6 Lembaga Kemasyarakatan Norma
Partisipasi dan kualitas komunikasi partisipatif masyarakat dalam program pembangunan juga ditentukan oleh peran kelembagaan masyarakat termasuk norma.
Uphoff 1986 mendefinisikan institusi atau kelembagaan sebagai sebuah kumpulan norma dan perilaku yang berlangsung lama dengan melayani tujuan yang bernilai
sosial, sedangkan organisasi adalah struktur peranan yang dikenali dan diterima. Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku
rata-rata yang diabstraksikan. Kekuatan mengikat sistem norma terbagi menjadi empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat
istiadat. Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharausan, dianjurkan, dibolehkan atau larangan.
Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control
Soekanto 2006.
Norma di masyarakat sangat berpengaruh menentukan penerapan komunikasi partisipatif dalam masyarakat. Muchlis 2009 menemukan norma yang berlaku di
masyarakat desa sangat kental dengan budaya patriarkhi dan patron-client. Hal ini menyebabkan akses yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan dan antara
golongan elit desa yaitu tokoh informal dan formal dengan masyarakat akar rumput rumahtangga miskin yang terlibat dalam even rapat dan musyawarah desa.
Menurut Soekanto 2006 lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam
kebutuhan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi, antara lain: a
Memberi pedoman berperilaku pada individumasyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah
dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan. b
Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara.
c Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial; artinya
sistem pengawasan masyrakat terhadap tingkah laku anggotanya. 7
Bahasa Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa symbol
bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia baik secara lisan maupun tulisan.Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula
manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan
dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh
memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan
menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi pembauran yang sempurna bagi tiap
individu dengan masyarakatnya Gorys Keraf dalam Rinawati 2012.
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada
lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa
yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang
tua atau orang yang kita hormati. Menurut hasil penelitian Rinawati 2012 sebagian besar perempuan menggunakan bahasa daerah sunda dalam kehidupan sehari-hari,
demikian pula dalam kegiatan pemberdayaan. Namun demikian sebagian dari perempuan tersebut ada yang menggunakan bahasa Indonesia. Salah satu alasan
penggunaan bahasa sunda dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kegiatan pemberdayaan dikarenakan tradisi atau budaya para perempuan tersebut.
2.4 Pemberdayaan Perempuan dalam Program Pembangunan
Pemberdayaan masyarakat
community emporwerment
merupakan perwujudan pengembangan kapasitas masyarakat yang bernuansa pada
pemberdayaan sumberdaya manusia agar dapat memahami hak dan kewajibannya sesuai dengan status dan perannya di masyarakat. Realisasi pemberdayaan
masyarakat mencakup interaksi aktif dua pelaku, yaitu pihak pemberdaya dan pihak yang diberdaya. Pihak pemberdaya dapat berasal dari dalam dan dari luar sistem
sosial masyarakat yang diberdaya. Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan yang sering ditemui adalah pihak pemberdaya selalu berasal dari luar sistem sosial. Hal ini
terjadi sebagai akibat lemahnya posisi
“pihak yang diberdaya” karena ketidakmampuan memberdayakan diri sendiri. Kejadian ini tidak selalu disebabkan
oleh faktor internal sistem sosial yang bersangkutan, tetapi sering kali disebabkan oleh supra-infra struktur yang kurang memihak kepada mereka. Karena itu sangat
penting dilaksanakan di tingkat lapangan untuk menempatkan pihak yang diberdaya sebagai mitra kerja pemberdaya dan bukan sebagai manusia yang bodoh. Karena itu,
sikap arogansi dan perasaan “lebih” lebih pintar, lebih tahu, lebih lain-lainnya yang sering ditampilkan oleh pihak pemberdaya harus dihilangkan. Jika tidak maka yang
terjadi adalah interaksi sepihak atau tidak berkomunikasi Hubeis 2010.
Menurut Suharto 2005 secara konseptual pemberdayaan atau pemberkuasaan empowerment berasal dari kata power kekuasaan atau keberdayaan. Pemberdayaan
menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam: 1 memenuhi kebutuhan dasarnya
sehingga memiliki kebebasan dalam arti bebas mengemukakan pendapat, bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; 2 menjangkau sumber-
sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan; dan 3 berpartisipasi dalam proses
pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Beberapa ahli mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses dan cara-cara pemberdayaan:
1 Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah
atau tidak beruntung Ife 1995. 2
Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas dan mempengaruhi
terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya.
Pemberdayaan menekankan
bahwa orang
memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi
kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya Parsons et all dalam Suharto 2005.
