kita, saya mengingatkan jangan sampai
kegiatan dalam program itu menyalahi aturan agama dan budaya aceh. Saya dulu juga pernah diminta bantu oleh PL untuk menjelaskan
kepada janda-janda disini apa itu PEKKA dan memotivasi mereka supaya mau ikut program ini. Saya juga sering diundang rapat sama
mereka, saya cuma jadi penasehat saja, itu saja. Ib
” Peran dari tokoh masyarakat ini hanya sebatas memberikan nasehat,
pengarahan, dan saran. Sebagai tokoh masyarakat, kehadirannya dalam suatu
komunitas atau kegiatan yang dilaksanakan sangat memberikan manfaat, dikarenakan tokoh masyarakat telah melalui dan mengikuti berbagai macam
kegiatan di sepanjang pengalaman hidupnya sehingga dapat saling berbagi. 2. Bahasa
Bahasa pengantar yang digunakan dalam program juga mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga. Bahasa yang digunakan oleh PL
adalah bahasa daerah yaitu bahasa Aceh mengingat sebagian besar perempuan kepala keluarga tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa daerah,
mereka merasa lebih leluasa dalam berbicara dan menyampaikan pendapat. Berikut kutipan wawancara dengan Ibu Rh yang tidak bisa berbahasa Indonesia:
“Iya bahasa sangat mendukung ya, karena kami disini banyak gak bisa bahasa Indonesia. Jadi PL harus bisa bahasa Aceh sehingga kami cepat
mengerti dan kalaupun ada yang mau kami tanyakan bisa langsung bertanya gak usah diterjemahkan. Jadi kami senang karena PL kami
semuanya bisa bahasa Aceh jadi kami cepat tahu apa yang disampaikan. Rh
”
7.4 Ikhtisar
Pennerapan komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam PEKKA dipengaruhi oleh faktor individu, peran pendamping dan faktor sosial
budaya. Adapun faktor individu meliputi umur, pendidikan, alokasi waktu yang dipengaruhi oleh sebab menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan, dan jenis
pekerjaan dan motivasi mereka mengikuti program.
Peran pendamping sebagai fasilitator dan pendidik menyebabkan perubahan bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dari yang bersifat monolog menjadi
cenderung dialog kecuali anggota yang berusia lanjut. Kedudukan anggota dengan PL dalam program ini adalah sejajar sehingga tidak ada yang merasa “digurui”
ataupun “menggurui.” Di mana proses belajar yang terjadi bersifat dialogis atau interaktif, kedudukan PL dengan anggota kelompok setara, dimana mereka menjadi
sebagai pembelajar atau sama-sama menjadi subyek dalam proses belajar.
Dukungan aparat desa dan tokoh masyarakat terhadap pelaksanaan program membuat perempuan kepala keluarga lebih yakin dan serius dalam menjalankan
program, sehingga budaya patriarkhi yang berkembang dalam masyarakat perlahan- lahan dapat tersamarkan. Selain itu, penggunaan bahasa daerah yaitu bahasa Aceh
sebagai bahasa komunikasi antara PL dan perempuan kepala keluarga menyebabkan keakraban anatara keduanya sehingga pelaksanaan kegiatan program mudah
dijalankan. Mengingat sebagian besar perempuan kepala keluarga tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga penggunaan bahasa Aceh merupakan pilihan yang
tepat oleh PL.
8 KEBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA
Proses pembangunan seperti yang didefinisikan oleh sebagian besar agen- agen pembangunan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta
dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu
mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk sampai definisi ini, proses pembengunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender
dan konsep pemberdayaan perempuan di mana perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan.
Jika kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama
untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan. Dalam penelitian ini keberdayaan perempuan kepala keluarga dilihat dari tingkat
kesejahteraan, akses terhadap sumberdaya, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol setelah mengikuti program sesuai dengan tujuan dari program pemberdayaan ini.
Adapun tingkat kesejahteraan dinilai dari peningkatan pendapatan, peningkatan simpanan di kelompok, peningkatan pinjaman di kelompok, tingkat
pengembalian pinjamandan peningkatan aset perempuan kepala keluarga.Peningkatan akses terhadap sumberdaya dinilai dari terbukanya akses sumberdaya bagi anggota
dalam hal: dana emerintah Dana Desa, APBD, dan lain-lain untuk kegiatan hukum, politik, sosial dan ekonomi, dana untuk layanan kesehatan gratis bagi perempuan
miskin, pendidikan dan pelatihan keterampilan yang diadakan oleh pihak lain.
