Latar Belakang Participatory Communication In Empowerment Program of Women Headed Household (A Case Study of Desa Dayah Tanoh, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, Aceh Province)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah bentuk hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja Tubbs dan Moss 2000. Menurut Effendi 2003 komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan agar orang tersebut mengerti dan tahu serta bersedia menerima suatu paham atau keyakinan sehingga mau melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan lain-lain. Untuk lebih memahami komunikasi, ada tiga kerangka pemahaman yang dapat digunakan, yaitu komunikasi sebagai tindakan satu arah, komunikaasi sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi Mulyana 2005. Sebagai tindakan satu arah, suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang atau suatu lembaga kepada seseorang atau sekelompok orang lainnya, baik secara langsung tatap muka ataupun melalui media, seperti surat selebaran, surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Komunikasi dianggap suatu proses linear yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya. Komunikasi sebagai interaksi menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi, yang arahnya bergantian. Seorang penerima beraksi dengan memberikan jawaban verbal atau menganggukkan kepala, kemudian orang pertama beraksi lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua dan begitu seterusnya. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis daripada komunikasi sebagai tindakan satu arah. Salah satu unsur yang dapat ditambahkan dalam konseptualisasi kedua ini adalah umpan balik, yakni apa yang disampaikan penerima pesan kepada sumber pesan.

2.2 Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan

Konsep-konsep pembangunan saat ini pada dasarnya masih bersifat materialistis karena yang dipersoalkan masih terbatas pada persoalan materi yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal tersebut disebabkan karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Menurut Budiman 2000 pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok yaitu masalah materi yang mau dihasilkan serta dibagi dan masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi manusia pembangun. Para ahli ekonomi memang berbicara tentang sumber daya manusia SDM, tetapi lebih menekankan aspek keterampilan sehingga manusia lebih dianggap sebagai faktor produksi dan lebih ditekankan pada peningkatan produksi saja. Sebaliknya proses-proses yang terjadi dalam diri individu serta bagaimana menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan terjadinya manusia kreatif kurang diperhatikan dan dipermasalahkan. Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produk dan distribusi barang material namun juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreativitasnya sebagai subjek pembangunan dan tidak sekedar sebagai objek pembangunan. Pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia yang kreatif. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Produktivitas dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang digeluti oleh para ahli ekonomi hanya merupakan akibat dari pembangunan yang berhasil membangun manusia kreatif yaitu manusia pembangun. Untuk membentuk manusia pembangun, berbagai aspek seperti psikologi, sosiologi, politik, antropologi, dan budaya harus dilibatkan secara terpadu Waskita 2005. Dalam konteks komunikasi pembangunan, Melkote 2006 mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok paradigma dominan modernisasi dan kelompok paradigma alternative pemberdayaan. Teori-teori dan intervensi dalam paradigma dominandari modernisasi dikembangkan oleh Lerner 1958 dan Schramm 1964 dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Daniel Lerner menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasidan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu, kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional Sarwititi 2005. Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan, namun tidak berarti bahwa partisipasi hanya sebatas keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan- kegiatan pelaksanaan pembangunan. Swasono dalam Kurniawati 2010 menyatakan bahwa partisipasi tidaklah hanya pada tahap pelaksanaan pembangunan saja, tetapi meliputi seluruh spektrum pembangunan tersebut yang dimulai dari tahap menggegas rencana kegiatan hingga memberikan umpan balik terhadap gagasan rencana yang telah dilaksanakan. Partisipasi masayarakat dalam pembangunan menurut Slamet 2003 adalah ikutsertanya masyarakat dalam perencanaan pembangunan, ikutserta dalam kegiatan- kegiatan pembangunan, ikutserta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Menurut Sumodiningrat 2000 partisipasi adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program atau proyek pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Menurut Cohen dan Uphoff dalam Manoppo 2009 partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat mulai dari pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka. Partisipasi juga membantu masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial ekonomi yang mengelilingi mereka. Analisis proses partisipasi atau peranserta masyarakat sangat penting untuk dilakukan karena dengan demikian usaha komunikasi program pembangunan dalam masyarakat akan memperoleh suatu hasil yang maksimal. Analisis proses partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah