Interaksi pada level kewenangan

130 Diantara enam pengaruh tersebut, pengaruh kewenangan Pemerintah Otonomi dalam perijinan dan secara teknis terhadap kegiatan perikanan tangkap TKP bersifat signifikan, karena probabilitasnya 0,5, yaitu masing-masing 0,000 dan 0,041. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah dapat secara serius mengganggu mekanisme perijinan yang sudah ada bila diselewengkan, dan penyelewengan kewenangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan pelaku perikanan tangkap terhadap Pemerintah Daerah yang pada akhirnya mengganggu secara serius operasional kegiatan perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Rokan Hilir dapat membawa pengaruh yang serius terhadap kegiatan perikanan tangkap yang ada di lokasi. Dalam kaitan ini, maka Pemerintah OtonomiKabupaten Rokan Hilir harus lebih hati-hati dalam merancang dan mengimplementasikan berbagai PERDA yang sensitif dengan operasional perikanan tangkap terutama yang berkaitan biaya perijinan bagi nelayan kecil, sehingga usaha perikanan tetap eksis bahkan lebih berkembang di Kabupaten Rokan Hilir, dan bukan sebaliknya.

5.4 Pengembangan Kebijakan Perikanan Dalam Rangka Peningkatan

Kesejahteraan Nelayan. Bagian ini akan memberikan ulasan terkait dengan respon interaksi dari berbagai komponen usaha perikanan hasil analisis SEM dalam perannya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan yang dikaitkan tingkat kesejahteraan nelayan saat ini. Hasil analisis indikator kesejahteraan menurut BPS 1991 dan hasil analisis kelayakan finansial usaha yang dijalankan nelayan telah memberikan informasi secara kualitatif dan kuantitatif tentang tingkat kesejahteraan di Kabupten Rokan Hilir Provinsi Riau. Bila mengacu kepada model lanjutan Gambar 12 yang dikembangkan pada Bab 4, interaksi kesejahteraan nelayan KN dengan komponen utama pengelolaan perikanan dapat diilustrasikan dengan rumus : KN = -0,694 KP – 0,159 KOT + 0,927 TKP + 5,198 BDY – 0741 PROS – 0,010 Mengacu kepada ilustrasi rumus tersebut, maka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat KP dan kewenangan Pemerintah Otonomi KOT belum membawa manfaat langsung bagi kesejahteraan nelayan. Semakin banyak peraturan perikanan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Otonomi, 131 cenderung mengganggu kegiatan masyarakat setempat. Hal ini bisa jadi karena peraturan tersebut lebih banyak terkait dengan perijinan, retribusi, jalur penangkapan, dan lainnya yang cenderung membatasi ruang gerak nelayan dan menambah pembiayaan. Menurut Nikijuluw 2002, program dan kebijakan yang cenderung mengatur dan membatasi kegiatan perikanan harus dipadukan dengan program pemberdayaan nelayan. Hal ini penting untuk mengurangi konflik dan penentangan terhadap kebijakan pengelolaan. Pada ilustrasi rumus tersebut, kegiatan perikanan tangkap TKP dan kegiatan perikanan budidaya BDY membawa pengaruh positif bagi kesejahteraan nelayan, sedangkan kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS sebaliknya. Hal ini bisa jadi karena kegiatan pengolahan yang meskipun sudah menunjukkan perkembangan, tetapi secara nyata belum dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir di Kabupaten Rokan Hilir. Menurut Dahuri et al. 2001, kesejahteraan nelayan sangat tergantung perkembangan kegiatan perikanan yang dilakukan kebanyakan masyarakat pesisir. Supaya kesejahteraan tercapai dan tujuan pembangunan berhasil baik, maka pengembangan kegiatan perikanan harus dilakukan secara terpadu, dengan melibatkan semua komponen perikanan terkait di lokasi.

5.4.1 Kebijakan Pengembangan Pusat Informasi Perikanan.

Kondisi budaya merupakan unsur eksternal usaha perikanan yang berinteraksi paling dominan yang ditunjukkan oleh koefisien pengaruhnya 5,758 dengan probabilitas P 0,001. Interaksi tersebut termasuk luar biasa karena dua unsur eksternal lainnya berinteraksi dengan koefien pengaruh tidak begitu tinggi dan hanya pengaruh terhadap regulasi dengan probabalitas di atas 0,05. Data interaksi ini menunjukkan bahwa setiap hal baru dari luar sangat mempengaruhi tata nilai yang berlaku dikalangan nelayan atau pelaku usaha perikanan secara umum di lokasi, dan bila pengaruh tersebut telah diyakini, maka akan dengan sangat mudah mempengaruhi nelayan termasuk dalam menjalankan usahanya. Informasi luar tentang harga jual udang jumbo dan kepiting telah menyebabkan nelayan beramai-ramai untuk mengusahakan pukat udang sehingga berbagai jenis udang menjadi langka dan usaha perikanan pukat udang merugi NPV = - Rp 496,077. 132 Terkait dengan itu, maka diperlukan suatu kebijakan yang mengatur dan menyaring filter setiap pengaruh yang datang dari luar terutama dapat mempengaruhi secara langsung usaha perikanan yang dilakukan nelayan. Selama ini, pengaruh tersebut memang kebanyakan positif namun suatu saat tidak tertutup kemungkinan untuk negatif. Filter kebijakan diperlukan supaya pengaruh tersebut bisa diseleksi sehingga hanya yang positif saja yang diterima masyarakat nelayan. Kebijakan tersebut bisa dalam bentuk pengawasan yang ketat terhadap introduksi teknologi baru dalam usaha perikanan dan pembatasan pengembangan alat tangkap yang tidak menguntungkan secara finansial. Oleh pengaruh terkait dengan budaya bersifat signifikan P = 0,001, maka pengembangan kebijakan ini dapat menjadi prioritas dalam rangka peningkatan kesejahteraan nelayan

