sekarang ini. Sekarang muncul santri-santri yang telah memiliki kepercayaan diri dan sampai ada yang memiliki hafalan 15 juz hingga 30 juz. “Begitu besar
jasa pengajar untuk bisa memotivasi santri dimulai dari kata-kata yang lembut sampai kata-
kata yang kasar sekalipun, namun dengan tujuan yang baik”.
6
2. Memberikan soal ayat
Pada dasarnya dalam menghafal membutuhkan keselarasan antara indera pengelihatan dan inder pendengaran, untuk melihat ayat-ayat yang akan dihafal
guna menghindari kesalahan ayat. Tanpa indera pengelihatan tunanetra menajamkan hafalannya dengan memaksimalkan kemampuan pendengaran
yang mereka. Salah satu yang diberikan oleh pengajar untuk memperkuat ketajaman menghafal santri tunanetra adalah dengan melakukan pengulangan
hafalan santir tunanetra dalam sebuah evaluasi. Evaluasi tersebut dilakukan dengan cara memberikan soal berupa potongan ayat dan santri diharuskan
melanjutkan ayat yang didengarnya dari pengajar. Kegiatan ini dilakukan setiap pertemuan.
Soal merupakan bahan evaluasi yang biasa diberikan pengajar, dengan diadakannya soal santri tunanetra akan lebih giat dalam menghafalnya karena
akan mempersiapkan soal yang akan ditanyakan pengajar. Supaya pengajar bisa mengetahui sejauh mana kemampuan setiap santri tunanetra.
3. Memberikan bimbingan secara pribadi
Dalam setiap individu santri tunanetra memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghafal al-
Qur’an ataupun diluar menghafal al-Qur’an seperti masalah pribadi yang mempengaruhi semangatnya dalam menghafal al-
6
Wawancara Pribadi dengan Juanda Saputra Santri Tunanetra Nonmukim. Tangerang, 20 Agustus 2015 di yayasan Raudlatul Makfufin.
Qur’an. maka pengajar akan memberikan waktu diluar jam program tahfidz untuk memberikan bimbingan agar santri tunanetra merasa diperhatikan dan
akan lebih semangat dalam menghafal al- Qur’an. Pengajar sebagai
pembimbing bagi
santri tunanetra
memiliki peran
krusial dalam
membangkitkan kembali semangat dan motivasi santri tunanetra dalam menghafal al-
Qur’an. pengajar akan memberikan waktu diluar jam program tahfidz untuk memberikan bimbingan agar santri tunanetra merasa diperhatikan
dan akan lebih semangta dalam menghafal al- Qur’an.
C. Disonansi Kognitif Perasaan Ketidakseimbangan dan Perubahan
Perilaku pada Santri Tunanetra dalam Menghafal Al- Qur’an
Pada dasarnya
sifat manusia
yang mementingkan
konsistensi keseimbangan, bahwa orang tidak akan menikmati inkonsistensi dalam pikiran
dan keyakinan mereka. Namun sebaliknya, mereka akan mencari konsistensi keseimbangan. Inilah mengapa santri tunanetra merima keadaannya yang
memiliki kekurangan dalam pengelihatan, karena mereka pasrah serta sadar akan kekurangan keadaan mereka yang tidak bisa berbuat banyak dalam keadaan tidak
bisa melihat. Hingga akhirnya mereka terbiasa dengan keadaannya sehingga tidak terlintas dalam pikiran mereka saat itu untuk maju atau berubah.