Tingkat partisipasi dinilai dari tingkat kehadiran anggota dalam kegiatan kelompok, tingkat keaktifan para anggota dalam kegiatan untuk menyuarakan
kebutuhannya dalam kelompok, tingkat kehadiran dalam kegiatan yang diadakan pihak lain seperti rapat desa, musrenbang dan lainnya.
Kesadaran kritis dilihat dari: tumbuh kebutuhan belajar dan mendapat pengetahuan untuk mengembangkan kapasitas diri, peningkatan jumlah masalah yang
berhasil diidentifikasi dan yang berhasil diselesaikan, kemampuan mengadvokasi persoalan atau perlakuan tidak adil yang mereka hadapi ke pihak berwenang untuk
menyelesaikannya.
Peningkatan kontrol dilihat dari: kemampuan membuat keputusan diri sendiri di lingkup rumahtangga, partisipasi aktif dalam mengawasi, mempertanyakan dan
menentukan kegiatan kelompok yang akan dilakukan, mampu mengusulkan dan mengawasi pembuatan kebijakan lokal yang berhubungan dengan persoalan
ketidakadilan yang mereka hadapi.
Keberdayaan tersebut akan dilihat pada setiap tipologi perempuan kepala keluarga berdasarkan bentuk komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan,
yaitu 1 tipologi perempuan kepala keluarga sebagai pendengar, 2 tipologi perempuan kepala keluarga yang kurang aktif dan 3 tipologi perempuan kepala
keluarga yang aktif.
8.1 Perempuan Kepala Keluarga sebagai Pendengar
Perempuan kepala keluarga yang hanya menjadi pendebgar dalam program adalah perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut melebihi 60 tahun yaitu Ibu
Sb. Ibu ini mengikuti program hanya untuk mengisi waktu luang, berkumpul bersama, memperoleh informasi dan pengetahuan. Ibu ini sangat jarang
menyampaikan pendapat, saran atau pertanyaan dalam setiap pertemuan program. Jenis program yang diikuti hanya kegiatan simpan pinjam kelompok dan tidak rutin
melakukan penyetoran. Selain itu, Ibu ini juga tidak pernah melakukan pinjaman di kas kelompok ataupun mengusulkan proposal untuk memperoleh dana bantuan usaha.
Beliau tidak sanggup lagi menjalankan usaha apapun karena usianya yang sudah tua dan sekarang tinggal bersama anak dan menjadi tanggungan anaknya.
Pelaksanaan Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh telah memberi dampak positif terhadap kegiatan perekonomian anggotanya, salah satunya dapat
meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota. Namun, hal ini tidak dialami oleh Ibu Sb disebabkan beliau tidak pernah melakukan pinjaman dan mengusulkan dana
pinjaman usaha karena tidak ingin menjalankan usaha apapun sehingga tidak mendapatkan pendapatan apapun yang dapat digunakan untuk peningkatan aset bagi
dirinya. Selama ini kebutuhan sehari-harinya dipenuhi oleh anaknya, sedangkan uang penyetoran kepada kas kelompok merupakan sisa uang jajan yang diberikan
oleh anaknya rata-rata sepuluh ribu per hari. Berikut pernyataan Ibu Sb:
”......Gak pernah pinjam juga di kas atau modal usaha. Untuk apa saya pinjam kan saya gak sanggaup lagi buka usaha, yang ada saya
kepikiran dah pinjam gak bisa balikin, enak gini aja dikasih dikit-dikit oleh anak saya, untuk setoran kas baru sedikit kalau ada uang lebih
saya setor, biasanya saya dikasih uang sepuluh ribu oleh anak saya buat jajan katanya, hehehee...dah terbalik dulu kita kasih ke dia. Sb
” Keikutsertaan dalam program ini dapat meningkatkan kebahagiaan bathin
bagi Ibu Sb karena beliau merasa terhibur ketika berkumpul dengan anggota lain, bisa saling bercanda, tertawa, memperoleh informasi dan pengetahuan, seperti yang
dijelaskannya berikut ini:
“Saya kan ikut program ini hanya untuk bisa ngumpul ama yang lain, kan saya gak da kerja jadi bisa untuk hiburan, isi waktu, selain bisa tau
informasi dan nambah ilmu juga. Jadi buat senang-senang aja, kan udah tua apa yang saya pikirkan lagi, buat makan dah dikasih anak
saya karena tinggal ama dia sekarang. Sb
” Akses terhadap sumberdaya Ibu Sb adalah dapat mengikuti kelas KF. Mereka
diajarkan baca tulis, seperti yang disampaikannya berikut ini: “Saya ikut kelas buta huruf itu, kan saya dan beberapa anggota lain gak
bisa baca tulis jadi kami diajarkan oleh PL atau kadang-kadang oleh
anggota lain seperti NT atau Am. Kami belajar sampai kami bisa lah tapi agak susah ya karena udah tua ya, tapi pelan-pelan lah, sekarang
saya sudah mengenal huruf. Sb ”
Selain itu, Ibu Sb juga mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis dan bantuan beras untuk orang miskin raskin. Ibu Sb mengaku jika sakit dapat berobat
ke puskesmas atau rumah sakit secara gratis hanya dengan membawa kartu miskin. Bantuan beras miskin diperolehnya per waktu tiga bulan sekali atau kadang-kadang
dalam waktu yang tidak menentu.