3 Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui
pengubahan struktur sosial Swift dan Levin dalam Suharto 2005. 4
Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai berkuasa atas kehidupannya Rappaport
dalamSuharto 2005. Maksud pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya.
White 2004 menyimpulkan bahwa pemberdayaan adalah penegasan martabat dan nilai identitas diri sendiri, serta mengevaluasi kembali kebudayaan
lokal. Hal ini juga berarti lembaga kebudayaan yang menjadi modal budaya diberi bengakuan yang lebih besar dan lebih bernilai. Pengertian ini juga penting bahwa
harga hubungan perubahan kekuasaan bukan merupakan identitas dirinya sendiri. Dengan premis bahwa seluruh identitas sosial yang menyumbang keadilan dan
komunitas yang dihargai, dunia membutuhkan kekayaan identitas budaya yang beragam.
Pemberdayaan meyakinkan bahwa perempuan mampu membantu dirinya sendiri.
Dalam teori
posisioning pemberdayaan
lebih diarahkan
pada ”conversational” yaitu proses dialog dan dialektika Raggat dalam Soetrisno, 2001.
Melkote 2006 dalam bukunya yang berjudul Communication for Development in the Third World, salah satu yang sangat luas digunakan saat ini adalah pemberdayaan
sebagai pusat pengorganisasian konsep. Mereka setuju bahwa ketidakadilan kekuasaan sebagai permasalahan sentral yang harus dipecahkan dalam pembangunan.
Selanjutnya pemberdayaan didefinisikan sebagai sebuah proses dalam mana secara individual dan organisasional memperoleh pengawasan dan penguasaan kondisi
sosial ekonomi yang lebih banyak, dengan partisipasi demokrasi yang lebih dalam komunitasnya dan kisah mereka sendiri.
Menurut Servaes 2002 bentuk-bentuk komunikasi pembangunan yang partisipatif berwawasan gender dalam konsep pemberdayaan adalah mencakup forum
dialog akar rumput grassroots dialog forum, fungsi baru komunikasi pada media partisipatif participatory media, berbagi pengetahuan secara setara knowledge-
sharing on a co-equal basis dan model komunikator pendukung pembangunan development support communication. Dialog akar rumput didasarkan atas kaidah
partisipasi untuk mempertemukan sumber dan agen perubahan langsung dengan masyarakat.Metode yang digunakan adalah penyadaran conscientization melalui
dialog. Lebih jauh lagi masyarakat diajak untuk merumuskan permasalahan dan
menemukan pemecahannya sekaligus pelaksanaan kegiatan dalam upaya pemecahan permasalahan.
Dalam konteks pengembangan masyarakat, pemberdayaan perempuan merupakan suatu upaya meningkatkan partisipasi aktif perempuan dengan
memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuannya untuk menentukan masa depannya dan
untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya. Baso dalam Burhanuddin 2003 menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan adalah upaya
sistematis untuk memastikan pencapaian kesejahteraan perempuan yang diukur berdasarkan upaya memberdayakan kelompok-kelompok perempuan, terutama di
jenjang grass root.
Pendekatan pembangunan yang dipakai adalah pendekatan yang adil dan setara, sehingga ada jaminan terbukanya seluruh akses baik laki-laki maupun
perempuan untuk ikut berperan aktif dalam seluruh kegiatan masyarakat, karena sebagai manusia laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Pendekatan yang sejajar dan setara memberi peluang kemitraan bagi laki-laki dan perempuan sehingaa akan saling melengkapi sesuai dengan potensi yang dimiliki
masing-masing bukan untuk saling menguasai. Pada kenyataannya perempuan harus berjuang untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan. Makin banyak
pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena mensubordinasikan perempuan. Selama ini yang terjadi bukan pembangunan untuk perempuan akan
tetapi perempuan untuk pembangunan. Upaya memberdayakan perempuan perlu terus dilakukan agar mereka tidak terlibat sebagai objek melainkan sebagai subjek dan
memberikan seluruh potensinya untuk proses pembangunan.
Proses pembangunan seperti yang didefinisikan oleh sebagian besar agen- agen pembangunan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta
dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu
mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk sampai definisi ini, proses pembengunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender
dan konsep pemberdayaan perempuan di mana perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan.
Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama
untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan.Upaya pemberdayaan perempuan dapat dilakukan melalui berbagai metode dan strategi,
salah satunya teknik analisis Longwe Sara Hlupekile Longwe atau biasa disebut dengan kriteria pembangunan perempuan
Women‟s Empowerment Criteria atau Women‟s Development Criteria, adalah suatu teknis analisis yang dikembangkan
sebagai metode pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria analisis yang meliputi kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol Gambar 1 Mosse
2002. Kelima dimensi ini adalah kategori analitis yang bersifat dinamis, satu sama lain saling berhubungan sinergis, saling menguatkan dan melengkapi, serta
mempunyai hubungan hierarkhis. Di samping itu, kelima dimensi tersebut juga
merupakan tingkatan yang bergerak memutar seperti spiral, makin tinggi tingkat kesetaraan makin tinggi tingkat keberdayaan.
Gambar 1 Piramida lima kriteria analisis pemberdayaan perempuan Longwe
1 Dimensi kesejahteraan, dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang
diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan laki-laki.
Pemberdayaan tidak dapat terjadi dengan sendirinya di tingkat ini, melainkan harus dikaitkan dengan peningkatan akses terhadap sumberdaya yang merupakan
dimensi tingkat kedua. Level ini merupakan tingkat nihil dari pemberdayaan perempuan z
ero level of women‟sempowerment. Padahal upaya untuk meperbaiki kesejahteraan perempuan diperlukan keterlibatan perempuan dalam proses
empowerment dan pada tingkat pemerataan yang lebih tinggi. 2
Dimensi akses, kesenjangan gender di sini terlihat dari adanya perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya. Rendahnya akses mereka
terhadap sumberdaya menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu, dalam banyak komunitas, perempuan diberi
tanggung jawab melaksanakan hampir semua pekerjaan domestik sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk mengurusi dan meningkatkan kemampuan dirinya.
Pembangunan perempuan tidak hanya cukup pada pemerataan akses karena hanya kurangnya akses perempuan bukan saja merupakan isu gender tetapi juga akibat
dari diskriminasi gender. Oleh karena itu, akar penyebab kesenjangan akses atas sumberdaya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran.
3 Dimensi penyadaran kritis, kesenjangan gender ditingkat ini disebabkan anggapan
bahwa posisi sosial ekonomi perempuan lebih rendah dari laki-laki dan pembagian kerja gender tradisional adalah bagian dari tatanan abadi. Pemberdayaan di tingkat
ini berartimenumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas, bahwa subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil
Kontrol Partisipasi
Penyadaran Akses
Kesejahteraan
diskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender dan
merupakan elemen ideologis dalam proses pemberdayaan yang menjadi landasan konseptual bagi perubahan kearah kesetaraan.
4 Dimensi partisipasi, partisipasi aktif perempuan diartikan bahwa pemerataan
partisipasi perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu partisipasi dalam proses perencanaan penentuan kebijakan dan administrasi. Aspek ini sangat
penting pada proyek pembangunan. Di sini partisipasi berarti keterlibatan atau keikutsertaan aktif sejak dalam penetapan kebutuhan, formulasi proyek,
implementasi dan monitoring serta evaluasi. Di tingkat program, ini berarti dilibatkannya perempuan dan laki-laki secara setara dalam identifikasi masalah,
perencanaan, pengelolaan, implementasi dan monitoring evaluasi. Meningkatnya peran serta perempuan merupakan hasil dari pemberdayaan sekaligus sumbangan
penting bagi pemberdayaan yang lebih besar.
5 Dimensi kuasa atau kontrol, kesenjangan gender di tingkat ini terlihat dari adanya
hubungan kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Ini bisa terjadi di tingkat rumah tangga, komunitas, dan tingkatan yang lebih luas lagi. Kesetaraan
dalam kuasa berarti adanya kuasa yang seimbang antara laki-laki dan perempuan atas lainnya. Artinya, perempuan mempunyai kekuasaan sebagaimana juga laki-
laki, untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender
dan keberdayaan dalam masyarakat yang sejahtera. Teknik Longwe mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan, bagaimana menangani isu gender
sebagai kendala pemberdayaan perempuan dalam memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan upaya mencapai kesetaraan gender.
2.5 Hasil Penelitian yang Relevan
Berbagai penelitian tentang komunikasi partisipatif dalam program pembangunan telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh praktisi komunikasi,
mahasiswa maupun para ahlinya. Berbagai faktor diketahui dapat mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan suatu program pembangunan.
Hasil penelitian Wahyuni 2006 menemukan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dengan cara mengimplementasikan program melalui proses komunikasi
yang cenderung top-down dan searah serta kurang terjadinya komunikasi yang bottom-up dan interaktif cenderung kurang dapat menggali aspirasi masyarakat.
Akibatnya, peningkatan aspirasi masyarakat menjadi kurang efektif.
