Teknik Analisis Data Participatory Communication In Empowerment Program of Women Headed Household (A Case Study of Desa Dayah Tanoh, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, Aceh Province)
Akses masyarakat Desa Dayah Tanoh terhadap kelembagaan lokal dapat dikatakan timpang dari segi gender, khususnya akses dalam kepengurusan. Struktur
kepengurusan pemerintahan desa, LPM, BPD dan Tuha Peut hampir semuanya didominasi oleh laki-laki, perempuan tidak dilibatkan. Keterlibatan kaum perempuan
sangat dominan dalam kelembagaan formal dapat dilihat pada struktur kepengurusan PKK, Posyandu dan kelompok simpan pinjam PEKKA.Desa Dayah Tanoh memiliki
beberapa kelembagaan lokal yaitu kelompok pengajian ibu-ibu dan kelompok pengajian anak-anak.
Kelembagaan gotong royong di Desa Dayah Tanoh masih cukup baik. Rasa kekeluargaan dan kebersamaan warga masih cukup tinggi. Misalnya dalam
pembangunan sarana umum yang umumnya melibatkan partisipasi warga, baik laki- laki maupun perempuan, meskipun tugas perempuan hanya sebagai penyedia
makanan dan minuman untuk laki-laki. Contoh lain adalah jika ada salah satu warga menderita sakit, warga lain yang memiliki sumberdaya yang dibutuhkan dengan suka
rela membantu, begitu juga jika ada salah satu warga mengadakan pesta perkawinan atau kematian maka warga yang lain akan membantu dengan suka rela.
5.2 Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga PEKKA 5.2.1 Pelaksanaan PEKKA Nasional
Program PEKKA
ini digagas
berdasarkan pengalaman
program penanggulangan kemiskinan masyarakat desa melalui penguatan institusi-institusi
lokal, bernama Program Pengembangan Kecamatan PPK, yang dijalankan oleh pemerintah. Melalui refleksi dan evaluasi program, disadari bahwa skema program
ini masih belum mampu menjangkau kelompok termiskin di wilayah-wilayah tertentu, terutama rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan dan lebih khusus lagi
keluarga janda. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala baik yang sifatnya teknis seperti kurangnya penguasaan terhadap metode pengorganisasian rakyat khususnya
perempuan maupun kendala struktural yaitu rendahnya posisi perempuan kepala keluarga dalam struktur sosial masyarakat.
Program ini difokuskan pada perempuan yang menjadi kepala keluarga rumah tangga miskin dan merupakan salah satu upaya untuk memfasilitasi mereka agar
memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan kebijakan yang ada di wilayahnya, mempunyai status dan posisi setara dengan anggota masyarakat lain,
serta dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan di wilayahnya.
Berdasarkan laporan tahunan sekretariat nasional PEKKA 2010, PEKKA mulai digagas pada akhir tahun 2000 dari rencana awal Komnas Perempuan yang
ingin mendokumentasikan kehidupan janda di wilayah konflikdan keinginan Bank Dunia melalui Program Pengembangan Kecamatan PPK dalam merespons
permintaan janda korban konflik di Aceh untuk memperoleh akses sumberdaya agar dapat mengatasi persoalan ekonomi dan trauma mereka.
Semula upayaini diberi nama “Widows Project” yang sepenuhnya didukung
dana hibah dari Japan Social Development Fund JSDF melalui Trust Fund Bank Dunia. Komnas Perempuan kemudian bekerjasama dengan Pusat Pengembangan
Sumberdaya Wanita PPSW membentuk Seknas PEKKA untuk mengembangkan gagasan awal ini. Melalui proses refleksi dan diskusi intensif dengan berbagai pihak,
kedua gagasan ini kemudian diintegrasikan ke dalam sebuah upaya pemberdayaan yang lebih komprehensif.
Untuk itu “Widows Project”atau “ Proyek untuk Janda” diubah tema dan
judulnya menjadi lebih provokatif dan ideologis, yaitu dengan menempatkan janda lebih pada kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Selain
itu, upaya ini diharapkan mampu membuat perubahan sosial dengan mengangkat martabat janda dalam masyarakat yang selama ini terlanjur mempunyai stereotype
negatif. Judul Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga kemudian ditetapkan dan disepakati untuk menamai inisiatif baru ini. Selanjutnya kata PEKKA
juga dipergunakan untuk menyebut secara singkat Perempuan Kepala Keluarga.
Dari sebuah pilot proyek yang berkembang dalam kerangka program pembangunan, akhirnya PEKKA mampu menjadi sebuah gerakan kelompok
perempuan miskin melawan kemiskinan dan ketidakadilan. Hal ini terlihat dari karakteristik PEKKA dalam perjalanannya yang berbasis sangat kuat di masyarakat,
menjadi organisasi yang organik, mempunyai agenda politik yang kuat yaitu pengakuan fakta maupun hukum atas status perempuan kepala keluarga dengan
dimensi perubahan sosial yang kuat, serta mempunyai potensi kesinambungan pergerakan jangka panjang dengan impact yang lebih luas.
