Pengertian Menghafal Al-Qur’an Metode Menghafal Al-Qur’an

Dalam menghafal al- Qur’an sebenarnya tidak ada batasan usia tertentu, tapi tingkat usia seseorang memang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam menghafal al- Qur’an. Usia dini yang masih relatif muda akan lebih potensial serap materi-materi yang dibaca atau dihafal ataupun didengarkan dibanding dengan mereka yang sudah berusia lanjut. Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa usia lanjut tidak bisa menghafal al- Qur’an, asalkan dengan kemauan yang kuat. b. Manajemen waktu Para penghafal harus bisa mengantisipasi dan memilih waktu yang dianggap sesuai dan tepat untuknya menghafal. Karena manajemen waktu yang baik akan berpegaruh terhadap pelekatan materi, terutama bagi mereka yang mempunyai kesibukan lain diluar menghafal al- Qur’an. c. Tempat menghafal Situasi tempat ikut mendukung proses menghafal al- Qur’an. Karena suasana dengan penuh kebisingan, penerangan tidak sempurna dan gangguan lainnya bisa mengurangi konsentrasi. Menghafal bisa dimana saja, para penghafal ada yang cenderung memilih tempat di alam terbuka atau tempa-tempat sunyi lainnya. 28

F. Pengertian Santri

Santri adalah istilah lain dari murid atau siswa yang mencari ilmu pada lembaga pendidikan formal, bedanya santri ini mencari ilmu pada pondok pesantren. Hampir seluruh masyarakat pun mengetahui tak asing lagi mendengar 28 Ahsin W Al-Hafidz, Bimbingan Praktis Menghafal Al- Qur’an, h. 56-61. kata santri dalam benak mereka. Umumnya santri diidentikkan bagi seseorang yang tinggal di pondok pesantren yang kesehariannya mengkaji kitab-kitab salafi atau kitab kuning, dengan tubuh mengenakan sarung, peci, serta pakaian koko atau gamis yang menjadi pelengkap atau menambah ciri khas tersendiri bagi mereka. Dalam bahasa jawa, santri berarti cantrik yaitu seseorang yang selalu mengikuti gurunya kemanapun gurunya pergi atau menetap. 29 Kata santri “mengimplementasikan fungsi manusia dengan 4 huruf yang dikandungnya yaitu sin, satrul al aura menutup aurat, nun, na’ibul ulama, wakil dari ulama, ta, tarkul al ma’ashi meninggalkan kemaksiatan, ra, ra’isul ummah pemimpin umat ”. 30

1. Pengertian Tunanetra

Tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa, tuna berarti rugi dan netra berarti mata atau cacat mata, istilah tunetra yang mulai populer dalam dunia pendidikan dirasa cukup tepat untuk menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan indera pengelihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Sedangkan istilah buta pada umumnya melukiskan keadaan mata yang rusak, baik sebagian setengah maupun seluruhnya kedua-duanya, sehingga mata itu tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 31 Gangguan penglihatan bisa terjadi karena suatu penyakit, mengalami kecelakaan atau cedera yang bersinggungan dengan sistem penglihatan. 29 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina Mastuhu, 1999, h. 19-20. 30 Mas Dewa, Kiai Juga Manusia, Mengurai Plus Minus Pesantren, Kiai, Gus, Neng, Pengurus dan Santri, Probolinggo: Pustaka El-Qudsi, 2009, h. 23-25. 31 Soekini Pradopo, Suharto dan L Tobing, Pendidikan Anak-Anak Tunanetra, Bandung: Masa Baru,t.t., h.12.

2. Karakteristik Tunanetra

Secara spesifik anak yang mengalami gangguan penglihatan tunanetra dapat diidentifikasi dengan ciri fisik sebagai berikut: a. Tidak mampu melihat, b. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter, c. Kerusakan nyata pada kedua bola mata, d. Sering meraba-raba atau tersandung waktu berjalan, e. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil didekatnya, f. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh, bersisik dan kering, g. Mata bergoyang terus. 32

3. Klasifikasi tunanetra

Klasifikasikan tunanetra berdasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan sebagai berikut: a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yaitu mereka yang sama sekali tidak memilki pengalaman melihat. b. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan. c. Tunanetra pada usia sekoah atau pada usia remaja. Mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proes perkembangan pribadi. d. Tunanetra pada usia dewasa, pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakuan latihan-latihan penyesuaian diri. 32 Lagita Manastas, Strategi Mengajar Siswa Tunanetra, Yogyakarta: Imperium, 2014, h. 4.