Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan

3.2.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan dan Kegiatan Hidup

Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah lima belas buah, sedangkan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah. Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan merupakan gambaran kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi yang disebut Mori Krae ng Tuhan Allah yang diyakini memiliki kekuasaan tertinggi dan tak terbatas, yang menciptakan manusia dan alam semesta. Selain mengakui Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa, masyarakat Manggarai juga menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ungkapan yang berkaitan dengan kegiatan hidup merupakan gambaran keseharian masyarakat Manggarai, dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

3.2.1.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan

Berikut ini diuraikan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi. 1 Mori’n agu Ngara’n ata Jari agu Dédék tana wa awang’n e ta ‘ Tuan dan pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’ Secara leksikal, kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”, “ketua”. Seorang atasan biasanya disapa dengan mori, lazimnya didahului kata yang menyatakan rendahan, yakni yo. Sekali-sekali dipakai juga sebagai sebutan manja terhadap anak-anak. Dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dédék tana wa awang’n e ta di atas, kata Mori bukan merupakan kata sapaan melainkan berfungsi referensial. Di sini –n adalah sufiks posesif persona ketiga tunggal. Contoh: morin jarang hitu berarti “si pemilik kuda itu”. Namun, biasanya Morin dipakai tanpa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menambahkan kata penentu, berarti “Tuhan”, “Tuhan tertinggi”. Nyata bahwa –n di sini menunjukkan hubungan antara Allah dengan sesuatu yang tunggal khususnya alam semesta Verheijen, 1991: 34-35. Agu dan dan yang selalu mendapat sufiks posesif –n di belakang Ngara, adalah nama Allah yang paling banyak dipakai dalam doa-doa yang lebih resmi. Adapun kata ngara dalam beberapa dialek : nggara kira-kira sinonim dengan mori, sebutan ini umum dan dipakai di seluruh Manggarai. Mori agu Ngara’n dapat dipandang sebagai nama yang spesifik untuk Wujud Tertinggi. Nama untuk Allah yang tersebar luas ini terdiri atas dua buah kata kerja. Jari berarti “menjadi”, “berhasil”, “berjalan baik”, “menjadikan”, dan sebagainya. De dek berarti “membuat”, “membentuk”, “menempa”, dan lain-lain. Kata ini dipakai untuk membuat hal perabot, periuk-periuk tanah, cincin, uang, dan lain-lain. Juga hal melahirkan anak dinyatakan dengan jari dan dédék. Kedua kata ini dipinjam dari bahasa Makasar jari dan dédé, tetapi ungkapannya merupakan suatu kekhasan Manggarai. Ungkapan ini diucapkan dalam doa-doa orang Manggarai. Pada umumnya Jari agu Dédék dipakai dalam nas-nas yang meriah. Gabungan ini mengungkapkan pengertian tunggal, paling tepat diterjemahkan dengan “Pencipta” atau “Pembuat” Verheijen, 1991: 36-38. Ungkapan Mori agu Ngara’n ata Jari De dek tana wa awang’n eta mengandung makna bahwa masyarakat Manggarai mengakui adanya Tuhan, yang memiliki kekuatan melebihi daya jangkauan mereka, yang diyakini sebagai pencipta langit dan bumi beserta isinya. 2 Imbi Mori’n ai Hia ata de dek ite-Mori Jari agu Dédék ‘ Percayalah kepada Tuhan yang menciptakan kita - Tuhan pencipta dan penjadi’ Ungkapan imbi Mori’n ai Hia ata de dek ite - Mori Jari agu Dedek mengandung makna bahwa orang Manggarai percaya akan adanya Tuhan sebagai pencipta dan penjadi, yang menciptakan manusia beserta alam semesta. 3 Mori ata pukul par agu kolep ‘ Tuhan yang mengatur dari terbitnya matahari hingga terbenamnya’ Ungkapan Mori ata pukul par agu kolep mengandung makna bahwa orang Manggarai meyakini kekuasaan Tuhan sebagai Pencipta yang tak terbatas oleh waktu. Tuhan-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi, sejak matahari terbit hingga terbenam. Wilayah kekuasaannya sangat luas dan tak terbatas. 4 Mori nipu riwu ongko do ‘ Tuhan mengatur segala-galanya ’ Ungkapan Mori nipu riwu ongko do mengandung makna bahwa orang Manggarai meyakini bahwa Tuhan Allah-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi. Hidup, mati, suka dan duka manusia ada dalam tangan-Nya. 5 Toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n ngoeng de Dédék ‘Kuasa Tuhan tidak dapat dihalang-halangi - kehendak Pencipta tidak dapat dirintangi’ Ungkapan toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n ngoeng de Dédék mengandung makna orang Manggarai meyakini bahwa kuasa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tertinggi ada di tangan Sang Pencipta dan manusia tak berdaya menghadapi kuasa- Nya. Apa pun bila itu menjadi kehendak Tuhan pasti akan terjadi. 6 Suju neka tumpus - ngaji neka caling- ngaji bilang bari kamping Jari ‘Jangan berhenti bersujud - jangan berhenti berdoa - berdoalah ke hadapan Tuhan setiap hari’ Ungkapan suju neka tumpus - ngaji neka caling - ngaji bilang bari kamping Jari mengandung makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk bersujud dan berdoa di hadapan Tuhan Sang Pencipta, mengucap syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia setiap hari. 7 Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate Jari agu Dédék ‘ Sembah dan pujilah Tuhan Penguasa - Pemilik dan Pencipta Ungkapan Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate jari Dédék mengandung makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menyembah dan memuji Tuhan Allah sebagai Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan bagi mereka. 