PEKKA bertujuan untuk memahami persoalan perempuan kepala keluarga yang komprehensif, sehingga program ini menerapkan strategi pengorganisasian
masyarakat atau community organizing CO dengan menyoal ketidakadilan gender dan kelas yang ada dalam masyarakat. Untuk mendukung strategi tersebut maka ada
lima prinsip dasar program yang diterapkan dalam pelaksanaan PEKKA yaitu partisipatif,
fleksibel, pendampingan
dan fasilitasi,
berkelanjutan, dan
terdesentralisasi. Melihat dari strategi yang diterapkan, maka PEKKA ini merupakan salah satu contoh konsep pembangunan yang bersifat buttom-up planning. Konsep
buttom-up planning merupakan sebuah konsep pembangunan yang mengedepankan masyarakat sebagai pemeran utama dalam proses pembangunan pada setiap tahap,
tercakup di dalamnya proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan.
Namun demikian, sebagai sebuah gerakan PEKKA menghadapi empat tantangan yaitu kemandirian, kesinambungan, keterbukaan, dan keterlibatan yang
sebetulnya sudah dirintis sejak program ini dilaksanakan. Untuk menjawab tantangan yang telah diuraikan diatas, maka sejak tahun 2008 upaya pemberdayaan di unit
terbawah dalam masyarakat telah dilakukan secara intensif. Pendidikan kritis dan peningkatan kapasitas masyarakat miskin telah dilakukan secara terstruktur dan terus
menerus melalui Program Pengembangan Pusat Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan Kepemimpinan Perempuan di tingkat desa dan kecamatan. Sentra
kegiatan ini diberi nama PRIME Perempuan Indonesia Memimpin.
Seknas PEKKA mendampingi perempuan miskin yang melaksanakan peran dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, dan pengambil
keputusan dalam keluarga yang mencakup: 1
Perempuan yang ditinggaldicerai hidup 2
Perempuan yang suaminya meninggal dunia
3 Perempuan yang membujang atau tidak menikah
4 Perempuan bersuami, tetapi oleh karena suatu hal, suaminya tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga 5
Perempuan bersuami, tetapi tidak mendapatkan nafkah lahir dan batin karena suaminya bepergian lebih dari satu tahun.
Seknas PEKKA mempunyai visi untuk pemberdayaan perempuan kepala keluarga dalam rangka ikut berkontribusi membangun tatanan masyarakat yang
sejahtera, adil gender, dan bermartabat. Untuk mewujudkan visi tersebut, Seknas PEKKA mengemban misi untuk:
1 Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan Perempuan Kepala Keluarga
2 Membuka akses perempuan kepala keluarga terhadap berbagai sumberdaya
3 Membangun kesadaran kritis Perempuan Kepala Keluarga baik terhadap
kesetaraan peran, posisi, dan status mereka, maupun terhadap kehidupan sosial politiknya.
4 Meningkatkan partisipasi perempuan kepala keluarga dalam berbagai proses
kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya 5
Meningkatkan kontrol perempuan terhadap proses pengambilan keputusan mulai di tingkat rumah tangga hingga negara.
Untuk mencapai cita-cita ini Seknas PEKKA mengembangkan strategi empat pilar pemberdayaan, yaitu:
1 Membangun visi; pada dasarnya membangun kesadaran kritis PEKKA terhadap
hak sebagai manusia, perempuan dan warga negara, menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki kehidupan, dan pada akhirnya memfasilitasi mereka untuk
membangun visi dan misi kehidupan. Visi dan Misi menjadi landasan utama PEKKA untuk bergerak selanjutnya.
2 Peningkatan kemampuan; meningkatkan kapasitas PEKKA untuk mengatasi
berbagai persoalan kehidupan melalui pendampingan intensif, berbagai pelatihan dan lokakarya terkait dengan membangun kepercayaan diri, meningkatkan
keterampilan teknis dan manajerial. Melatih dan mengembangkan pemimpin dan fasilitator masyarakat dari kalangan PEKKA.
3 Pengembangan organisasi dan jaringan; melalui penumbuhan, pengembangan dan
penguatan kelompok berbasis di masyarakat yang diberi nama Kelompok Perempuan Kepala Keluarga Kelompok PEKKA di seluruh wilayah program.
Kelompok-kelompok ini
kemudian difasilitasi
untuk mengembangkan
organisasinya menjadi Serikat PEKKA yang mandiri dan berjaringan mulai dari tingkat kecamatan hingga nasional, serta berjaringan dengan lembaga lain yang
dapat mendukung kerja-kerja mereka.
4 Advokasi untuk perubahan; Fokus pada akses terhadap informasi, sumberdaya
kehidupan dan pengambilan keputusan serta akses terhadap keadilan hukum. Perubahan tata nilai negatif terhadap perempuan dan perempuan kepala keluarga
melalui kampanye dan pendidikan pada masyarakat luas.