dilakukan oleh Levis 1996 yaitu meliputi empat tahap, antara lain adah sebagai berikut: 1 Tahap penumbuhan ide untuk membangun dan perencanaan Dalam pelaksanaan program tersebut dapat dilihat apakah pelaksanaan program tersebut didasarkan atas gagasan atau ide yang tumbuh dari kesadaran masyarakat sendiri atau diturunkan dari atas. Jika ide dan prakarsa untuk membangun datangnya dari masyarakat itu sendiri karena tuntutan situasi dan kondisi yang menghimpitnya pada saat itu, maka peran serta aktif masyarakat akan lebih baik. Jika masyarakat sudah ikut dilibatkan dari tahap awal program pembangunan, maka dapat dipastikan bahwa seluruh anggota masyarakat merasa dihargai sebagai manusia yang memiliki potensi atau kemampuan sehingga mereka lebih mudah berperan serta aktif atau berpartisipasi dalam melaksanakan, melestarikan program pembangunan itu sendiri. 2 Tahap pengambilan keputusan atau perencanaan Landasan filosofis dalam tahap ini adalah bahwa setiap orang akan merasa dihargai jika mereka diajak untuk berkompromi, memberikan pemikiran dalam membuat suatu keputusan untuk membangun diri, keluarga, bangsa dan daerah dan negaranya. Keikutsertaan anggota atau seseorang di dalam pengambilan suatu keputusan secara psikososial telah memaksa anggota masyarakat yang bersangkutan untuk turut bertanggungjawab dalam melaksanakan, mengamankan setiap paket programyang dikomunikasikan. Mereka merasa ikut memiliki serta bertanggungjawab secara penuh atas keberhasilan program yang akan dilaksanakan. Dengan demikian dalam diri masyarakat akan tumbuh rasa tanggungjawab secara sadar kemudian berprakarsa untuk berpartisipasi secara positif dalam pembangunan. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud di sini yaitu pada perencanaan suatu kegiatan. 3 Tahap pelaksanaan Untuk mewujudkan kondisi masyarakat agar berpartisipasi dalam melaksanakan program pembangunan yang telah dikomunikasikan, mereka harus dilibatkan dalam melaksanakan setiap pelaksanaan program pembangunan. Tujuan melibatkan masyarakat dalam tahap pelaksanaan adalah agar masyarakat dapat mengetahui secara baik tentang cara melaksanakan suatu program yang akan dilaksanakan sehingga nantinya mereka dapat secara mandiri dan mampu melanjutkan, meningkatkan serta melestarikan program pembangunan yang dilaksanakan. Tujuan lainnya adalah untuk menghilangkan ketergantungan masyarakat terhadap pihal luar dalam hal ini komunikator atau pendamping yang selama ini selalu terjadi dan akan menjamin bahwa program pembangunan itu sendiri tidak akan lenyap serta merta setelah kepergian para petugas lapang. 4 Tahap penilaianevaluasi Dalam tahap evaluasi masyarakat diharapkan mampu menilai diri sendiri, dengan mengungkapkan apa yang mereka tahu dan perlukan. Mereka diberi kebebasan untuk menilai sesuai dengan apa yang ada dalam benaknya, pengalaman, kelebihan atau keuntungan dari program, kelemahannya, manfaat, hambatan, faktor pelancar yang mereka hadapi dalam operasionalisasi program secara bersama-sama mencarikan alternatif terbaik sebagai bahan pertimbangan bagi pelaksanaan program. Slamet 2003 menjelaskan ada tiga faktor yang berhubungan atau mendukung partisipasi yaitu: kesempatan, kemampuan dan kemauan. Keberadaan kesempatan, kemampuan dan kemauan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu sama lain, terutama faktor-faktor psikologis individu needs, harapan, motif, reward, terpaan informasi, pendidikan formal dan nonformal, keterampilan, kondisi permodalan yang dimiliki, teknologi sarana dan prasarana, kelembagaan formal dan informal, kepemimpinan formal dan informal dan struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal norma, tradisi dan adat istiadat serta pengaturan dan pelayanan pemerintah. Upaya penumbuh dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan yang dalam prakteknya dilakukan melalui kegiatan komunikasi pembangunan yang partisipatif, di mana bentuk komunikasi yang mengkondisikan masyarakat bebas berpendapat, berekspresi dan mengungkapkan diri secara terbuka satu sama lainnya. Pendekatan komunikasi yang dibutuhkan adalah pendekatan model komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi participatory model atau model interaksi interaktif model. Sulistyowati, et al 2005.Dengan demikian, di dalam model inti tidak hanya mencakup komunikasi dua tahap dan bahkan banyak tahap, tetapi juga banyak dimensi. Selain komunikasi dengan lingkungan komunikan masih ada juga unsur seberapa jauh lingkungan komunikator cocok dengan lingkungan komunikan. Sumardjo 1999 menguraikan model komunikasi konvergen atau interaktif bersifat dua arah yakni partisipatif baik vertikal maupun horizontal. Artinya keputusan di tingkat perencanaan program pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat “bawah” yang biasa disebut sasaran pembangunan, tanpa harus mengabaikan arah dan percepatan pembangunan, dengan titik berat pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan memperhatikan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Pendekatan ini lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih luas. Karakteristik mendasar dari komunikasi partisipatif adalah: 1 pertukaran informasi antar stakeholder yang terlibat dilakukan melalui dialog, dalam model ini tidak ada pengirim atau penerima, karena keduanya berlangsung dalam waktu bersamaan, kekuatan yang seimbang dan kesetaraan; 2 komunikasi partisipatif dianggap sebagai proses daripada sebagai model yang statis, sebagai proses sosial,