5.4.2 Kebijakan Pengembangan Pendidikan dan Latihan.

Hasil analisis ineraksi di antara faktor penentu yang menunjukkan bahwa pengaruh kegiatan perikanan terhadap penyerapan tenaga kerja merupakan pengaruh yang paling tinggi pada operasional usaha perikanan baik perikanan tangkap, perikanan budidaya, maupun pengolahan hasil. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien pengaruh sebesar 8,011 dengan probabilitas P 0,001. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam interaksi operasional perikanan tangkap, pelibatan masyarakat sekitar dengan latar belakang nelayan merupakan hal yang sangat penting dan menjadi tolok ukur keberhasilan dari kegiatan penangkapan di Kabupaten Rokan Hilir. Oleh karena kebutuhan mereka terhadap pekerjaan, terkadang tidak terlalu mempersoalkan upah yang diterima dari tokejuragan yang penting tetap bekerja dan bisa makan. Data ini relevan dengan hasil analisis indikator kesempatan kerja bagi nelayan di Kabupaten Rokan Hilir yang rendah skor 1,26 pada skala 1 – 3 dan hasil analisis kelayakan finansial usaha jaring insang lingkar JIL dengan NPV = – Rp 1.355.926. Selama ini JIL merupakan usaha perikanan tangkap yang banyak menampung nelayan yang membutuhkan pekerjaan untuk bertahap hidup di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Terkait dengan ini, maka diperlukan suatu kebijakan yang dapat memberikan tambahan lapangan kerja bagi nelayan dan masyarakat sekitar. Lapangan pekerjaan di luar sektor perikanan penangkapan ikan bagi rumah tangga nelayan Off-fishing Ellfindri 2002, kiranya dapat dipertimbangkan untuk 133 dikembangkan di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, sebagai upaya untuk memberikan penghasilan tambahan terutama bagi nelayan yang melakukan usaha pada usaha penangkapan ikan yang tidak layak secara fnansial. Upaya ini menciptakan kesempatan kerja bagi nelayan dengan membuka industri rumah tangga yang mendukung kegiatan penangapan ikan dan industri pengolahana berbagai produk yang menggunakan bahan baku hasil tangkapan nelayan, seperti pengeringan ikan membuat ikan asin, pengasapan salai, pembuatan makanan kecil yang berbahan baku ikan, industri kerajinan. Untuk menunjang kegiatan ini perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan kepada nelayan ketika mereka tidak melaut. Kebijakan tersebut perlu diarahkan untuk tidak sebatas memberikan bantuan fasilitas usaha tetapi juga bantuan pembiayaan walaupun dalam bentuk kredit atau lainnya, serta regulasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Bantuan pembiayaan hendaknya diikuti dengan bantuan manajemen usaha agar dana yang disalurkan dapat bermanfaat secara baik, dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah BUMD atau lembaga usaha lainnya yang ditunjuk sebagai pendamping dan pengawas.

5.4.3 Kebijakan Pelayanan Perizinan.

Pengaruh kewenangan Pemerintah Pusat terhadap beberapa perijinan yang diperlukan oleh usaha perikanan merupakan pengaruh yang paling tinggi pada tataranlevel kewenangan baik yang dimiliki Pemerintah Pusat maupun yang dimiliki Pemerintah Otonomi. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien pengaruh sebesar 2,122 dengan probabilitas P 0,000 sangat signifikan. Hal ini memberi indikasi bahwa berbagai perijinan usaha perikanan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sangat nyata mempengaruhi aktivitas perikanan secara keseluruhan di Kabupaten Rokan Hilir dan Provinsi Riau, bila perijinan tersebut tidak bermasalah, maka usaha perikanan tersebut dapat berfungsi optimal, sedangkan bila sebaliknya dapat menyebabkan produksi perikanan menurun drastis dan penggangguran banyak terjadi. Hal ini karena usaha perikanan yang perijinannya diurusperlu mendapat persetujuan dari pusat adalah usaha perikanan skala besar yang dimiliki oleh tokejuragan dan banyak mempekerjakan penduduk sekitar sebagai nelayan. Ini terlihat dari perbedaan kondisi usaha jaring insang 134 lingkar JIL dan jaring jaring hanyut JIH, dimana jaring insang lingkar JIL mempunyai NPV = – Rp 1.355.926, sedangkan jaring insang hanyut JIH mempunyai NPV = Rp 56.432.719. Nilai NPV yang rendah dari jaring insang lingkar JIL memang tidak sepenuhnya disebabkan oleh perijinan, tetapi karena operasional JIL yang membutuhkan areal khusus yang melingkar menyebabkan perijinannya terkadang lebih sulit dibandingkan usaha perikanan lainnya. Terkait dengan kondisi itu, maka diperlukan suatu pemecahan terkait beberapa kebijakan usaha perikanan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Perijinan memang perlu untuk pengawasan , tetapi dalam operasionalnya harus dilakukan secara tepat dan hati-hati, karena dapat menimbulkan kontra produktif bagi pelaku usaha perikanan. Pemecahan tersebut bisa dalam bentuk penerbitan suatu kebijakan khusus yang memungkinkan pengurusan beberapa perijinanan tersebut dapat dilakukan di daerah namun dalam kendali Pemerintah Pusat.