Namun lambat laun santri tunaetra ini meratapi hidup yang dijalani, ingin rasanya bisa lebih baik dan bisa bermanfaatkan untuk orang lain walau dengan
keterbatasan fisik salah satunya dengan menghafal al- Qur’an. Saat santri tunanetra
ini mulai menemukan komunitas maka santri tunanetra merasakan inkonsistensi yang membuktikan ternyata penyandang tunanetra itu mampu lebih maju dari
anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa tunanetra tidak bisa berbuat
banyak. Sehingga muncul disonansi pada diri santri tunanetra, apakah santri tunanetra tetap pada kondisi awal atau berubah setelah mengetahui bahwa
penyandang tunanetra bisa mengafal. Pengajar sangat mengapresiasi terhadap santri tunanetra yang ingin
menghafal al- Qur’an. Dalam hal itu pengajar merangkul mereka dengan
memberikan nasehat serta motivasi dan sering diajak berdialog bersama agar mereka merasa nyaman tanpa ada beban dari keterbatasan mereka, karena ada
juga yang mengalami tunanetra saat dewasa dan itu membuat depresi yang mendalam saat dia merasakan dunia baru saat sudah tidak bisa melihat lagi.
Setelah bertemu dengan yayasan Raudlatul Makfufin serta berbaur dengan orang-orang yang juga penyandang tunanetra. Ternyata orang-orang di yayasan
ini juga penyandang tunanetra, tapi mereka bisa melakukan kegiatan seperti orang normal salah satunya yaitu membaca sekaligus bisa menghafal al-
Qur’an. Awalnya mereka beranggapan kode-kode braille itu hanya titik-titik permainan
semata, kalau diraba seperti parutan santen dan bingung bagaimana cara membacanya. Kemudian pengajar akan membimbing serta mengarahkan para
santri agar bisa mempergunakan al- Qur’an braille sebagaimana mestinya. Dari hal
tersebut timbullah harapan-harapan yang menimbulkan disonansi berupa konflik batin atau pada psikologinya bahwa tunanetra juga bisa membaca serta menghafal
al- Qur’an layaknya orang normal pada umumnya. Maka timbul inkonsistensi dari
diri santri bahwa anggapannya selama ini tentang penyandang tunanetra telah berbeda. Bagi seorang tunanetra jangankan bisa mempelajari serta menghafal al-
Qur’an, melihat serta berjalan saja susah apalagi itu. Jadi, apa yang ada dalam pikiran tidak sama dengan kenyataan yang sebenarnya.
Inkonsistensi yang ada pada diri santri akan menimbulkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku tersebut dimulai dari adanya rasa keingintahuan
dalam menggunakan al- Qur’an braille. Karena anggapan awal santri tunanetra,
dengan cara apa mereka bisa membaca al- Qur’an kalau melihat saja tidak bisa.
Semakin lama mereka terbawa oleh komunitas sesamanya, yang membawa mereka ke lingkungan yang memang mendukung. Awalnya tidak percaya diri,
tapi karena lingkungan mendukung, sekarang menjadi percaya diri. Sedikit demi sedikit santri tunanetra membuang keyakinan atau anggapan kalau tunanetra tidak
bisa membaca serta menghafal al- Qur’an.
Perubahan perilaku yang dialami oleh santri tunanetra karena adanya inkonsistensi yang mereka temui, menyebabkan timbulnya disonansi untuk
melakukan tindakan. Maksudnya, adanya kebimbangan santri untuk memilih, apakah akan berpindah ke keadaan yang baru mereka temui atau mereka tetap
dengan kondisi awal mereka. Ketika santri tunanetra mulai masuk kedalam yayasan Raudlatul Makfufin kemudian mulai mengikuti kegiatan-kegiatan yang
ada di yayasan tersebut berarti santri tunanetra secara tidak langsung sedang melawan disonansi pada diri mereka.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi besar kecilnya tingkat disonansi, yaitu faktor kepentingan faktor dalam menentukan tingkat disonansi yang merujuk
pada seberapa signifikansi masalah, rasio disonansi merujuk pada jumlah kognisi konsonan berbanding dengan yang disonan dan rasionalitas merujuk
pada alasan yang dikemukakan untuk menjelaskan inkonsistensi. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil oleh tunanetra untuk
mengurangi disonansi. Tingkat pertama ialah kepentingan artinya bahwa semakin
santri menganggap penting menghafal al- Qur’an bagi tunanetra. Maka santri akan
mengalami disonansi yang besar ketika menjumpai keadaan yang inkonsistensi. Sebab, santri akan berusaha untuk menuju pada kondisi dimana dia bisa
menghafal. Santri di yayasan Raudlatul Makfufin menganggap penting menghafal al-
Qur’an bagi mereka yang penyadang tunanetra. Hal ini ditunjukkan dengan antusias dari santri dalam menyetorkan hafalannya.