“Kalau berobat ke puskesmas gratis ya, kalau mau kerumah sakit juga gratis hanya bawa KTP katanya, soalnya saya belum pernah ke rumah
sakit. Paling kalau saya demam, rematik kambuh ke puskesmas aja dikasih obat udah sembuh jadi gak perlu ke rumah sakit....Iya beras
miskin itu saya dapat, kadang-kadang tiga bulan sekali, gak tentu lah. Biasanya ada pengumuman di Meunasah disuruh ambil beras miskin,
biasa saya cuma dapat sepuluh kilo apa, gak ingat saya, biasa diambil anak saya. Sb
” Tingkat partisipasi Ibu Sb dalam kegiatan di desa cenderung rendah. Dalam
setiap pertemuan dalam program maupun pertemuan desa beliau hanya hadir mendengarkan saja tidak menyampaikan pendapatataupun bertanya. Ibu Sb mengaku
selalu menghadiri pertemuan rutin anggota dan pernah mengikuti rapat desa yang membahas mengenai program PNPM.
“Saya pernah ikut rapat desa, kalau gak salah rapat mengenai program PNPM tapi saya cuma dengar aja gak kasih saran atau bertanya. Saya
ikut aja kalau saya senang dan ada waktu ya ikut untuk hiburan lah...Saya kan dah tua apalagi yang saya pikirkan. Sb
” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberdayaan perempuan
kepala keluarga sebagai pendengar hanya pada tingkat kesejahteraan bathin, akses terhadap kelas KF, pelayanan kesehatan gratis dan raskin, dan partisipasi yang
cenderung rendah, sedangkan kesadaran kritis dan kontrol dalam lingkup keluarga maupun lingkungan belum tercapai.
8.2 Perempuan Kepala Keluarga Kurang Aktif
Perempuan kepala keluarga yang kurang aktif dalam program adalah Ibu Hmm, Ibu Rh, Ibu NC dan Ibu BR. Ibu-ibu ini pada awal masuknya program tahap
sosialisasi mengaku tidak berani menyampaikan pendapat, saran atau pertanyaan dalam pertemuan, mereka lebih memilih diam dan mendengarkan. Namun, setelah
dilakukan pendekatan secara interpersonal, mengikuti pelatihan-pelatihan dan menerima materi-materi pengembangan diri dari PL atau pakar dalam pertemuan
rutin anggota telah merubah pola fikir dan perilaku mereka dalam mengikuti program. Mereka menjadi berani dan aktif dalam pertemuan serta pelaksanaan
kegiatan program, meskipun ada di antara mereka yang mengaku sering terlambat dan jarang mengikuti pertemuan anggota dikarenakan oleh beberapa alasan Ibu NC,
Ibu BR, dan Ibu Hmm.
Pelaksanaan program pemberdayaan ini memberi dampak positif bagi perempuan kepala keluarga tipologi ini. Mereka mengaku dengan adanya program
simpan pinjam kelompok dan dana pinjaman modal usaha dapat meningkatkan pendapatan sehingga meningkatkan kesejahteraan diri serta keluarganya.
Sebelum mengikuti program ini, perempuan kepala keluargaini dapat dikatakan memiliki pendapatan yang rendah dibandingkan dengan rumahtangga
yang kepala keluarga laki-laki. Kehidupan PEKKA ini hanya memiliki usaha kecil- kecilan seperti jualan kue ke warung, jualan kue tradisional, tukang nyuci panggilan
dan menjadi buruhtani pada musim ke sawah. Penghasilan yang mereka terima tidak menentu. Rata-rata mereka hanya mendapatkan uang sebesar Rp15 000 sampai Rp20
000 perhari dari perkerjaannya tersebut. Tetapi setelah mengikuti program pemberdayaan ini dan memiliki usaha masing-masing, kehidupan anggota jauh lebih
sejahtera dan bahkan ada yang memiliki pendapatan melebihi rumahtangga yang kepala keluarga laki-laki.