8 Hiang Hia te pukul par’n awo - kolep’n sale - ulun le - wa’in lau- awang’n e ta - tana’n wa ‘ Hormatilah Dia yang menguasai alam semesta - langit dan bumi - Dia telah menciptakan segala mahluk dan Dia yang menguasai waktu dari terbitnya matahari hingga terbenamnya’ Ungkapan Hiang Hia te pukul par’n awo - agu kolep’n sale - ulun le - wa’in lau - awang’n e ta - tana’n wa mengandung makna bahwa manusia harus menghormati Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Tuhan-lah yang berkuasa atas semuanya. Dalam tradisi Manggarai, kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi tersirat dan tersamar dalam setiap upacara adat. Tempat diadakan upacara adat bervariasi, seperti dalam mbaru gendang rumah adat, dalam rumah pribadi, di compang mesbah altar yang terletak di tengah kampung, di ladang, di mata air, di pekuburan, dan sebagainya Janggur, 2008: 5. 9 Mori Keraéng Sebutan Mori Keraéng tersebar di seluruh Manggarai. Sebutan ini dapat dianggap sebagai nama Allah yang paling lazim dipakai bila orang berbicara mengenai Wujud Tertinggi. Pemakaian nama Mori Keraéng dimajukan oleh pengaruh agama Katolik, sebab misionaris yang pertama mengangkat sebutan ini sebagai nama yang utama untuk Allah. Hal yang menarik perhatian ialah bahwa nama ini sedikit saja dijumpai dalam doa-doa persembahan yang komunal dan panjang-panjang tetapi sering terdapat dalam doa-doa yang bersifat pribadi Verheijen, 1991: 37. 10 Ronan éta mai - winan wa mai ‘ Suaminya di atas - istrinya di bawah’ Secara leksikal, kata rona dan wina dalam bahasa Manggarai masing-masing berarti “suami” dan “istri”. Sufiks posesif –n ‘nya’ menunjukkan hubungan timbal balik. Rona dan wina dalam kalimat di atas adalah sebutan orang Manggarai untuk menyebut Wujud Tertinggi. Sebutan untuk Wujud Tertinggi ini dijumpai antara lain di wilayah Ruteng, Todo - Pongkor, dan di wilayah Kolang. “pria di atas” adalah sinonim dengan “langit”, “bentangan langit”, dan “wanita di bawah” sinonim dengan “bumi”. Suami adalah bentangan langit sedangkan isteri adalah bumi. Pria adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bentangan langit, sebab hujan berasal dari bentangan langit, turun dan mengenai bumi. Dari itu bumi adalah istri dari langit. Air hujan, cairan tubuh langit, turun ke bumi sehingga tanaman-tanaman bertumbuh dan menjadi besar. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa “suami di atas-istrinya di bawah” merupakan sinonim “langit dan bumi”; jadi sebagai nama metonimis untuk wujud tertinggi. Hal ini sering kali cocok dengan pengucapan sastra. Bahwa orang menempatkan atribut “di atas” dan “di bawah” pada “langit “ dan “bumi” sudah sewajarnya. Dalam hubungan ini dapatlah dikemukakan bahwa pada umumnya orang berpikir Mori Keraéng bertahta di atas, dan dari atas Ia memandang kita. Orang menganggap langit sebagai atribut bagi Wujud Tertinggi Verheijen, 1991 : 43-45. 11 Amé rinding mané - iné rinding wié ‘ Ayah pelindung di malam hari - ibu pengayom di tengah malam’ Ungkapan amé rinding mané - iné rinding wié mengandung makna yang sama dengan ungkapan amé éta - iné wa, yaitu sebagai nama metonimis untuk Wujud Tertinggi. 12 Pong dopo ngalor masa ‘ Daerah angker berawa-rawa; palungan air yang kering’ Sebelum ajaran Katolik masuk ke Manggarai, masyarakat Manggarai menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah suatu kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami suatu tempat pohon, batu, gunung, dan sebagainya. Dinamisme adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai jiwa serta memiliki kekuatan sakti. Menurut kepercayaan tersebut yang diyakini sampai saat ini, daerah berawa-rawa dihuni oleh mahluk halus, diyakini dapat membawa kebaikan; kesejahteraan sekaligus bencana. 13 Hau muing be sina - ami muing be ce’e ‘ Engkau bagian sana - kami bagian sini’ Ungkapan hau muing be sina - ami muing be ce’e merupakan idiom untuk menyatakan makna bahwa tidak ada hubungan lagi antara orang yang sudah mati dengan yang masih hidup. Ungkapan tersebut merupakan sebuah doa yang diucapkan pemimpin adat pada upacara kematian, agar yang meninggal tidak mengganggu keluarganya yang masih hidup. 14 Porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung ‘ Semoga engkau menjadi penghalang di depan penutup di bagian belakang’ Ungkapan porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung merupakan idiom untuk menyatakan harapan agar orang yang sudah mati menjadi pelindung bagi yang masih hidup dari musibah, baik yang datang dari depan maupun belakang. 15 Boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong Ungkapan boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong merupakan sebuah doa yang diucapkan tetua adat ketika memberikan persembahan berupa sesajen kepada arwah para leluhur empo pada saat upacara penti agar mereka tidak mencari atau mengambil sendiri dari tengah-tengah keluarga yang masih hidup. Orang Manggarai menyakini bahwa para arwah bisa saja mengambil orang - orang yang masih hidup bila tidak dihormati.

3.2.1.2 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kegiatan Hidup