Cahyanto 2007 menemukan bahwa komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap
petani tehadap model usahatani terpadu yang dikembangkan dalam pelaksanaan Prima Tani. Keefektivan komunikasi dalam peningkatan pengetahuan dan sikap
petani dalam model usahatani ditentukan oleh keterlibatan petani dalam penumbuhan ide, perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.
Mulyasari 2009 menemukan bahwa pada kegiatan Bengkulu Regional Development Project BRDP warga sangat aktif pada tahap evaluasi. Namun, pada
tahap perencanaan dan pelaksanaan warga tidak banyak aktif terlibat dalam kegiatan BRDP. Aktifnya komunikasi partisipatif warga pada tahap evaluasi dikarenakan
mereka ingin menjadi anggota UPKD yang berhak memperoleh bantuan modal bergulir. Selain itu, komunikasi partisipatif dalam kegiatan BRDP tidak dipengaruhi
oleh faktor kredibilitas agen pendamping fasilitator dan faktor keragaan individu.
Muchlis 2009
menyatakan bahwa
komunikasi partisipatif
yang mengakomodir keberagaman heteroglassia baik dari perspektif ekonomi maupun
gender belum terimplementasi secara baik. Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini
dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Partisipan
terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan
mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarahtidakterjadi.Esensidari dialog adalah mengenal dan menghormati
pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi.
Satriani 2011 menyatakan bahwa dampak komunikasi partisipatif dalam Posdaya Kenanga meliputi saling berbagai informasi dan pengetahuan,
menyelesaikan permasalahan secara bersama dan terjalinnya keakraban sesama kader. Dampak komunikasi partisipatif dalam setiap kegiatan dan rapat di Posdaya Kenanga
dirasakan kader sangat banyak memberikan manfaat.
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Pengembangan Program pemberdayan Perempuan Kepala Keluarga pada dasarnya merupakan proses komunikasi pembangunan. Sebagai sebuah proses
komunikasi, program ini merupakan sebuah pesan pembangunan. Secara umum program ini bertujuan untuk memperkuat perempuan kepala keluarga agar dapat
berkontribusi pada proses membangun masyarakat yang sejahtera, demokratis, berkeadilan gender dan bermartabat. Kegiatan tersebut harus melibatkan partisipasi
perempuan kepala keluarga dalam setiap tahapannya sehingga program pemberdayaan bisa mencapai tujuan yang diinginkan.
Upaya penumbuh dan pengembangan partisipasi perempuan kepala keluarga dalam program dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan yang dalam
prakteknya dilakukan melalui kegiatan komunikasi pembangunan yang partisipatif. Komunikasi partisipatif dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang memberikan
kebebasan, hak dan akses yang sama dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan informasi ke masyarakat untuk
menyelesaikan sebuah masalah bersama Bordenave dalam White 2004. Menurut Tufte dan Mefalopulos 2009 terdapat tiga cara untuk melakukan komunikasi dalam
sebuah program yaitu: 1 komunikasi secara monologik, di mana komunikasi yang hanya berlangsung satu arah dari komunikator yang tidak memberikan kesempatan
orang lain komunikan untuk berbicara atau menyampaikan reaksi; 2 komunikasi secara dialogik, di mana komunikasi yang berlangsung dua arah dari komunikator ke
komunikan, komunikan diberi kesempatan bahkan diharapkan memberikan tanggapan atau feedback dan 3 komunikasi secara gabungan dari monologik dan
dialogik atau multi tract.
Rahim dalam White 2004 menyatakan bahwa penerapan komunikasi partisipatif melalui model dialogis menuntut adanya pengetahuan tentang
heteroglassia sosial dalam sistem pembangunan. Pengetahuan tentang informasi detail dan signifikan tentang kelompok sosial dan masyarakat serta hubungan
struktural yang mencakup aspek; ekonomi, sosial dan aktivitas budaya serta event- event yang merupakan pola kehidupan mereka yang normal; agen dan lembaga,
melalui mana mereka dapat mewakilkan sudut pandang dan nilai-nilai. Menurut Mefalopulos 2003 faktor internal yang mempengaruhi komunikasi partisipatif
merupakan karakteristik masyarakat sebagai sistem sosial dan heteroglassia sosial yang kompleks dengan perbedaan-perbedaan dalam usia, pendidikan, status
perkawinan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, motivasi dan faktor lainnya. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh dalam penerapan komunikasi
partisipatif melalui dialog adalah peran pendamping sebagai agen eksternal Ife 1995, dan dukungan kelembagaan White 2004.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian diarahkan untuk melihat bagaimana faktor individu, peran pendamping dan komponen sosial budaya
mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan perempuan kepala keluarga di Desa Dayah Tanoh. Faktor individu terdiri dari umur, pendidikan,