Peningkatan pendapatan dapat dilihat dari adanya penerimaan penghasilan dari usaha yang telah dijalankan dengan modal pinjaman tersebut, seperti yang
dialami oleh Ibu NC dan BR yang memiliki usaha jualan kue tradisional dengan pendapatan rata-rata sebesar satu juta lima ratus rupiah setiap bulan.
“Dari hasil jualan kue ini saya dapat lima puluh ribu lah satu hari, rata-ratanya ya, kadang-kadang juga tiga puluh, empat puluh gak tentu
lah. Daripada dulu cuma dua puluh ribu sehari itupun kalau ada, karena dulu kue yang saya jual cuma sedikit dan titipan orang lain,
kalau sekarang karena dah ada modal saya buat sendiri jadi agak banyak lah untungnya. Kalau dulu ya cukup buat beli kebutuhan
sehari-hari lah, beli ikan, beras, minyak dan lain-lain lah. Pokoknya saya bersyukur aja berapa yang dapat yang penting keluarga saya
tidak lapar, itu saja. Tapi kalau ada lebih ya saya simpan buat jajan anak sekolah, mudah-mudahan saya bisa sekolahkan anak saya sampai
kuliah kalau sanggup, amiiinnn. NC
” Pun demikian dengan Ibu BR:
“Iya ada peningkatan ya, dulu saya jualan kue hanya dapat untung paling lima belas sehari tapi sekarang dengan ada modal dari PEKKA,
saya bisa buat kue lebih banyak sehingga pendapatan bertambah, biasanya saya dapat untung empat puluh, lima puluh satu hari gak
tentu lah. Sehingga kehidupan keluarga saya sekarang udah terbantu jadi lebih baik. Sekarang udah bisa tabung sedikit. BR
”
Peningkatan pendapatan juga dialami oleh Ibu Hmm dan Ibu Rh yang memiliki usaha di bidang pertanian. Sebelum mengikuti program ini, mereka hanya
menjadi buruhtani pada musim ke sawah, pendapatan mereka rata-rata per hari sebesar Rp20 000. Namun, setelah mendapat bantuan modal usaha mereka sudah
berani menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. Dari usahanya tersebut mereka mendapat keuntungan rata-rata lima juta sampai enam juta per sekali panen
empat bulan sekali jika hasil panennya tidak gagal.
“Iya dulu saya kan cuma jadi buruhtani kalau musim ke sawah gak punya sawah sendiri dan gak sanggup garap punya orang karena gak
ada modal. Dulu hanya dapat paling dua puluh ribu sehari, kalau gak lagi ke sawah saya jadi tukang nyuci di rumah tetangga. Tapi sekarang
dengan ada modal usaha saya sudah bisa garap punya Pak Ah tetangga saya itu dengan bagi hasil. Ya saya bisa dapat untung,
biasanya sekali musim panen saya dapat lima juta kalau padinya bagus. Hmm
” Ibu Rh mengungkapkan:
“Iya ada peningkatan pendapatan buat saya, sekarang saya garap sawah Nyak Aj dengan bagi hasil. Dapat lah untung kalau padinya
bagus sekitar empat setengah juta sekali panen. Daripada dulu saya cuma jadi buruhtani paling dapat dua puluh ribu sehari, itu kalau saya
rajin ke sawah. Rh
” Tingkat kesejahteraan juga dapat dilihat dari tingkat simpanan di kelompok.
Jumlah simpanan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini adalah Rp200 000 Ibu BR, Rp210 000 Ibu Rh, Rp76 000 Ibu NC dan Rp146 000 Ibu Hmm
dapat dilihat pada Tabel 8.. Jumlah simpanan Ibu-Ibu ini relatif besar, hanya Ibu NC saja yang memiliki jumlah simpanan paling sedikit. Menurut Ibu NC hal tersebut
terjadi karena dia lebih memilih mengembalikan pinjaman modal usaha terlebih dahulu dibandingkan menyimpan di kas kelompok. Karena pengembalian modal
usaha adalah suatu kewajiban, sedangkan simpanan bisa dilakukan kapan saja dalam jumlah yang tidak ditentukan. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NC:
“Saya pikir kalau modal usaha itu kan kewajiban, jadi kalau ada uang saya bayar uang pinjaman dulu sampai lunas dan alhamdulillah
sekarang saya sudah lunas. Kalau simpanan kelompok kan bisa kapan aja, yang penting simpanan pokok udah saya bayar. Kalau modal
usaha belum lunas saya kepikiran terus, kalau sekarang saya udah tenang tinggal saya jalankan usaha saja. NC
” Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini belum melakukan peminjaman
kedua untuk modal usaha mereka karena pinjaman sebelumnya belum dapat dilunaskan, begitu juga dengan Ibu NC meskipun beliau sudah melunasi pinjaman