Faktor selanjutnya ialah rasio disonansi, bahwa santri menemukan komunitas yang baru dan merasakan perubahan dari sebelumnya mengenal
yayasan Raudlatul Makfufin. Karena santri memiliki lebih banyak kognisi disonan dibanding dengan yang kognisi konsonan. Jadi akan sangat mungkin santri bahwa
santri memiliki inkonsistensi, dan menghasilkan disonansi. Selanjutnya tingkat disonansi dipengaruhi oleh faktor rasionalitas, yang
merujuk pada alasan-alasan santri yang dikemukakan untuk menjelaskan kenapa mereka ingin berubah dari kondisi awal dan sampai ingin sekali dapat menghafal
al- Qur’an. semakin banyak santri mengungkapkan alasan, maka semakin sedikit
disonansi yang dirasakan. Dengan kata lain motivasi mereka untuk menghafal besar sehingga mempunyai berbagai alasan untuk berubah. Alasan-alasan mereka
ialah mulai dari ingin bermanfaat untuk orang lain walaupun dengan keterbatasan fisik, untuk bekal di akhirat nanti, kemudian ingin masyarakat melihat bukan dari
ketunanetraannya tapi dengan keilmuan yang dimiliki jadi tidak dipandang rendah oleh masyarakat walaupun emiliki kekurangan fisik, ingin memperdalam agama
dengan hafal al- Qur’an, ingin semua ilmu yang dipelajari dengan mudah diterima
karena hafal al- Qur’an serta Allah akan menjanjikan surganya untuk para hafidz-
hafidzah janji tersebut tertera dalam hadits bahwa surga merindukan empat golongan salah satunya orang-orang yang hafal al-
Qur’an. Disonansi yang dialami oleh santri tunanetra, membuat mereka melakukan
usaha untuk memperoleh konsistensi. Usaha yang dilakukan santri tunanetra merupakan proses menuju apa yang santri tunanetra inginkan. Santri tunanetra
yayasan Raudlatul Makfufin memilih untuk berubah dari kondisi awal mereka. Perubahan yang mereka pilih tentunya ada alasannya. Alasan tersebut berasal dari
motivasi. Besarnya motivasi untuk berubah itu tergantung dari tingkat disonansi. Semakin kecil disonansi, maka tindakan usaha yang dilakukan santri tunanetra
akan semakin banyak atau lebih intensif. Tingkat disonansi yang tinggi tanpa mempunyai motivasi, itu tidak akan mengalami perubahan.
Perubahan tersebut tergant ung dari motivasi, “motivasi bisa dari diri sendiri
atau lingkungan sekitar yang mencakup teman, orang tua serta pengajar yang ada di yayasan Raudlatul Makfufin”.
7
Motivasi sangat berpengaruh dalam menumbuhkan semangat menghafal al-
Qur’an bagi santri tunanetra. Motivasi dibangun oleh santri sendiri berdasarkan keinginannya untuk menjadi pribadi
yang lebih baik dan bermanfaat bagi lingkungannya. Mengingat fundamentalnya motivasi dari diri sendiri, sehingga harus benar-benar dibangun untuk
menjadi modal bagi keberlanjutan perubahan yang diinginkan. Timbulnya motivasi dari diri sendiri diawali dari ketertarikan santri tunanetra terhadap
komunitas santri tunanetra yang hafal al-Quran. Selain itu mereka juga termotivasi untuk bisa membaca seperti orang normal, meski menggunakan alat
bantu. Motivasi dari diri sendiri perlu terus dibangun, dipertahankan dan
7
Wawancara Pribadi dengan Mutaqin Santri Tunanetra Mukim. Tangerang, 12 Agustus 2015 di yayasan Raudlatul Makfufin.