5.4.4 Kebijakan Pengembangan Pasar Lelang Ikan.

Berdasarkan interaksi komponen usaha perikanan pada tataran lingkup usaha dinyatakan bahwa pemasok meskipun bukan bagian internal usaha perikanan mempunyai interaksi positif yang sangat intensif koefisien pengaruhkp = 1,993 dengan internal usaha perikanan melebihi interaksi dengan sumberdaya manusia dan teknologi yang merupakan unsur internal usaha perikanan. Terkait dengan ini, maka perlu dikembangkan kebijakan yang lebih mempermudah dan memperluas interaksi langsung usaha perikanan dengan calon- calon pemasok bahan baku yang dibutuhkannya baik bahan baku utama maupun bahan baku pendukung. Kemudahan tersebut merupakan keunggulan dalam menjalin relasi usaha sehingga kedua belah pihak lebih diuntungkan. Hal ini dapat meningkatkan pendapatan nelayan baik yang usahanya pada bidang penangkapan, budidaya, maupun pengolahan. Hasil analisis indikator kesejahteraan menempatkan pendapatan rumah tangga perikanan sebagai penyebab terbesar rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan skor = 1,16 pada skala 1 – 3. Kebijakan tersebut dapat berupa pemberian keringanan dalam retribusi dan penyederhanaan birokrasi yang ada. Oleh karena interaksi dengan pemasok tidak signifikan P = 0,343, maka kebijakan tersebut tidak harus menjadi prioritas. 135

5.4.5 Kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Nelayan.

Kebijakan lain diluar kegiatan perikanan yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan adalah mengembangkan industri pengolahan ikan untuk memberikan nilai tambah kapada nelayan pengolah dan diharapkan ada membawa dampak positif terhadap harga ikan segar sebagai bahan baku, menurunkan biaya rumah tangga nelayan melalui program biaya kesehatan dan pendidikan gratis bagi anak nelayan, penurunan biaya produksi perikanan dengan cara menambah jumlah dan kualitas pelayanan stasiun pengisian bahan bakar didesa-desa nelayan serta menjaga kelestarian lingkungan agar ikan-ikan dapat berkembang secara lebih baik. 136 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1 Tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir masih tergolong rendah berdasarkan indikator kesejahteraan BPS tahun 1991. Indikator yang diukur adalah pendapatan rumah tangga nelayan, konsumsi rumah tangga, kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, kesulitan mendapat pekerjaan alternatif yang layak, dan rendahnya rasa aman karena gangguan kejahatan, sulitnya melakukan olah raga. Hipotesis 1 terbukti. 2 Diantara 8 jenis usaha penangkapan ikan di Kabupaten Rokan Hilir, lima di antaranya layak secara finansial. Kelima jenis usaha tersebut adalah usaha perikanan payang, bubu, pengumpul kerang, jaring insang hanyut dan hand line. Tiga jenis usaha yang tidak layak adalah usaha-usaha jaring insang lingkar, pukat udang dan pukat pantai. Hipotesis 2 terbukti. 3 Faktor yang signifikan mempengaruhi kesejahteraan nelayan yang dikembangkan berdasarkan tiga interaksi utama yaitu interaksi menurut lingkup usaha LU, interaksi pada teknis operasional, dan interaksi pada level kewenangan dalam usaha perikanan menghasilkan persamaan; 1 Interaksi menurut lingkup usaha LU menghasilkan persamaan: LU = -0,366 LIN + 1,000 LEX - 0,167 LINT + 0,010. Persamaan tersebut menggambarkan industri non perikanan LIN cenderung mengaburkan batasanlingkup usaha perikanan LU, karena beberapa dari mereka juga melakukan aktivitas rangkap di bidang perikanan tanpa ijin seperti berperan sebagai tengkulak patron-klein. Lingkungan eksternal usaha perikanan LEX, menunjukkan bahwa semakin baik kondisi eksternal, maka secara nyata budaya kerja nelayan sebagai salah satu dimensi LEX bertambah baik dan kesejahteraan nelayan dapat meningkat. Lingkungan internal usaha perikanan LINT, menjelaskan bahwa jika internal usaha perikanan kuat dan mapan, maka kebutuhan terhadap bahan baku X 31 , sebagai salah satu dimensi dari LIN dari